Anda di halaman 1dari 6

Nama : Valsa Ayunda Tisya

NPM : 17133200176
Prodi /Kelas : Manajemen / A3

LEARNING DIARY

Topik pertama yang saya highlight dalam learning diary ini adalah mengenai
masih sangat lemahnya manajemen yang dilakukan oleh setiap desa. Hal ini
bersinggungan dengan fakta bahwa kini pada tahun 2010 berdasarkan pada data
Badan Pusat Statistik tahun 2018, Indonesia memiliki 83.931 wilayah administrasi
setingkat desa di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri atas 75.436 desa (74.517 desa dan
919 nagari di Sumatera Barat), kemudian 8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman
Transmigrasi (UPT)/Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT). Provinsi yang memiliki
banyak wilayah setingkat desa adalah Jawa Tengah, yakni 8.599 desa/kelurahan,
kemudian diikuti dengan Jawa Timur 8.496 desa/kelurahan dan ketiga diduduki oleh
Aceh dengan 6.508 desa.
Sungguh sangat ironis dan disayangkan apabila jumlah desa dan masyakat desa
yang banyak namun ternyata pada realisasinya mereka kurang mendapatkan perhatian
yang khusus atau lebih dari sektor pemerintah, masyarakat yang berpenghasilan lebih
bahkan dari generasi penerus bangsa terutama bagi mahasiswa. Menurut
sepemahaman dan sepengetahuan saya, masih lemahnya fundamental dalam
manajemen desa disebabkan oleh banyak faktor :
1. Lemahnya atau kurang berkualitasnya SDM pemerintah desa, perangkat desa
maupun masyarakat desa itu sendiri. Selama perkuliahan Administrasi Desa semester
lalu, saya menjadi banyak menyerap ilmu dan wawasan mengenai harapan dan
kenyataan atau fakta yang ada di desa atau mengenai fenomena-fenomena yang
terjadi di kalangan masyarakat desa. Kini, masih banyaknya kasus penyelewengan
dari para oknum yang menggunakan hak masyarakat desa hanya untuk
kepentingannya sendiri (kasus korupsi dan manipulasi data atau laporan keuangan).
Selain itu, pemilihan kepala desa pun minimal SMP dan hal ini membuat saya
berfikir bahwa tingkat kualitas dan kualifikasi pemimpin desa masih sangat rendah.
Bagaimana pemerintah bisa membuat kualifikasi seperti itu? Apakah pemerintah tidak
menyadari betapa pentingnya kualitas dan kualifikasi bagi seorang kepala desa?
Sedangkan menjadi kepala desa bukankah seharusnya diduduki oleh orang-orang
yang berkualitas, berpendidikan, mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup
bahkan lebih untuk memimpin sebuah desa, berdedikasi tinggi, mampu menampung
aspirasi masyarakat dan menjadi teladan yang baik (berkharisma, bijaksana dalam
mengambil keputusan dan bertindak). Kemudian, perhatian saya juga tertuju kepada
kurang aktifnya peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat desa. Menurut
saya, seolah-olah pemerintah hanya mengeluarkan anggaran, mencanangkan program
namun tidak ada tindak atau pendampingan lanjut lebih setelah itu, sehingga beberapa
program yang sebenarnya baik menjadi tidak terwujud.
Terlebih lagi, mengenai dana desa yang diperuntukkan oleh setiap desa menjadi
pertanyaan besar bagi saya. Sebab, saya melihat bahwa fenomena krusial yang terjadi
di pedesaan-pedesaan pada umumnya adalah bahwasanya dana desa tidak
dimanfaatkan secara optimal, efektif dan efisien karena seperti yang telah kita ketahui
bahwa banyak desa yang masih tertinggal. Hal ini ditandai dengan minimnya
pengetahuan mereka tentang seluk beluk desa mereka sendiri, struktur organisasi,
manajemen desa yang sebagaimana mestinya, lalu mengenai bagaimana seharusnya
administrasi desa berjalan dalam suatu kepemerintahan desa dan minimnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa mengenai potensi-potensi yang
sebenarnya sudah ada di desa mereka dan hal itulah yang dapat meningkatkan taraf
perekonomian warga desa.
Hal ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa pada tahun 2020 alokasi dana
desa dari APBN jumlahnya mencapai Rp 72 triliun dengan rata-rataper Desa
memperoleh sebesar Rp 960 juta. Apabila kita sinkronkan hubungan antara
banyaknya dana desa untuk setiap desa yang mencapai Rp 900 juta lebih dengan fakta
masih banyaknya desa yang kurang/tidak diberdayakan, apakah wajar? Lalu,
pertanyaan besar saya adalah lantas kemana uang sebegitu banyaknya dan justru kita
melihat kondisi lapangan bahwa banyak desa yang minim fasilitas sarana prasarana
masyarakatnya banyak minim penghasilan yang masih berciri khas dengan mata
pencaharian sebagai petani, mereka pun kurang dalam pemberdayaan ,pelatihan, dan
pendampingan.
Di samping itu, dari masyarakat sendiri masih ada beberapa daerah yang mana
mereka tidak mau menerima pembaharuan atau pelatihan dari mahasiswa yang
sebenarnya pelatihan tersebut bertujuan untuk membantu mereka dalam menggali dan
memanfaatkan potensi yang ada di desa mereka yang belum mereka sadari
sebelumnya (secara sederhananya : masih ada sebagian masyarakat yang berfikiran
kolot atau sulit beradaptasi dengan perkembangan zaman), dan justru hal ini lah yang
menghambat kemajuan desa dn masyarakat itu sendiri.
2. Kurangnya kesadaran dan empati generasi penerus bangsa sebagai generasi yang
penuh akan daya kritis dan bsegala ide inovasii dan kreativitas.
Dari hal ini, saya selaku mahasiswa dapat menyadari bahwa sebenarnya para
mahasiswa juga mempunyai kewajiban untuk memberikan atau membagi ilmu
pengetahuan dan wawasan yang didapat dan menularkannya ke masyarakat di
pedesaa-pedesaan yang minim akan pengetahuan, terutama mengenai IPTEK. Sebaga
kaum intelektual, mahasiswa dapat mengambil peran besarnya dalam memberdayakan
masyarakat desa dengan memberikan pelatihan atau pembinaan mengenai
kewirausahaan, sosialisasi parenting untuk mengatasi kenakalan remaja yang sedang
marak, dan masih banyak lagi. Namun, berdasarkan beberapa narasumber dari
beberapa dosen dan kepala desa (sewaktu saya melakukan observasi dan ijin kepada
Pak Dukuh di tempat tujuan pelatihan kelompok saya), beliau pun selaku kepala desa
menyayangkan dan menentang adanya kebijakan atau realisasi bahwa sebagian besar
KKN baik dari perguruan tinggi swasta atau negeri, mereka hanya menjalankan
proker saja dan proker-proker tersebut pun juga tidak mencantumkan program yang
bertujuan untuk memberdayakan desa (singkat cerita dari pak dukuh adalah para
mahasiswa KKN selama sebulan tersebut hanya bersantai-santai saja).

Bab 2
Topik yang akan saya angkat adalah tidak terealisasinya strategi-strategi yang
seharusnya dilakukan oleh desa. Secara teori, terdapa banyak sekali strategi yang bisa
dijalankan oleh pemerintah desa, perangkat desa bahkan masyarakat desa itu sendiri.
Strategi desa tersebut sebenarnya apabila direalisasikan akan menjamin sebuah
keberlangsungan kehidupan desa yang mandiri dan dapat meningkatkan taraf
kehidupan ekonomi para masyarakat desa. Tidak terealisasina atau tidak dimanfaatkan
strategi-strategi tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor :
1. Minimnya kualitas pengetahuan dan wawasan dari kepala desa
2. Minimnya kesadaran masyarakat bahkan kepala desa mengenai potensi
tersembungi yang bisa digali agar bisa dihasilkan sebuah produk yang lebih bernilai
dan tentunya bernilai ekonomis. Di kondisi lapangan, saya melihat di beberapa desa
dan berdasarkan cerita-cerita yang saya dapat, bahwa warga desa pun dominan tidak
mengetahui apa potensi yang ada di desa mereka sendiri
3. Kurang aktifnya kepala desa untuk mencari relasi kerja sama dari pihak ketiga
yang mau bersama-sama mengembangkan sebuah usaha berseumber dari potensi desa
4. Masih miminnya kesadaran masyarakat bahwa dengan kewirausahaan hanya
dengan memanfaatkan potensi desa dapat menguntungkan
5. Pemikiran sebagian masyarakat yang kolot atau tidak terlalu mau memperhatikan
tentang pentingnya strategi dalam membangun masyarakat desa yang berdaya guna
dan mandiri
Sedangkan pada realitanya, sudah ada berbagai macam strategi-strategi yang
cocok dan bagus untuk diimplementasikan, seperti strategi akbar dan strategi bersaing
desa. Di setiap strategi akbar pun jikadirinci sudah memuat detail berbagai strategi
yang lebih dari 10 dan sama halnya dengan strategi bersang desa yang terdiri dari 4
strategi, yaitu : 1. Strategi fokus, 2. Strategi pembedaan diri, 3. Strategi biaya rendah,
4. Stragei adaptif dan cepat tanggap.
Selain itu, sejauh yang saya tahu berkaitan dengan analisis lingkungan internal
desa (mengenai keunggulan dan kelemahan desa) dan analisis lingkugan eksternal
juga belum terealisasi sehingga kemungkinan terbesarnya adalah bahwa setiap desa
tidak melakukan analisis daya saing desa. Pertanyaan saya adalah mengapa sebagian
besar desa menganggap bahwa analisis lingkungan internal, ekstrernal, dan daya saig
desa tidak lah penting? Apakah mereka menganggap bahwa itu haya sebatas teori tak
berimplikasi? Justru menurut saya, ilmu atau teori lah yang dapat membantu mereka
agar dapat mengangkat derajat kesejahtersaan mereka sendiri. Di samping itu,
sebenarnya dari segi pemerintah pun tidak mewajibkan formulasi strategi desa dan
menurut saya hal ini juga menjadi faktor penyebab banyaknya desa yang tidak
mengimplementasikan hal penting ini. Sebab, menurut saya apabila setiap desa mau
menganalisis lingkungan internal dan eksteral desa maka desa dapat lebih matang
dalam perencanaan desa, daya saing dengan desa lain serta dalam meningkatkan
perekonomian atau memajukan desa.
Contohnya adalah : Jepang dan Singapura. Kondisi tanah yang tidak subur
(dominan tanah tandus) mereka bisa mengubah kekuragan tersebut menjadi sebuah
kelebihan, yaitu mereka menjadi produsen gerabah dan desa yang adanaunya
dikembangkan menjadi wisata pemancingan air tawar.
Apabila pemerintah pusat mencetuskan peraturaan mengenai kewajiban desa
untuk membuat pelaporan analisis daya saing desa secara berkelanjutan menurut saya
akan lebih baik.
Mengenai strategi kesiapan wilayah ukuran sukses manajemen kewilayahan
pemerintah desa, saya tertarik kepada topik bahwasanya komponen atau aspek
pembangunan desa meliputi : 1. desain, 2. infrasturktur, 3. layanan publik, 4. tempat
wisata, atraksi dan lain-lain yang tidak mutually-exclusive. Dalam hal ini saya
berpendapat bahwa sebarnya strategi membangun wilayah agar dapat atraktif itu
sangat penting karena dapat dijadikan sebagai sebuah bisnis dansebagai ajang promosi
wisata bagi para pengunjung dari luar atau bahkan turis. Daya pikat sebuah wilayah
desa terkait kualitas estetika budaya luhur dan nilai-nilai asli daerah setempat dan
selain itu juga bisa ditambahkan beberapa spot foto yang instagrammable agar
mengikuti perkembanga zaman sehingga banyak kalangan yang tertarik untuk
berkunjung.
Berkaitan dengan strategi pembangunan desa saya melihat masih kurangnya
perwujudan dalam pembangunan infrastruktur desa yang dapat merangkul
desa-desaagar dapat terhubung pula akses ke kabupaten atau kota. Menurut saya,
pemerintah perlu memfokuskan diri ke pembangunan jembatan-jembatan antar
wilayah desa yang terpelosok atau terpencil, tidak hanya berfokus kepada
pembangunan bandara saja. Sehingga hal ini berkaitan dengan perencanaan kerja
sama antar pemerintah desa. Banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa kerja sama pu
tidak hanya bersama partner akan tetapi bisa dengan pesaing (coopetation strategy),
aliansi strategis (strategic alliance).
Hal yang menarik lainnya adalah mengenai strategi peningkatan pendidikan desa.
Satu hal yang masih mendasar dalam pikiran saya mengenai hal ini adalah apabila
sebagian masyrakat masih berfikiran kolot atau tidak mau menerima pembaharuan,
maka pendekatan seperti apakah yang cocok untuk membujuk mereka? Atau kah
dengan pemimpin yang mereka senangi, atau dengan contoh real hasil terlebih dahulu
dari apa yang hendak diajarkan? Karena menurut saya dalam hal pendidikan,
pemerintah telah berupaya untuk mengurangi dalam beban biaya pendidikan dan juga
sudah ada beasiswa Bidik Misi. Namun sepengetahuan saya, beberapa hal ini dapat
mengatasi permasalahan tersebut :
1. Dukungan lokal untuk sektor industri
2. Prencanaan untuk peningkatan edukasi
3. Pendepatan integrasi terhadap edukasi, seperti : seluruh bagian masyarakat harus
mempunyai perhatian dan minat bersama-sama, terutama para orang tua
BAB 3
Setelah mempelajari bab 3 mengenai aspek hukum desa yang mana menceritakan
sejarah kepemrintahan desa, saya menangkap bahwa sebenarnya kemandirian atau
otonom desa sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hal ini menjadi sebuah
kebanggaa bahwa desa yang semula dianggap remeh akan tetapi pada akhirnya
keunikan, keberagaman dan otonom desa untu mengatur dan mengurusi pemerintahan
desanya sendiri menjadi kabar yang sangat bagus. Setelah dibentuknya UU No. 6
Tahun 2014 tentang desa, hakikat dan fundamental desa sebagai daerah otonom
menjadi terangkat kembali meskipun pernah dihapuskan pada era reformasi. Undang
undang tersebut menjadi tonggak peloporanya desa sebagai entitas penting dalam
NKRI, kini menjadi subjek pembangunan dan bukan lagi menjadi objek
pembangunan. Selain itu, desa adat pun juga diakui kearifan lokalnya. Namun,
berkaitan dengan hal ini, menurut saya masih kurang upaya dalam mengangkat derajat
desa-desa adat yang banyak di luar Pulau Jawa, mereka bernilai budaya tinggi dan hal
tersebut justru patut kita junjung tinggi sebagai warisan budaya dan menjadi
kelebihan kita, baik bernilai ekonomis maupun non ekonomis.
Selain itu, saya berpendapat mengeai manajemen keuangan desa masih belum
terlaksana secara sempurna. Masalah utamaya adalah bahwa banyak desa yang hanya
asal dalam memanejemen segala aset maupun keuangan mereka sehingga mereka
tidak benar-benar memperhitungkan dan merencanakan dengan baik dan optimal.
Sepengetahuan saya, banyak desa yang hanya mark-up nilai-nilai barang atau biaya
yang diperlukan, namun pada realisasinya uang tersebut tidak digunakan sebagaimana
mestinya. Selain itu menurut saya, kurang adanya transparansi dan akuntabel kepala
desa dan perangkat desa dalam menginfokan mengenai penggunaan dana laporan
keuangan desa. Sama halnya, dengan administrasi desa pun hanya dianggap sebagai
formalitas dan prosedural saja.

Anda mungkin juga menyukai