Anda di halaman 1dari 11

Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Islam Moderasi

Beragama

Dosen Pengampu : Dr. H. Imam Yahya, M.Ag

Disusun Oleh :

Agustin Kurniadewi (2105036051)

Kinto Trihamda (2105036081)

Laili Rizqi Amalia (2105036078)


Apriliani (2105036049)

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih Bapak Dr. H.
Imam Yahya, M.Ag selaku dosen Islam Moderasi Beragama yang telah memberikan tugas
makalah kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal (Local Wisdom).

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Semarang, 18 Oktober 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
Latar Belakang.....................................................................................................................3
Rumusan Masalah................................................................................................................3
Tujuan..................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................5
A. Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara.....................................................................5
B. Walisongo dan Kearifan Lokal:Akar Moderasi Beragama di Nusantara.....................6
C. Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal........................................................7
BAB III PENUTUP..............................................................................................................8
Kesimpulan............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia adalah masyarakat beragam budaya dengan sifat kemajemukannya.


Keragaman mencakup perbedaan budaya, agama, ras, bahasa, suku, tradisi dan sebagainya.
Dalam masyarakat multibudaya yang demikian, sering terjadi ketegangan dan konflik antar
kelompok budaya dan berdampak pada keharmonisan hidup. Tujuan penulisan ini adalah
membahas keragaman budaya bangsa Indonesia, moderasi beragama dalam keragaman dan
peran penyuluh agama dalam mewujudkan kedamaian bangsa Indonesia. Metode yang
digunakan adalah penelitian pustaka. Kesimpulan kajian ini adalah bahwa dalam kehidupan
multikultural diperlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan,
kemajemukan dan kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Diperlukan sikap
moderasi beragama berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran,
penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara
kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para penyuluh agama untuk
mensosialisasikan, menumbuhkembangkan moderasi beragama kepada masyarakat demi
terwujudnya keharmonisan dan kedamaian. Dan pada pembahasan makalah pada kali ini kami
akan membahas mengenai agama dan kearifan lokal di Indonesia,Walisongo dan Kearifan
Lokal:Akar Moderasi Beragama di Nusantara serta Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan
Loka

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penjelasan dari Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara?
2. Apa penjelasan dari Walisongo dan Kearifan Lokal:Akar Moderasi Beragama di
Nusantara?
3. Apa penjelasan dari mengacaukan Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal ?

3
C. TUJUAN
1. Mengetahui penjelasan agama dan kearifan lokal di Indonesia
2. Mengetahui penjelasan mengenai walisongo dan kearifan lokal:akar moderasi
beragama di Indonesia
3. Mengetahui penjelasan revitalisasi interaksi agama dan kearifan lokal

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara

1. Agama Di Idonesia
Agama di Indonesia terdiri atas berbagai macam agama. Dalam data Kementerian Dalam Negeri
tahun 2018, penduduk Indonesia berjumlah 266.534.836 jiwa dengan 86,7%
beragama Islam (Indonesia merupakan wilayah dengan penduduk muslim terbanyak di dunia),
7,6% Kristen Protestan, 3,12% Kristen Katolik, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha,
0,03% Konghucu, dan 0,04% agama lainnya.
Ideologi Indonesia, Pancasila, pada sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ideologi ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu". Dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, negara secara resmi hanya mengakui enam agama,
yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
2. Kearifan Lokal Di Indonesia
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang membentuk jati
diri suatu bangsa. Kearifan lokal tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia. Namun, juga
berbagai bidang. Berdasarkan pemahaman dari KBBI lokal berarti setempat. Sementara
kearifan, berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kearifan lokal berarti gagasan-gagasan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan berniat baik. Gagasan-gagasan tersebut
tertanam, dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Para ahli mengemukakan beberapa pengertian
terkait pengertian lokal. Bedasarkan dasar hukumnya pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat. Tujuannya yaitu, untuk melindungi, dan
mengelola lingkungan hidup dengan lestari. Dari semua pemahaman sebelumnya, inti dari
definisi kearifan lokal yaitu kumpulan pengetahuan berupa nilai, norma, dan aturan-aturan
khusus yang berkembang. Aturan-aturan tersebut mesti ditaati dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Contoh Kearifan Lokal Tanah dan Air dalam Bidang Budaya Kearifan lokal yang
berkaitan dengan konservasi air dan tanah dapat berupa nilai-nilai yang diwujudkan dalam
praktik ritual, maupun upacara adat. Konservasi tersebut juga dapat diwujudkan dalam bentuk
anjuran maupun larangan untuk tidak menggunakan sumberdaya air dan tanah secara
berlebihan. Selain itu, konsevasi juga dapat diwujudkan berupa sanksi bagi orang-orang yang
melanggar aturan di dalamnya. Berikut ini beberapa contoh praktik budaya dan kearifan lokal di
Indonesia:

1. Di Jawa
a) Pranoto Mongso Berdasarkan bahan bacaan Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei
2009 berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan milik Suhartini Pranoto mongso merupakan aturan waktu musim yang
digunakan oleh para tani di pedasaan. Aturan tersebut didasarkan pada naluri dari leluhur,
dan dipakai sebagai dasar untuk mengolah pertanian. Maka itu, pranoto mongso memberi
arahan kepada petani untuk bercocok tanam dengan cara mengikuti tanda-tanda alam dalam
mongso yang bersangkutan. Sehingga, pemanfaatan tanah oleh petani sifatnya terukur.
Meskipun, air dan saluran irigasi sudah tersedia dengan baik. Praktik ini dipercaya dapat
menjaga keseimbangan alam.
5
b) Nyabuk Gunung Nyabuk gunung merupakan praktik bercocok tanam dengan cara membuat
teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Praktik ini umumnya berlangsung di
lereng Bukit Sumbing dan Sindoro. Nyabuk gunung adalah suatu wujud konservasi lahan
dalam bercocok tanam. Hal itu karena didasarkan pada garis konturnya. Berbeda dengan
praktik nyabuk gunung di Dieng yang memotong kontur pada saat bercocok tanam.
Memotong kontur dapat mempermudah terjadinya longsor. C
c) Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) Anggapan
tentang tempat keramat cenderung membuat banyak orang tidak merusak tempat tersebut.
Sebaliknya, mereka akan memelihara tempat itu. Bahkan, tidak berani untuk membuang
sampah sembarangan. Mereka takut jika nanti karma buruk akan diterima di kemudian hari.
Misalnya, pada pohon beringin besar. Praktik ini merupakan bentuk konservasi karena
dengan memelihara pohon, maka seseorang akan menjaga sumber air. Hal ini disebabkan
karena, pohon beringin memiliki akar yang sangat kuat. Dekat lokasi akar pohon yang kuat,
biasanya ada sumber air.
2. Di Sulawesi
Di Sulawesi terdapat komunitas adat Karampuang. Komunitas adat itu berperan dalam
pengelolaan hutan. Mereka meyakini bahwa hutan merupakan bagian dari alam dirinya.
Sehingga, untuk menjaga keseimbangan ekosistem, di dalamnya terdapat aturan-aturan
yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat. Aturan itu akan dibacakan oleh seorang galla
atau pelaksana harian pemerintah adat tradisional sebagai suatu bentuk fatwa adat.
Pembacaannya akan dilakukan di hadapan dewan adat dan warga sebagai suatu bentuk
peraturan bersama.
3. Di Baduy
Dalam Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka adalah orang yang pertama yang
diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku
masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk
pikukuh karuhun. Tidak ada seorang pun yang berhak dan berkuasa untuk melanggar dan
mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku secara turun menurun.
Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang
berkunjung ke Baduy. Peraturan tersebut yaitu:
 Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka
ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.
 Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan
jenis-jenis tertentu.
 Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat
pemberantas hama penyakit, atau meracuni ikan.
 Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dan sebagainya.

B. Walisongo dan Kearifan Lokal:Akar Moderasi Beragama di Nusantara


Masuknya Islam ke Indonesia tidak merubah budaya lokal, tapi memodifikasinya sedemikian
rupa, sehingga menjadi budaya yang lebih Islami dan bermoral. Para penyebar Islam di
Indonesia secara tidak langsung menggunakan tiga cara tersebut dalam menyebarkan Islam di
Indonesia, yaitu mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak bertentangan dengan spirit
Islam (tahmil), menghilangkan budaya yang tidak sesuai dengan spirit Islam (tahrim), dan
merekonstruksi budaya dan tradisi, seperti sesajen, percaya kepada kekuatan gaib menjadi
simbol yang memiliki makna untuk megesakan Tuhan (tagyir). Setelah melalui tiga tahapan
tersebut, baru lah Islam di Indonesia dinamakan Islam Nusantara.
Walisongo menyebarkan Islam dengan ramah dan moderat, sehingga masyarakat bisa menerima
Islam dengan baik. Cara yang dilakukan Walisongo ini mampu menarik perhatian masyarakat
6
Jawa, karena mengakulturasikan budaya lokal dengan ajaran Islam, seperti kesenian wayang,
tarian, dongeng, dan upacaraupacara adat. Walisongo tidak menghapus budaya lokal, tapi
memodifikasinya menjadi lebih Islami. Jadi Islam Nusantara terbentuk dari hasil akulturasi
budaya lokal dengan ajaran Islam. Para penyebar Islam di Indonesia, yaitu Walisongo,
mengajarkan Islam dengan memakai media kebudayaan lokal seperti, wayang kulit, doa, jampi,
dan mantera. Namun yang menarik, Walisongo memodifikasi budaya tersebut dengan
memasukkan nilai-nilai Islam, seperti pada jampi-jampi dan mantera-mantera yang dirubah
dengan dua kalimah syahadat, sehingga kalimah syahadat menjadi terkenal di kalangan
masyarakat.
Islam Nusantara merupakan wujud moderasi Islam di Indonesia, yang memiliki prinsip
toleransi, menghargai dan menjaga kearifan lokal, serta tidak mengekang pemeluknya.
Munculnya istilah Islam Nusantara dilatarbelakangi oleh struktur sosial dan historis masuknya
Islam ke Indonesia, yang dilakukan oleh Walisongo. Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan
dengan damai, tanpa ada pertumpahan darah antara penyebar Islam dan rakyat pribumi. Hal ini
yang membuat Islam bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kultur dan budaya
beragam. Perpaduan antara kultur budaya lokal dengan ajaran Islam menjadikan lahirnya istilah
Islam Nusantara ( moderat ), dan Islam Nusantara lahir sebagai alternatif model pemikiran,
pemahaman, dan pengamalan Islam yang moderat, terhindar dari paham fundamentaslime dan
liberalisme. Islam Nusantara menawarkan sebuah konsep dan gagasan anti mainstream. Konsep
dan gagasan ini diharapakan mampu membangun sebuah keharmonian sosial, budaya, dan
agama, serta membangun peradaban dan kemanusian Islam di Indonesia.

C. Revitalisasi Interaksi Agama Dan Kearifan Lokal


Revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya terberdaya sehingga revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan untuk menjadi
vital, sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau sangat diperlukan sekali untuk kehidupan
dan sebagainya.
Sejarah telah mencatat bahwa Islam masuk di Indonesia melalui jalur Gujarat. Jalur yang berawal dari
Arab, Persia, Gujarat, hingga Asia Tenggara dan Indonesia. Dengan begitu Islam singgah terlebih
dahulu di daerah-daerah tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya.

Tidak menutup kemungkinan bahwa di setiap persinggahannya Islam berinteraksi dengan budaya
sekitar. Di Persia Islam berinteraksi dengan budaya sekitar, setelah itu ke Gujarat juga berinteraksi
dengan budaya sekitar, dan sesampai di Indonesia Islam juga berinteraksi dengan budaya sekitar.

Dengan demikian, penyebaran Islam di Indonesia tidak serta merta langsung memberikan gambaran
hitam putih suatu agama, melainkan berinteraksi dulu dan dikemas dengan cara halus tanpa ada
pemaksaan di dalamnya. Apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, para penyebar Islam
akan menelaah terlebih dahulu apakah hal tersebut sesuai dengan Islam atau tidak.

Jika hal itu sesuai dengan nilai-nilai Islam maka akan dipertahankan keberadaannya, dan jika tidak maka
akan diganti dengan yang baru. Dengan berpegang teguh pada kaedah al-muhafadlotu a’la al-qodimi al-
sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal
baru yang lebih bagus) maka Islam akan berinteraksi dahulu dengan budaya lokal.

Ini menjadi modal utama dalam menyiarkan Islam oleh para ulama terdahulu. Seperti yang dilakukan
oleh Sunan Kalijaga dalam menyiarkan Islam. Pada saat itu masyarakat gemar melihat pertunjukan
wayang kulit dengan cerita dari India. Dari situlah Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk mengadopsi
budaya wayang kulit dan dikolaborasikan dengan nilai-nilai dalam Islam. Dengan demikian alur cerita,
yang awalnya dari India, juga diganti oleh Sunan Kalijaga dengan memasukkan nilai-nilai ketauhidan,
etika dan moral dalam Islam, dan seterusnya. Pada akhirnya cara seperti ini mampu untuk memikat hati
masyarakat untuk masuk Islam.

7
Hingga sekarang model seperti ini masih tetap dipertahankan oleh ulama-ulama kita. Sebab, arus
globalisasi yang tidak bisa dibendung lagi memaksa ulama kita untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai
Islam. Dengan kolaborasi antara budaya lokal, arus globalisasi, dan cita-cita Islam tidak akan membuat
Islam terpinggirkan. Bahkan dengan cara seperti itu akan menunjukkan nilai-nilai Islam universal, Islam
yang bisa mendatangkan rahmat bagi yang lain di manapun dan kapanpun.

Seperti halnya Gus Dur ketika menerima dan mendukung sistem demokrasi yang ada di Indonesia.
Menurut Gus Dur dalam sistem demokrasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Keadilan,
kesejahteraan, kesetaraan di mata hukum, adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang sesuai
dengan semangat demokrasi. Bahkan Islam dapat mengisi moral dan etika masyarakat dalam sistem
demokrasi, sehingga di situ akan tercipta masyarakat demokratis yang memiliki moralitas yang tinggi.

Dan sebagai contoh lain interaksi agama dan kearifan lokal ialah praktek akulturasi dan toleransi Sunan
Kudus dalam kehidupan beragama masih berlangsung sampai sekarang di Kabupaten Kudus dan
menjadi contoh generasi sekarang dalam berperilaku yang santun dan saling menghormati dalam
berkehidupan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara


1) Agama
Ideologi Indonesia, Pancasila, pada sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Ideologi ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara
sekuler. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam Penetapan Presiden
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,
negara secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu.
2) Kearifan Lokal Di Indonesia
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang membentuk
jati diri suatu bangsa. Kearifan lokal tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia.
Namun, juga berbagai bidang. Berdasarkan pemahaman dari KBBI lokal berarti
setempat. Sementara kearifan, berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kearifan lokal
berarti gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan berniat
baik. Gagasan-gagasan tersebut tertanam, dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Para
ahli mengemukakan beberapa pengertian terkait pengertian lokal. Bedasarkan dasar
hukumnya pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tatanan kehidupan masyarakat. Tujuannya yaitu, untuk melindungi, dan mengelola
lingkungan hidup dengan lestari. Dari semua pemahaman sebelumnya, inti dari definisi
kearifan lokal yaitu kumpulan pengetahuan berupa nilai, norma, dan aturan-aturan
khusus yang berkembang. Aturan-aturan tersebut mesti ditaati dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Contoh Kearifan Lokal Tanah dan Air dalam Bidang Budaya
8
Kearifan lokal yang berkaitan dengan konservasi air dan tanah dapat berupa nilai-nilai
yang diwujudkan dalam praktik ritual, maupun upacara adat. Konservasi tersebut juga
dapat diwujudkan dalam bentuk anjuran maupun larangan untuk tidak menggunakan
sumberdaya air dan tanah secara berlebihan. Selain itu, konsevasi juga dapat
diwujudkan berupa sanksi bagi orang-orang yang melanggar aturan di dalamnya.

2. Walisongo dan Kearifan Lokal:Akar Moderasi Beragama di Nusantara

Para penyebar Islam di Indonesia secara tidak langsung menggunakan tiga cara tersebut
dalam menyebarkan Islam di Indonesia, yaitu mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia
yang tidak bertentangan dengan spirit Islam (tahmil), menghilangkan budaya yang tidak
sesuai dengan spirit Islam (tahrim), dan merekonstruksi budaya dan tradisi, seperti
sesajen, percaya kepada kekuatan gaib menjadi simbol yang memiliki makna untuk
megesakan Tuhan (tagyir). Setelah melalui tiga tahapan tersebut, baru lah Islam di
Indonesia dinamakan Islam Nusantara.
Walisongo menyebarkan Islam dengan ramah dan moderat, sehingga masyarakat bisa
menerima Islam dengan baik. Cara yang dilakukan Walisongo ini mampu menarik
perhatian masyarakat Jawa, karena mengakulturasikan budaya lokal dengan ajaran
Islam, seperti kesenian wayang, tarian, dongeng, dan upacaraupacara adat. Walisongo
tidak menghapus budaya lokal, tapi memodifikasinya menjadi lebih Islami. Jadi Islam
Nusantara terbentuk dari hasil akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Para
penyebar Islam di Indonesia, yaitu Walisongo, mengajarkan Islam dengan memakai
media kebudayaan lokal seperti, wayang kulit, doa, jampi, dan mantera. Namun yang
menarik, Walisongo memodifikasi budaya tersebut dengan memasukkan nilai-nilai
Islam, seperti pada jampi-jampi dan mantera-mantera yang dirubah dengan dua kalimah
syahadat, sehingga kalimah syahadat menjadi terkenal di kalangan masyarakat.

3. Revitalisasi Interaksi Agama Dan Kearifan Lokal


Revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu
hal yang sebelumnya terberdaya sehingga revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau
perbuatan untuk menjadi vital, sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau sangat
diperlukan sekali untuk kehidupan dan sebagainya

penyebaran Islam di Indonesia tidak serta merta langsung memberikan gambaran hitam putih suatu
agama, melainkan berinteraksi dulu dan dikemas dengan cara halus tanpa ada pemaksaan di
dalamnya. Apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, para penyebar Islam akan
menelaah terlebih dahulu apakah hal tersebut sesuai dengan Islam atau tidak.

Jika hal itu sesuai dengan nilai-nilai Islam maka akan dipertahankan keberadaannya, dan jika tidak
maka akan diganti dengan yang baru. Dengan berpegang teguh pada kaedah al-muhafadlotu a’la
al-qodimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang bagus dan
mengambil hal-hal baru yang lebih bagus) maka Islam akan berinteraksi dahulu dengan budaya
lokal.

Dan sebagai salah satu contoh lain interaksi agama dan kearifan lokal ialah praktek akulturasi
dan toleransi Sunan Kudus dalam kehidupan beragama masih berlangsung sampai sekarang di
Kabupaten Kudus dan menjadi contoh generasi sekarang dalam berperilaku yang santun dan
saling menghormati dalam berkehidupan

9
DAFTAR PUSTAKA

Krisnawati, E., & Koesno, D. (2021, March 4). Kearifan Lokal di Indonesia Dan Contohnya
Dalam Berbagai Bidang. tirto.id. Retrieved October 18, 2021, from
https://tirto.id/kearifan-lokal-di-indonesia-dan-contohnya-dalam-berbagai-bidang-gaQQ.

Mubarok, A. A., & Rustam, D. G. (n.d.). Islam Nusantara: Moderasi Islam di Indonesia.
Journal of Islamic Studies and Humanities. Retrieved October 18, 2021, from
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/JISH/article/view/3160/pdf.

Mujibuddin, M. (2017, March 28). Islam Dan Kearifan Lokal. Islami[dot]co. Retrieved October
18, 2021, from https://islami.co/islam-dan-kearifan-lokal/.

Wikimedia Foundation. (2021, October 13). Agama di indonesia. Wikipedia. Retrieved October
18, 2021, from https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia.

10

Anda mungkin juga menyukai