Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH

ASURANSI SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keuangan Syariah

Dosen Pengampu : Bapak Anindita Imam Basri, SEI, M.M

Disusun oleh :
Valsa Ayunda Tisya
17133200176

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalh ini
guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Syariah.
Saya berharap dengan adanya makalh ini dapat menjadi acuan maupun referensi
serta sebagai wawasan dan ilmu pengetahuan bersama, khususnya mengenai asuransi
syariah yang kini masih menjadi pro kontra oleh para kaum muslim mengenai asuransi
syariah yang dianggap tidak syariah karena mengandung riba dan judi. Di dalam makalah
ini akan dibahas dan diklarifikasikan mengenai problematika tersebut sehingga ada
sebuah solusi thayyiban.
Saya pun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, dikarenakan keterbatasan pengalaman maupun pengetahuan yang saya miliki.
Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta kritik yang membangun
dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima
kasih.

Yogyakarta, 16 November 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asuransi syariah merupakan prinsip perjanjian berdasarkan hukum islam antara
perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima
amanah dalam mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi yang di
selenggarakan sesuai dengan syariah. Di Indonesia, perkembangan asuransi juga
semangkin berkembang. Lahirnya perusahaan asuransi syariah didukung dengan
besarnya jumlah penduduk yang beragama islam yang membutuhkan suatu lembaga
keuangan islami sehingga setiap interaksi muamalah yang dilakukannya sesuai dengan
syariah. karena pada dasarnya masyarakat muslim memandang operasional asuransi
konvensional dengan ragu-ragu, atau bahkan keyakinan bahwa praktek itu cacat dari
sudut pandang syari‟at.
Hal ini dikarenakan sejumlah fatwa yang di keluarkan oleh lembaga- lembaga
otoritas fikih menyatakan ketidakbolehan sistem asuransi konvensional, karena
akadnya mengandung unsur riba, spekulasi, kecurangan, dan ketidakjelasan.
Sementara akad perusahaan asuransi kolektif islam berlandaskan pada asas
saling tolong-menolong dan menyumbang, disamping konsisten memegang hukum dan
prinsip syariat islam dalam keseluruhan aktivitasnya dan tunduk pada mekanisme
pengawasan syari‟at. Asuransi kolektif islam juga tidak menjalankan jasa asuransi
dengan orientasi memperoleh keuntungan (profit oriented) dan setiap peserta dalam
asuransi ini menjadi penangggung sekaligus tertanggung. Sehingga dengan demikian,
akad-akadnya pun bersih dari segala syarat poin yang bertentangan dengan hukum dan
prinsip-prinsip syariat Islam.
Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat
digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat
islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan AS- Sunah.2 Asuransi dalam islam
dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul resiko di antara sesama
orang, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang
lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong-menolong dalam kebaikan
dimana masing-masing mengeluarkan dana/ sumbangan/ derma (tabarru‟) yang
ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut.3 Dalam asuransi islam terdapat akad yang
dilakukan sebagai landasan untuk menjalankan prinsip syariah, agar terhindar dari
unsur riba, spekulasi, kecurangan dan ketidakjelasan, sehingga masyarakat tidak ragu
untuk melakukan kegiatan pada perusahaan asuransi syariah,
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa
rumusan masalah dalam makalah ini, antara lain :
1. Bagaimana pembahasan seputar asuransi syariah dengan narasumber Ustadz Dr.
Erwandi Tarmizi, MA?
2. Bagaimana pembahasan tanya jawab seputar asuransi syariah dengan narasumber
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diutarakan tujuan penulisan
dalam makalah ini, yaitu :
1. Untuk menganalisis dan mengidentifikasi pembahasan seputar asuransi syariah
dengan narasumber Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
2. Untuk menganalisis dan mengidentifikasi pembahasan tanya jawab seputar
asuransi syariah dengan narasumber Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA?

1.4 Manfaat Penulisan


Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi-referensi bagi para masyarakat
agar apabila mereka hendak mengikut asuransi, masyarakat dapat mengetahui ilmu
dan wawasan mengenai bagaimana asuransi yang diperbolehkan dalam Islam serta
membuka pikiran masyarakat bahwa asuransi yang haram bisa menjadi halal karena
menggunakan akad yang berbeda dengan akad asuransi konvensional.
2. Bagi Nasabah
Diharapkan nasabah untuk mengetehhui dan memahami beberapa prinsip
maupun akad asuransi syariah terlebih dahulu, agar terhindar dari gharar dan riba
yang diharamkan oleh Allah SWT.
3. Bagi Pembaca
Diharapkan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai asuransi
syariah yang dibolehkan dalam Islam dan bentuk pengaplikasiannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penulisan ini diharapkan menjadi acuan untuk penelitian sebelumnya yang
berkaitan dengan asuransi syariah.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Asuransi Syariah


Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam
bidang pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dunia
barat yang lahir bersamaan dengan adanya semangat pencerahan. Institusi ini
semakin berkembang dalam sebuah lembaga keuangan yang lebih modern dan
dapat menyokong pertumbuhan ekonomi. Dasar yang menjadi semangat
operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada sistem kapitalis yang
intinya hanya berorientasi pada pengumpulan modal untuk keperluan pribadi
atau golongan tertentu.

Lain halnya dengan asuransi syariah, asuransi dalam liratur keislaman


lebih banyak bernuansa sosial daripada bernuansa ekonomi atau profit oriented
(keuntungan bisnis). Hal ini dikarenakan oleh aspek tolong menolong yang
menjadi prinsip dasar asuransi syariah.

1. Pengertian Asuransi Syariah


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tentang
pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi
menurutnya, Asuransi Syariah (ta‟min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk asset dan atau sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru‟ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.1
Menurut Jubran Ma’ud Ar-ra’id yang dikutip oleh Muhammad Syakir
Sula bahwa dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta‟min, penanggung
disebut mu‟ammin,, sedangkan tertanggung disebut mu‟amm lahu atau
musta‟min. Sedangkan menurut Salim Segaf al- jufri At-ta‟min ( )
diambil dari kata ( ) memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan,
rasa aman, dan bebas dari rasa takut,2 sebagaimana firman Allah SWT dalam
QS.Quraisy ayat 4 sebagai berikut:

Artinya: yang telah memberi makanan kepada mereka untuk


menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.3

Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi adalah sikap


ta‟awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah
besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika
sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling
menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian
(derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian
(derma) tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-krugian yang dialami
oleh peserta yang tertimpa musibah.4 Mengikatkan diri kepada tertanggung
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5

1
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah
2
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) Konsep dan Sistem Operasional, Gema
Insani, Jakarta, 2004, hlm.28.

3
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjrmahnya, Diponegoro, Bandung, 2009, hlm. 48
“Pertanggungan” dengan kata *C’AD, yang mempunyai arti “shared
responsibility, shared guarantee, responsibility, assurance or surety” (saling
bertanggung jawab, saling menjamin, saling menanggung).6

Di Indonesia dalam sebuah identitas yang direkomendasikan oleh peserta


lokakarya asuransi syariah pada tahun 2001 yang diselenggarakan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI), untuk menyeragamkan penamaan perasuransian yang
bergerak dalam bidang pertanggungan dengan ditambahi kata-kata syariah, tanpa
penggunaan kata takaful atau at-ta‟min.7
Suhrawardi K.Lubis mengemukakan bahwa pada dasarnya asuransi atau
pertanggungan merupakan suatu ikhtiar dalam rangka menanggulangi adanya
risiko.8
Muhammad Iqbal mendefinisikan asuransi syariah adalah suatu pengaturan
pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong-menolong secara
mutual yang melibatkan peserta dan operator. Syariah berasal dari ketentuan-
ketentuan di dalam Al-Qur’an (Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW) dan As- Sunnah (teladan dari kehidupan Nabi Muhammad
SAW).9
Dengan demikian dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi
syariah merupakan suatu kegiatan yang bergerak dalam usaha pertanggungan untuk
saling melindungi dan tolong- menolong diantara para peserta maupun pihak lain
dalam menghadapi risiko dengan tabarru‟ melalui perjanjian yang sesuai dengan
syari’at islam.

6
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 61-62
7
Ibid, hlm. 64-65
8
Suhrawardi K. Lubis, dan Farid Wajdi, Op.Cit, hlm. 80
9
Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, Jakarta, Gema Insani Press,
2005, hlm.2
2. Landasan Hukum Asuransi Syari’ah

Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan


hukum praktik asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai
sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang
ada dalam ajaran islam. Yaitu Al-qur’an dan Al-hadits, maka landasan yang
dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh
sebagian ahli hukum islam.10

a. Perintah Allah SWT Untuk Mempesiapkan Hari Depan

Allah SWT dalam Al-Qur’an memerintahkan kapada hambanya untuk


senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok, karena itu
sebagian dari kita dalam kaitan ini berusaha untuk menabung atau berasuransi.
Menabung adalah upaya mengumpulkan dana untuk kepentingan mendesak
atau kepentingan yang lebih besar. Sedangkan berasuransi untuk berjaga-jaga
jika suatu saat musibah itu datang menimpa kita. Di sini diperlukan
perencanaan dan kecermatan menghadapi hari esok. Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-Hasyr ayat 18.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.10

10
Hasan Ali, Op.Cit, hlm. 10
b. Firman Allah SWT Tentang Prinsip-Prinsip Bermuamalah

1) QS.Al-Maaidah ayat 1

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad- aqad itu.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”12

2) QS.An-Nisaa ayat 58

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.”13
11
Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 437

12
Ibid, hlm. 84
c. Perintah Allah Untuk Saling Bertanggung Jawab
Dalam praktik asuransi syari’ah baik yang bersifat mutual maupun
bukan, pada prinsipnya para peserta bertujuan untuk saling bertanggung jawab.
Sementara itu, dalam Islam memikul tanggung jawab dengan niat baik dan ikhlas
adalah suatu ibadah. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hadits Nabi Berikut:
“ kedudukan persaudaraan orang yang beriman satu dengan yang
lainnya ibarat satu tubuh bila salah satu anggota tubuh sakit, maka akan
dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh lainnya”. (HR. Bukhari dan
Muslim)

d. Perintah Allah untuk Saling Bekerja Sama dan Bantu-Membantu Allah swt
memerintahkan kepada umatnya untuk saling menolong dalam kebajikan dan taqwa.
Rasulullah saw juga mengajarkan kepada kita untuk selalu peduli dengan kepentingan
dan kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Karena itu, dalam asuransi syariah
para peserta satu sama lain bekerja sama dan saling menolong melalui instrumen dana
tabarru‟ atau dana kebajikan. Allah SWT berfirman dalam QS.Al-Maidah ayat 2:

13
Ibid, hlm. 69
Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-
Nya.”14

e. Perintah Allah untuk Saling Melindungi dalam Keadaan Susah Allah SWT
memerintahkan untuk saling melindungi dalam
keadaan susah satu sama lain, dalam firmannya QS. Quraisy ayat 4

Artinya: “yang telah memberi makanan kepada mereka untuk


menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan”15

f. Hadits-Hadits Nabi SAW Tentang Prinsip Bermuamalah

Artinya: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu


kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan
darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR.

Muslim dari Abu Hurairah).

14
Ibid, hlm. 85

15
Ibid, hlm.483
Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung
gharar” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa‟i, Abu Daud, dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh


pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat
Ibnu Majah dari „Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari
Ibnu „Abbas, dan Malik dari Yahya).

g. Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang Muamalah

“Pada dasarnya, semua bentuk mu‟amalah boleh dilakukan kecuali


ada dalil yang mengharamkannya.”

Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi dalam kitabnya yang sangat


terkenal Al-Ahkam Wa Al-Haram Fi Al-Islam mengatakan bahwa dasar
pertama yang ditetapkan Islam, ialah bahwa asal sesuatu yang diciptakan
Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada
nash yang sah dan tegas dari
syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, ialah Allah dan Rasul)
yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah, misalnya karena ada
sebagian hadits yang lemah, atau tidak ada nash yang tegas ( sharih) yang
menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya yaitu
mubah (boleh).16

“Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”

“Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”17

Konsep kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus


dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti)
pada orang lain.18

3. Prinsip Dasar Asuransi Syari’ah

Asuransi syari’ah harus dibangun diatas pondasi dan prinsip dasar


yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini prinsip utama dalam asuransi syariah
adalah ta‟awanu‟ala al birr wa al-taqwa (tolong- menolonglah kamu
sekalian dalam kebaikan dan taqwa) dan al-ta‟min (rasa aman). Prinsip ini
menjadikan para anggota atau para peserta

16
Muhammad Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam, dikutip, M. Syakir Sula,

Op.Cit, hlm. 2

17
Nasr Farid M. Washil dan Abdul Aziz M. Azam, Al-madhkolu Fil Qawa‟idi Al-fiqhiyyah
Wa Atsaruhaa Fil Ahkami As-Syari‟yyat, Alih Bahasa Wahyu Setiawan, Qawa‟id Fiqhiyyah,

Cetakan Ketiga, Jakarta, Amzah, 2013, hlm, 17

18
Ibid.
asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya saling
menjamin dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat
dalam asuransi takaful adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad
tabaduli ( saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi
konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang
pertanggungan.19

Prinsip-prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah adalah sebagai


berikut:20

a. Tauhid (unily)
Prinsip tauhid (unily) adalah dasar utama dari setiap bentuk
bangunan yang ada dalam syari’ah Islam. Setiap bangunan dan aktivitas
kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya
bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus
mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hadid ayat 4
sebagai berikut:

Artinya: “dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.21

19
Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia,

Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 146

20
Hasan Ali, Op.Cit, hlm.

21
Ibid, hlm. 430
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana
seharusnya menciptakan suasana dan kondisis bermuamalah yang
tertuntun dalam nilai-nlai ketuhanan.

b. Keadilan (justice)

Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai- nilai


keadilan (jistice) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi.
Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan
hak dan kewajiban di antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.

c. Tolong-menolong (Ta‟awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi
harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta‟awun) antara
anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus
mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan
beban temannya yang pada saat ketika mendapatkan musibah atau
kerugian.
Dalam hal ini Allah SWT telah menegaskan dalam firman- Nya
QS Al-Maidah ayat 2

Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-
Nya.”22

Praktik tolong-menolong dalam asuransi adalah unsur utama


pembentuk (DNA-Chromosom) bisnis asuransi. Tanpa adanya unsur ini
atau hanya semata-mata untuk mengejar keuntungan bisnis berarti
perusahaan asuransi itu sudah kehilangan karakter utamanya, dan
seharusnya sudah wajib terkena pinalti untuk dibekukan operasionalnya
sebagai perusahaan asuransi.23

d. Kerja Sama (cooperation)


Prinsip kerja sama (cooperation) merupakan prinsip universal yang
selalu ada dalam literatur ekonomi islam. Manusia sebagai makhluk
yang mendapat mandat dari khaliq-Nya untuk mewujudkan perdamaian
dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, yaitu sebagai mahluk individu dan
sebagai mahluk sosial.
Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad
yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu
antara anggota (nasabah) dan perusahaan asuransi.

22
Ibid, hlm. 85

23
Istilah DNA-Chromosom pertama kali dipakai oleh Murasa Sarkaniputra dalam menjelaskan
unsur pembentukan utama ekonomi Islam, yaitu prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung
dan rugi), komoditi yang halal dan thayib, serta instrumen zakat. Lihat Murasa Sarkaniputra, Peran
Zakat dan Kebutuhan Dasar dari As-Syatibi dalam Menentukan Pembagian Pendapat Fungsional,
Makalah Seminar di Bank Indonesia, 2001
Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapat
memakai konsep mudharabah atau musyarakah. Konsep mudharabah
dan musyarakah adalah dua buah konsep dasar dalam kajian ekonomika
Islami dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan ini.

e. Amanah (trustworthy/ al-amanah)


Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam
nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui
penyajian laporan keuangan tiap periode. Allah SWT berfirman dalam
QS. An-Nisa ayat 58

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan


amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”24

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi.


Sesorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan
informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi)
dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya.
f. Kerelaan (al-ridha)
Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan
ridha dalam setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan
antara pihak-pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan.
g. Larangan Riba
Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri
dengan cara yang tidak dibenarkan, hal ini telah dijelaskan dalam firman
Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 29 :

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”26

Ada beberapa bagian dalam Al-Qur’an yang melarang pengayaan


diri dengan cara yang tidak benar. Islam menghalalkan perniagaan dan
melarang riba.
h. Larangan Maysir (judi)
Allah SWT telah memberi penegasan terhadap keharaman
melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsur maysir (judi),
firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 90

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya


(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”27

Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsur maysir judi artinya adanya


salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang pois dengan sebab-
sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period,
biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima
kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga
adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman
underwriting, dimana untung rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.
i. Larangan gharar (ketidakpastian)
Rasulullah SAW. Bersabda tentang gharar dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

Artinya: “Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW


melarang jual-beli hashas dan jual beli gharar”. (HR.
Bukhori-Muslim)

Selanjutnya pada bagian manakah gharar (ketidakpastian) terjadi


pada asuransi konvensional yang kita kenal selama ini? Syafi’i Antonio
menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi ada dua
bentuk.28
1) Bentuk akad syari’ah yang melandai penutupan polis.
2) Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i
penerimaan uang klaim itu sendiri.

28
Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi dalam Perspektif Islam, Jakarta. STI, 1994, hlm.1-3
4. Bentuk-Bentuk Asuransi
Perusahaan asuransi dan jenis-jenis bidang usaha perasuransian di
Indonesia dapat ditemukan dalam Bab III Pasal 3 Undang-undang Nomor 2
tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan sebagai berikut:29
a. Asuransi Kerugian
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risisko atas kerugian kehilangan manfaat dan tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak
pasti.
b. Asuransi Jiwa
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang dipertanggungkan.
c. Reasuransi
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian
atau perusahaan asuransi jiwa.

29
Suhrawardi K. Lubis, dan Farid Wajdi, Op.Cit, hlm.85- 86
5. Akad Dalam Asuransi Syari’ah

Prinsip-prinsip perjanjian islam sebagai suatu perjanjian yang bebas dari


unsur gharar, maisyir, dan riba dapat diimplementasikan dalam kegiatan
usaha suatu perusahaan asuransi. Adapun ketentuan mengenai akad dalam
asuransi adalah sebagai berikut:
a. Akad Dalam Asuransi Syari’ah
1) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri
atas akad tijarah dan akad tabarru‟.
2) Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah.
Sedangkan akad tabarru‟ adalah hibah. Dalam akad sekurang-
kurangnya haus disebutkan:
a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
b) Cara dan waktu pembayaran premi
c) Jenis akad tijarah dan akad tabarru‟ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diadakan.
b. Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan akad tabarru,
1) Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul
maal (pemegang polis).
2) Dalam akad tabarru‟ (hibah), peserta membeikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena
musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola
dana hibah.
c. Ketentuan Dalam Akad Tijrah dan Tabarru‟
1) Jenis akad tjarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru‟ bila
pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya
sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum
menunaikan kewajibannya.
2) Jenis akad tabarru‟ tidak dapat diubah menjadi jenis akad
tijarah30.

d. Premi Dalam Asuransi Syariah


Premi merupakan pembayaran sejumlah uang yang dilakukan pihak
tertanggung kepada penanggung untuk mengganti suatu kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan akibat
timbulnya perjanjian atas pemindahan risiko dari tertanggung kepada
penanggung (transfer of risk).
1) Pembayaran premi bidasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis
akad tabarru‟
2) Untuk menentukan bentuknya premi perusahaan asuransi syariah
dapat menggunakan rujukan berupa ilustrasi.

30
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta, Safiria Insania
Press, 2008, hlm.75.
B. Konsep Dasar Akad Tabarru’
1. Pengertian Akad Tabarru’
Kata “akad” (Arab := perikatan, perjanjian dan pemufakatan).31
Menurut terminologi fiqih kata “akad” diartikan sebagai pertalian ijab, yaitu
pernyataan melakukan ikatan dan qabul yang berarti pernyataan penerima
ikatan yang sesuai dengan kehendak syari'at dan berpengaruh pada suatu
perikatan. Sesuai dengan kehendak syari'ah, seluruh perikatan yang
dilakukan pihak-pihak yang terkait dianggap sah apabila sejalan dengan
syari'ah, sedangkan maksud dari berpengaruh pada suatu perikatan berarti
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak kepada pihak lain.32

Dalam kamus istilah fiqih arti kata tabarru‟ ialah sikap dan usaha mencari
pahala dengan melakukan kesunnahan atau yang dianjurkan oleh Islam.
Bertujuan semakin mendekatkan hubungan dengan Tuhan, tabarru‟ bisa
diarikan pemberian secara sukarela, atau derma.33

Tabarru‟ berasal dari kata tabarra‟a-yatabarra‟u-tabarru‟an, artinya


sumbangan, hibah, dana kebajikan, atau derma. Orang yang memberi
sumbangan disebut mutabarri‟ (dermawan).34 Tabarru‟ merupakan
pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa

31
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: (Fiqh Muamalat), cetakan
pertama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 101

32
Abdullah Amrin, Asuransi Syari'ah : Keberadaan Dan Kelebihannya Ditengah Asumsi
Konvensional, Jakarta, Elekmedia Komputindo, 2006, hlm. 31

33
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Cetakan Ketiga, Jakarta, Pustaka Firdaus,
2002, hlm.354

34
Muhammad Syakir Sula, Op.Cit, hlm.35
ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari
pemberi kepada orang yang diberi.35
Niat tabarru‟ (dana kebajikan) dalam akad asuransi syariah adalah
alternatif uang sah yang dibenarkan oleh syara’ dalam melepaskan diri dari
praktik, gharar yang diharamkan oleh Allah swt.

Syaikh Husain Hamid Hisan menggambarkan akad tabarru‟ sebagai cara


yang disyariatkan Islam untuk mewujudkan ta‟awun dan tadhamun. Dalam
akad tabarru‟ orang yang menolong dan berderma (mutabarri‟) tidak berniat
mencari keuntungan dan tidak menuntut “pengganti” sebagai imbalan dari apa
yang telah ia berikan.36

Menurut Adiwarman Karim akad tabarru‟; (gratuitous contract) adalah


segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction
(transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakekatnya bukan transaksi bisnis
untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru‟ dilakukan dengan
tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru‟ berasal
dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan).

Dalam akad tabarru‟, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad
tabarru‟ adalah dari Allah swt, bukan dari manusia.37

35
Nasrun Harun, Fiqih Muamalah, Jakarta, Media Pratama, 2000, hlm.82

36
Op.Cit, hlm.37

37
Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi Kelima, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 66
Mohd. Fadzli Yusuf mendefinisikan Dana tabarru‟ boleh digunakan untuk
membantu siapa saja yang mendapat musibah. Tetapi dalam bisnis takaful,
karena melalui akad khusus, maka kemanfaatannya hanya terbatas pada
peserta takaful saja. Dengan kata lain, kumpulan dana tabarru‟ hanya dapat
digunakan untuk kepentingan para peserta takaful saja yang mendapat
musibah. Sekiranya dana tabarru‟ tersebut digunakan untuk kepentingan
lain, ini berarti melanggar syarat akad.38

Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili Akad tabarru‟ adalah bentuk


tolong-menolong dalam kebaikan. Pasalnya setiap peserta membayar
kepesertaannya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak
resiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta
asuransi.39

Dengan demikian Akad Tabarru‟ pada asuransi adalah akad yang


dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong
antar peserta, bukan untuk tujuan komersial. Dalam akad Tabarru‟ peserta
memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau
peserta lain yang tertimpa musibah. Sedangkan perusahaan hanya bertindak
sebagai pengelola.40

38
Muhammad Syakir Sula, Op.Cit, hlm.38
39
Ibid .
40
Fatwa DSN-MUI, NO:53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari
2. Landasan Hukum Akad Tabarru’
Dalam Al-Qur’an kata tabarru‟ tidak ditemukan. Akan tetapi, tabarru‟
dalam arti dana kebajikan dari kata al-birr (kebajikan) dapat ditemukan dalam
QS. Al-Baqarah ayat 177 sebagai berikut:

Artinya: “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat


itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”41

Dana tabarru‟ ini merupakan realisasi dari perintah Allah swt untuk saling
tolong menolong yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 2

Tabarru‟ dalam makna hibah atau pemberian, dapat kita lihat dalam
firman Allah QS. An-Nisa ayat 4:
Artinya: “ berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.”42

Menurut jumhur ulama ayat di atas menunjukkan (hukum) adanya


anjuran untuk saling membantu antar sesama manusia. Oleh sebab itu, Islam
sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk
menghibahkannya kepada saudara-saudaranya yang memerlukan.

Mendermakan sebagian harta dengan tujuan untuk membantu seseorang


dalam menghadapi kesusahan sangat dianjurkan dalam agama Islam.
Penderma (mutabarri‟) yang ikhlas akan mendapat ganjaran pahala yang
sangat besar, sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah ayat 261

42
Ibid, hlm. 61
Artinya: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha mengetahui.”43

3. Jenis-Jenis Akad Tabarru’

Pada dasarnya, akad tabarru‟ ini adalah memberikan sesuatu (giving


something) atau meminjamkan sesuatu (lending something). Dengan
demikianada 3 (tiga) jenis akad tabarru‟ yaitu : (a) Meminjamkan uang
(lending), (b) Meminjamkan jasa kita (lending yourself), dan (c) Memberikan
sesuatu (giving something).

a) Meminjamkan Uang (Lending)


Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya,
setidaknya ada 3 (tiga) jenis yaitu sebagai berikut :

(1) Bila pinjaman ini diberikan tanpa mengharapkan apapun, selain


mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu
maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan qard
(2) Jika dalam meminjamkan uang ini di pemberi pinjaman
mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu,
maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn.

43
Ibid, hlm. 34
(3) Suatu bentuk pemberian pinjaman uang, dimana tujuannya
adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk
pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti ini disebut
hiwalah.44
b) Meminjamkan Jasa (Lending Yourself)
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga
terbagi menjadi 3 jenis. Bila kita meminjamkan “diri kita” (yakni jasa
keahlian/ketrampilan) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama
orang lain, maka hal ini disebut wakalah. Karena kita melakukan
sesuatu atas nama orang yang kita bantu tersebut. Maka sebenarnya kita
menjadi wakil orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah.
Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita
menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas
menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), maka bentuk
peminjaman jasa seperti ini disebut akad wadi‟ah.
c) Memberikan Sesuatu (Giving Something)
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai
berikut : hibah, wakaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain. dalam semua
akad akad tersebut si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain.
Bila penggunaan untuk kepentingan umum danagama, maka akadnya
dinamakan wakaf objek wakaf ini tidak boleh diperjualbelikan begitu
dinyatakan sebagai aset wakaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah
pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.

Begitu akad tabarru‟ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak


boleh diubah akad tijarah kecuali ada kesepakatan dari kedua belah
pihak untuk mengingatkan diri dalam akad tijarah tersebut.45
4. Tujuan, Dan Fungsi Akad Tabarru’
a) Tujuan Akad Tabarru‟
Tujuan dari dana tabarru‟ ini adalah membikan dana kebajikan
dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain
sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena
musibah. Konsep takafuli yang digunakan oleh asuransi syariah
menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga
besar yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan menanggung
risiko.46
b) Fungsi Dana Tabarru‟
Akad tabarru‟ ini adalah akad-akad untuk mencari
keuntungan akhirat karena itu bukan akad bisnis. Jadi, akad ini tidak
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersial. Asuransi syariah
sebagai lembaga keuangn yang bertujuan untuk mendapatkan laba
tidak dapat mengandalkan akad-akad tabarru‟ untuk mendapatkan
laba. Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba, gunakanlah akad-
akad yang bersifat komersial, yakni akad tijarah. Namun demikian,
bukan berarti akad tabarru‟ sama sekali tidak dapat digunakan
dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataannya, penggunaan
akad tabarru‟ sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena
akad tabarru ini dapat digunakan untuk menjembatani atau
memperlancar akad-akad tijarah.47

5. Manfaat (Klaim) Takaful


a. Takaful Keluarga
Pada takaful keluarga ada tiga skenario manfaat yang diterima oleh
peserta, yaitu klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta takaful
apabila terjadi hal berikut ini:
1) Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum
jatuh tempo), dalam hal ini maka ahli warisnya akan menerima:
(a) Pembiayaan klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah
disetorkan dalam rekening peserta ditambah dengan bagian
dari keuntungan hasil investasi.
(b) Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung
dari tanggal meninggalnya sampai dengan saat selesai masa
pertanggungannya. Dana untuk maksud ini diambil dari
rekening khusus para peserta yang memang disediakan untuk
itu.
2) Peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan.
Dalam hal ini peserta yang bersangkutan akan menerima:

(a) Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan kedalam


rekening peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari
hasil investasi. Kelebihan dari rekening khusus peserta
apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan dan
pembayaran klaim masih ada kelebihan.
3) Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai.
Dalam hal ini peserta yang bersangkutan tetap akan menerima
seluruh angsuran premi yang telah disetorkan kedalam rekening
peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.48

b. Takaful Umum
Klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami
musibah yang menimbulkan kerugian harta bendanya sesuai dengan
perhitungan kerugian yang wajar. Dana pembayaran kalim takaful
diambil dari kumpulan uang pembayaran premi peserta.49
6. Penerapan Akad Tabarru’ Pada Asuransi Syariah
Asuransi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kegiatan asuransi di Indonesia
sudah lama dilakukan. Sedangkan kegiatan asuransi yang berdasar pada hukum
Islam belum lama berkembang di Indonesia.
Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah salah
satu lembaga yang diakui oleh pemerintah untuk

48
Widyaningsih Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Jakarta,
Kencana, 2007, hlm.213-214

49
Ibid.
memberikan pedoman dalam pelaksanaan produk-produk syari'ah di lembaga-
lembaga keuangan syari'ah termasuk asuransi syari'ah.50

Konsep asuransi takaful bersendikan pada asas saling membantu atau gotong
royong dan kerjasama untuk saling membantu serta saling melindungi dengan
penuh rasa tanggung jawab apabila ada peserta yang tertimpa musibah. Asuransi
takaful adalah asuransi yang di dalamnya terdapat kekhususan operasional.
Kekhususan sistem operasionalnya asuransi takaful terletak pada dua bidang,
yaitu :

a. Adanya arahan terhadap investasi dari dana yang terkumpul ke


sektor sektor investasi yang tidak bertentangan dengan syari'ah
Islam
b. Adanya porsi bagi hasil yang dapat diterima oleh peserta
asuransi/tertanggung.51
Adapun prinsip-prinsip utama dalam asuransi syari'ah adalah ta‟awanu’ ala
al-birr wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan
takwa) dan al-tamin (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau
peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling
menjamin dan menanggung resiko.

50
Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan Pertama, Jakarta,
Prenada Media, 2005, hlm. 170

51
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta, Salemba
emban Patria, 2002, hlm. 109
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad
takaful (saling menanggung) bukan akad tadabuli (saling menukar) yang selama
ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi
dengan yang pertanggungan.

Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari'ah atau


asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu :

a. Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful


memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong
peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas,
karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban
setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling
menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan
kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam
mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis.

b. Saling bekerja sama atau saling membantu yang berarti di antara peserta
asuransi takaful yang satu dengan lainnya saling bekerja sama dan
saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena
sebab musibah yang diderita.
c. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para
peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi peserta
lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang
dideritanya.52
Niat yang ikhlas karena Allah untuk membantu sesama yang
mengalami penderitaan karena musibah, merupakan landasan awal dalam
asuransi takaful. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi takaful
harus didasarkan kepada kerjasama tolong-menolong, tabarru‟ (sedekah),
sesuai dengan perintah Allah dan untuk mendapat keridhaan-Nya hanya
prinsip asuransi takaful adalah penghayatan semangat saling bertanggung
jawab, kerja sama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan sosial menuju
tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan masyarakat.

Akad tabarru‟ yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan


pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Akad tabarru‟
merupakan bagian dari tabaddul haq (pemindahan hak). Walaupun pada
dasarnya akad tabarru‟ hanya searah dan tidak disertai dengan imbalan, tetapi
ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian yang
didasarkan atas prinsip tolong-menolong dengan melibatkan perusahaan
asuransi sebagai lembaga pengelola dana.

52
Gemala dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari'ah di
Indonesia, cetakan pertama, Jakarta, Prenada Media, 2004, hlm. 133-134
Dengan akad tabarru‟ berarti peserta asuransi telah melakukan
persetujuan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi (sebagai lembaga
pengelola) untuk menyerahkan pembayaran sejumlah dana (premi) ke
perusahaan agar dikelola dan dimanfaatkan untuk membantu peserta lain yang
kebetulan mengalami kerugian. Akad tabarru‟ ini mempunyai tujuan utama
yaitu terwujudnya kondisi saling tolong-menolong antara peserta asuransi
untuk saling menanggung (takaful) bersama.53

Berdasarkan akad yang disepakati, perusahaan dan peserta mempunyai


hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kewajiban tertanggung adalah
membayar uang premi sekaligus di muka atau angsuran secara berkala. Uang
premi yang diterima perusahaan dipisahkan atas rekening tabungan dan
rekening tabarru‟. Sementara itu, hak tertanggung di antaranya adalah
mendapatkan uang pertanggungan atau klaim serta bagi hasil jika ada. Dengan
mudah dan cepat, kewajiban perusahaan asuransi adalah memegang amanah
yang diberikan para peserta dalam hal mengatasi resiko yang kemungkinan
mereka alami, perusahaan juga menjalankan kegiatan bisnis dan
mengembangkan dana tabungan yang dikumpulkan sesuai dengan hukum
syari'ah.

53
Hasan Ali, Op.Cit, hlm. 140
Sementara itu dana tabarru‟ yang telah diniatkan sebagai dana
kebajikan/derma diperuntukkan bagi keperluan para nasabah yang terkena
musibah.

Hak perusahaan asuransi syari'ah di antaranya menerima premi,


mengumpulkan dan mempergunakannya untuk kegiatan bisnis serta
mendapatkan bagi hasil dari kegiatan usaha yang dijalankan.54

Tentang penerapan umum akad tabarru‟ pada asuransi syari'ah.


Asuransi syari'ah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan tabarru‟
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari'ah.

Asuransi syari'ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang


dikenal dengan istilah “ta‟awun”, yaitu prinsip hidup melindungi dan saling
menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota peserta
asuransi syari'ah dalam menghadapi malapetaka.

Pada asuransi syari'ah, premi yang dibayarkan peserta adalah berupa


sejumlah dana yang terdiri atas dana tabungan dan tabarru‟. Dana tabungan
dianggap sebagai dana titipan dari peserta (life insurance) yang akan diolah
oleh perusahaan dengan mendapatkan alokasi bagi hasil (al-mudharabah).

Dana tabungan dan hasil investasi yang diterima peserta akan


dikembalikan kepada peserta ketika peserta mengajukan klaim baik berupa
klaim nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi.

Tabarru‟ merupakan infaq/sumbangan peserta yang berupa dana


kebajikan yang diniatkan secara ikhlas jika sewaktu-waktu akan dugunakan
untuk membayar klaim atau manfaat asuransi.55

55
Ibid. hlm. 4

54
Abdullah Amrin, Op.Cit, hlm. 67
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Berkaitan Asuransi Syariah dalam Kajian Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi
Kajian umum berdasarkan buku Harta Haram Muamalat Kontemporer. Asuransi
syariah merupakan aqidah seorang muslim bahwa Allah SWT jika mengharamkan sesuatu
pasti memberikan ganti yang jauh lebih baik daripada yang diharapkan. Allah SWT
mengharamkan kesyirikan dan Allah SWT memberikan gantinya kepada kita ketauhidan,
yang dengan tauhid kita sebagai manusia menghargai akal kita dan menghargai naluri kita
sebagai bentuk ciptaan Allah SWT azza wa jal, maka hal ini merupakan suatu usaha yang
sangat baik. Dengan syirik, manusia melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan
logikanya dan meremehkan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
Maka setiap hal yang diharamkan oleh Allah SWT, sebagaimana Allah SWT
mengharamkan perzinahan yang merusak manusia sehingga menimbulkan penyakit yang
sampai sekarang tidak diketemukan obatnya dan Allah SWT menghalalkan pernikahan
dengan pernikahan yang Allah SWT janjikan sakinah, mawadah, dan warohmah kepada
sepasang suami istri serta mendatangkan keturunan yang selalu bertauhid kepada Allah
SWT azza wa jal. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA., mengatakan bahwa bekal terbaik
manusia adalah anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya. Anak sholeh tersebut
merupakan sebuah pusaka yang sangat berharga bagi seorang manusia.
Allah SWT mengharamkan riba dan Allah SWT menghalalkan jual beli. Dengan
riba yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara manusia yang menjadi jurang pemisah
antara orang yang kaya dan orang yang kurang mampu mempunyai jenjang yang sangat jauh
dan mencolok. Kesenjangan social tersebut mengakibatkan dampak buruk yang sangat
banyak dalam tatanan kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Maka dari itu, Allah
SWT mngharamkannya dan diberikan gantinya yang jauh lebih baik, yaitu jual beli. Ketika
Allah SWT mengharamkan perjudian atau gharar, salah satu bentuknya adalah asuransi
yang sebelumnya sudah dibahas dengan akad yang mengandung riba dan judi, maka para
ulama mencari solusinya yang sesuai dengan syariah Allah SWT dan pasti ada. Apabila
tidak ada solusinya, maka berarti hal tersebut sama sekali tidak baik bagi manusia. Namun,
pasti ada solusinya apabila manusia berkeinginan untuk berusaha mencari tahu, maka Allah
SWT akan membantu melancarkan orang tersebut dalam menemukan solusi yang tahyyiban
atau solusi yang baik. Hal ini juga menjadi tugas dari para fuqaha maupun para ahli ilmu
untuk mencarikan sesuatu hal terhadap sesuatu yang diharamkan bagi manusia dalam
kehidupan ini.
Oleh karena itu, ketika para ulama mengharamkan asuransi berdasarkan dari dalil-
dalil Al Qur’an dan sunah, maka mereka merumuskan penggantinya yang terbebas dari
gharar, khimar, dan riba dari segi bisnis lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hal
ini mengingat asuransi merupakan kebutuhan manusia di abad modern agar kehidupan
mereka lebih tenteram untuk menghadapi risiko hari esok. Al majma al fiqih al islami dalam
muktamar pertama tahun 1978, setelah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan
asuransi,maka mereka menyertakannya dengan fatwa asuransi islami yang berbunyi :
“Majelis Al Ajma sepakat membolehkan asuransi koperatif atau takmin ta’awuni sebagai
dari ganti asuransi komersial yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil berikut”.
Jadi di tahun 1978, muktamar para ulama muslimin sedunia di bidang muamalat ,
mereka mengharamkan asuransi yang ada semenjak kemunculan asuransi pertama kali yaitu
pada tahun 1700-an di Itali. Asuransi pertama kali yang muncul tersebut adalah asuransi
ekspedisi melalui jasa transportasi, laut maupun kapal yang dinamakan dengan saukaroh.
Ibnu Abidin sebagai ulama Mukhti Negeri Syam pada waktu itu, beliau mengatakan asuransi
tersebut hukumnya adalah haram. Akan tetapi, kebutuhan akan asuransi ini semakin
mendesak, pada konferensi pertama muktamar kaum muslimin para ulama Islam pada tahun
1978, mereka menyatakan bahwa asuransi tersebut hukumnya haram dan mereka
memberikan solusinya dengan istilah takmin ta’awuni.
Ta’min artinya asuransi dan ta;awun artinya tolong-menolong atau kooperatif.
Pertama, asuransi kooperatif takmin ta’awuni merupakan akad hibah yang pada dasarnya
bertujuan untuk saling tolong menolong meringankan beban kerugian dan ikut andil dalam
menanggung penderitaan saat terjadi musibah dengan cara membayar uang tunai yang
dikhususkan untuk mengganti kerugian orang yang ditimpa musibah. Maka sekelompok
orang yang bergabung dengan takmin ta’awauni tidak bertujuan komersial merauk laba
maupun harta dari orang lain, semata-mata tujuan mereka adalah pemerataan risiko di antara
mereka dan saling tolong menolong serta menanggung sebagian risiko. Hal seperti ini
sebenarnya sudah ada di paguyuban-paguyuban kaum muslimin. Biasanya dalam
paguyuban RT atau RW, majelis taklim, yang mana apabila terjadi musibah maka mereka
memberikan sumbangan. Namun dalam takmin ta’awuni, sumbangannya lebih diatur.
Siapapun yang ikut dalam sumbangan tersebut, maka akan mendapatkan dari yang lainnya
sumbangan. Bentuk dari takmin ta’awuni adalah hibah, bukan dengan tujuan mendapatkan
kekayaan.
Asuransi kooperatif atau takmin ta’awuni terbebas dari riba dengan segala
bentuknya riba fadhl dan riba nasi’ah. Transaksi para peserta asuransi tidak termasuk akad
riba dan pengelola tidak akan menggunakan dana yang terhimpun dari peserta untuk suatu
transaksi riba dalam bentuk apapun. Berkaitan dengan hal ini, takmin ta’awuni sejalan
dengan prinsip syariah yang tidak mengandung riba. Syarat sebagai asuransi syariah adalah
harus terbebas dari riba dengan dua bentuknya yaitu riba dhain dan riba fadhl. Kemudian,
syarat yang kedua adalah dana yang telah terkumpul tidak boleh dikembangkan dalam
bentuk usaha yang mengandung deposito, sehingga usahanya harus dalam bentuk real.
Terbebas dari riba, riba terdiri dari dua bentuk, yaitu riba dhain dan riba ba’i (yang
di dalamnya ada riba fadhl dan riba nasi’ah). Riba dhain merupakan pertambahan akibat
utang piutang. Misalkan seseorang meminjam uang Rp 10.000.000, maka nanti ia
membayar Rp 11.000.000, maka semacam ini termasuk riba dhain. Apabila terlambat
membayar maka Rp 11.000.000 tersebut akan bertambah lagi per harinya sebesar 0,0..%
dari besarnya angsuran dan hal ini termasuk riba dhain pula. Riba ba’i merupakan riba jual
beli atas 6 komoditi, yaitu : emas, perak, gandum (ada 2 jenis : bur dan sair), kurma dan
garam. Apabila komoditi ini saling ditukar dengan jenis yang sama, maka syarat agar tidak
terjadi riba yaitu harus sama ukurannya dan harus transaksi pada saat itu juga. Mengenai
uang kartal, uang tersebut termasuk uang dalam kelompok emas dan perak, karena pada
waktu itu emas adalah alat tukar dalam bentuk dinar dan perak adalah alat tukar dalam
bentuk dirham.
Alat tukar pada masa sekarang ini adalah rupiah atau uang kartal, maka berarti
termasuk dalam kelompok ini. Oleh karena itu, syarat dalam menukarkan uang adalah harus
sama ukuran (sama nominal) dan tunai. Misalkan Anda menyerahkan nominal Rp
10.000.000 untuk sebagai premi asuransi kesehatan dan terjadi risiko yang
dipertanggungkan seperti Anda jatuh sakit dan Anda klaim asuransi, maka Anda akan
mendapatkan rupiah bukan kesehatan karena kesehatan tetap berobat sendiri. Ada beberapa
klinik di luar negeri yang memberikan jasa kesehatan, mereka membuat program iuran
kesehatan. Dalam program iuran kesehatan tersebut, sekelompok orang akan membayar
sekian per bulan dan mereka mendapatkan berbagai macam perawatan, sehingga dapat
dikatakan bahwa mereka memberikan jasa bukan uang dan hal seperti ini tidak ada masalah
dengan syarat diperkecil risikonya.
Contoh lain adalah dalam hal mengasuransikan mobil. Apabila terdapat kerusakan
A, B, C, D dan seterusnya maka orang yang mengasuranskan mobilnya tersebut membayar
sekian ke pihak asuransi, maka pihak asuransi harus melihat terlebih dahulu apakah
ghararnya kecil atau besar. Apabila ghararnya atau tingkat spekulasinya kecil, maka
dibolehkan. Namun, apabila tingkat gharar atau tingkat spekulasinya besar, maka hal
tersebut yang tidak diperbolehkan. Maka dalam kondisi seperti ini, sebelum dia menyatakan
mana yang akan dicovernya, maka ia akan mengecek kesehatan Anda terlebih dahulu
sehingga bisa menentukan. Namun, apabila yang dicek tidak sesuai dengan yang
diperkirakan tetapi risikonya akan menjadi mengecil. Risiko atau spekulasi yang mengecil
hokum asalnya adalah boleh. Sebab apabila gharar mutlak tidak diperbolehkan, maka kita
tidak bisa hidup.
Dengan kata lain, gharar atau spekulasi yang sedikit menurut para ulama
diperbolehkan. Mengenai contoh sebelumnya mengenai asuransi kesehatan baik menjadi
peserta asuransi di bank konvensional maupun bank syariah, maka seseorang akan
mendapatkan rupiah. Buktinya adalah apabila peserta asuransi tidak berobat maka ia tidak
akan bisa mengklaim asuransi. Maka kesimpulannya adalah peserta asuransi secara pasti
akan mendapatkan uang. Padahal sebelumnya peserta asuransi telah membayar dengan uang
dan kemudian peserta menerima asuransi dalam bentuk uang. Uang yang diterima peserta
asuransi tersebut dalam bentuk jumlah nominal yang berbeda dan tidak secara tunai.
Misalkan seseorang membayar premi sekarang dan jangka waktunya 1 tahun,
kemudian baru 3 bulan kemudian terjadi risiko maka klaim keluar setelah 4 bulan. Hal
seperti ini termasuk riba dalam bentuk tukar menukar uang dengan uang secara tidak tunai
dan dalam ukurang yang berbeda, sehingga dapat dikatakan asuransi tersebut termasuk
dalam riba fadhl dan riba nasiah sekaligus. Terlebih lagu, asuransi mengandung unsur judi
yaitu untung-untungan. Ketika terjadi risiko yang dipertanggungkan, maka Anda akan
mendapatkan klaim dan ketika tidak terjadi risiko maka uang Anda hilang sama sekali. Pada
saat Anda membayar premi, maka Anda tidak mengetahui apakah Anda akan mendapatkan
sesuatu risiko di masa yang akan dating atau tidak. Risiko dapat berwujud risiko jatuh sakit,
kecelakaan, kerusakan barang, dan lain sebagainya, tergantung dari jenis asuransi yang
diambil oleh seseorang.
Misal seseorang mengambil asuransi jiwa untuk jangka waktu 1 tahun, kira-kira dia
meninggal dalam 1 tahun maka ia mendapatkan penggantian uang premi asuransi dan
dibayarkan berlebih. Namun, apabila seseorang tersebut masih hidup dalam 1 tahun, maka
samapi akhir tahunnya uangnya akan hilang dan tidak ada kelebihan. Pada saat seseorang
mengikuti asuransi tersebut, pada hakikatnya adalah ia tidak tahu apakah ia akan
mendapatkan jasa asuransi sebagai timbal balik dari premi asuransi yang telah dibayarkan
atau tidak. Dalam menukarkan uang dengan uang maupun barang dengan barang yang kita
tidak tahu akan menerima uang/barang tersebut atau tidak, maka hukumnya adalah gharar
dan judi dan hal ini jelas haram. Oleh karena itu, asuransi syariah harus menghilangkan
unsur riba dalam dua bentuknya dan menghilangkan unsur khimar atau perjudian.
Ketidakjelasan besarnya klaim ganti rugi yang akan diterima peserta asuransi
kooperatid atau takmin ta’awuni pada saat akad dilangsungkan, maka tidak mempengaruhi
keabsahan akad karena akad ini merupakan akad hibah dan gharar dalam akad hibah
dibolehkan serta tidak termasuk judi. Berbeda dengan asuransi komersial, akad yang terjadi
adalah akad tukar-menukar. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi mengatakan bahwa gharar
dimaafkan, karena memang seseorang tidak akan tahu berapa yang akan didapatkan atau
diterima. Bisa jadi uang peserta asuransi hilang dan bisa jadi uang peserta asuransi tersebut
kembali dan ada pertambahan dan hal seperti ini tergolong gharar dan tidak diperbolehkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi juga
menyampaikan bahwa gharar hanya ternyata diperbolehkan namun hanya dalam 4 hal atau
kondisi, yaitu :
1. Nisbah ghararnya atau persentase ghararnya sedikit
2. Ia mendasar dalam akad maka tidak boleh, namun apabila pengikut dalam akad maka
hukumnya diperbolehkan.
Contohnya adalah asuransi. Asuransi hukumnya haram karena mengandung
gharar, namun apabila seseorang naik pesawat dan ditetapkannya aturan pemerintah
bahwa 11% dari harga tiket pesawat yang dibayar merupakan Asuransi Jasa Raharja.
Asuransi bersifat gharar dan haram, namun dalam hal ini, asuransi menjadi pengikut
akad jual beli tiket pesawat sehingga hukumnya menjadi boleh. Hal ini sejalan sebuah
dalil yang berbunyi “Sesuatu yang hukumnya mengikut pada yang boleh, maka
hukumnya menjadi boleh”.
Di samping itu, terdapat dalil Nabi Muhammad SAW melarang menjual janin
dalam perut induk hewan yang bunting. Misalkan anak kambing etawa, apabila anaknya
sudah lahir maka harganya mahal, maka ia beli pada saat masih di janin induk kambing
etawa tersebut yang harganya jauh lebih murah, namun unsur ghararnya sangat tinggi,
maka Rasulullah Saw mengharamkan membeli anak kambing yang masih dalam
kandungan induknya tersebut. Apabila Anda membeli kambing etawa yang sedang
hami maka boleh dan si penjual memasukaan harga anaknya sekaligus sehingga
harganya menjadi lebih mahal. Apabila tidak dimasukkan harga anak kambing tersebut,
maka si penjual pasti akan mengalami kerugian besar. Hal semacam ini diperbolehkan,
karena anak kambing tersebut menjadi pengikut dari akad jual beli induknya.
Rasulullah SAW mengharamkan menjual buah-buahan sebelum matang.
Apabila seseorang ingin membeli bukan buah-buahannya saja, namun kebun atau
tanahnya , maka si penjual memasukkan juga harga buah-buah yang ditanam, maka
sifatnya buah-buahan tersebut juga menjadi pengikut sehingga ghararnya dimaafkan
dan hal ini hukumnya halal sehingga diperbolehkan.

Majma’ Al Fiqih Al Islami divisi fikioki juga mengusulkan penggantian asuransi


komersial dengan keputusan No.9 (9/2) Tahun 1985 yang berbunyi, “Sebagai ganti dari
asuransi komersial yang diharamkan yaitu takmin ta’awuni atau asransi syariah yang
dibangun atas dasar hibah dan tolong-menolong. Apabila gharar dalam akad hibah, maka
diperbolehkan. Namun, gharar hukumnya haram apabila dalam akad jual beli. gharar
diharamkan dalam akad muawadhah atau akad tukar-menukar atau akad jual beli. akad tukar
menukar atau jual beli dengan saling ridho, namun tidak boleh dibuka barangnya atau dalam
keadaan tertutup tanpa ada penjelasan spesifikasinya maka hal ini tidak dibolehkan karena
mengandung unsur gharar dan termasuk dalam akad muawadhah atau tukar menukar.
Maka Rasulullah SAW mensyaratkan harus jelas dalam akad muawadhah. Hal
yang dilarang oleh Allah SWT adalah menarik hibah telah serah terima. “Orang yang
menarik hibahnya bagaikan anjing yang kembali menelan mentahnya”. Apabila seseorang
ingin memberikan sebuah hadiah kepada orang lain, namun orang itu menyuruhnya
membuka tetapi orang yang memberikan hadiah enggan membuka hibah kado tersebut dan
membawa pulang kembali, maka diperbolehkan. Dengan syarat hibah atau kado tersebut
belum dipegang atau diserahkan kepada orang tersebut.
Dewan Syariah Nasional juga telah mengeluarkan fatwa tentang pedoman umum
asuransi syariah No.21/DSN-MUI/10/2001. AAOIFI juga telah mengeluarkan panduan
umum tentang asuransi syariah pada tahun 2006 dalam Pasal 26 tentang At Ta’min Al Islami
sebagai berikut :
1. Divisi Ta’min atau asuransi syariah yaitu kesepakatan sekelompok orang yang
menghadapi risiko tertentu untuk mengurangi dampak risiko yang terjadi dengan cara
membayar kewajiban atas dasar hibah yang mengikat sehingga terhimpun dana
tabarruq.
2. Dana ini memiliki tanggungan tersendiri yang digunakan untuk membayar ganti rugi
para peserta asuransi syariah atas risiko yang terjadi. Sesuai dengan kesepakatan yang
disepakati, dana ini dikelola oleh dewan yang ditunjuk oleh para pemegang polis atau
sebuah perusahaan jasa dengan akad wakalah untuk mengendalikan dana atau
mengembangkan dana.
3. Dari fatwa-fatwa para ulama dapat dipahami bahwa asuransi Islam terhindar dari unsur-
unsur muamalat yang diharamkan yaitu riba dan gharar.
4. Adapun riba bai’yang terdapat dalam asuransi konvensional tidak terdapat pada
asuransi Islami, karena asuransi Islami bukanlah akad bai’ atau jual beli, melainkan
akad hibah atau sumbangan yang dimaksudkan untuk saling membantu dan saling
meringankan beban anggota yang terkena risiko dan dipertanggungkan bukan bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan antar para nasabah dan perusahaan asuransi dan secara
tinjauan fiqih akadnya bertujuan untuk membantu dan semata-mata berbuat baik maka
hal yang dilarang pun dapat dibolehkan.

Prof. Dr. Sa’ad Khajlan menjelaskan bahwa asuransi Islami terbebas dari riba bai’.
Apabila kita perhatikan kaidah-kaidah syariat akan kita dapati bahwa diberikan toleransi
untuk sebuah akad yang berdasarkan pada kebaikan semata, tolong-menolong dan saling
bantu. Contoh : akad qardh atau pinjam meminjam. Bentuknya sama dengan riba nasiah
karena bentuknya tukar menukar uang dengan uang dan dengan cara yang tidak tunai. Akan
tetapi, Islam membolehkan akad ini karena didasarkan pada bantuan dan kebaikan. Oleh
karena itu, apabila akad qardh bertujuan untuk mencari laba, keuntungan atau manfaat,
maka akad ini kembali pada hukum asalnya yaitu hukum riba yang diharamkan.
Dalam teori akad asuransi syariah takmin ta’awuni, tetap ada bentuk riba. Seseorang
peserta asuransi membayar uang, nantinya ia akan mendapatkan jasa asuransi yang justru
masih dalam bentuk uang dan tidak secara tunai, maka hal semacam ini termasuk riba dan
Allah SWT mengharamkannya. Mengenai meminjam uang atau membayar uang, hal-hal
tersebut juga termasuk riba. Misalkan seseorang meminjam uang untuk keperluan sekolah
anaknya atau biaya makan dan lain sebagainya, ia meminjam uang ke tetangga sebesar Rp
1.000.000 dan ia mendapat pecahan uang sebesar Rp 100.000 sebanayak 10 lembar. Setelah
1 bulan ia mengembalikan uang pinjaman tersebut dengan nominal yang sama namun
dengan pecahan uang Rp 50.000 sebanyak 20 lembar, maka hal seperti ini sebenarnya
termasuk dalam bentuk riba.
Sebab, meskipun nominalnya sama antara uang yang dipinjam dengan uang yang
dikembalikan, namun pengembaliannya tidak secara tunai. Dalam contoh ini termasuk
bentuk riba, akan tetapi transaksi ini pinjam meminjam didasarkan pada niat untuk saling
tolong menonlong. Orang yang meminjam uang karena ia membutuhkan uang untuk
bertahan hidup dan orang yang memberikan pinjaman uang ingin menolongnya dan ingin
mendapatkan pahala. Dengan demikian walaupun bentuknya riba namun akad saling tolong
menolong, maka Allah SWT membolehkan. Riba seperti ini yang diperbolehkan.
Ketika bentunya tidak saling tolong-menolong, seperti datang ke money changer,
bank, atau menukar uang lebaran, maka akadnya hanya tukar menukar atau berdagang
(bukan akad saling tolong-menolong). Transaksi seperti hal-hal tersebut yang diharamkan
oleh Allah SWT, karena mereka bertujuan untuk mendapatkan atau merauk untung saja,
bukan bertujuan untuk saling membantu sesama manusia. Dalil yang lain mengenai
menukar makanan pokok yang sejenis syaratnya harus sama takarannya dan tunai, karena
tujuannya untuk bisnis. Ketika tujuannya toong-menolong seperti dalam hadits riwayat Al
Bukhari, beliau mengatakan kepada kaum As Asyarini “Saya adalah bagian dari mereka
dan mereka adalah bagian dari saya”.
Rasulullah SAW begitu memuji kaum As Asyarini (suku dari Yaman yang berhijrah
ke Madinah) karena Rasulullah SAW melihat apabila terjadi musim panen makanan pokok
yang susah maka hal yang mereka lakukan adalah semua persekutuan mengumpulkan
semua gandum yang ada di satu tempat yang luas. Setelah dikumpulkan semua menjadi
satu kemudian dihitung ada berapa banyak orang dan dibagi merata.
Dalam hal tersebut, termasuk riba karena syarat dalam tukar menukar yaitu sama
dan tunai dan hal tersebut juga mengandung gharar karena kaum tersebut tidak mengetahui
orang-orang mengumpulkan berapa banyak gandum dan yang jelas mereka
menyumbangkan dalam jumlah yang berbeda-beda. Namun, Rasululah SAW ingin masuk
dalam kaum tersebut dikarenakan akad mereka bukan untuk mencari kekayaan, akan tetapi
mereka akadnya saling tolong-menolong. Kasus atau contoh kisah seperti ini bisa
diaplikasikan dalam penerapan asuransi syariah. Pihak asuransi syariah membuat regulasi
agar takmin ta’awuni tidak mengandung unsur riba dan gharar yaitu dengan akad saling
tolong-menolong (bukan kesempatan untuk berdagang atau berbisnis).
B. Pembahasan Sesi Tanya Jawab Asuransi Syariah dalam Kajian Ustadz Dr. Erwandi
Tarmizi
1. Pertanyaan : Saya bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan IT, dimana salah satu
customer kita bergerak di bidang pembiayaan kendaraan atau leasing. Disitu ada kerja
sama antara perusahaan saya dengan perusahaan leasing tersebut dalam terkait
operasional ITnya, seperti pembuatan aplikasi atau penyediaan perangkat server
computer maupun printer sampai dengan ada perawatan dan monitoring untuk seluruh
komponen atau perangkat IT tersebut agar berjalan dengan baik. Bagaimana hukumnya
atas penghasilan saya selama ini dan bolehkan saya bekerja di perusahaan saya saat ini?
Jawab :
Persentase klien yang berhubungan dengan riba leasing dan lain-lain tersebut
adalah sekitar 10%. Berarti penghasilan Anda10% haram dan 90% penghasilan halal.
Pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang gajinya 100% halal dan bonusnya 1000%
pun halal. Keputusan ada di tangan Anda.
2. Pertanyaan : Bagaimana jika barang dagan yang saya jual tidak mencukupi permintaan
pesanan pembeli dan saya harus membeli barang ke pusat terlebih dahulu, sedangkan
modal saya terbatas dan jumlah pembelian terlalu besar. Apakah boleh di akad jasa titip
sehingga pembeli memberikan uang terlebih dahulu?
Jawab :
Anda sampaikan ke pembeli bahwa transaksi tersebut adalah jasa titip, sehingga
ada barang yang Anda siap jual dan ada barang yang menggunakan jasa titip terlebih
dahulu karena kelebihan permintaan sehingga stok barang tidak ada. Apabila Anda
menjuak barang menggunakan harga yang sama antara barang yang sudah ada dengan
barang yang harus dibeli terlebih dahulu menggunakan jasa titip, sehingga transaksi
tersebut namanya bukan jasa titip. Seharusnya Anda bilang jujur mengenai modal
pokok, kemudian berapa bagian untuk Anda. Sebab apabila jasa titip berarti Anda
menjadi wakil pembeli, jadi seolah-olah yang mempunyai uang tadi mengatakan
kepada Anda seperti ini : “Ini barang yang ada dan saya jual ke Anda sekian. Yang
sisanya 40 item saya tidak mempunyai uang. Kalau Anda mau saya bisa sebagai wakil
Anda untuk membelikan barang tersebut dan berikan saya fee sekian persen”.
Dari kesepakatan jasa titip tersebut dan Anda sebagai wakil pembeli, maka
Anda akan mendapatkan fee sesuai kesepakatan bersama. Kemudian Anda posisinya
kepada pemilik barang atau supplier adalah bukan sebagai pembeli untuk diri Anda,
namun untuk pembeli yang diwakilkan sehingga manfaatnya untuk pembeli, bukan
untuk Anda. Namun, ternyata ketika harganya lebih murah dengan modal Anda
sebelumnya, maka tetap Anda harus jujur mengatakannya.
3. Pertanyaan : Saya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang arsitektur dan sesain
interior. Salah satu klien kantor saya adalah dia bergerak dalam bidang hukum atau
pengacara. Bagaimana hukumnya?
Jawab :
Anda membuatkan interior untuk pengerjaan kantor pengacara tersebut dan
apabila Anda tidak mengetahui apakah acaranya baik atau tidak, maka sebaiknya Anda
keluar saja. Akan tetapi, apabila Anda tahu bahwa pengacar tersbut acaranya sering
tidak baik sering bantu kasus kliennya asal menang, walaupun si klien pengacara adalah
orang yang tidak benar tetapi dari sisi hukum dia bisa dimenangkan. Lalu dia minta
untuk fee yang diberikan harus besa.
Biasanya fee hanya 10%, namun ia meminta 60%. Apabila Anda tahu orang itu
seperti tipe ini , maka haram Anda membantu atau di tempat pengacara tersebut.
Namun, apabila Anda tidak mengetahuinya, maka Anda lakukan. Misalnya pengacara
tersebut merupakan pengacara yang baik karena dalam setiap kasusnya, ia tidak mau
membantu orang yang bersalah yang mendapatkan hartanya dengan cara yang haram.
4. Pertanyaan : Bagaimana hukumnya menjual baju wanita yang tidak syar’i atau hanya
sampai lutut, tetapi saya pernah memakai tapi bawahannya rok jadi tidak terlalu ketat.
Saya tidak bisa menjamin apakah orang yang membeli tersebut, apakah dia memakai
orang tersebut memakai rok juga atau hanya memakai atasan saja. Bagaimana dengan
barang yang saya jual?
Jawab :
Pakaian yang diperjualbelikan adalah pakaian luar rumah, maka tidak boleh
Anda jual. Tetapi kalua desain pakaiannya untuk dalam rumah, maka diperbolehkan,
seperti orang yang menjual pakaian dalam. Jadi desain untuk pakaian luar rumah maka
harus menutup aurat. Tetapi ternyata dia tinggi dan dia tidak menutup auratnya, maka
bukan salah Anda. Atau pakaiannya sudah menutup aurat namun ia memotongnya,
maka Anda juga tidak berdosa.
5. Pertanyaan : Sekarang dunia internet semakin buming. Apakah hukum jual beli
domain? Saya membangun domain tersebut menjadi konten yang bermanfaat. Setelah
berpotensi yang mengikat maka saya jual, apakah halal juga? Namun, penjualannya
saya lelang, bagaimana mengenai hal tersebut?
Jawab :
Hukum asal jual beli domain adalah halal, kecuali mengandung unsur jual beli
yang diharamkan. Anda mengisi konten yang bermanfaat kemudian Anda jual, maka
hal tersebut juga halal. Mengenai lelang penjualan pun halal.
6. Pertanyaan : Saya menjual makanan dan minuman dari luar negeri, jadi makanannya
seperti roti-rotian dan minuman kemasan dari luar negeri. Biasanya saya menjual lewat
broadcast di media social, lalu info mau ikutan order dan saya menyuruh mereka untuk
membuat list orderan dan saya infokan kapan barang yang dipesan sudah ada. Biasanya
dari list orderan, saya lebihkan belanjanya untuk orang-orang yang biasanya mendadak
beli atau belum ikut di list orderan. Apakah itu yang dimaksdu dengan pre order?
Jawab :
Kalau Anda cancel maka tidak ada konsekuensinya karena Anda mengatakan
bahwa barang yang dicancel tersebut akan cepat lakuatau habis juga di pasaran. Maka
dalam memesan belum terikat jual beli dibolehkan. Jual beli nanti namun datanya ada
terlepas mereka jadi atau tidak. Mengenai pre order atau bukan saya tidak tahu. Akan
tetapi, hal yang terpenting adalah belum ada akad, karena akadnya setelah barang Anda
miliki baru Anda berakad jual beli.
Akan tetapi, apabila mereka Anda minta uang namun tidak jadi, sehingga ada
DP maka akad pesanannya mengikat. Berarti pula Anda menjual barang yang belum
Anda miliki dan hal ini yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
7. Pertanyaam : Saya mau bertanya mengenai pabrik syirkah. Kebetulan saya mempunyai
sebuah bisnis dimana di awal saya sudah menanam modal dan menawarkan rekan untuk
bergabung. Jadi akadnya syirkah penggabungan modal dan pada saat itu kita sudah
sepakat bahwa kepemilikian sekian dan keuntungan sekian, tetapi pada saat usaha
berlangsung mereka belum menanamkan modal sekiat sebulan lalu dan mungkin
mereka baru menanamkan modal minggu depan karena saya juga menunggu keputusan
MUI. Namun, saat ini usaha saya sudah berkembang 2 kali lipat dari sebelumnya.
Apakah kesepakatan awal tetap diberlakukan atau kesepakatn tersebut harus
diperbaharui sesuai dengan asset sekarang yang saya miliki?
Jawab :
Setau saya dalam akta pembuatan PT maka ada pembagian persentase modal.
Misal tiga orang menyetorkan modal seperempat seperempat seperempat, meskipun
hanya ada satu orang yang menyetorkan modal tetapi ketiga orang tersebut tetap Anda
memiliki hak dan kewajiban di sana. Hal ini salah. Seseorang tidak dikatakan syirkah
bekerja sama sampai dia menyetorkan uang jadi sama dengan akad tadi. Dia belum
boleh menjual barang sebelum barang tersebut sampai di tangannya, tetapi untuk
pendiskusian yang tidak mengikat janji maka boleh.
Dalam kasus Anda, mereka berjanji baru ingin bekerja sama . Sebelum Anda
terima uangnya berarti mereka belum ikut kerja sama. Dengan demikian, untung
mereka tidak dapat dan rugi juga tidak menanggung sampai mereka menyetorkan
modal. Walaupun mereka sudah berkontribusi kerja maka hal tersebut dinamakan
modal kerja. Mereka berhak menerima keuntungan yang saya terima karena mereka
juga menanggung kerugian dari pekerjaannya. Apabila dia modalnya dengan kerja, jadi
setelah mereka setor modal nanti berubah lagi presentase keuntungannya. Ketika
seumpama dia kerja anda kerja, uang baru satu dari anda, berarti anda duapertiga, dia
satu pertiga. Keuntungan berarti dia sepertiga anda duapertiga, ketika dia setorkan uang
sebesar setoran anda dan uang anda naik dari satu menjadi empat miliyar.
Jadi perhitungannya berubah menjadi seperempat, sepertiga kerja, seperempat
dari uang. Maka itu dari pandangan fiqih sulit menerapkan akad mudhorobah paada
rekening di bank Syariah saat ini. Ketika anda membuat akad mudharobah, anda bisa
ambil modal anda setiap hari. Jika kerja mudharobah, anda setor uang 1 M ke teman
anda, maka setiap hari anda ambil, dan besok anda tambah lagi, untuk perhitungannya
pasti sulit, karena ketika anda ambil berarti modal anda berkurang, ketika anda tambah
berarti presentasi modal anda adalah besar modal yang ada, bukan yang anda setor
diawal. Ketika terjadi kerugian nanti berbeda kerugiannya. Makanya sebenarnya
mudharobah tidak bisa diambil setiap hari.
8. Pertanyaan : Beberapa tahun yang lalu saya menerima share dari teman saya masalah
BPJS khadarullah suami sudah pension, dan selama pension ini kami tidak mengikuti
program BPJS. Yang kami dapat itu ada pengumuman mereka yang tidak ikut anggota
BPJS akan mendapat sangsi, seperti pencabutan layanan public tertentu seperti izin
mendirikan bangunan, sim, dll itu bagaimana dalam masalah BPJS ini ? menurut ustadz
bagaimana BPJS ini menurut Syariah ?
Jawab :
BPJS kesehatan itu bagus karena ada peserta tidak membayar itu fakir miskin
dan dhuafa. Bahkan lebih bagus dari prinsip Syariah yang ada di Indonesia, karena
dalam asuransi Syariah Indonesia, fakir miskin tidak ikut dia mendapat fasilitas
kesehatan dan klaim ganti rugi. Pihak asuransi ada yang rugi lalu tidak ada ganti
ruginya. Yang BPJS ini bisa walaupun anda tidak menyerahkan premi, dan angsuran
tetapi mempunyai layanan kesehatan yang berjumlah ratusan juta. Tetapi banyak di
Indonesia fakir miskin dan orang yang berpura pura fakir miskin sehingga dana BPJS
tidak mencukupi. Tetapi pada konsepnya ini sangat bagus, karena fakir miskin dan
dhuafa terbantu untuk pelayanan kesehatannya. Adapun kasus ibu tadi, lakukanlah,
anggap saja ibu mendaftar untuk membantu fakir miskin ketika anda sehat.
9. Pertanyaan : Saya memiiki sampingan pekerjaan yaitu desain dan desain itu saya jual
melalui market place. Namun, market place ini berbeda dengan e-commerce yang ada
di Indonesia. Jadi sistemnya seperti ini : adap 3 pelaku (pelaku utama desainer, pelaku
kedua market place atau si penjual, pelaku ketiga adalah pembeli). Namun, akad jual
beli dengan market place menggunakan akad berlangganan. Seperti tokopedia, desain
ini dijual ibaratkan barang sehingga ada user yang tertarik kemudian dia mendonwnload
dengan berbayar. Lalu, mengenai penghasilan saya itu didapat dari saldo pemakaian
desain yang sudah didonwnload dan market place menyetorkan saldo dalam bentuk
uang lalu saya menerima gaji tersebut
Jawab :
Ready stock. Hal yang saya pahami adalah semisalkan saya ingin memesan
cover buku harta haram lalu Anda membuatnya atau sudah ada ready stock dan
kemudian saya beli. Anda membuat desain berarti ketika ia mendownload dan
membayar desain tersebut, berarti desain tersebut sudah menjadi miliknya dan ia berhak
menjualnya kepada orang lain. Apabila desainer mendapatkan uang dari market place
diperbolehkan karena market place hanya sebagai perantara dari konsumen saja. Jika
Anda di dalam hati ada sesuatu yang mengganjal maka lebih baik jangan dilakukan.
Penghasilan Anda bukan gajipun berasal dari penggunaan hak cipta desain Anda maka
dengan seperti itu penghasilan juga halal.

Ustadz Erwandi Tarmizi mengatakan bahwa di dalam hati seseorang apabila ia tidak
merasakan sebuah ketenangan dan merasakan kejanggalandalam dirinya, maka sebaiknya
mencari sesuatu yang lain dari suatu hal yang membuat gelisah tersebut. Sebab, bisa saja ada
yang tidak benar atau tidak halal dari tindakan hati seseorang tersebut. Dengan kata lain,
mungkin orang tidak menyadarinya secara langsung, akan tetapi hati nuraninya yang akan
menuntunnya untuk membimbingnya atau memberikan petunjuk kepadanya mengenai halal
haramnya suatu hal. Terkadang orang mengatakan halal atau boleh, namun perasaan Anda tidak
tenang karena Allah SWT yang menggerakkan hati seseorang. Oleh karena itu, ikutilah apa
yang hati Anda katakan.

BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah mengingat asuransi merupakan


kebutuhan manusia di abad modern agar kehidupan mereka lebih tenteram untuk
menghadapi risiko hari esok, maka para ulama mencarikan sebuah solusi agar asuransi tetap
diperbolehkan dalam Islam. Pada hakikatnya asuransi merupakan hal yang haram karena
mengandung unsur riba, maysir dan gharar. Namun telah ditemukan sebuah solusi yaitu
asuransi yang berlandaskan akad saling tolong-menolong. Asuransi tersebut dinamakan
asuransi kooperatif atau disebut takmin ta’awuni, sebagai dari ganti asuransi komersial yang
diharamkan.
Asuransi pada dasarnya mumpunyai sifat haram dan secara teori akad asuransi
syariah atau takmin ta’awuni, tetap ada bentuk riba. Namun, apabila asuransi tersebut
dilandaskan dengan akad saling tolong-menolong terhadap sesama muslim, dan bukan
untuk tujuan merauk keuntungan atau bisnis, maka asuransi hukumnya menjadi halal.
Dengan kata lain, asuransi syariah ini lah yang hanya diperbolehkan dalam Islam dan hal
ini menjadi solusi terbaik bagi kaum muslim.
Dalam asuransi kooperatif atau takmin ta’awuni terbebas dari riba dengan segala
bentuknya riba fadhl dan riba nasi’ah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Ustadz Dr.
Erwandi Tarmizi juga menyampaikan bahwa gharar hanya ternyata diperbolehkan namun
hanya dalam beberapa hal seperti :
1. Nisbah ghararnya atau persentase ghararnya sedikit
2. Ia mendasar dalam akad maka tidak boleh, namun apabila pengikut dalam akad
maka hukumnya diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. 2008. Konsep dan Oprasionall Asuransi Syariah. Jakarta: Majalah
Muhammadiyah.
Dr. A. Junaidi Genie, SE.,SH., MH. 20110 Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and General). Jakarta: Gema Insani
Press.
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA. 2018. Asuransi Syariah.
https://youtu.be/OaVMHzQhSMA. (Diakses tanggal 15 November 2019)
Widyaningsih, SH., MH. 2007. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada.

Anda mungkin juga menyukai