Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERBANKAN SYARIAH 1

JAMINAN PEMBIAYAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Perbankan Syariah 1 oleh Dosen
yang bersangkutan

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

LOKAL D

1. BINTI NURUL KAROMAH 12120521195


2. KARMILA WULAN DARI 12120521196
3. MUHAMMAD RAIHAN SYUKRILLAH 12120514821

DOSEN PENGAMPU

Dr.Syahpawi,S.Ag,M.Sh Ec

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4

A. Latar belakang masalah..................................................................................... 4


B. Rumusan masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan Masalah ................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 6

A. Hak Tanggungan ............................................................................................... 6


B. Fidusia ............................................................................................................... 8
C. Gadai ................................................................................................................. 9
D. Cessie ................................................................................................................ 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 14

A. KESIMPULAN ................................................................................................. 14
B. SARAN ............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 15

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan karunia
dan nikmatnya kepada kita sekalian sehingga dengan ini kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mengenai Akidah. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari Dosen Pengampu Bapak Dr.Syahpawi,S.Ag,M.Sh Ec pada program
studi Ekonomi Syariah, untuk itu makalah ini juga bertujuan menambah wawasan Mengenai
Perbankan Syariah 1

Shalawat beriringkan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan alam
yakni Nabi Muhammad SAW, semoga dengan seringnya kita bersholawat mudah-mudahan
kita semua diberikan syafaat diyaumul akhir nanti, Aamiin Yarabbalaalamiin.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna dari apa yang kami harapkan. Untuk itu kami berharap adanya saran dan kritik
yang membangun serta usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.

Pekanbaru,27 Februari 2023

Kelompok 4

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Dalam transaksi Bisnis, manusia akan selalu berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, salah satunya kegiatan pinjam-meminjam sebagai sarana untuk mendukung
perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Hukum jaminan senantiasa berkaitan dengan hukum ekonomi (econimic law), M.Khoidin
Dalam Ashibly mengatakan bahwa dikarenakan perkembangan dibidang ekonomi, terutama
pada sektor industri, perdagangan, perseroan, pengangkutan dan lain-lain, membutuhkan
adanya dana.Transaksi bisnis akan selalu membutuhkan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan bagi kembalinya dana tersebut kepada kreditur. Ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur mengenai jaminan dalam pelaksanaan perjanjian jaminan antara kreditur dan
debitur dapat membuat para pihak menjadi terlindungi dan memberikan kepastian hukum
sehingga melindungi kepentingan para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian jaminan
tersebut.

Salim HS mengatakan bahwa ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum


jaminan dapat kita kaji dalam buku II KUH Perdata dan Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana
telah diubah menjadi stb.1937 Nomor 190 tentang Credietverband. Credietverband
merupakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembebanan jaminan bagi orang bumi
putra (Indonesia Asli). Hak atas tanah yang dapat dibebani adalah hak milik, Hak Guna
Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU).

Pengaturan atas hukum jaminan sebagai perangkat, normanya manakala dirujukan


pada buku II dan Buku III BW (Burgerlijk Wetboek), yang mana pada dasarnya lembaga
jaminan ini ada 2 macam, yakni berupa lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
Kedua lembaga jaminan ini, baik lembaga jaminan kebendaan ataupun jaminan perorangan
sangat dikenal dalam dunia perbankan meskipun yang lebih menonjol dan banyak dicermati
adalah lembaga jaminan kebendaan

4
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah yang dimaksud dengan hak tanggungan?
b. Jelaskan pengertian Fidusia menurut para ahli?
c. Apa yang anda ketahui tentang cessei?

C. TUJUAN
a. Tujuan yang pertama memperluas wawasan mengenai Hak Tanggungan,Fidusia
dan cessei
b. Mengetahui apa saja pengertian serta maksud dari Hak Tanggungan, Fidusia dan
cessei
c. Mengetahui lebih dalam bagaimana konsep-konsep dari Jaminan Pembiayaan
dalam Perbankan Syariah

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAK TANGGUNGAN
Tanah memiliki posisi sentral dalam kehidupan sosial masyarakat, terlebih
dalam dunia bisnis, tanah justru memegang peran strategis, hak tanah akan terus
meningkat harganya seiring dengan pertambahan penduduknya yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kapasitas tanah yang mustahil untuk bertambah sehingga harta
tanah terus meningkat. UUPA memiliki misi untuk menyatukan atau unifikasi
pengarturan terkait tanah, maka dalam hal penjaminannya harus dituangkan dalam
undang-undang hukum pertanahanndi Indonesia yang berlandaskan hukum adat. 1
Keberadaan lembaga jaminan yang ada gadai, fidusia dan hipotek serta
penyesuaiannya yaitu undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang undang-undang
pokok agraria yang masih dirasakan belum memenuhi kebutuhan dunia usaha maka
pemerintah mengeluarkan undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan. Dampaknya setiap yang menyangkut penjaminan hak atas tanah,
ketentuan Hipotek dalam KUHP Perdata dicabut Hipotek dalam KUHP Perdata masih
berlaku untuk Jaminan yang menyangkut kapal laut yang terdaftar melebihi 20 MT
dan pesawat terbang. Untuk lebih memantapkan kapasitas hukum bagi dunia Bisnis
jaminan lain yang bisa diikat dengan jaminan fidusia adalah undang-undang Nomor 4
Tahun 1992 tentang perumahan pemukiman, undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang rumah susun.
Pemberian Hak Tanggungan
1. Pemberian hak tanggungan berdasarkan pasal 10 Undang – Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dimana pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang – piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lain – nya yang menimbulkan utang tersebut.
Di dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dicantumkan :
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan

1
Moch Isnaini,Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan(Surabaya: PT REVKA PETRA MEDIA, 2016).
Hal. 224

6
b. Domisili pihak – pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
apabila di antara mereka ada yang berdomisili diluar indonesia, dan
dalam harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan itu tidak
dicantum kan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta pemberian Hak
Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang – utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1)
d. Nilai tanggungan
e. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.

MK dalam putusannya Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut, juga menyatakan bahwa


sertifikat jaminan Fidusia hanya mempunyai kekuatan eksekutorial, kalau memenuhi 2 (dua)
syarat yaitu Debitur mengakui bahwa dirinya telah cidera janji dan Debitur secara sukarela
menyerahkan benda objek jaminan fidusia kepada krediktur, atau dengan kata lain jika
Debitur tidak mengakui telah cideran janji dan keberatan menyerahkan benda objekjaminan
Fidusia kepada Krediktur maka sertifikat jaminan Fidusia tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial, Argumentasi pemohon yang mengaitkan pemohonnannya dengan putusan MK
Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut.

Menurut MK perbedaan kedua lembaga jaminan kebendaan tersebut dapat dilihat dri
frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang melekat pada Hak Fidusia dan Hak Tanggungan.
MK Berpendapat bahwa sangat berbeda dengan sifat Hak Tanggungan yang secara hak
kepemilikan benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada di tangan pihak Debitur
termasuk status kepemilikannya.

Putusan MK Nomor 21/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor


18P/PUUXVII/2019 sama – sama putusan MK terkait permohonan pengujian kekuatan
eksekutorial terhadap 2 (dua) lembaga jaminan kebendaan yaitu Hak Tanggungan Dan
Fidusia, namun bedanya permohonan pengujian kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan
ditolak oleh MK. 2

2
Ibid

7
B. FIDUSIA
Fidusia adalah lembaga jaminan yang dikenal berdasarkan yurisprudensi “Bier
Browerij Arrest” tanggal 25 Januari tepatnya dibelanda. Hukum Fidusia berkembang
berdasarkan yurisprudensi. Setelah merdeka ada beberapa keputusan MK pada
tanggal 1 September 1971Reg. No.372 K/Sip/1970, antara BNI unit 1 semarang
melawan Lo Ding Siong. 3
Praktek Fidusia di Indonesia berkembang dimana pihak penerima manfaat
lembaga jaminan ini pengusaha kecil, menengah dan besar dalam pengembangan
sebuah bisnisnya. Yang mana lembaga jaminan fidusia ini mampu mengejar lembaga
jaminan gadai dan hipotek yang dahulu ada.

Perbedaan Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 UU


No.42 tahun 1999 sebelum dan sesudah keputusan MK Nomor 18/2019
Pasal 15 ayat 2
Sertifikat jaminan fidusia Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia sepanjang frasa “Kekuatan
sebagaimana dimaksud Eksekutorial” dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang
dalam ayat (1) mempunyai berdasarkan hukum tetap” bertentangan dengan UUD 1945 dan
kekuatan Eksekutorial tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
yang sama dengan putusan dimaknai. “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada
pengadilan yang telah kesepakatan tentang cidera janji dan dibitur keberatan
memperoleh kekuatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
hukum tetap. fidusia. Maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan
dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 15 ayat 3
Apabila debitur cidera Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia sepanjang frasa “cidera janji”
janji, penerima fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mempunyai hak untuk hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya
menjual benda yang cidera janji tidak ditentukan secara pihak oleh kreditur
menjadi objek jaminan melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur

3
Hendri Donald Lbn. Toruan. Problematika Impementasi Pembiayaan dengan jaminan Fedusia (2018),
183-204. Hal 184

8
fidusia atas kebebasannya atau atas dasar supaya hukum yang menentukan telah terjadinya
sendiri. sidera janji”.

Namun demikian, keputusan MK Nomor 18/PUU/17/2019 dikoreksi melalui putusan


mahkamah konstitusi menegaskan, eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pwngadikan
negeri hanyalah alternatif, apabila tidak ada kesepakatan antara kreditor dan debitur. Hal ini
juga telah disebutkan dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang merupakan putusan
atas gugatan yang diajukan oleh Joshua Michael Djami. 4

C. GADAI

Pegadaian merupakan salah satu jenis usaha yang dikelompokan sebagai lembaga
keuangan non-bank dan dalam otoritas jasa keuagan (dikatergorikan sebagai lembaga
keuagan khusus, Neni Sri Imaniyanti dalam Abdulkadir Muhammad lembaga keuangan
(financial institution) “adalah badan usaha yang mmpunyai kekayaan dalam bentuk asset
keuangan (financial assets). Kekayaan berupa asset keuangan ini digunakan untuk
menjalankan usaha di bidang jasa keungan, baik penyediaan dana untuk membiayai usaha
produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Selain istilah
lembaga keuangan dikenal pula istilah lembaga pembiayaan (financing institution), yaitu
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat”.

Praktek gadai ternyata bukan saja terjadi pada golongan kecil menengah tetapi juga
dikalangan kaum menak-kaum bangsawan Sunda dimana mereka melakukan gadai untuk
membiayai kehidupan glamor mereka, seperti dalam uraian berikut: “Para ambtenar pribumi
ini memamerkan perhiasan-perhiasan kepada ambtenar-ambtenar pribumi di pedesaan untuk
membelinya dengan menandatangani surat pengakuan utang.”

4
Ibid

9
Pegadaian sebagai lembaga (perusahaan) yang memberikan pinjaman uang dengan
jaminan barang-barang bergerak telah lama dikenal di Indonesia. Sejarah lembaga ini sudah
ada sejak masa VOC adalah berasal dari Aturan Dasar Pegadaian (Pandhuis Reglement)
tahun 1928 hingga saat ini telah berusia lebih dari setengah abad. Pegadaian sangat
dibutuhkan oleh rakyat kecil. Kredit atau pinjaman yang diberikan didasarkan pada nilai
barang jaminan yang diserahkan. Tujuan lembaga ini adalah mencegah rakyat kecil yang
membutuhkan agar tidak jatuh ke tangan para pelepas uang yang dalam pemberian pinjaman
mengenakan bunga yang sangat tinggi. 5

pegadaian tidak diperbolehkan menarik dana dari masyarakat baik berupa giro,
deposito atau bentuk tabungan lain. Pegadaian juga tidak diperkenankan memberi pinjaman
dengan jaminan efek, dokumen pengangkutan atau dokumen penyimpanan atau dokumen
fiducer lain, Tidak diperkenankan pula untuk menghimpun dana dengan cara mengeluarkan
surat-surat berharga, atau sekuritas dan tidak diperkenankan memberi pinjaman untuk jangka
waktu menengah atau panjang. Pinjaman yang diberikan berjangka waktu pendek dengan
jumlah relatif kecil.

Pemerintah Belanda mengevaluasi kembali kebijakan pacht pada rumah gadai.


Hasilnya, hampir semua bisnis gadai perorangan diambil alih Pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai langkah legal, pada 12 Maret 1901 Staatsblad no. 131 diterbitkan sebagai dasar
pendirian rumah gadai pemerintah. Selanjutnya, pada 1 April 1901 usaha pegadaian
pemerintah pun didirikan di Sukabumi, Jawa Barat. Dan, pada 1905 lembaga tersebut resmi
berstatus Jawatan. Dalam kurun 1913-1914, di bawah Jawatan Pegadaian, semua usaha
rumah gadai sudah dimonopoli Belanda. Misinya, menumpas praktik gadai yang merugikan
masyarakat, misalnya; suku bunga yang tinggi, lelang yang diatur, hingga barang gadaian
yang tidak terawat. Sanksi atas peraturan monopoli itu diatur dalam kitab Undang-undang
Hukum Pidana Pasal 509 dan Staatsblad No. 266 tahun 1930.

Kondisi monopoli usaha gadai itu terus berlanjut hingga masa pendudukan Jepang
(1943).Pada masa penjajahan Jepang, Gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak
di Jalan Kramat Raya 162 sempat dijadikan sebagai tempat tawanan perang, sehingga Kantor
Pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Selama kekuasaan Jepang
itu, tidak banyak perubahan yang terjadi, baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi
5 Brahn, O.K, Fiduciare Over Drackht, Stille Verpanding En Eige Doms Voor Bound, Penggadaian

Diam-Diam dan retensi menurut Hukum sekarang dan yang akan datang, ed. By linus Dolujawa, pertama (
Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001).

10
Jawatan Pegadaian atau dalam bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku. Saat itu, pimpinan
jawatan dipegang oleh Ohno-San yang berkebangsaan Jepang dan wakilnya orang pribumi,
M. Saubari.

D. CESSIE

Dalam dunia bisnis perputaran modal merupakan indikasi bagi lancarnya sebuah
usaha. Berdasarkan hal tersebut seringkali pengusaha memerlukan modal dalam jangka
waktu cepat guna menjamin likuiditas usahanya, sehingga tidak lagi menunggu jatuh tempo
atas piutang yang dimiliki untuk kemudian ditagih pembayarannya. Cara yang umumnya
digunakan untuk memperoleh dana segar dalam waktu dekat atas piutang yang belum jatuh
tempo tersebut adalah dengan jalan menjual piutang yang dimilikinya kepada pihak lain yang
bersedia membelinya, umunya dengan harga yang lebih rendah dari nilai tagihan yang akan
dibayar oleh debitur pada saat jatuh tempo. Mengenai tinggi rendahnya harga juga tergantung
dari likuid tidaknya piutang tersebut serta adanya jaminan yang menyertai piutang tersebut.
Permasalahan muncul ketika tatacara atau proses penjualan piutang tersebut tidak memenuhi
ketentuan hukum yang ada, sehingga dapat merugikan pihak penjual ini sendiri.

Istilah cessie berasal dari kata “Cedere” yang artinya melepaskan suatu hak dan
menyerahkannya pada orang lain (Kartono, 1977: 42). Selanjutnya jika kita mengacu pada
Pasal 613 KUHPerdata ayat (1) cessie merupakan penyerahan piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya, yang dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik
atau dibawah tangan.

Piutang termasuk kategori benda bergerak tidak berwujud atau benda bergerak karena
ketentuan undang- undang. Kategori tersebut mengingat secara fisik kita tidak dapat
membedakannya apakah piutang termasuk benda bergerak atau tidak, hal ini mengingat
benda tersebut termasuk benda tidak berwujud. Dengan demikian kita mengetahui bahwa
piutang termasuk kedalam benda bergerak karena undang-undanglah yang mengategorikan
piutang sebagai benda bergerak (Pasal 511 KUHPerdata).

11
Berkaitan dengan perjanjian cessie sebagai bentuk penyerahan piutang maka yang
diserahkan adalah piutang atas nama. Piutang atas nama adalah hak menagih dari kreditur
terhadap debitur tertentu, berdasarkan suatu perikatan (Mariam Darus Badrulzaman, 1987:
66). Pada prinsipnya Piutang atas nama menunjukkan siapa krediturnya, meskipun pada
asasnya tidak harus dituangkan dalam bentuk tertulis atau surat yang menyebutkan nama
krediturnya(J Satrio, 1999: 4). 6 Walaupun tidak disebutkan nama. krediturnya, para pihak
tahu identitas masing-masing, sehingga tagihan tersebut hanya dapat ditagih terhadap mereka
yang mengikatkan diri berdasarkan perikatan yang dibuat. Termasuk ke dalam kategori
piutang atas nama adalah adalah saham atas nama, sertifikat deposito, tagihan antar bank,
promissory notes dan lain-lain. Selain piutang atas nama kita mengenal juga piutang atas
bawa dan piutang atas tunjuk. Piutang atas bawa adalah piutang yang memungkinkan
pembayarannya kepada siapa saja yang memegang dan dapat menunjukkan surat piutang
sebagai bukti adanya tagihan, sedangkan piutang atas tunjuk adalah piutang yang
pembayarannya dilakukan terhadap siapa orang yang ditunjuk. Penunjukan tersebut
dilakukan dengan membuat catatan punggung yang biasa dikenal dengan endossement.
Termasuk contoh piutang atas bawa adalah cek, sedangkan yang termasuk piutang atas tunjuk
adalah wesel. Dengan demikian piutang atas bawa maupun atas tunjuk harus berbentuk surat
atau tertulis. Hal ini mengingat pembayarannya dilakukan terhadap pihak yang membawa
surat utang tersebut atau pihak yang ditunjuk pada bagian belakang surat utang tersebut.

Dalam penyerahan piutang atas nama dengan cara cessie terdapat tiga pihak yaitu
Cedent sebagai kreditur lama yang memiliki tagihan piutang atas nama, kemudian
Cessionaris sebagai kreditur baru yang menerima pengalihan piutang atas nama dan Cessus
sebagai debitur dalam hal ini hanya sebagai pihak yang menerima pemberitahuan atau
memberikan persetujuan atas perjanjian cessie yang dibuat antara cedent dengan Cessionaris.

Karena Cessie merupakan bentuk penyerahan piutang atas nama, maka untuk
terjadinya penyerahan harus didasarkan adanya alas hak (Rechttitel) yang merupakan
hubungan perdata yang mendasari adanya pengalihan hak. Alas hak tersebut terjadi karena
adanya hubungan obligatoir atau hubungan yang mengalihkan hak atas piutang tersebut. Pada
umumnya hubungan obligatoir tersebut berupa perjanjian jual-beli piutang atau tagihan.
Dengan demikian terdapat dua perbuatan hukum dalam penyerahan piutang atas nama yaitu

6
Ashilby Hukum Jaminan, ed. By Noprizal (Bengkulu: Penerbit MIH unihas, 2018) Badan Pembinaan
Hukum Nasional, and Rosa Agustina, Naskah Akademik RUU Penggadaian, BHMN,2011, 80

12
perjanjian jual-beli yang merupakan alas haknya dan perjanjian cessie sebagai bentuk
penyerahan piutang atas nama.

Adanya dua perbuatan hukum yaitu hubungan obligatoir dan penyerahan haknya
(levering), mengingat Indonesia dalam penyerahan hak milik menganut sistem kausal
(causaal sisteem) yang dikemukakan oleh Diephuis dan P.Scholten (Frieda Husni Hasbullah,
2002: 133).7 Dalam sistem kausal hak milik belumlah beralih sebelum adanya penyerahan.
Selanjutnya dalam sistem kausal sah tidaknya penyerahan tergantung pada sah tidaknya
perjanjian obligatoirnya yang menjadi dasar adanya penyerahan. Menurut sistim ini
perjanjian baru menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak untuk saling menuntut
jika ada salah satu pihak yang ingkar janji (Wanprestasi), sedangkan untuk terjadinya
peralihan hak milik harus dilanjutkan dengan penyerahan. Khusus untuk piutang atas nama
penyerahan tersebut dilakukan dengan cara cessie. Untuk penyerahan dengan cara cessie
selain adanya alas hak, penyerahan juga harus dilakukan oleh orang yang berwenang untuk
mengalihkan tagihan tersebut. Kewenangan tidak harus dilakukan oleh orang yang memiliki
benda tersebut tetapi dapat juga dilakukan oleh orang lain yang diberikan kuasa dari orang
yang berwenang. Mengenai dasar hukum hak dan kewenangan dalam mengalihkan hak milik
diatur pada Pasal 584 KUHPerdata.

Disebabkan ada dua jenis perjanjian yaitu perjanjian jual-beli sebagai perjanjian
obligatoir-nya dan perjanjian cessie sebagai bentuk penyerahan piutang atas nama, maka
perjanjian cessie merupakan accesoir dari perjanjian yang menjadi alas haknya yaitu
perjanjian jual-beli, sehingga tidak dimungkinkan ada perjanjian cessie tanpa ada perjanjian
obligatoir-nya. Jika perjanjian obligatoir-nya tidak sah atau batal maka cessie-nya juga
menjadi tidak sah atau batal.

Meskipun cessie telah sah dengan dibuatnya akta cessie yang mengakibatkan
beralihnya hak tagih, tetapi untuk mengikat cessus atau debitur, berdasarkan Pasal 613 ayat
(2) KUHPerdata pengalihan tersebut harus diberitahukan kepada debitur atau telah diakui
atau disetujui oleh debitur (betekening). Kelalaian dalam pemberitahuan kepada cessus
berakibat bahwa pembayaran tagihan yang dilakukan oleh cessus kepada cedent atau debitur
lama tetap sah, asal cessus dengan jujur beranggapan bahwa cedent masih sebagai
krediturnya (HFA Vollmar, 1990: 77).

7 Ibid

13
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam hak tanggungan Keberadaan lembaga jaminan baik itu gadai, fidusia dan
hipotek serta penyesuaiannya yaitu undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang undang-
undang pokok agraria yang masih dirasakan belum memenuhi kebutuhan dunia usaha maka
pemerintah mengeluarkan undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dampaknya setiap yang menyangkut penjaminan hak atas tanah, ketentuan Hipotek dalam
KUHP Perdata dicabut Hipotek dalam KUHP Perdata masih berlaku untuk Jaminan yang
menyangkut kapal laut yang terdaftar melebihi 20 MT dan pesawat terbang. Untuk lebih
memantapkan kapasitas hukum bagi dunia Bisnis jaminan lain yang bisa diikat dengan
jaminan fidusia adalah undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan pemukiman,
undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun.

SARAN

Dalam makalah ini tentunya tidaklah sempurna, masih banyak sekali kekurangan
yang terdapat didalamnya. Maka dari itu untuk sebagai pelengkap serta penyempurnaan
makalah ini kami sangat membutuhkan kritik dan saran untuk membangun makalah ini
menjadi lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ashilby Hukum Jaminan, ed. By Noprizal (Bengkulu: Penerbit MIH unihas, 2018) Badan
Pembinaan Hukum Nasional, and Rosa Agustina, Naskah Akademik RUU
Penggadaian, BHMN,2011, 80

Brahn, O.K, Fiduciare Over Drackht, Stille Verpanding En Eige Doms Voor Bound,
Penggadaian Diam-Diam dan retensi menurut Hukum sekarang dan yang akan
datang, ed. By linus Dolujawa, pertama ( Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001).

Moch Isnaini,Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan(Surabaya: PT REVKA PETRA


MEDIA, 2016). Hal. 224

Hendri Donald Lbn. Toruan. Problematika Impementasi Pembiayaan dengan jaminan


Fedusia (2018), 183-204. Hal 184

15

Anda mungkin juga menyukai