Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN HUKUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria


Dosen Pengampu: Ibu Surur Roiqoh, M.H.

Disusun Oleh Kelompok 3:

Hadriana Sulni : 18103070007


Wibi Purnama : 18103070017
Fathonah Nur Cholifah : 18103070072
Alif Bagus Prasetyo : 18103070084
Bondan Juliano Muhammad : 18103070082

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kita panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat dan inayah-
Nya kepada kita, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Tinjauan Hukum
Tentang Hak Tanggungan”.

Makalah ini telah penulis susun dengan semaksimal mungkin dengan bantuan pendapat
dan do’a dari teman-teman. Untuk itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu penulis.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun isi dan kelengkapannya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka penulis menerima segala bentuk saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, Aamiin.

Yogyakarta, Maret 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

Halaman utama...................................................................................................

Kata Pengantar....................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan.............................................................................................3

A. Latar Belakang..........................................................................................3
B. Rumusan Masalah ....................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................4
D. Metode Penelitian......................................................................................4

BAB II Pembahasan............................................................................................5

A. Pengertian Hak Tanggungan.....................................................................5


B. Asas-Asas Hak Tanggungan......................................................................6
C. Objek dan Subjek Hak Tanggungan..........................................................10
D. Pembebanan Hak Tanggungan..................................................................12
E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan..........................................18

BAB III Penutup..................................................................................................21

A. Kesimpulan ...............................................................................................21

BAB IV Daftar Pustaka......................................................................................24

ii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang
selanjutnya disebut sebagai Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah tersebut, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha,
dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah
tangankan dapat juga dibebani sebagai Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam
perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan selambat-
lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara
peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak
didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak
tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan
terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hak Tanggungan?
2. Apa saja Asas-Asas Hak Tanggungan?
3. Apa Landasan Hukum Dari Hak Tanggungan?
4. Apa saja Objek dan Subjek Dari Hak Tanggungan?

3
5. Apa Yang Dimaksud Dengan Pembebanan Hak Tanggungan?
6. Apa itu Surat Membebankan Hak Tanggungan?
C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi tugas matakuliah Hukum


Agraria sekaligus mencoba untuk memberikan informasi sebaik mungkin agar menjadi
suatu rujukan pengatahuan akademik bagi pembaca.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah literature, yaitu
penulis mengambil materi yang berkaitan dengan tema pembahasan makalah ini melalui
buku atau beberapa link rujukan website sebagai pelengkap materi.

4
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Hak Tanggungan

Sebelum lahirnya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang
menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak atas tanah
merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah berlakunya UUHT,
pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi menggunakan jaminan
hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak tanggungan.1

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang
kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak tanggungan, sebagai pengganti
lembaga Hypotheek dan Credietverband, akan tetapi lembaga hak tanggungan di atas
belum berfungsi sebagimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang
mengaturnya secara lengkap, sesuai dengan yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51
undang-undang tersebut sehingga ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam
Buku II KUHPerdata dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 masih diberlakukan sepanjang
mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA. Padahal
ketentuan-ketentuan tersebut di atas berasal dari zaman kolonial belanda dan didasarkan
pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional. Oleh karena itu
ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan hukum tanah nasional dan tidak dapat
menampung perkembangan yang terjadi khusunya di bidang perkreditan dan hak jaminan
dikarenakan perkembangan pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan perbedaan
pandangan dan penafsiran mengenai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas
tanah. Dengan demikian perlu kiranya dibentuk suatu undang-undang yang mengatur hak
tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana
dimaksud dalam UUPA, sekaligus mewujudkan adanya unifikasi hukum tanah nasional.

1
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika), 2011, hal. 305

5
Setelah berlakunya UUHT, maka terpenuhilah apa yang diinginkan Pasal 51
UUPA, sehingga berdasarkan Pasal 29 UUHT menyatakan bahwa dengan berlakunya
UUHT, maka ketentuan hypotheek sebagaimana dimaksud dalam buku II KUHPerdata
Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan
pada hak atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
berlaku lagi.2

Pasal 1 butir 1 UUHT dapat diketahui bahwa: 3 “Pada dasarnya suatu hak
tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului,
dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.

Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi
kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan
untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur
cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas
utang debitur kepadanya.4 Pada prinsipnya, hak tanggungan itu merupakan lembaga hak
jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan
yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya
bagi kreditur pemegang hak tanggungan.

B. Asas-Asas Hak Tanggungan

Di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal


beberapa asas Hak Tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini:5

1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan


(Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996); “Hak Tanggungan atas tanah

2
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
2000), hal.52.
3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja Hak Tanggungan. (Kencana Jakarta: Prenada Media, 2005) hal 13
4
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 24
5
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. Ke-5,
2011, hal. 102

6
beserta benda-benda yang berkaitandengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yangdibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996); “Yang
dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian
daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti
terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan,
melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan
untuk sisa utang yang belum dilunasi.”
3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) Undang
undang No. 4 Tahun 1996); “untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia
perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan
kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh
kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu persatu, sedangkan untuk
membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah
yang bersangkutan.”
4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-undang No. 4 Tahun 1996) dan Dapat
dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru aka nada di
kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-undang No. 4 Tahun 1996) dengan syarat
diperjanjikan secara tegas;; “Hak Tanggungan dapat pula meliputi bangunan,
tanaman, dan hasil karya misalnya candi, patung, gapura. relief yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan yang dapat dibebani Hak
Tanggungan bersamaan dengan tanahnya tersebut meliputi bangunan yang berada di
atas maupun di bawah permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya
dengan hak atas tanah yang bersangkutan.”

7
5. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996); “Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak
Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukuni utang-piutang yang dijamin
pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat
dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada
ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang-
piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian
tersebut dapa! dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang
bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit
yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan diwilayah negara
Republik Indonesia”
6. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)
Undangundang No. 4 Tahun 1996); “Utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
dapat berupa utang yang sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah
diperjanjikan, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh
kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan bank garansi.
Jumlahnya pun dapat ditentukan secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan
dan dapat pula ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan
dalam perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan,
misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya
baru dapat ditentukan kemudian. Perjanjian yang dapat menimbulkan hubungan
utang-piutang dapat berupa perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lain,
misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang
berada di bawah pengampuan, yang diikuti dengan pemberian Hak Tanggungan oleh
pihak pengelola”
7. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun
1996); “Seringkali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor, masing-
masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor
adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang para
kreditor tersebut dijamin dengan satu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan

8
satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas
tanah yang sama. Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur
oleh mereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor dan pemberi Hak
Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya, mereka menunjuk salah
satu kreditor yang akan bertindak atas nama mereka. Misalnya mengenai siapa yang
akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan
siapa yang akan menerima dan menyimpan sertipikat Hak Tanggungan yang
bersangkutan.”
8. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada (Pasal 7 Undang-undang
No. 4 Tahun 1996); “Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan
pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah
berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat
menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.”
9. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) Undangundang
No. 4 Tahun 1996); “Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya
Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan
pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan
keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang
disebut pada ayat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta
yang bersangkutan batal demi hukum”
10. Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undangundang No. 4 Tahun 1996); “Salah satu asas Hak
Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak
Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan
mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Dengan pengiriman oleh PPA
T berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor
Pertanahan. Dokumen yang harus di siapkan meliputi surat-surat bukti yang berkaitan
dengan obyek Hak Tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan,

9
termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan
mengenai obyek Hak Tanggungan.”
11. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti; “kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak
Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti
halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan
peraturan Hukup Acara Perdata.”
12. Dapat dibebankan dengan disertai janji janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang
undang No. 4 Tahun 1996); “Janji-janji sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai
pengaruh terhadap sahnya akta. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan
atau tidak menyebutkan janji-janji ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Dengan dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, janji-janji tersebut juga mempunyai
kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.”
C. Subjek Dan Objek Hak Tanggungan
1. Subjek hak tanggungan

Subjek Hak Tanggungan ini terdapat dua subjek hukum dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah, antara lain:

a. Pemberi hak tanggungan

Dalam pasal 8 UU RI No. 4 tahun 1996 yang berbunyi “Pemberi Hak


Tanggungan adalah perseorangan atau badan hokum yang memiliki kewenagan
untuk melakukan perbuatan hokum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.”6

Berdasarkan pasal 8 tersebut, maka pemberi Hak Tanggungan ini adalah


pihak yang berutang (debitor). Tetapi, subyek hukum lain dimungkinkan untuk
menulasi hutang debitur dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan.

6
Pasal 8, Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak tanggungan Atas Tanah

10
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan ini harus ada pada Pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran
hak tanggungan dilakukan. Karena lahirnya Hak tanggungan itu ketika saat
didaftarkannya Hak Tanggungan. Oleh karena itu, kewenangan untuk melakukan
perbuatan hokum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak
tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.7

b. Pemegang Hak Tanggungan

Dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah termuat pengertian orang Pemegang Hak Tanggungan
ini, yang berbunyi : “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan
atau badan hokum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.”8

Pihak yang berutang disini disini bisa beruapa lembaga keuangan seperti
Bank, lembaga keuangan non-Bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan ha katas tanah tidak mengandung
kewenangan untuk menguasai secara fisik dan mengunakan tanah yang dijadikan
jaminan, maka tanah tetap dalam penguasaan Pemberi Hak Tanggungan. Kecuali
dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak
Tanggungan Atas Tanah yang berbunyi;

“Janji yang memberikan kewenagan kepada pemegang Hak Tanggungan


untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapa Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputiletak obyek Hak Tanggungan
apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji.”

Maka pemegang Hak Tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara


Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing
atau badan hukum asing.

2. Objek Hak Tanggungan

7
Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 1986), hlm. 96
8
pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

11
Objek Hak Tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan Hak
Tanggungan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka objek Hak
Tanggungan harus memenuhi empat syarat9, antara lain:

a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya
adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual
dengan cara lelang.
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka
benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat
segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku,
karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban
untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini
adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan
atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap
kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut
pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap
orang dapat mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah disebutkan


bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di
atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
yang diberikan oleh Negara
D. Pembebanan Hak Tanggungan

9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 425

12
Berdasarkan UUHT, proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui
dua tahap, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Tahap-tahap tersebut terdiri dari:
a. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang
yang bersangkutan atau perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut. (Pasal 10 Ayat (1) UUHT).
Apabila pemberi HT atau kreditur berhalangan hadir dalam pelaksanaan
pemberian dan pcnandatanganan HT maka kreditur dapat memberikan
kuasanya kepada pihak lain. Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan di
depan Notaris atau PPAT dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan ("SKMHT") dimana bentuk dan isinya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 3
Tahun 1996. SKMHT tersebut sah apabila memenuhi ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 15 ayat (1) sebagai berikut:10
1) SKMHT dilarang memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum
lain daripada membebankan HT, tidak dilarang memberi kuasa
memberikan janji-janji yang dimaksudkan dalam Pasal 11 Ayat (2)
UUHT;
2) Dilarang memuat kuasa substitusi;
3) Wajib dicantumkan secara jelas obyek HT, jumlah utang, nama serta
identitas debitur, apabila debitur bukan pemberi HT.
Apabila persyaratan tersebut dilanggar maka SKMHT tersebut batal demi
hukum. Kuasa tersebut berakhir apabila telah habis jangka waktunya. Untuk
obyek HT yang sudah didaftar maka selambat-lambatnya satu bulan sesudah
diberikan, wajib diikuti dengan pembuatan APHT yang bersangkutan. Apabila
obyek HT belum didaftar maka jangka waktu penggunaan SKMHT dibatasi
selama tiga bulan, dikarenakan untuk keperluan pembuatan APHT diperlukan
10
Boedi Harsono, "Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, lsi dan Pelaksanaannya",
(Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 445-446.

13
penyerahan lebih banyak surat-surat dokumen kepada PPAT. Selain itu,
jangka waktu tiga bulan tersebut dapat pula diberlakukan kepada obyek HT
yang sudah bersertipikat akan tetapi belum tercatat atas nama kreditur. 11
Apabila SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT maka SKMHT batal
demi hukum.
b. Tahap selanjutnya adalah pembuatan Akta APHT oleh PP A T sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku12 (Pasal 10 Ayat (2) UUHT).
Pemberian Hak Tanggungan tersebut wajib memenuhi syarat spesialitas yang
meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan,
domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunj ukan
secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan
Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai objek
Hak Tanggungan. (Pasal 11 Ayat (1) UUHT).
c. Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji fakultatif yang terdapat dalam
Pasal 11 Ayat (2), 14 yang berbunyi sebagai berikut:
d. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah
jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
e. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
f. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji.
g. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau

11
Ibid. , hal. 446.
12
Bentuk dan isi dari APHT ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/KepaJa BPN Nomor 3
Tahun 1996 dikutip dari buku Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 432.

14
dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera
janji.
i. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek
Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
j. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
k. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan.
l. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 11 Ayat (2)
UUHT).
Walaupun janji-janji tersebut bersifat fakultatif akan tetapi janji tersebut wajib
dihubungkan dengan Pasal 6 UUHT, sehingga menurut Prof. Boedi Harsono
terdapat janji-janji fakultatif yang wajib dicantumkan seperti pada Pasal 11
Ayat (2) huruf (e), janji tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi dan
karenanya harus dihubungkan dan merupakan satu kesatuan dengan ketentuan
Pasal 6 UUHT yang berbunyi:
Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut. Janji tersebut diperlukan untk memenuhi
persyaratan yuridis dalam melaksanakan hak pemegang HT yang
bersangkutan, yang ditetapkan dalam Pasal 6 tersebut.13

13
Ibid.

15
Selain itu, terdapat janji yang dilarang untuk dicantumkan dalam
APHT yaitu apabila yang diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan memiliki objek HT apabila debitur cidera janji (Pasal 12 UUHT) maka
APHT tersebut batal demi hukum.14Adapun dalam pelaksanaan pemberian HT
tersebut terdapat proses pembebanan HT yang tidak sarna dikarenakan status
tanah yang dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan, proses
pembebanannya adalah sebagai berikut:15
1) Status tanah yang masih dalam proses permohonan Sertipikat Hak Guna
Bangunan (SHGB) Induk untuk terdaftar atas nama penyelenggara
pembangunan atau dengan perkataan lain tanah tersebut belum ada haknya
sehingga status tanahnya adalah tanah Negara, proses pembebanannya
adalah sebagai berikut:
Penyelenggara pembangunan harus melakukan proses-proses
hukum di bawah ini:
a. Pada saat penandatanganan perjanjian kredit antara debitur dan bank,
penyelenggara pembangunan harus menyerahkan perjanjian
pengikatan jual beli (PPJB) yang telah ditandatangani debitur dan
penyelenggara pembangunan beserta surat pemyataan dari debitur
yang menjamin bahwa debitur akan menandatangani: SKMHT atau
APHT dihadapan PPAT yang ditunjuk oleh kreditur pada saat
penandatanganan Akta Jual Beli (AJB). Penandatanganan surat
pernyataan tersebut dilakukan untuk memberikan jaminan kepada
kreditur bahwa pada saat penandatanganan AJB dilakukan, debitur
bersedia menandatangani APHT walaupun sertipikat tanah yang ada
masih berupa SHGB Induk (atas nama penyelenggara pembangunan).
b. Apabila SHGB Induk telah diperoleh maka penyelenggara
pernbangunan harus menyiapkan AJB yang dibuat dihadapan PPAT,
menandatanganinya bersarna-sarna dengan debitur serta rnenyerahkan

14
Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 440.
15
Arie S. Hutagalung, "Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah", (Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 330-332, (selanjutnya disebut Arie S Hutagalung I).

16
AJB tersebut kepada bank dalam waktu yang ditentukan setelah
selesainya SHGB induk.
c. Dengan berlakunya UUHT, maka pada tahap penandatanganan AJB
diatas, debitur juga dimungkinkan untuk menandatangani APHT atas
bagian tanah yang dibelinya, walaupun pada saat itu sertipikat
tanahnya rnasih belum dibalik nama ke atas nama debitur yang
bersangkutan. Untuk memenuhi asas spesialitas yang disyaratkan
UUHT, rnaka APHT atas SHGB Induk tersebut harus dilarnpiri
dengan gambar situasi dari bagian tanah yang dibeli debitur tersebut.
d. Satu hal yang periu diperhatikan adalah walaupun secara hukurn
penandatanganan APHT sebelum terbitnya SHGB atas nama debitur
tersebut dimungkinkan, namun pada praktek hal Illl sangat tergantung
dari kebijaksanaanlkeyakinan NotarislPPAT yang bersangkutan dan
juga kebijaksanaan dari Kantor Pertanahan setempat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut (apabila penandatangan APHT tidak dapat
dilakukan pada saat penandatanganan AJB), maka dalam perjanjian
pemberian jaminan (PPJ) dicantumkan pula klausul yang menyatakan
bahwa apabiJa karena sesuatu hal penandatanganan APlIT pada saat
penandatanganan AJB terse but tidak dimungkinkan, maka debitur
akan menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa
debitur akan menandatangani APHT atas sertipikat pecahan yang
dialihkan ke atas nama masing-masing debitur berdasarkan AJB dan
menyerahkan SKMHT/APHT, apabila sertipikat pecahan tersebut
telah keluar.
2) Status tanah adalah tanah Hak guna Bangunan (HGB) atas nama
penyelenggara pembangunan, atau dengan perkataan lain penyelenggara
pembangunan telah memperoleh SHGB Induk tetapi pemecahan dan
pendaftaran jual beli masih dalam proses, maka penyelenggara
pembangunan melakukan proses yang lebih sederhana yaitu pada saat
penandatanganan perjanjian kredit antara debitur dan kreditur maka
penyelenggara pembangunan harus menyerahkan AJB yang telah

17
ditandatangani oleh debitur dan penyelenggara pembangunan serta APHT
atas SHGB Induk yang dilampiri dengan gam bar situasi dari bagian tanah
yang diberi oleh debitur. Jadi, dalam hal ini debitur tidak perlu terlebih
dahulu menandatangani surat pemyataan sebagaimana pada status tanah
sebelumnya.
3) Sertipikat tanah yang dijadikan jaminan hutang jangka waktunya lebih
pendek dari jangka waktu pemberian kredit, maka dapat diperjanjikan
dalam APHT bahwa pemberi HT memberikan kewenangan kepada
pemegang HT untuk atas biaya pemberi HT mengurus perpanjangan hak
atas tanah yang dijadikan obyek HT untuk mencegah hapusnya HT karena
hapusnya hak atas tanah.
4) HGB atau Hak Pakai (HP) yang diperoleh atas dasar Hak Pengelolaan
(HPL) instansi pemerintah atau BUMN atau dengan perkataan lain HGB
atau Hak Pakai diatas Hak Pengelolaan, maka apabila pemegang HGB
atau Hak Pakai tersebut ingin menjadikan tanahnya sebagai jaminan
hutang harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemegang Hak
Pengelolaan.
E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Membebani hak tanggunngan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama
pemberi hak tanggungan datang langsung untuk memberikannya di hadapan PPAT
dengan menandatangani langsung APHT, kedua membebani hak tanggungan dengan
menggunakan SKMHT sebagar dasar bertindak dalam pemberian hak tanggungan.

Dalam pembahasan kali ini, lebih difokuskan apa yang dimaksud dengan Surat
Kuasa Membebani Hak Tanggungan atau biasa disebut juga SKMHT. Pada Umum nya
surat kuasa merupakan surat yang berisi pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa
selaku pemilik kewenangan kepada penerima kuasa, untuk melaksanakan kewenangan
atau mewakili kepentingan dari pemilik kewenangan atau pemberi kuasa asal dalam suatu
peritiwa tertentu. Dalam kitab Undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa
“pemberi kuasa (lastgeving) adalah suatu perjanjian dengan masa seseorang memberikan

18
kekuasaan kepada orang lain, yang menerima untuk atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan.16

Menurut Alwesius, “SKMHT adalah surat atau fakta yang berisikan pemberian
kuasa yang diberikan oleh pemberi agunan/pemilik tanah (pemberi kuasa) kepada pihak
penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa guna melakukan pemberian hak
tanggungan kepada kreditor atas tanah milik pemberi kuasa”.17SKMHT yang diberikan
oleh pemberi Hak Tanggungan, tidak dapat dibuat secara lisan maupun dibuat dengan
menggunakan surat atau akta kuasa dibawah tangan serta harus dalam surat kuasa khusu,
dalam ketentuan UUHT, SKMHT wajin dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. 18
Berdasarkan hak tersebut, maka sebuah SKMHT harus dibuat dengan akta otentik.
Notaris dan PPAT adalah pejabat umum yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna kemudian lebih dikenal dengan akta otentik berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang nomor 30
tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.19 Yang selanjutnya disebut UUJN dan peraturan
pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).20

Adapun dalam pemberian SKMHT oleh pemberi kuasa terdapat beberapa syarat
yang dimuat dalam subtansi SKMHT tersebut, syarat tersebut antara lain,

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan
Hak Tanggungan ;
2. Tidak memuat kuasa subsitusi
3. Mencatumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas krediturnya nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak
Tanggungan.21

16
Ketentuan pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
17
e-journal , “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas
Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak Tanggungan, (Made Oka Cahyadi Wiguna : Universitas Pendidikan
Nasional Bali,2017) hal.441
18
Ketentuan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.4 Tahun 1996.
19
Pasal 1 angka 1 Menjelaskan Notaris
20
Pasal 1 angka 1 Menjelaskan Pejabat Pembuat Akta Tanah
21
Ketentuan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.4 Tahun 1996.

19
Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuata hukum
lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan
objek Hak Tanggungan atau memperpanjang atas tanah. Ketentuan pasal 15 ayat (1) ini
menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk
membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-
akta lain.22 Apabilan syarat ini tidak dipenuhi atau dilanggar maka SKMHT yang
bersangkuta Batal demi hukum, sehingga SKMHT yang bersangkutan tidak dapar
digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.

Yang dimaksud dengan pengertian “Memuat Kuasa Subsitusi” menurut UUHT


adalah pemberian kuasa untuk penggantian penerima kuasa melalui pengalihan.
Demikian ditentukan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT. Lebih lanjut
dijelaskan “bukan merupakan substitusi, jika pemberi kuasa memberikan kuasa kepada
pihak lain dala rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi Bank
menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak
lain.23

Menurut penjelasan Pasal 15 (1) c UUHT, “Jumlah utang yang dimaksud pada
huruf ini adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 (1) UUHT.”

Dalam pembuatan SKMHT yang termasuk dalam perbuatan hukum merupakan


salah satu bentuk perjanjian atau persetujuan, maka tentunya pemberian kuasa tersebut
mengikat pemberi kuasa dan penerima kuasa untuk dapat melaksanakan perbuatan
hukum yang disepakati. Daya ikat persetujuan tersebut merupakan bentuk pengakuan
terhadap persetujuan itu sendiri. Terikat nya para pihak dalam SKMHT adalah absolut
dan sekaligus menjadi Undang-Undang baginya.24

22
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Cet 1, (Bandung; Penerbit
Alumni, 1999), hal. 11.
23
Ibid, hal. 104.
24
. e-journal , “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas
Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak Tanggungan, (Made Oka Cahyadi Wiguna : Universitas Pendidikan
Nasional Bali,2017) hal.442

20
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi
kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan
untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur
cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas
utang debitur kepadanya.
Didalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal
beberapa asas Hak Tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini :
1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan
(Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996);
2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996);

21
3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) Undang
undang No. 4 Tahun 1996)
4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang-undang No. 4 Tahun 1996) dan Dapat
dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru aka nada di
kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) Undang-undang No. 4 Tahun 1996) dengan syarat
diperjanjikan secara tegas
5. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996)
6. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)
Undangundang No. 4 Tahun 1996);
7. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun
1996);
8. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada (Pasal 7 Undang-undang
No. 4 Tahun 1996);
9. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)
Undangundang No. 4 Tahun 1996)
10. Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undangundang No. 4 Tahun 1996)
11. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
12. Dapat dibebankan dengan disertai janji janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang
undang No. 4 Tahun 1996);

Subjek Hak Tanggungan ada dua yaitu: Pemberi hak tanggungan dan Pemegang
Hak Tanggungan, Objek Hak Tanggungan dibagi menjadi 4 yaitu : (1) Objek Hak
Tanggungan; (2) Mempanyai sifat dapat dipindahkan; (3) Termasuk hak yang didaftar
“syarat publisitas” dan (4) Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah disebutkan bahwa


yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan

22
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang
berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara

Berdasarkan UUHT, proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui


dua tahap, yaitu:

1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan


a. Di dahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan setelah itu
pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan di depan Notaris atau PPAT dengan
suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
("SKMHT")
b. Tahap selanjutnya adalah pembuatan Akta APHT oleh PP A T sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 Ayat (2) UUHT).
c. Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji fakultatif berupa :
1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka,
2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan
3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola obyek Hak Tanggungan
4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan
5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan
6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
7) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan

23
8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
9) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 11 Ayat (2)
UUHT).
2. Status tanah adalah tanah Hak guna Bangunan (HGB) atas nama penyelenggara
pembangunan, atau dengan perkataan lain penyelenggara pembangunan telah
memperoleh SHGB
3. Sertipikat tanah yang dijadikan jaminan hutang jangka waktunya lebih pendek dari
jangka waktu pemberian kredit
4. HGB atau Hak Pakai (HP) yang diperoleh atas dasar Hak Pengelolaan (HPL) instansi
pemerintah atau BUMN atau dengan perkataan lain HGB atau Hak Pakai diatas Hak
Pengelolaan

Dalam pembentukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, membebani


hak tanggunngan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama pemberi hak
tanggungan datang langsung untuk memberikannya di hadapan PPAT dengan
menandatangani langsung APHT, kedua membebani hak tanggungan dengan
menggunakan SKMHT sebagar dasar bertindak dalam pemberian hak tanggungan

BAB II
Daftar Pustaka

Harsono, Boedi, 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

Harsono, Budi, 2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
HS, H. Salim, 2011. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Cet. Ke-5. PT. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

24
Hutagalung, Arie S., 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005. Hak Tanggungan. Kencana Jakarta: Prenada
Media.
Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2000. Hukum Jaminan. Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro
Patrik, Purwahid, 1986. Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian. Semarang:
Badan Penerbit UNDIP.
Sjahdeini, Sutan Remy, 1999. Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan), Cet 1. Bandung; Penerbit Alumni
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 4 Tahun 1996.
Usman, Rachmadi, 2011. Hukum Kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Wiguna, Made Oka Cahyadi, 2017. e-journal: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak
Tanggungan. Bali Universitas Pendidikan Nasional

PEMBAGIAN TUGAS

1. Alif: Pendahuluan (Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode


Penelitian), Pengertian Hak Tanggungan dan Hapusnya Hak Tanggungan
2. Ria: Asas-Asas Hak Tanggungan dan Kesimpulan
3. Wibi: Objek dan Subjek Hak Tanggungan, Daftar Pustaka
4. Fathonah: Pembebanan Hak Tanggungan
5. Bondan: Surat Kuasa Pembebanan Hak Tanggungan

25
26

Anda mungkin juga menyukai