Anda di halaman 1dari 20

HUKUM ASURANSI DAN BUNGA BANK

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah
“Masail Fiqih”

Dosen pengampu :

Drs. H. M. Nawawi, M.Ag

Disusun Oleh :

Luqman Hanif (D01218027)


Bella Halimatus Zahroh (D71218062)

Solikha Milenia Nanda Gunawan (D01218050)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur kami panjatan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat taufik serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Hukum
Asuransi dan Bunga Bank ” dengan tepat waktu.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqih. Untuk
itu kami sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terutama
dosen pembimbing kami bapak Drs. H. M. Nawawi, M.Ag yang telah memberikan
masukan dan bimbingan sehingga makalah ini tersusun dengan sistematis.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah selanjutnya. Terlepas dari itu, kami berharap makalah ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi kalangan mahasiswa dan juga masyarakat
dan semoga bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Surabaya, 11 November 2020

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Problematika Asuransi dan Bunga Bank............................................................ 3
B. Dalil Asuransi dan Bunga Bank ......................................................................... 8
C. Pendapat Para Ulama Mengenai Asuransi dan Bunga Bank ........................... 11
D. Analisa Penalaran Hukum ................................................................................ 14
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 16
Kesimpulan .............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya pengertian mengenai riba, dan asuransi sudah sangat familiar
di mata masyarakat. Namun sebagian mereka tidak mengetahui pasti
kedudukannya dalam hukum islam. Seperti halnya riba adalah salah satu usaha
mencari rezeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Sedangkan
Bank menurut Jumhur Ulama’ merupakan perkara yang belum jelas kedudukan
hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak
ada nashnya. Dan ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad
karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Karena memang ketetuan mengenai
asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadis Nabi saw. Termasuk para ulama
tidak banyak yang membicarakannya. Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih
mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan
menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud problematika asuransi dan bunga bank?
2. Apa saja dalil-dalil mengenai asuransi dan bunga bank?
3. Bagaimana pendapat para ulama mengenai asuransi dan bunga bank?
4. Bagaimana penalaran hukum tentang asuransi dan bunga bank

1
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui problematika asuransi dan bunga bank
2. Untuk mengetahui dalil-dalil mengenai asuransi dan bunga bank
3. Untuk mengetahui pendapat para ulama mengenai asuransi dan bunga bank
4. Menganalisa hukum dari asuransi dan bunga bank

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Asuransi dan Bunga Bank


1. Asuransi
Secara etemologi kata “asuransi” banyak berasal dari bahasa-bahasa
asing diantaranya adalah Bahasa Belanda ”assurantie”, yang berarti
pertangungan, Bahasa Italia “insurensi”, yang berarti jaminan. Bahasa Inggris
“assurance”, yang berarti jaminan. Bahasa Arab “At-ta’min”, yang berarti
perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah
jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor
asuransi) kepada yang tertanggung untuk resiko kerugian sebagai yang
ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian,
kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau
kecelakaan lainnyam, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak
yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.1
a. Asuransi Syari’ah
Secara terminologis sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah dinyatakan: bahwa asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (tidak mengandung unsur
gharar/penipuan, maysir/perjudian, riba, zulm/penganiayaan, risywah/suap,

1
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), 57

3
4

barang haram dan maksiat) dan UU No. 2 thn 1992 pasal 1 berarti perjanjian
antara dua pihak atau lebih dimana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan dan lain
sebagainya.
Setelah memperhatikan beberapa definisi asuransi di atas, baik dari segi
bahasa ataupun istilah, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian
asuransi minimal terlibat pihak pertama yang sanggup menanggung atau
menjamin bahwa pihak lain mendapatkan pergantian dari suatu kerugian
yang mungkin akan di derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula
belum tentu terjadi atau belum di tentukan saat akan terjadinya. Adapun uang
yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung akan tetap menjadi milik pihak
yang menaggung apabila peristiwa yang dimaksud tidak terjadi.
Pada garis besarnya usaha asuransi terbagi menjadi 2 (dua) kegiatan
usaha yang terpisah penyelenggaraannya, yaitu:
1) Kegiatan usaha asuransi kerugian (umum), yaitu memberikan jaminan
bagi berbagai resiko yang mengancam harta benda dan berbagai
kepentingan.
2) Asuransi jiwa memberikan jaminan terhadap "kehilangan jiwa"
seseorang. Dana yang dikumpulkan berupa premi asuransi dan
kemudian di investasikan.
b. Asuransi Keluarga
Asuransi keluarga menghasilkan produk asuransi jiwa, asuransi cacat,
anuitas, dan asuransi kesehatan.
1) Asuransi cacat, memberi perlindungan terhadap aliran pendapatan bila
pihak tertanggung mengalami cacat tubuh sehingga tidak bisa bekerja.
2) Anuitas, yakni produk asuransi yang menjamin aliran pendapatan
seumur hidup.
5

3) Asuransi kesehatan, memberi proteksi terhadap ongkos kesehatan yang


semakin hari semakin mahal.
Mengenai mekanisme kerja asuransi syari’ah keluarga, diawali oleh
terjadinya akad atau transaksi antara perusahaan asuransi dengan peserta
asuransi. Akad tersebut dilakukan sesuai dengan produk asuransi yang akan
dimanfaatkan oleh peserta asuransi. Untuk satu produk asuransi akan dilakukan
satu akad. Pada saat akad berlangsung peserta asuransi harus sudah menentukan
produk asuransi yang akan diambil. Setelah akad berlangsung, maka dalam
asuransi syari’ah keluarga diatur menurut aturan sebagai berikut:
a. Peserta asuransi syari’ah bebas memilih salah satu jenis syari’ah keluarga
yang ada dengan ketentuan umur peserta antara 18 sampai dengan 50 tahun
dengan masa pembayaran klaim berakhir sebelum mencapai umur 60 tahun.
b. Perusahaan asuransi syari’ah dan peserta suransi syari’ah mengadakan
perjanjian mudharabah (bagi hasil), yang sekaligus dinyatakan pula hak dan
kewajiban diantara kedua belah pihak
c. Setiap peserta asuransi syari’ah menyerahkan premi asuransi yang dapat
dilakukan secara bulanan, kuartalan, setengah tahunan, atau tahunan. Premi
yang diserahkan peserta itu sesuai dengan kemampuan peserta, tetapi tidak
boleh kurang dari jumlah minimal yang ditetapkan perusahaan asuransi
sebagai berikut:
1) Setiap premi yang dibayarkan peserta dibagi kedalam dua rekening, yaitu
Rekening Peserta dan Rekening Derma (Tabarru’). Persentase kedua
rekening itu ditentukan sesuai kelompok umur peserta dan jangka waktu
pertanggung.
2) Uang angsuran (premi) oleh perusahaan asuransi akan disatukan
kedalam “Kumpulan Dana Peserta”, yang selanjutnya diinvestasikan
dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan syari’ah
3) Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagi dengan peserta
sesuai dengan perjanjian mudharabah yang telah disepakati sebelumnya
6

4) Keuntungan bagian peserta akan dikreditkan kedalam rekening peserta


dan rekening derma secara proporsional.
Akhir dari pengelolaan dana di asuransi syari’ah keluarga adalah
pembagian keuntungan bagi perusahaan asuransi dan pemnbayaran klaim oleh
perusahaan asuransi kepada peserta. Dalam pembayaran klaim, peserta dalam
asuransi syari’ah keluarga digolongkan kepada tiga kategori, yakni peserta
yang tertimpa musibah,peserta yang habis masa kontraknya, dan peserta yang
mengundurkan diri. Bagi peserta yang golongan pertama aan mendapatkan
pembayaran klaim berupa tabungan peserta, porsi bagi hasil keuntungan,
danbagian dari tabungan tabarru’. Sedangkan bagi peserta golongan kedua,
peserta yang habis masa kontraknya, akan mendapatkan pembayaran klaim
berupa tabungan peserta, porsi bagi hasil, dan kelebihan rekening derma setelah
dikurangi pembayaran klaim dan biaya operasional. Adapun bagi peserta yang
ketiga akan mendapatkan pembayaran klaim berupa tabungan peserta dan porsi
bagi hasil.2
2. Bunga Bank
Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Kemudian apakah
bunga termasuk riba, ada dua pendapat; pertama, menurut ijma ulama di
kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya termasuk
kategori riba. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak termasuk
kategori riba.
Ada beberapa hal yang menjadi masalah kontroversial seputar bunga
yang terjadi di kalangan para tokoh Islam antara argumen terhadap pembenaran
konsep bunga dikemas dalam bentuk bersifat ilmiah dan argumen sebagai
bantahan dan kritikan terhadap teori-teori yang dikemukan kalangan yang
membenarkan adanya bunga.

2
Sulistiyowati, “Dinamika dan Problematika Asuransi Syariah (Mekanisme Kerja Asuransi Syariah &
Prosedur Pembayaran Klaim)”, Vol.2 No. 2, (Kediri : Oktober, 2012), 334.
7

Pertama, pada persoalan tingkat bunga, pada tingkat yang wajar maka
bunga dibolehkan. Namun tingkat bunga wajar sangat subjektif tergantung pada
waktu, tempat, jangka waktu, jenis usaha dan skala usaha. Aspek ini juga
terdapat pada ayat pelarangan riba tahap ketiga yang terdapat pada Q.S. Ali
Imran [3]: 130 merupakan ayat pertama yang menyatakan secara tegas terhadap
pengharaman riba bagi orang Islam. Larangan ini merujuk kepada apa yang
dipraktekkan oleh orang-orang Arab pada masa itu, dengan cara menambah
bayaran jika hutang tidak bisa dibayar ketika jatuh tempo. Perkataan berlipat
ganda dalam ayat ini merupakan ciri hutang zaman jahiliah yang senantiasa
bertambah sehingga menjadi berlipat ganda. Bukan berarti bunga yang
dikenakan yang tidak berlipat ganda menjadi halal. Quraish Shihab juga
menafsirkan bahwa ad’afan muda’afatan pada ayat ini bukan merupakan
syarat. Jadi walaupun tidak berlipat ganda berarti bunga tetap tidak halal.
Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang selanjutnya Q.S.
al-Baqarah [2]: 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun tentang proses
pengharaman riba), telah secara tegas menyatakan setiap tambahan melebihi
pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga baik bersuku
rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah bahkan sisa-sisa riba
sekalipun dilarang. Ayat ini secara total mengharamkan riba dalam bentuk
apapun.
Kedua, adanya pembenaran unsur bunga dengan cara apa pun sebagai
kompensasi atas terjadinya inflasi dan ini merupakan pendapat umum yang
diadopsi dari teori agio. Namun argumen ini lemah ketika adanya suku bunga
yang lebih tinggi dari inflasi yang diperkirakan atau tingkat inflasi dapat
mencapai nol atau negatif (deflasi). Justru keberadaan bunga memicu penyebab
terjadinya inflasi. Jika alasan untuk menjaga nilai uang yang terkikis oleh
8

inflasi maka kompensasinya tidak mesti dengan bunga tetapi dengan instrumen
lain.3

B. Dalil Asuransi dan Bunga Bank


1. Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad
karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang
ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw,
termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya. 4
Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara tegas ayat yang
menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini
terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau secara nyata dalam
Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang
mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperrti
nilai dasar tolong menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan
proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa yang akan datang. 5 Dalil tersebut
antara lain dalam surat al-Maidah ayat 2 :

ِ ‫ّلل ََۡ ِۡۡۡ ُ ۡال ِعقَا‬


ِ ِ ‫اَ ۡۡ ِِ َو ۡالعُ ۡۡ َو‬
َ ٰ ‫اِ ۖ َواتَّقُوا‬
َ ٰ َِِّ ‫ّلل ا‬ ِ ۡ ‫َوتَعَ َاون ُ ۡوا َعلَى ۡالبِ ِر َوالت َّ ۡق ٰوى ۖ َو ََ تَعَ َاونُ ۡوا َعلَى‬

Artinya: “…..dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan


dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya”.

3
Ummi Kalsum, “Riba dan Bunga Bank Dalam Islam (Analisis Hukum Dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Umat)”, Vol. 7, No. 2, (Kendari : Juli, 2014), 71-74.
4
Muhammad Syakir Sula, AAIJ. FIIS, Asuransi Syariah, (Jakarta: Gema Insani Press), 28.
5
A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis
dan Praktis, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004), 104-105.
9

Ayat di atas memuat kata perintah (amr) yaitu tolong menolong antar
sesama manusia, dalam bisnis asuransi ini terlihat dalam praktek kerelaan
anggota (nasabah) untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana
sosial (tabarru’) yang berbentuk rekening tabarru’ yang berfungsi untuk
menolong salah satu anggota yang sedang mengalami musibah.6
Adapun hadits yang terkait asuransi yang Artinya: “Diriwayatkan dari
Amir bin Sa’ad bin Abi Waqasy, telah bersabda rasulullah saw: “lebih baik jika
engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya,
dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang
meminta-minta kepada manusia lainnya.” (H.R Bukhari).
Maksud hadits diatas ialah Nabi Muhammad saw sangat
memperhatikan kehidupan yang akan terjadi di masa mendatang, yaitu dengan
cara mempersiapkan sejak dini bekal yang harus diperlukan untuk kehidupan
di masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan operasional dari
asuransi, organisasi asuransi mempraktekkan nilai yang terkandung dalam
hadits di atas dengan cara mewajibkan anggotanya untuk membayar uang iuran
(premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat dikembalikan ke ahli
warisnya jika pada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam
bentuk kematian nasabah atau kecelakaan diri.
2. Bunga Bank
Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan secara keras
melarangnya. Pengharaman dan pelarangan itu berdasarkan hukum nash-nash
yang jelas dan pasti (qath’i) dalam Al-Qur’an dan hadis, yang tidak mungkin
lagi di utak-atik atau ditafsirkan secara sembarangan, meskipun berdalih
ijtihad atau pembaruan. Karena dalam pakem fikih dinyatakan bahwa tidak ada
peluang ijtihad mengenai masalah-masalah yang sudah pasti (qath’i tsubut wa
dalalah) sebagaimana secara konsensus pakem ini dianut kalangan umat Islam,

6
Muhammad Syakir Sula, AAIJ. FIIS, Asuransi Syariah…, 86.
10

ulama salaf (generasi terdahulu) dan ulama khalaf (generasi belakangan). Bagi
kaum muslim, cukup dengan membaca ayat riba di penghujung surah al-
Baqarah yang diturunkan pada saat akhir periode turunnya Al-Qur’an, niscaya
akan tergoncang hatinya ketika menyimak kerasnya ancaman yang dijanjikan
Allah dalam ayat-ayat itu yang tergolong ayat muhakkamat (jelas dan pasti
serta tidak menimbulkan aneka interpretasi). Allah SWT berfirman:
‫طاُِ ِمنَ ْال َم ِس ذَ ِل َك بِأَنَّ ُمُه ِْ اَالُوا‬ ُ َّ‫الربَا َ َۡقُو ُموَِ إَِ َك َما َۡقُو ُم الَّذِي َۡت َ َخب‬
َ ‫طهُ ال َّش ْي‬ ِ َِ‫الَّذِۡنَ َۡأ ْ ُكلُو‬
ُ‫ف َوأ َ ْم ُره‬َ َ‫ظةٌ ِم ْن َربِ ِه فَانْت َ َمُهى فَلَهُ َما َسل‬ ِ ‫ّللُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ ِ ‫إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
َّ ‫الربَا َوأ َ َح َّل‬
َّ ‫ت َو‬
ُ‫ّلل‬ ِ ‫صَۡاَا‬
َّ ‫الربَا َوۡ ُْر ِبي ال‬ َّ ‫) َۡ ْم َح ُق‬٥٧٢( َِ‫ار هُ ِْ فِي َمُها خَا ِلۡ ُو‬
ِ ُ‫ّلل‬ ِ َّ‫اِ الن‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫ّلل َو َم ْن َعادَ فَأُولَئِ َك أ‬
ِ َّ ‫ِإلَى‬
)٥٧٢( ِ‫ار أَِۡ ٍي‬
ٍ َّ‫َ ۡ ُِحبُّ ُك َّل َكف‬

Artinya: “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri,


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran tekanan
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat) bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu spontan berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan), dan perkaranya terserah kepada Allah. Orang yang
mengulangi riba itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di
dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak
menyukai setiap orang yang bertahan dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
(al-Baqarah:275-276).

Pelarangan riba dalam Islam juga merujuk pada hadis. Di antara hadis-
hadis tentang pelarangan riba adalah7 :

7
Mujtaba, Saifuddin, Al – Masailul Fiqhiyah, (Jombang: Rausyan fikr, 2007), 345.
11

a. Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba,
orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya dan dua orang
saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (HR.
Muslim no.2995).
b. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw berkata, “pada
malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka
seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar.
Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”

C. Pendapat Para Ulama Mengenai Asuransi dan Bunga Bank


1. Asuransi
a. Ulama yang Melarang
Ulama’ yang melarang praktik asuransi diantaranya Sayyid Sabiq,
‘Abd Allah al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad
Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Beliau mengatakan bahwa Asuransi itu
haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat
alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1) Asuransi sama dengan judi;
2) Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
3) Asuransi mengandung unsur riba/renten;
4) Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis,
apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang
premi yang sudah dibayar atau dikurangi;
5) Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik
riba;
6) Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
7) Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya
dengan mendahului takdir Allah.
12

b. Ulama yang Membolehkan


Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi
diantaranya Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad
Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan
‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa
Ahkamuha). dengan alasan bahwa:
1) Tidak ada nas (Al-Qur`an dan Sunnah) yang melarang asuransi;
2) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
3) Saling menguntungkan kedua belah pihak;
4) Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-
premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang
produktif dan pembangunan;
5) Asuransi termasuk akad mudharbah (bagi hasil);
6) Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah);
7) Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem pensiun seperti taspen.8
Sedangkan menurut Zuhdi pandangan ulama tentang hukum
asuransi terbagi menjadi empat bagian: Pertama, kelompok ulama yang
berpendapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan
operasionalnya hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang
berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam
Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat diperbolehkan adalah
asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang bersifat komersial
dilarang dalam Islam dan keempat, kelompok ulama yang berpendapat
bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada dalil syar’i
yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi.9

8
Ahmad Ajib Ridwan, “Asuransi Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol.
04 Nomor 1, Maret 2016, 79-80.
9
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), 134.
13

2. Bunga Bank
a. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan
masalah tersebut melalui beberapa kali siding. Menurut Lajnah, hukum
bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga
pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini:
1) Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
2) Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang
berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
3) Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum berselisih
pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa
(pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut
bunga bank adalah haram. Akan tetapi, menyadari bahwa warga NU
merupakan potensi yang sangat besar dalam pembanguna nasional dan
dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga
keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU.
Karenanya. Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan
system perbankan yang sesuai dengan hokum Islam, yakni bank tanpa
bunga.10
b. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum
ekonomi, meliputi masalah perbankan keuangan secara umum. Majelis
Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan bahwa bunga yang diberikan bank-
bank milik negara pada para nasabah atau sebaliknya yang salami ini
berlaku, termasuk perkara musytabihat.11

10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), 63-64.
11
Ibid., 62.
14

Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara secara


kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta.
Tingkat suku bunga bank pemerintah pada saat itu relative lebih rendah
dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan
bunga bank negara ini masih terhgolong Musytabihat (meragukan).12
c. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga
1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai
riba yang diharamkan.
d. Pendapat MUI
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan
demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan
riba haram hukumnya.13

D. Analisa Penalaran Hukum


Dalam menganalisa penalaran hukum mengenai asuransi dan bunga bank,
penulis menggunakan penalaran bayani dan penalaran istishlahi. Penalaran bayani
merupakan metode penalaran hukum yang bertumpu pada kaidah-kaidah
kebahasaan yang terdapat dalam sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan
Hadist. Sedangkan pelaran istishlahi merupakan metode penalaran yang bertumpu
pada kemaslahatan umat dan tujuan pensyariatannya.14
Masalah riba kelompok kami menggunakan Penalaran bayani, dengan dalil
yang digunakan ialah surat Al-Baqarah ayat 275-276. Yang artinya : “ Orang-
orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri, melainkan seperti

12
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing
House, 1995), 50.
13
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA, Nomor 1 Tahun 2004 Tentang BUNGA
(INTEREST/FA’IDAH), 434.
14
Yusna Zaidah, Metode Penemuan Hukum Islam, Jurnal Syariah, Vol.7 No.2, Desember 2017, 142.
15

berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) bahwa jual
beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu spontan berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan perkaranya terserah
kepada Allah. Orang yang mengulangi riba itu adalah penghuni-penghuni neraka.
Mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Allah tidak menyukai setiap orang yang bertahan dalam kekafiran dan selalu
berbuat dosa.”
Sedangkan masalah asuransi kelompok kami menggunakan penalaran
istishlahi, ditinjau bahwa alasan diperbolehkanya berasuransi karena lebih banyak
maslahatnya dari pada mudharatnya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan
dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.
Secara etemologi kata “asuransi” banyak berasal dari bahasa-bahasa asing
diantaranya adalah Bahasa Belanda ”assurantie”, yang berarti pertangungan, Bahasa
Italia “insurensi”, yang berarti jaminan. Bahasa Inggris “assurance”, yang berarti
jaminan. Bahasa Arab “At-ta’min”, yang berarti perlindungan, ketenangan, rasa aman
dan bebas dari rasa takut.
Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan secara keras melarangnya.
Pengharaman dan pelarangan itu berdasarkan hukum nash-nash yang jelas dan pasti
(qath’i) dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena
ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan
mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw, termasuk para
ulama tidak banyak yang membicarakannya

16
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.1996.
Sulistiyowati. “Dinamika dan Problematika Asuransi Syariah (Mekanisme Kerja
Asuransi Syariah & Prosedur Pembayaran Klaim)”. Vol.2 No. 2. Kediri :
Oktober, 2012.
Kalsum, Ummi. “Riba dan Bunga Bank Dalam Islam (Analisis Hukum Dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian Umat)”. Vol. 7 No. 2. (Kendari : Juli,
2014),
Sula, Muhammad Syakir. AAIJ. FIIS. Asuransi Syariah. Jakarta: Gema Insani Press.

Ali, A.M. Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis dan Praktis. Cet. I. Jakarta: Kencana. 2004.
Saifuddin dan Mujtaba. Al – Masailul Fiqhiyah. Jombang: Rausyan fikr, 2007.

Ridwan, Ahmad Ajib. “Asuransi Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah. Vol. 04 Nomor 1, Maret 2016.

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung. 1996.


Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah; dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press. 2002.
Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos
Publishing House. 1995.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA. Nomor 1 Tahun 2004 Tentang BUNGA
(INTEREST/FA’IDAH.

Zaidah, Yusna. Metode Penemuan Hukum Islam. Jurnal Syariah. Vol.7 No.2.Desember
2017.

17

Anda mungkin juga menyukai