Anda di halaman 1dari 17

Nama : Okta Fitrianti

NIM : 042384117

JUDUL KARYA ILMIAH

ANALISIS YURIDIS UPAYA HUKUM TERHADAP SENGKETA DALAM


PENGALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kedudukan Sertifikat Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan peraturan

Perundang-Undangan?

2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga selaku pembeli agar tidak

terjadinya pelelangan atas tanah yang menjadi objek sengketa?

KERANGKA KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN :

Latar Belakang

Rumusan Masalah

BAB II METODE PENELITIAN

BAB III HASIL PEMBAHASAN :

Jalur Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dengan Adanya Kasus


Jalur Penyelesaian Sengketa Pengalihan Hak Milik Atas Tanah
Melalui Perjanjian Jual Beli Atas Tanah Yang Sedang Dibebani Hak
Tanggungan

BAB IV PENUTUP :

Kesimpulan
Saran atau Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

Rangkuman Buku :

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016

Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh

lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, karena pada umumnya tanah mudah

dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat

dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.

Hak tanggungan itu sendiri menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UU No. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanag Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah,

adalah :

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak

Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulukan,

dengan objek (jaminan)nya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. hak

tanggungan ini lahir dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir, yang mengikuti perikatan

pokoknya, dimana perikatan pokok tersebut ialah perjanjian hutang-piutang yang

kemudian berdasarkan hal tersebut menjadi dasar bagi lahirnya hak tanggungan.

Namun dalam perkembangannya, sering kali tanah yang masih berada dalam hak

tanggungan menjadi objek jual beli antara pemilik tanah dengan pihak ketiga sehingga
akibat hukumnya ialah adanya peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Pada

dasarnya ketentuan tentang hal tersebut memiliki pengaturan dalam Undang-Undang Hak

Tanggungan (UUHT), dalam pasal 16 ayat (1) UUHT dikatakan bawa “jika piutang yang

dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-

sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang

baru”.

Rangkuman Buku :

St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang

Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni,

Bandung, 2019

Terkait dengan hak tanggungan yang di alihkan akibat adanya jual beli, berdasarkan

pasal 16 ayat (1) UUHT tersebut maka hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi,

yakni cessie atau subrogasi. Meskipun pada dasarnya kemungkinan lain bisa saja terjadi

karena pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut termasuk dalam ranah perdata yang

memiliki sifat yang terbuka. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) ini yang dimaksud dengan

cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang hak

tanggungan kepada pihak lain, sedangkan subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak

ketiga yang melunasi utang debitor. Senada dengan ketentuan tersebut, berdasarkan pada

Pasal 1533 KUH Perdata menentukan bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala

sesuatu yang melekat padanya, sepertinya penanggungan-penanggungan, hak istimewa

dan hak tanggungan-tanggungan.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pengalihan hak tanggungan tersebut pada

dasarnya sangat ideal dan tidak memiliki kemungkinan akan terjadinya permasalahan

hukum apabila dilakukan dengan tepat, beritikad baik, dan sesui dengan prosedural
hukumnya. Namun akan menjadi sengketa apabila di satu sisi pihak ke tiga yang pada

dasarnya memiliki itikad baik dalam pembelian tanah yang dimiliki kreditur, akan tetapi

debitur tidak menyerahkan uang hasil pembelian tanah tersebut sebagai pelunasan hutang

dengan kreditur yang dalam hal ini bank, agar tanah tersebut terlepas dari hak tanggungan

dalam kasus ini dianggap bahwa perjanjian jual beli tanah antara penjual dan pembeli

hanya dilakukan dengan perjanjian di bawah tangan dan dengan kuitansi sebagai bukti

pembayaran tetapi pihak penjual belum memberikan sertifikat tanah kepada pembeli.

Dan disisi lain pihak bank selaku kreditor yang mana telah melakukan upaya-upaya

guna menyelamatkan kredit tetapi tidak diindahkan debitur, yang kemudian berujung pada

keputusan bank untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut dengan melakukan

pelelangan. Kemudian mengetahui hal tersebut, pihak ke tiga selaku pembeli tanah

melaporkan kepada kepolisian terkait penggelepan yang dilakukan pihak penjual dan

mengkonfirmasi kepada bank terkait kasus tersebut. Dan pihak ketiga tetap menginginkan

tanah tersebut dan meminta kepada Bank untuk tidak melelangnya.

Rangkuman Buku :

Kartini Muljadi, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2018

Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang

diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan

kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan

debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak

penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepada bank (kreditur) yang nilainya
sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Adanya jaminan tersebut akan memberikan

kepastian kepada bank dalam memperoleh kembali kredit yang diberika kepada debitur.

Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga

sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan memperhatikan aspek

hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak bank

agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada masyarakat dapat

dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Maka dengan

adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat

mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak

dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam

perjanjian kredit ini bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur (orang yang

meminjam uang atau yang menerima kredit) akan dibayar lunas. Apabila di kemudian hari

debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan

perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang

bersangkutan.

Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah mengembalikan pinjaman

dengan tepat waktu, di dalam permohonan kredit , bank perlu mengkaji permohonan kredit

berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent banking), yaitu antara lain :

1. Character (Kepribadian)

2. Capacity (Kemampuan)

3. Capital (Modal)

4. Colleteral (Jaminan)

5. Condition of Economy (kondisi Ekonomi)


Selain itu pelaksanaan prinsip yang dicantumkan di atas, pengkajian bank terhadap

permohonan kredit juga tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat

mengamankan dan melindungi kepentingannya. Prinsip kehati-hatian tersebut penting

untuk diterapkan oleh pihak bank. Unsur collateral (jaminan) merupakan salah satu unsur

penting yang harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam pengajuan perjanjian

kredit.Berkaitan dengan hal melayani anggota masyarakat yang memerlukan dana bank,

masing-masing bank mempunyai berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan

kebijakannya. Skim kredit yang ditawarkan bank kepada masyarakat memuat persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit yang diatur dalam skim kredit

tersebut.

Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum kepada

kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan

bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum

serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU

Hak Tanggungan menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam

tangan siapapun obyek tersebut berada”. Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan

menunjukkan hak yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UU Hak

Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun

obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih

tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi.


Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai

pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang

dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya

kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera

janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga

parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3)

berikut penjelasan Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah).

Rangkuman Buku :

Mariam Darus Badrulzaman, Kimpilasi Hukum Jaminan Buku II, Mandar Maju, Jakarta, 2017

Terkait dengan kasus yang telah di jabarkan dalam latar belakang, pada dasarnya

apabila terjadi pengalihan hak milik atas tanah yang dilakukan dengan membuat perjanjian

jual beli, maka dalam hal peralihan hak milik tersebut maka ketentuan sebagaimana diatur

dalam Pasal 613 dan Pasal 616 KUHPerdata perlu untuk dilaksanakan. Ketentuan Pasal

613 menyatakan bahwa :

“Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya,
dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta autentik atau di bawah tangan, dengan nama
hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu
diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.
Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan
surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.”

Kemudian dalam ketentuan Pasal 616 menyebutkan :

“Penyerahan atau penunjukan barang tak gerak dilakukan dengan pengunguman akta yang
bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620.”
Rangkuman Buku :

Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Hak Atas Tanah Dan Peralihannya, Liberty Yogyakarta,

Yogyakarta, 2017.

Perlu diingat bahwa hak milik atas barang yang dijual belum dikatakan berpindah

kepada pembeli barang selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 613 dan

616 KUH Perdata. Dalam Pasal 613 dan 616 KUHPerdata menjelaskan penyerahan hak

milik tersebut kepada pihak pembeli yang mana hanya dapat dilakukan dengan cara :

1. Bagi piutang atas nama, penyerahan hak milik dari kebendaan tersebut dilakukan

dengan cara membuat akta autentik atau akta di bawah tangan, yang disebut dengan

cessie, antara penjual dan pembeli. Dengan dibuatnya akta cessie tersebut, maka demi

hukum hak milik dari kebendaan bergerak berupa piutang atas nama dan kebendaan

tidak bertubuh lainnya beralih dari penjual kepada pembeli.

Selanjutnya oleh karena piutang adalah hak tagih, yang merupakan tuntutan terhadap

debitor, maka peralihan hak milik atas piutang tersebut hanya mempunyai akibat

terhadap debitor jika pengalihan tersebut telah diberitahukan kepada debitor, atau

secara tertulis telah disetujui atau diakui oleh debitor;

2. Terhadap piutang-piutang atas tunjuk penyerahannya dilakukan dengan cara

endosemen dan penyerahan piutang itu sendiri;

3. Sedangkan terhadap piutang kepada pembawa yang menurut ketentuan pasal 1977

ayat (1) KUH Perdata dipersamakan dengan kebendaan bergerak yang terwujud, maka

penyerahannya dilakukan denan penyerahan nyata surat-surat piutang tesebut.

Dalam kasus tersebut di atas diketahui bahwa pihak pembeli hanya melakukan

perjanjian jual beli atas tanah dengan perjanjian di bawah tangan dan dengan bukti
pembayaran berupa kuitansi. Sehingga dengan perjanjian jual beli hak atas tanah yang

dibuat hanya dalam bentuk perjanjian di bawah tangan akan berakibat tidak dimilikinya

kepastian hukum mengenai status kepemilikan tanah bagi pihak pembeli. Selain itu jika

perjanjian jual beli hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan dihadapkan dengan

sertifikat hak tanggungan yang dimiliki oleh bank, maka perjanjian jual beli tersebut tidak

memiliki kekuatan hukum sebagai pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Hal inilah yang

kemudian menimbulkan peluang adanya sengketa dalam hal apabila pihak penjual selaku

debitor beritikad tidak baik.

Itikad tidak baik pihak penjual ialah tidak menyerahkan uang hasil penjualan tanah

untuk melunasi hutang dengan debitor agar hak tanggungan atas tanah milik kreditor

menjadi hapus. Memang dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa :

“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tangungan, penjualan obyek hak tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertingi yang menguntungkan semua pihak.”

Namun perlu diingat, meskipun penjualan atas obyek hak tanggungan yang dalam hal

ini hak atas tanah oleh penjual atau debitor selaku penjual dan pihak ke tiga selaku pembeli

tetapi harus tetap mendapatkan kesepakatan dari kreditor selaku bank selaku pemegang hak

tanggungan.

Sehingga dengan demikian terbangun komunikasi yang baik antara pihak kreditor,

debitor, dan pihak ke tiga dan kemungkinan terjadinya sengketa menjadi kecil. Indicator

dalam sengketa kasus tersebut ialah pertama, perjanjian jual beli hak atas tanah dilakukan

dengan perjanjian dibawah tangan tanpa adanya kesepakatan dengan bank selaku pemberi

hak tanggungan, kedua pihak penjual selaku debitor beritikad tidak baik dengan tidak

menyerahkan uang hasil penjualan untuk melunasi hutang dengan kreditor yang memegang

hak tanggungan atas objek jual-beli tersebut akibatnya kreditor beranggapan pihak debitor
cidera janji, ketiga, meskipun pihak bank telah melakukan upaya-upaya guna

menyelamatkan kredit tetapi tidak diindahkan debitur, yang kemudian berujung pada

keputusan bank untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut dengan melakukan

pelelangan. Dalam kasus tersebut jelas bahwa pihak debitor dapat dikatakan melakukan

tindak pidana penggelapan, namun yang jadi permasalahan, upaya hukum apa yang harus

ditempuh oleh pihak ke tiga selaku pembeli tanah agar tanah tersebut tidak di lelang oleh

pihak bank selaku kreditor.

Dalam ketentuan perdata upaya hukum yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa

keperdataan dapat dilakukan dengan dua cara yakni, dengan litidasi atau non litidasi.

Namun penyelasaian sengketa yang akan di bahas dalam penulisan ini ialah penyelesaian

sengketa dengan jalur non litigasi yaitu proses pengeksekusian objek jaminan pada tahap

negosiasi. Berdasarkan kasus tersebut tedapat suatu hambatan pengeksekusian terhadap

objek hak tanggungan dikarenakan debitur yang wanprestasi menjual objek jaminan

kepada pihak lain dan pihak lain yang merasa telah membayar lunas tanah dan rumah

tersebut tetap ingin mempertahankannya. Tindakan pengeksekusian yang dilakukan oleh

bank adalah dengan jalur non litigasi yaitu secara negosiasi terlebih dahulu. Dengan

demikian konsekuensi dari pembelian tanah dan rumah yang statusnya masih terbebani hak

tanggungan dengan cara hanya membuat perjanjian di bawah tangan walaupun pembelian

tersebut telah dilakukan secara lunas, menyebabkan tidak dimilikinya kepastian akan status

kepemilikan tanah dan rumah tersebut bagi pihak pembeli, dikarenakan bukti kepemilikan

hak atas tanah masih terbebani hak tanggungan pada kreditur (bank).

Konsekuensi hukum mengenai hal tersebut adalah berdasarkan Pasal 6 UU Hak

Tanggungan, yaitu bank berhak untuk mengeksekusi jaminan tersebut apabila debitur tidak
membayar hutangnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Hak tanggungan pada

dasarnya bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang hak tanggungan

kepada debitor. Apabila debitor wanprestasi, tanah (hak atas tanah) yang dibebani hak

tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan tanpa persetujuan dari

pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan

atas penjualan tersebut.

Untuk melaksanakan eksekusi tidak hanya diperlukan adanya wanprestasi dari debitor,

tetapi juga diperlukan satu syarat lain, yaitu utang yang dijamin dengan hak tanggungan itu

sudah dapat ditagih (opeisbaar). Sifat dapat ditagunya utang dapat terjadi tidak semata-

mata, karena jangka perjanjian utang yang dijamin dengan pemberian hak tanggungan

sudah jatuh tempo dan debitor tidak melunasi utang, akan tetapi juga karena utang itu

sudah dapat ditagih. Dapat ditagihnya utang itu dapat didasarkan pada UU, seperti yang

diatur dalam Pasal 1271 KUH Perdata dan dapat juga diperjanjikan (opeisbaarbeding) di

dalam akte hak tanggungan, misalnya karena debitor lalai membayar bunga.

Sertifikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat irah-

irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sertifikat

hak tanggungan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti

Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.Kekuatan eksekutorial

sertifikat hak tanggungan didasari dengan adanya irah-irah yang dicantumkan pada

sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi

seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan.


Akan tetapi apabila pihak lain sebagai pembeli tanah dan rumah ingin menyelamatkan

tanah dan rumah yang telah dibeli secara lunas agar tidak dieksekusi bank, pihak pembeli

dapat membayar lunas hutang debitur sehingga hak tanggungan akan hapus dengan

hapusnya hutang tersebut (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan). Dari ketentuan

Pasal 18 ayat (1) UUHT huruf a tersebut, dapat diketahui bahwa hak tanggungan dapat

sengaja dihapuskan.

Mengenai pihak lain yang turut andil dalam pembayaran hutang debitur diatur dalam

ketentuan Pasal 1382 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perikatan bahkan

dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal

saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang,

atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si

berpiutang”.

Pada dasarnya kedudukan pihak ketiga selaku pembeli, untuk mempertahankan tanah

tersebut sangat lemah. Bila dicermati, pihak ke tiga tersebut harus melunasi hutang debitor

kepada kreditor agar hapusnya hak tanggungan. Namun jika negosiasi dapat dilakukan

dengan baik melalui pendekatan secara persuasive (kekeluargaan) mungkin dapat

disepakati berbagai hal yang mungkin saja mengurangi beban dari pihak ketiga selaku

pembeli dalam mempertahankan tanah tersebut.


1) Rangkuman Jurnal : Jual Beli Tanah Yang Bersertifikat Dijaminkan Hutang Menurut Uu No
5 Tahun 1960 Oleh Ade Dwi Aprilia,Agus Supriyo, Madani Legal Review Vol. 6 No. 2
Desember 2022

Jual beli tanah , yaitu dimana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga
tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepa pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini
bersifat tunai, terang dan rill. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 26 ayat (1)
Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, ayat (2) Setiap jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain. 2. Tata cara jual beli
tanah memiliki 2 syarat yaitu formil dan materiil. Untuk yang materiil berhubungan dengan
penjual, pembeli, dan objek peralihan hak. Untuk yang formil berhubungan dengan pengalihan
hak yang dilakukan dihadapan PPAT. 3. Perlindungan hukum dalam jual beli tanah menurut
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Dalam jual beli tanah suatu pemindahan
hak atas tanah harus bersifat terang dan tunai. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan
hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin
harga dibayar secara kontan, atau dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli
tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah,
akan tetapi atas dasar hukum utang piutang. Terkait mengenai hal tersebut tidak dapat diberikan
perlindungan hukum kepada si pembeli jika transaksi belum selesai dilakukan dengan tunai, dan
peralihan hak belum dinyatakan sah apabila belum dilakukan di hadapan pejabat pembuat akta
tanah.

2) Rangkuman Jurnal : Upaya Hukum Cessionaris Terhadap Hak Tagih Atas Jaminan Hak
Tanggungan Berdasarkan Pengalihan Hutang (Cessie) Oleh Diana Fitriana,Abdul
Wahid,Urip Dan Giyono, Lex Jurnalica Volume 18 Nomor 3, Desember 2021
Upaya hukum upaya hukum cessionaris terhadap hak tagih atas jaminan hak tanggungan
berdasarkan pengalihan hutang (cessie) adalah mengajukan gugatan wanprestasi atau ingkar janji
atas perjanjian kredit pada Pengadilan Negeri, dengan dasar pertimbangan, yaitu a)
Kewajibannya Perikatan sebagai sumber prestasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Perikatan yang
bersumber pada undangundang dan Perikatan yang bersumber pada perjanjian; b) Dengan
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yaitu: 1) Adanya kesepakatan para pihak; 2) Adanya
kecakapan untuk membuat perjanjian; 3) Adanya hal tertentu; 4) Sebab yang halal. Dan
Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak merupakan undang-undang bagi mereka; c)
Perjanjian Pengalihan Piutang (Cessie) tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan aturan dan
prosedur yang benar, sehingga cessie tersebut sah dan mempunyai akibat kepada debitur; d)
Kreditur baru harus melakukan pemberitahuan mengenai Cessie dan melakukan penagihan
kepada Debitur; e) Setiap Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang
diharapkan atau sedianya dapat diduga pada waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak
dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya; f) Dengan tidak
dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian
dan bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan hanya
mencakup halhal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu; g)
Apabilah pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa pihak yang
lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Pembeli cessie harus mengajukan
permohonan ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu, agar dari ketetapan Pengadilan Negeri
tersebut dapat menjadi dasar peralihan nama (didalam penetapannya, Pengadilan Negeri
memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dapat mengalihkan nama yang tertulis
di sertifikat menjadi nama pembeli cessie.

3) Rangkuman Jurnal : Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia
Oleh Jatmiko Winarno, Jurnal Independent Fakultas Hukum Volume 23 Nomor 6, April
2022

Pelaksanaan perlindungan hukum bagi kreditur dalam suatu perjanjian jaminan fidusia lahir
pembuatan Ata pembebanan jaminan fidusia yang dibuat secara notariil, dan terus dipertegas
dengan pendaftaran dari akta perjanjian tersebut, UUJF telah berupaya memberikan suatu teknis
perlindungan bagi kepentingan kreditur, hanya disayangkan system tersebut tidak diaplikasikan
dengan menegaskan secara konkrit, dalam suatu sistem pelaksanaan perlindungan melalui
eksekusi terhadap jaminan fidusia, yang pada akhimya memberikan pilihan bagi kreditur untuk
menempuh jalan damai yang berarti memberikan tambahan biaya lain, dan memberikan apresiasi
yang buruk dan tidak maksimal menyangkut perlindungan hukum bagi kreditur. Adapun
kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi kreditur pada suatu
perjanjian perdamaian antara lain disebabkan baik oleh peraturan (UUJF) yang memberikan
posisi lemah bagi kreditur seperti tidak adanya ketegasan dalam eksekusi menyangkut
pelaksanan eksekusi, padahal objek jaminan fidusia 79 menyangkut benda bergerak yang
perpindahannya sangat cepat sehingga rawan terjadi penggelapan selain itu sering dalam suatu
perjanjian jamian fidusia tidak adanya penegasan perlu adanya pengawasan oleh penerima
fidusia terhadap benda jaminan fidusia yang dikuasai oleh debitur.

4) Rangkuman Jurnal : Kedudukan Surat Keterangan Tanah sebagai Bukti Kepemilikan Hak
Atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia Oleh Noor Atikah, Notary Law
Journal Vol 1 Issue 3 April 2022

Kedudukan Surat Keterangan Tanah dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia adalah
sebagai akta dibawah tangan yang menjadi petunjuk dalam proses pendaftaran tanah. Meski
UUPA hanya mengakui bukti hak atas tanah yang sah adalah sertifikat, akan tetapi apabila Surat
Keterangan Tanah bisa dibuktikan pembuktian hak atas tanahnya secara fisik dan data yuridisnya
maka Sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah menurut Undang Undang Pokok Agraria dan
output akhir yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional setelah adanya proses
pendaftaran tanah guna menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik hak
atas tanah menjadi berpotensi dapat dibatalkan oleh Pengadilan. Hal itu karena Indonesia
menganut sistem publikasi negatif bertendensi positif. Meskipun Surat Keterangan Tanah
sebagai Petunjuk Proses Pendaftaran Tanah dalam proses pembuktian kepemilikan hak atas
tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan/ Desa dan ditandatangani oleh Lurah/Kepala
Desa Selaku PPATS yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah terkait Surat Keterangan
Tanah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Surat Keterangan Tanah memberikan kepastian
hukum yang kuat dalam Negara hukum dan memiliki kedudukan hukum yang kuat sepanjang
memenuhi kriteria hukum.
5) Rangkuman Jurnal : Keabsahan Penjualan Tanah Objek Hak Tanggungan Oleh Debitur
Tanpa Pemberitahuan Kepada Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Oleh Muhammad Zaki
Al Wafi,dan Mohamad Fajri Mekka Putra, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) Vol. 6
No. 4 November 2022

Pada prinsipnya dalam menilai keabsahan sebuah perjanjian yang dilakukan berdasarkan hukum
tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 1320 KUHPdt. Ketuan pada Pasal 1320 KUHPdt.
yang lazim dikenal sebagai syarat sahnya suatu perjanjian merupakan pedoman pembentukan,
dasar perlindungan dan awal dari implikasi yuridis atas sebuah perjanjian yang harus dibuat
berdasarkan hukum keperdataan di Indonesia. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa Pasal 1320
KUHPdt. merupakan sistematika dasar penentuan sah atau tidaknya suatu perjanjian yang dibuat
oleh seseorang atau badan hukum yang tunduk terhadap pengaturan hukum di Indonesia. Pada
kaitannya dengan praktik penjualan tanah oleh debitor tanpa sepengetahuan kreditor atas tanah
yang telah dibebankan oleh hak tanggungan maka dapat dinilai bahwa hal tersebut merupakan
bentuk penyelundupan hukum dengan itikad yang tidak baik. Pihak debitur yang melakukan
penjualan atas tanah objek hak tanggungan, atau apapun yang berhubungan dengankesepakatan
yang tertuang pada perjanjian saat pemberian utang sama sekali tidak dapat diterima oleh
kreditor. Apabila seseorang yang mendapatkan fasilitas kredit dengan jaminan berupa tanah
dengan sengaja dan tanpa memberitahukan atau mendapatkan izin secara tertulis dari kreditor
untuk menjual atau mengalihkan pada pihak lain maka tindakan tersebut tergolong sebagai
tindakan wanprestasi. Wanprestasi tersebut dapat dimungkinkan apabila pihak kreditor dengan
hak yang dimilikinya berdasarkan hukum telah mencantumkan klausul sebagaimana yang tertera
di dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g Undang Undang Hak Tanggungan. Adapun dalam kaitannya
apabila kreditor menerapkan ketentuan pada Pasal 11 ayat (2) huruf g Undang Undang Hak
Tanggungan maka debitor telah dengan sengaja menciderai perjanjian utang piutang yang
dilakukan antara kreditor dan debitor dalam hubungan hukum hak tanggungan. Wanprestasi atau
cidera janji yang dilakukan oleh debitor atas perbuatan menjual objek hak tanggungan tanpa
sepengetahuan kreditor membawa implikasi hukum tersendiri bagi pihak ketiga dan kreditor
tersendiri. Adapun segala tindakan penjualan hak tanggungan atau over credit yang dilakukan
debitur tanpa melibatkan pihak kreditur tidak mengikat pihak ketiga meskipun antara pihak
debitur dengan pihak ketiga telah melakukan perbuatan hukum berupa jual beli tanah. Selain
tidak mengikatnya hubungan jual beli yang dilakukan dengan pihak ketiga, implikasi lain yang
dapat timbul dari kondisi ini adalah berupa dibenarkannya tindakan kreditor untuk menjual
secara sepihak objek tanah hak tanggungan tanpa persetujuan debitor. Kendati sistem hukum
keperdataan di Indonesia menilai perbuatan yang dilakukan oleh debitor dengan menjual tanah
yang telah dibebankan hak tanggungan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum dan
perjanjian, namun pada kenyataanya terdapat mekanisme-mekanisme lainnya terkait pengalihan
tanah yang telah dibebankan oleh hak tanggungan dengan tujuan pelunasan utang debitor.
Keberadaan beberapa mekanisme pengalihan hak tanggungan atas tanah dilatarbelakangi oleh
perkembangan praktik bisnis yang mengakui keberadaan mekanisme over credit atau cessie.
Adapun dalam mekanisme pengalihan hak tanggungan atas tanah tersebut dilakukan dengan cara
yang legal dan tidak didasari atas perbuatan yang melawan hukum.

Anda mungkin juga menyukai