Disusun Oleh :
Nabila Nida’ Musyaffa’ 2105036053
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Ekonomi Islam :
Asuransi Syari’ah” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Prof. Dr.
Mujiyono, MA pada mata kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu. Makalah ini disusun guna
menambah wawasan tentang pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat serta bentuk – bentuk
asuransi syari’ah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya berterimakasih kepada Prof. Dr. Mujiyono, MA selaku dosen mata kuliah
Falsafah Kesatuan Ilmu yang telah memberikan tugas ini kepada saya, sehingga saya dapat
menambah wawasan dan pengetahuan sesuai bidang studi yang saya tekuni.
Saya berterimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian ilmu
pengetahuannya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Saya juga menyadari makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
Kesimpulan..............................................................................................................................11
Daftar Pustaka..........................................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuransi syari’ah merupakan salah satu lembaga keuangan syari’ah yang prinsip
operasionalnya didasarkan pada syariat Islam yang merujuk pada Al – Qur’an dan As –
Sunnah. Perkembangan asuransi syariah di Indonesia kian hari kian meningkat. Hal ini
didasari karena masyarakat membutuhkan lembaga keuangan islami yang interaksi
muamalahnya berdasarkan pada syari’at islam. Sebagian masyarakat memandang bahwa
praktek asuransi konvensional cacat dari sudut pandang syariah, oleh karena itu asuransi
syari’ah sangat diperlukan untuk menjawab keraguan masyarakat mengenai asuransi.
Tata cara operasional asuransi terdapat dalam Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 dan telah diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syari’ah)
dalam kegiatan asuransi syari’ah tersebut. Selain itu, terdapat fatwa – fatwa DSN (Dewan
Syariah Nasional) sebagai pedoman kegiatan asuransi syari’ah terutama dalam
penghitungan dana tabarru’ yang harus sesuai dengan fatwa DSN-MUI No : 12/DSN-
MUI/X/2001 tentang pedoman umum pada asuransi syari’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asuransi syari’ah?
2. Apa saja landasan hukum asuransi syari’ah?
3. Apa saja rukun dan syarat asuransi syari’ah?
4. Apa saja bentuk – bentuk asuransi syari’ah?
5. Apa perbedaan asuransi konvensial dengan asuransi syari’ah?
6. Apa yang dimaksud dengan tabarru’ dalam asuransi syari’ah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari asuransi syari’ah
2. Mengetahui landasan hukum dari asuransi syari’ah
3. Mengetahui rukun dan syarat dari asuransi syari’ah
4. Mengetahui bentuk - bentuk asuransi syari’ah
1
5. Mengetahui perbeedan asuransi konvensional dan asuransi syari’ah
6. Mengetahui pengertian tabarru’ dalam asuransi syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
1
Suhrawardi K. Lubis, dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, ,2000, hlm. 79.
2
Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, Jakarta, Gema Insani Press, 2005, hlm.2
2
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah.3
Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah
diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah
siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut,
maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit
pemberian (derma) yang diberikan oleh masing - masing peserta. Dengan pemberian
(derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian - kerugian yang dialami oleh peserta
yang tertimpa musibah.4
Menurut pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa asuransi syari’ah merupakan
salah satu lembaga keuangan syari’ah yang prinsip operasionalnya didasarkan pada
syariat Islam yang merujuk pada Al – Qur’an dan As – Sunnah. Asuransi syari’ah juga
merupakan kegiatan yang bergerak dalam usaha pertanggungan untuk saling tolong
menolong dan saling melindungi antara para nasabah dan pihak – pihak yang
bersangkutan dalam menghadapi risiko dengan dana tabarru’ melalui perjanjian yang
sesuai dengan syari’at Islam.
3
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada hambanya untuk saling tolong
menolong dan bekerja sama yang praktiknya dalam asuransi syari’ah dapat dilakukan
melalui instrumen dana tabarru’ atau dana kebajikan.
b. Q.S Al-Hasyr : 18
Artinya: “Hai orang - orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada hambanya untuk
mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok. Oleh karena itu, kita harus melakukan
suatu usaha untuk mempersiapkan diri seperti menabung atau berasuransi. Dengan
menabung atau berasuransi kita bisa berjaga – jaga jika suatu saat musibah datang
menimpa, kita telah siap dalam menghadapi situasi tersebut.
c. Hadits Nabi
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada umatnya
untuk saling tolong menolong dan membantu saudaranya yang sedang dalam kesulitan.
Hal ini dapat diimplementasikan pada instrumen dana tabarru’ yang difungsikan untuk
menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah.
4
d. Makful bih (utang, baik barang maupun orang), disyaratkan agar dapat diketahui dan
tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.5
Murtadha Muttahari mengatakan bahwa kafalah (asuransi) memiliki persyaratan
dan larangan untuk sahnya suatu akad. Akad yang melanggar salah satu dari larangan
atau akad yang belum memenuhi persyaratan maka hukumnya batal. Sedangkan akad
yang semua persyaratannya telah terpenuhi dan tercegah dari larangan, maka hukumnya
sah walaupun itu merupakan akad yang baru . Persyaratan yang harus dipenuhi dalam
kafalah (asuransi) adalah :
a. Baligh (dewasa)
b. Berakal, sudah barang tentu setiap transaksi yang dilakukan oleh orang yang
kehilangan akal adalah tidak sah, maka perasuransiannya pun batal.
c. Ikhtiar (kehendak bebas), tidak boleh ada paksaan dalam transaksi yang tidak disukai
d. Tidak sah transaksi atas suatu yang tidak diketahui. Syarat ini terdapat di dalam
seluruh transaksi. Tidak sah jual beli apabila barang yang di jual tidak diketahui, dan
tidak sah pembayaran harga atas sesuatu yang tidak diketahui. Karena transaksi
tersebut seperti perjudian.
e. Tidak sah transaksi yang mengandung unsur riba6
5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 191.
6
Murtadha Muthahhari, P a n d a n g a n I s l a m T e n t a n g A s u r a n s i d a n R i b a , T e r j e m a h :
Irwan Kurniawan, Ar - Riba Wa At - Ta’min , (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 287-289.
5
c. Reasuransi, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian atau asuransi jiwa.
Ruang lingkup kegiatannya hanya sebatas reasuransi.
Selain bentuk asuransi di atas, ada yang disebut dengan asuransi sosial yang
diselenggarakan oleh pemerintah, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sifat hubungan pertanggungan adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau
anggota masyarakat tertentu.
2) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang
dibuat untuk itu.
3) Tujuannya adalah memberikan jaminan social (social security), bukan untuk mencari
keuntungan.
Jenis – jenis asuransi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah
Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek), Asuransi Kesehatan (Askes), dan sebagainya.
6
B. Perbedaan Mengenai Dewan Pengawas Asuransi
1) Asuransi Syariah
Asuransi syariah mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan asuransi syariah. DPS mengawasi jalannya
operasional sehari-hari agar berjalan sesuai dengan prinsip syariah.
2) Asuransi Konvensional
Asuransi konvensional tidak mempunyai dewan pengawas dalam melaksanakan
perencanaan, proses dan praktik asuransinya.
7
peserta (sahibul maal ). Pihak perusahaan asuransi syariah hanya sebagai penyangga dalam
pengelolaannya.
2) Asuransi Konvensional
Kepemilikan harta dalam asuransi konvensional adalah milik perusahaan, dalam
prinsipnya perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan dana tersebut. Bersifat
tidak ada pemisah antara dana peserta dan dana tabarru’ sehingga semua dana bercampur
menjadi satu dan status hak kepemilikan dana adalah milik perusahaan.
8
2) Asuransi Konvensional
Menurut peraturan pemerintah, investasi wajib dilakukan oleh asuransi
konvensional pada jenis investasi yang akan menguntungkan serta memiliki likuiditas
yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan. Sedangkan keuntungan
yang diperoleh dari surplus underwriting menjadi milik perusahaan yang telah dahulu
RUPS dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan lagi kepada perusahaan
penyertaan modal.
9
rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi
peserta asuransi syariah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong-menolong.
Oleh karena itu, dalam akad tabarru’, pihak yang memberikan ikhlas memberikan sesuatu
tanpa ada keinginan untuk menerima apa pun dari orang yang menerima, kecuali kebaikan
dan ridha Allah swt. Hal ini berbeda dengan akad mu’awadhah dalam asuransi
konvensional di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada orang lain berhak menerima
penggantian dari pihak yang diberinya.
Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersil. Dalam akad tabarru’, peserta
memberikan hibah yang digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola. Mendermakan sebagian harta
dengan tujuan untuk membantu seseorang dalam menghadapi kesusahan sangat dianjurkan
dalam agama Islam. Syaikh Husain Hamid Hisan menggambarkan akad tabarru’ sebagai
cara yang disyariatkan Islam untuk mewujudkan ta’awun dan tadhamun. Dalam akad
tabarru’, orang yang menolong dan berderma ( mutabarri’ ) tidak berniat mencari
keuntungan dan tidak menuntut pengganti sebagai imbalan dari apa yang telah ia berikan.
Karena itu, akad tabarru’ ini dibolehkan. Hukumnya dibolehkan karena jika barang/sesuatu
yang ditabarru’ -kan hilang atau rusak di tangan orang yang diberi derma tersebut (dengan
sebab gharar atau jahal ah atau sebab lainnya), maka tidak akan merugikan dirinya.
Karena, orang yang menerima pemberian atau derma tersebut tidak memberikan pengganti
sebagai imbalan derma yang diterimanya. Dana tabarru’ boleh digunakan untuk membantu
siapa saja yang mendapat musibah. Tetapi dalam bisnis takaful karena melalui akad
khusus, maka kemanfaatannya hanya terbatas pada peserta takaful saja. Dengan kata lain,
kumpulan dana tabarru’ hanya dapat digunakan untuk kepentingan para peserta takaful
saja yang mendapat musibah. Sekiranya dana tabarru’ tersebut digunakan untuk
kepentingan lain, ini berarti melanggar akad.
Wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan bahwa tidak diragukan lagi asuransi
ta’awuni dibolehkan dalam syariat Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan
sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan. Pasalnya, setiap peserta membayar
kepesertaannya (premi) secara sukarela untuk meringankan dampak risiko dan
memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta asuransi
10
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Asuransi syari’ah (takaful) menurut Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syari’ah adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Asuransi
syari’ah merupakan salah satu lembaga keuangan syari’ah yang prinsip operasionalnya
didasarkan pada syariat Islam yang merujuk pada Al – Qur’an dan As – Sunnah. Asuransi
syari’ah juga merupakan kegiatan yang bergerak dalam usaha pertanggungan untuk saling
tolong menolong dan saling melindungi antara para nasabah dan pihak – pihak yang
bersangkutan dalam menghadapi risiko dengan dana tabarru’ melalui perjanjian yang
sesuai dengan syari’at Islam. Sebelum berasuransi atau melakukan transaksi pada asuransi
syari’ah, kita harus memperhatikan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar kita lebih
memahami mengapa kita melakukan hal tersebut. Setelah memenuhi rukun dan syarat
asuransi syari’ah, kita juga harus memperhatikan bentuk – bentuk asuransi apa yang akan
diambil sesuai dengan kebutuhan. Jika semua sudah terkoordinir dengan baik, maka
praktik asuransi pun akan berjalan dengan mudah dan lancar.
11
Daftar Pustaka
12