Anda di halaman 1dari 22

HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR

DALAM PERJANJIAN KREDIT

MAKALAH

MATA KULIAH: HUKUM JAMINAN

(DOSEN: LISDA APRILIANI SOBIRIN, S.H,.M.H)

KELOMPOK 3:

ADISTIYA NENDI YANI 442010113


ARUM KOMALA SARI 442010047
CUT YASMIN MONIKA 442010094
ELLA LAILATUNNAZAH 442010089
FIRDA JULIANA 442010121
ROSI PUTRI D.Y 442010064
VIVIAN DHEA SALSABILA 442010129

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS PELITA BANGSA

CIKARANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan dan rahmat nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini yangberjudul Hak Tanggungan Sebagai Perlindungan Hukum Bagi
Kreditur Dalam Perjanjian Kredit disusun guna melengkapi salah satu tugas dalam mata
kuliah “ Hukum Jaminan”. Pada kesempatan ini, kami juga ingin berterima kasih kepada
bapak Lisda Apriliani Sobirin, S.H,.M.H sehingga penulisan makalah ini dapat
diselesaikan. Demikian pula kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini kami masih
banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam segi substansi maupun tata bahasa. Namun,
kami tetap berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan
dengan harapan sebagai masukan dalam perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami
berikutnya. Untuk itu kami ucapkan terimakasih.

CIKARANG
22 JUNI 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.3. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
2.1. Pengertian Hak Tanggungan.........................................................................................3
2.2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan....................................................................................3
2.3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan............................................................................6
2.4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Telah Memberikan
Perlindungan Hukum Kepada Kreditur......................................................................9
2.5. Konsep Terhadap Norma Hukum Tentang UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah...............................................................................................................14
BAB III....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling penting dan strategis dalam penyaluran
kredit bank. Jaminan kebendaan jaminan (collateral) yang paling banyak diminta oleh bank
adalah berupa tanah karena secara ekonomi tanah mempunyai prospek yang menguntungkan.
Jaminan yang oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan
jaminan hak tanggungan. Perspektif tersebut didasari oleh adanya kemudahan dalam
mengidentifikasi obyek hak tanggungan, serta jelas dan pasti dalam eksekusinya. Perspektif
yang lain bahwa hutang yang dijamin dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu
dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan.
Dalam perkembangannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
maka semua benda yang berkaitan dengan utang atas tanah diatur dalam undang-undang ini.
Undang-Undang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT) yang diundangkan pada
tanggal 9 April 1996 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,
merupakan suatu kemajuan dalam pembangunan Hukum Agraria di Indonesia. Dengan
berlakunya undang-undang tersebut maka sejak saat itu segala hal yang berkaitan dengan hak
tanggungan atas tanah dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 4 Tahun 1996, Hal ini berarti
pula perintah Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria yang memerintahkan untuk
pembuatan Undang-Undang Hak Tanggungan telah terlaksana dengan adanya undang-
undang ini.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang
yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur
oleh KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah
sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyaraat untuk
mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan
melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan

1
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak
Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut : “Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.
Permasalahannya dalam jaminan atas tanah terkadang terjadi dalam keseharian seperti
ketika pihak kreditor akan mengambil jaminan atas tanah dari tangan debitor yang telah lalai
dalam melakukan kewajibannya, tetapi hak atas tanah jaminan tersebut tidak berada ditangan
debitor.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah telah memberikan perlindungan
hukum kepada kreditur?
2. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap kreditur ketika debitur
wanprestasi dalam suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui apakah UU Nomor 4 Tahun 1996 telah memberikan perlindungan hukum
kepada kreditur?
2. Mengetahui konsep perlindungan hukum terhadap kreditur ketika debitur wanprestasi
dalam suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan menurut Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hak Tanggungan


Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, adalah :
“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya.”
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat
diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan
utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.1

2.2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan

2.2.1. Ciri-Ciri Hak Tanggungan


Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat dan mampu memberikan
kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai dengan ciri-ciri sebagai berikut :2
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya
(kreditor tertentu). Dari definisi mengenai hak tanggungan sebagaimana dikemukakan
di atas, diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan

1
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group,
2005.
2
2 Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Penjelasan Umum Angka 3

3
kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”, dapat
dijumpai dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, yaitu : “Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditor pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum,
menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditor-kreditor lain” Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan
istilah droit de preference.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada,
sehingga hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu
beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut droit de suite
memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh
pelunasan dari hasil penjualan atas tanah -penguasaan fisikatau Hak Atas Tanah -
penguasaan yuridis, yang menjadi objek hak tanggungan bila debitor wanprestasi,
sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan itu dijual
oleh pemiliknya atau pemberi hak tanggungan kepada pihak ketiga.3
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan. Asas
spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan pada saat
pendaftaran pemberian hak tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut
merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya
hak tanggungan terhadap pihak ketiga.4
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Keistimewaan lain dari hak tanggungan
yaitu bahwa hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti
pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitor wanprestasi tidak perlu ditempuh cara
gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditor pemegang hak

3
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi
oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan (Bandung : Alumni, 1999).
4
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., ps. 13 Ayat (1)

4
tanggungan disediakan cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2.2.2. Sifat Hak Tanggungan


Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai beberapa sifat,
seperti:
1. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak tanggungan membebani
secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya5. Pelunasan sebagian utang yang dijamin
tidak membebaskan sebagian objek dari beban hak tanggungan. Hak tanggungan yang
bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.6
Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan, ketentuan tersebut
ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam hal suatu proyek perumahan atau rumah
susun ingin diadakan pemisahan. Apabila tanahnya dibebankan hak tanggungan, ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau
satuan rumah susun yang telah dibangun tersebut.
Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah membuka kesempatan untuk menyimpangi sifat
tersebut, jika hak tanggungan dibebankan pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan
utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masingmasing Hak Atas Tanah
yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak
tanggungan tersebut. Dengan demikian hak tanggungan hanya akan membebani sisa objek
untuk sisa hutang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, maka harus diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.7
2. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.
Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunsaan hutang debitor kepada kreditor,
oleh karena itu hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir pada suatu perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Kelahiran,
eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya hak tanggungan dengan sendirinya
5
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 Ayat (1)
6
Boedi Harsono, Op.Cit., hal.420.
7
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Pasal 2 Ayat (2)

5
ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu
piutang tertentu yang secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan
ada hak tanggungan.8

2.3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan

2.3.1. Objek Hak Tanggungan


Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa yang menjadi
Objek Hak Tanggungan adalah :
1. Hak milik.
2. Hak guna usaha.
3. Hak guna bangunan.
4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak
tanggungan.9
Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak tanggungan merupakan
bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa
hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, sebagaimana yang disebut diatas,
adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.10
Disamping itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah berbunyi:
“Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang telah ada dan yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan
8
Boedi Harsono, Op.Cit., hal.423.
9
Di dalam Penjelasan dikatakan, bahwa sekalipun dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditentukan, bahwa untuk memindahtangankan hak pakai atas
tanah negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang, namun menurut sifatnya hak pakai itu memuat hak
untuk memindah tangankan kepada pihak lain. Izin yang diperlukan hanyalah berkaitan dengan persyaratan
apakah penerima hak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak pakai.

10
Di dalam penjelasan atas Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ditegaskan, bahwa memang yang dimaksud
adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.

6
tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan
tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.
” Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan
dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat
“merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa
penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah”, dari cara penyebutan
mana kita tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak
tanggungan kalau tanah diatas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil
karya itu berada juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa
dijaminkan dengan Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.11
Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut” mengingatkan kita
pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan “dengan akar tertancap dalam
tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya
menganut asas pemisahan horisontal, namun disini disyaratkan harus merupakan satu-
kesatuan dengan tanahnya.12 Kalau kita biasa membayangkan apa yang menjadi satu-kesatuan
dengan tanah adalah apa yang berada di atas tanah, maka menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di
permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan,
atau bagian dari bangunan, yang ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah
yang ada diatasnya. Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk di dalamnya.

2.3.2. Subjek Hak Tanggungan


Subjek Hak Tanggungan adalah:
1. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang
bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak

11
J. Satrio. Op.Cit., hal.275.
12
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5

7
tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan
pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.13
Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam
pemberian hak tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang
bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum -vide
Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu
pemberi hak tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan
tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.
Selanjutnya syarat, bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk
mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang
namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden,
padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan -bukan pengurusan, yang
tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah
pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda
jaminan.
Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran hak
tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jadi, tidak
tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan hak tanggungan pada saat benda yang akan
dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran hak tanggungan, benda
jaminan telah menjadi milik pemberi hak tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-
undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang
masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditor.
Praktiknya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor
Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditor merupakan orang
perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima hak

13
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op.Cit., Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2).

8
tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik renternir,
yang menyalahgunakan peraturan hak tanggungan ini.14
2. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.15Penerima hak tanggungan, yang sesudah
pemasangan hak tanggungan akan menjadi pemegang hak tanggungan, yang adalah juga
kreditor dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini
tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang hak tanggungan
memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitor
wanprestasi, memiliki persil jaminan.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah disebutkan bahwa yang dapat
bertindak sebagai pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum,
yang berkedudukan sebagai kreditor. Menentukan siapa yang bisa menjadi pemegang hak
tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisa bertindak sebagai pemberi hak
tanggungan. Karena seorang pemeganghak tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan
tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek hak tanggungan
bahkan memperjanjikan. Bahwa objek hak tanggungan akan menjadi milik pemegang hak
tanggungan, kalau debitor wanprestasi adalah batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2.4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Telah Memberikan Perlindungan
Hukum Kepada Kreditur.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dijelaskan
bahwa perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang yang dijamin pelunasannya
dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu baik berupa akta dibawah tangan maupun akta
autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Bentuk
perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak kreditur menurut ketentuan dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan ini terdapat dalam bentuk perjanjian kredit itu sendiri.
14
H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama (Jakarta : Penerbit Cv
Trisula, 1997) hal. 22.
15
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Pasal 9 Ayat (1).

9
Perjanjian kredit ini berfungsi sebagai alat bukti serta memberikan batasan mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Agar perjanjian kredit dapat menjamin pelunasan
hutang kreditur, maka harus dilakukan proses pengikatan jaminan dengan klausul pemberian
Hak Tanggungan apabila benda yang dijaminkan berupa benda tetap yaitu hak atas tanah.
Hak atas tanah ini banyak dijadikan sebagai jaminan karena pada umumnya memiliki nilai
atau harga yang cenderung meningkat tiap tahunnya.
Setelah dilakukan proses pengikatan jaminan dengan klausul pemberian Hak
Tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang berisikan janji-janji yang melindungi kreditur, maka agar
Perjanjian kredit dapat menjamin pelunasan piutang kreditur perlu dilakukan proses
pembebanan Hak Tanggungan dalam bentuk Akta Hak yang dilakukan melalui 2 (dua) tahap
yaitu melalui proses pendaftaran dan penerbitan Hak Tanggungan dalam bentuk Sertifikat
Hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah yang berkekuatan
eksekutorial sebagai dasar atau landasan pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji di
kemudian hari.
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur ketika debitur wanprestasi
menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdapat dalam bentuk perjanjian
kredit itu sendiri yang tertuang dalam bentuk tertulis, yaitu baik berupa akta di bawah tangan
maupun akta autentik. Menurut penulis, bahwa yang lebih menjamin hak kreditur dalam
memperoleh kembali piutangnya ketika debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit
dengan akta autentik. Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse
Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar untuk
pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji. Akan tetapi, berdasarkan Penjelasan Umum
Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, telah
diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai pengganti Grosse Akta Pengakuan Hutang
yang memiliki fungsi yang sama.
Akta autentik ini dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang yaitu
notaris melalui proses pengikatan perjanjian kredit dengan jaminan pemberian Hak
Tanggungan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memuat janji-janji guna menjamin hak
kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya dan membatasi kewenangan debitur, dan
dilakukan tahap berikutnya yaitu proses pembebanan Hak Tanggungan melalui tahap
pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan dan sebagai Bukti adanya Hak

10
Tanggungan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dimana sertifikat ini
menjadi landasan atau dasar pelaksanaan eksekusi apabila debitur mengingkari untuk
melunasi hutangnya di kemudian hari.
Salah satu ciri-ciri Hak Tanggungan yaitu sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang
kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Berdasarkan Penjelasan Umum
angka 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa walaupun secara umum ketentuan
tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu
untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu mengatur tentang lembaga parate eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 256 Rbg.
Pelaksanaan eksekusi atas objek Hak Tanggungan ini merupakan salah satu wujud
perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak kreditur apabila debitur wanprestasi.
Eksekusi berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Parate Executie atau Lelang tanpa melalui Pengadilan. Ketentuan dalam Pasal 6 Undang-
Undang ini berbunyi : “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Melekatnya Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri yang berpedoman pada
Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu :
a. Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan
salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan atau hak preference yang
dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan pertama, apabila terdapat lebih dari satu
pemegang Hak Tanggungan.
b. Hak menjual atas kekuasaan sendiri baru akan melekat apabila:
1.) Diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, atau
didasarkan “janji” atau “klausul” yang diberikan debitur kepada kreditur,
bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan
umum tanpa persetujuan pemberi Hak Tanggungan atau tanpa meminta
penetapan Ketua Pengadilan Negeri, tetapi dapat langsung memintakan lelang
kepada Kantor Penjualan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

11
2.) Syarat menjual atas kekuasaan sendiri hanya boleh dilakukan pemegang Hak
Tanggungan “pertama”, sedangkan pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga,
dan seterusnya tidak boleh.
c. Dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan, maka:
1.) Seorang kreditur berhak mengambil pelunasan atas seluruh utang dari hasil
penjualan lebih dahulu, dengan jalan mengesampingkan kreditur lain.
2.) Jika masih ada sisa dari hasil penjualan tersebut, maka menjadi hak pemberi
tanggungan (debitur).
Pasal 6 tidak hanya mengatur Lembaga Parate Eksekusi, tetapi juga Menjual Atas Kuasa
Sendiri (Eigenmachtige Verkoop). Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996, terdapat karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri
(eigenmachtige verkoop), namun penerapannya sebagai berikut :
1. Pelaksanaan parate eksekusi tunduk pada Pasal 224 HIR dan Pasal 256 Rbg, dan apabila
tidak diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka :
a. Dilakukan melalui penjualan lelang dengan meminta kepada Ketua Pengadilan
Negeri.
b. Permintaan berdasarkan alasan cidera janji. Apa yang dimaksud dengan cidera janji
tidak diatur dalam Pasal 6, sehingga ketentuannya merujuk pada ketentuan Pasal
1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan Pasal ini mengandung
kerancuan jika dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 6, bahwa Pasal 6 memberikan
kuasa kepada pemegang Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, tetapi
ditegaskan dalam penjelasan tersebut bahwa kuasa menjual sendiri baru melekat
apabila diperjanjikan, sehingga rumusan Pasal ini seolah bersifat ipso jure (by law)
diberikan undang-undang kepada pemegang Hak Tanggungan, namun berdasarkan
penjelasan tersebut pula, tidak bersifat ipso jure, tetapi harus berdasarkan
kesepakatan.16
2. Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Eksekusi atau
Lelang melalui Pengadilan atas Sertifikat Hak Tanggungan. Ketentuan dalam Pasal 14
ini berbunyi : Ayat (1) : “Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor
Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Ayat (2) : “Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN

16
M. Yahya Harahap, 2009, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 197.

12
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Ayat (3) : “Sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang menangani hak atas tanah”.
Adapun prosedur pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui Ketua Pengadilan
Negeri adalah :
a. Kreditur (Pemegang Hak Tanggungan) mengajukan permohonan eksekusi kepada
Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan bukti berupa : Surat Perjanjian
Kredit, Sertifikat Hak Tanggungan, Peringatan (somasi), Perincian utang debitur
dan surat-surat lain.
b. Panggilan (Aanmaning) atau teguran kepada debitur supaya memenuhi
kewajibannya.
c. Penetapan Ketua Pengadilan Negri untuk mengadakan sita eksekusi.
d. Penjualan lelang melalui Kantor Penjualan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL).
e. Kantor Penjualan Kekayaan Negara (KPKNL) menyerahkan hasilnya kepada
kreditur, dan apabila terdapat sisa maka akan diberikan kepada debitur.
Irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan ayat
ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, siap untuk dieksekusi
seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan
Hukum Acara Perdata.
Sertifikat Hak Tanggungan selain berfungsi sebagai tanda bukti adanya Hak
Tanggungan, juga berguna sebagai dasar pelaksanaan eksekusi apabila debitur cidera janji,
sehingga kreditur pemegang Hak Tanggungan (pertama) dapat melakukan penjualan objek
Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan
objek Hak Tanggungan tersebut yang diharapkan memperoleh harga tertinggi dalam lelalng;
Melalui titel eksekutorial, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak perbankan diberikan hak
untuk melelang tanpa melalui prosedur yang rumit, yaitu dengan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyerahkan bukti bahwa debitur ingkar janji serta
cukup menyerahkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaan eksekusi, serta
dengan syarat bahwa piutang yang dibebani Hak Tanggungan sudah matang untuk ditagih.

13
2. Penjualan objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum yang dilakukan
berdasarkan eksekusi yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri atau oleh Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) atau Kantor Penjualan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL), apabila tidak cukup untuk melunasi utang debitur, maka sisa utang tersebut
dapat ditagih oleh kreditur dengan mengajukan gugatan terhadap debitur melalui
Pengadilan Negeri sekaligus meminta agar harta debitur disita dengan sita jaminan, dan
agar penyitaan tersebut dimohonkan dinyatakan sah dan berharga. Dapat juga disertakan
dalam petitum agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun
debitur melakukan verzet, banding atau kasasi. Dalam hal debitur ternyata jatuh miskin
setelah tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu dilelang, maka sisa utang itu
masih dapat ditagih dalam waktu 30 tahun.17
Berdasarkan Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa Sertifikat Hak Tanggungan berlaku dan berfungsi
sebagai pengganti grosse acte hypotheek atau grosse akta pengakuan hutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg. Sertifikat Hak Tanggungan merupakan
salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang
dijahit dalam satu dokumen, kemudian diserahkan kepada Pemegang Hak Tanggungan.
Bahwa pihak perbankan tidak memerlukan lagi grosse akta pengakuan hutang sebagai dasar
pelaksanaan eksekusi bila debitur cidera janji. Tetapi cukup dengan menggunakan Sertifikat
Hak Tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial untuk mengeksekusi Hak
Tanggungan.

2.5. Konsep Terhadap Norma Hukum Tentang UndangUndang Nomor 4 Tahun


1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.

2.5.1. Kedudukuan Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak


Tanggungan
Pasal 1 angka 1 : Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada
pemegang Hak Tanggungan (droit de preference). Undang-Undang Hak Tanggungan
menyebutkan bahwa pengertian Hak Tanggungan : “Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah
17
Retnowulan Sutantio, 1999, Penelitian tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, BPHN, Jakarta,
hlm. 12

14
hak atas tanah Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain”.
Ketentuan dalam pasal tersebut mengandung makna bahwa apabila debitur cidera janji,
maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan
yang menjadi jaminan pelunasan piutang melalui pelelangan umum menurut ketentuan
perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada krediturkreditur
lain, dimana kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-piutang
negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Hak kreditur yang didahulukan (preference)
merupakan hak tagihan yang oleh undang-undang digolongkan dalam hak istimewa
(privilege), dan tagihannya disebut sebagai tagihan yang didahulukan atau tagihan preference,
sedangkan krediturnya disebut kreditur preference.

2.5.2. Kelemahan Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Dalam proses pemberian kredit yang dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur kepada
debitur, kemungkinan terjadi resiko seperti kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan
hutang oleh debitur sangatlah besar. Sehingga diperlukan jaminan kebendaan yang
dipersyaratkan oleh bank kepada debitur gunan menjamin pelunasan kredit tersebut. Jaminan
yang paling banyak digunakan adalah hak atas tanah, karena nilai atau harganya yang
cenderung meningkat. Lembaga jaminan yang dianggap efektif dan aman oleh lembaga
perbankan adalah Hak Tanggungan, hal ini disebabkan karena mudah dalam mengidentifikasi
objek Hak Tanggungan serta jelas dan mudah dalam pelaksanaan eksekusinya, serta harus
dibayar lebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan objek Hak
Tanggungan, dan sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial.
Perlindungan hukum diberikan kepada kreditur melalui UndangUndang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah yang mulai berlaku tanggal 9 April 1996. Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-Janji yang
tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dimana semua janji yang tercantum
dalam Pasal ini tidak mutlak seluruhnya memberikan perlindungan hukum terhadap kreditur,
tetapi hanya sebagian janji saja yang sungguh memberikan perlindungan bagi kreditur apabila
debitur wanprestasi. Adapun kelemahan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah:

15
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek
Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau
menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk
atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguhsungguh
cidera janji.
4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi
objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-
undang.
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk untuk menjual
atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji.
6. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak
Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila
objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut
haknya untuk kepentingan umum.
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
objek Hak Tanggungan diasuransikan.
9. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan
pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) ini memuat janji-janji yang tercantum dalam suatu
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dimana janji-janji tersebut merupakan wujud
perlindungan hukum bagi pemegang Hak Tanggungan (kreditur), khususnya ketika debitur
wanprestasi atau cidera janji. Perlindungan hukum tersebut berupa adanya janji yang
membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan (debitur) untuk tidak melakukan tindakan

16
yang merugikan pemegang Hak Tanggungan (kreditur) atau janji yang harus dilakukan
apabila debitur wanprestasi, serta adanya janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan hal tertentu.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah telah memberikan perlindungan hukum kepada kreditur
dijelaskan bahwa perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang dijamin
pelunasannya dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu baik berupa akta dibawah tangan
maupun akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu.
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak kreditur menurut ketentuan dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan ini terdapat dalam bentuk perjanjian kredit itu sendiri.
Agar perjanjian kredit dapat menjamin pelunasan hutang kreditur, maka harus dilakukan
proses pengikatan jaminan dengan klausul pemberian Hak Tanggungan apabila benda yang
dijaminkan berupa benda tetap yaitu hak atas tanah. Hak atas tanah ini banyak dijadikan
sebagai jaminan karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang cenderung meningkat
tiap tahunnya.
Konsep terhadap norma hukum tentang undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak
tanggungan atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah. Kedudukuan
kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan adalah memberikan
kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan (droit de
preference).

17
Kelemahan Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah adalah pada Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-
Janji yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dimana semua janji yang
tercantum dalam Pasal ini tidak mutlak seluruhnya memberikan perlindungan hukum
terhadap kreditur, tetapi hanya sebagian janji saja yang sungguh memberikan perlindungan
bagi kreditur apabila debitur wanprestasi.
3.2. Saran
Adanya pembaharuan terhadap peraturan perundangundangan, khususnya ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Serta Lebih memberikan kedudukuan kepada
pemegang Hak Tanggungan (droit de preference) yakni hak tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan juga memberikan perlindungan hukum
terhadap kreditur apabila debitur wanprestasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://suduthukum.com/2017/06/ciri-dan-sifat-hak-tanggungan-2.html
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1996/4TAHUN~1996UUPenj.htm
M. Yahya Harahap, 2009, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Sinar
Grafika; Jakarta.
Maria. S.W Sumardjono, Prinsip Dasar dan Beberapa Isu Di Seputar Undang-Undang Hak
Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. 16 R.
Subekti, ed, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet XXI, Intermasa: Jakarta, 1987.
Retnowulan Sutantio, 1999, Penelitian tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,
BPHN, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang
Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan (Bandung :
Alumni, 1999).
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Cet, 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
1997.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

19

Anda mungkin juga menyukai