Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

IMPLEMENTASI HUKUM DAN KEARIFAN LOKAL TERHADAP


OTONOMI DAERAH
HALAMAN JUDUL

Disusun Sebagai Tugas Untuk Memenuhi Mata


Kuliah

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh :

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kahadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Kepribadian, dengan judul “Implementasi Hukum dan Kearifan Lokal Terhadap
Otonomi Daerah”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan Do’a, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna di karenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Kediri, 29 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan....................................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Pengertian Kearifan Lokal dan Otonomi Daerah........................................................4
B. Praktik Hukum dan Kearifan Lokal Terhadap Otonomi Daerah di Indonesia............7
BAB III............................................................................................................................15
PENUTUP.......................................................................................................................15
A. Kesimpulan..........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik,
sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1 ayat 1. Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan dibagi atas kabupaten dan
kota, yang terdiri dari beberapa pulau pulau, dan disebut dengan nusantara,
saat ini terdiri dari 33 Provinsi, dan dihuni oleh beraneka ragam suku, adat
istiadat/budaya serta agama. Pemeritah daerah provinsi, daerah kabupaten,
daerah kota, mengurus sendiri urusan pemerintahannya, sebagaimana yang
diamanatkan Pasal 18 UUD1945, dan seterusnya Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuankesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipprinsip
Negara kesatuan .Republik Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pasal
18B yang dalam hal ini mengangkat Kearifan lokal sebagai salah satu cara
yang paling tepat. 1
Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang
kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa
gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya diciptakan dan dipraktikkan
untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya kearifan
lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah
yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan
oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik.
Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan
masyarakat yang mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua
unsur kebudayaan manusia, yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi,
teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula
1
Urgensi Kearifan, Oleh : Lintje, and Anna Marpaung, “Urgensi Kearifan Lokal
Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah,” Yustisia Jurnal
Hukum 2, no. 2 (May 1, 2013), accessed November 28, 2022,
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/10204.

1
dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik,
dan penciptaan material kebudayaan. Ia akan terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi
sosiobudaya. Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti
sekarang ini, kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang
memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam
bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat rumah
sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga dengan
sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen
(eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan
perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga
tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan
dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal
dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat
bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan
Minangkabau ada filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam
kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek,
dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong,
dan lain-lainnya.2
Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara
bangsa (nation state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara
bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam
masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut.
Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai
dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri
bangsa ini untuk membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-
nilai kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian
dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada bentuk “ikatan sosial
budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal ika). Von
Savigny menyatakan bahwa Hukum merupakan volgeist dari ,jiwa rakyat
2
Alfian, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan: Kumpulan Karangan (Jakarta:
Gramedia, 1985). h. 32

2
yang tidak mudah diterjemahkan melalui pembuatan hukum sekalipun.3

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah kali ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa Yang Dimaksud Kearifan Lokal dan Otonomi Daerah?
2. Bagaimana Praktik Kearifan Lokal Terhadap Otonomi Daerah ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, tujuan dari
penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui definisi dari kearifan lokal dan otonomi daerah
2. Untuk mengetahui praktik kearifan lokal terhadap otonomi daerah di
indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

3
Azra Azyumardi, Islam in Indonesian World: An Account of Institutional Formation
(Bandung: Mizan, 2007). h. 32

3
A. Pengertian Kearifan Lokal dan Otonomi Daerah
Definisi dari kearifan local merujuk pada istilah “masyarakat adat” yang
digunakan untuk mendeskripskan dari individu-individu atau suatu kelompok
yang pada awalnya merupakan penduduk asli atau yang pertama kali
mendiami sebuah negara atau daerah tertentu. Adapun dalam bahasa latinnya
yaitu “Indegenae” dan dalam bahasa Inggris “Indegeneous” yang mana kata
ini mereka gunakan untuk membedakan antara masyarakat setempat yang
dilahirkan di sebuah daerah tertentu dan mereka yang datang dari daerah yang
lain (Advenae). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat
memiliki akar semantic yang mempunya elemen konseptual yang lebih
dahulu atau lebih awal dalam hal waktu mendiami suatu daerah.
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari 2 (dua)
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris-Indonesia
John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan
wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal itu terdapat dalam masyarakat, komunitas, dan individu.
Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan
tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan
secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam
kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam
masyarakat baik dalam hukum, pelestarian SDM dan manusia, adat dan
budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.4
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai suatu tatanan sosial budaya
dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di
suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan
secara turun temurun. Kearifan lokal merupakan modal sosial yang
dikembangkan masyarakat untuk menciptakan keteraturan dan keseimbangan
4
Eko Noer Et Al., “Kedudukan Kearifan Lokal Dan Peranan Masyarakat Dalam Penataan
Ruang Di Daerah (Eko Noer Kristiyanto) Kedudukan Kearifan Lokal Dan Peranan Masyarakat
Dalam Penataan Ruang Di Daerah (Local Wisdom Position and Role of Society in Spatial
Planning in the Region)” (n.d.).

4
antara kehidupan sosial budaya masyarakat dengan kelestarian sumber daya
alam di sekitarnya.
Pengertian kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya,
namun dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
pengetahuan, gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan
kebiasaan adat yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah tertentu.
Pengetahuan dan pengalaman masyarakat, menurut Sunaryo (2003), menyatu
dengan sistem norma, kepercayaan, kebersamaan, keadilan yang
diekspresikan sebagai tradisi masyarakat sebagai hasil abstraksi dan
interaksinya dengan alam dan lingkungan di sekitarnya dalam kurun waktu
yang lama. Kearifan lokal, karena itu menjadi pedoman dalam bersikap dan
bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. 5
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu Authos yang berarti
sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian
otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri6.
Sedangkan otonomi daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga menyatakan
bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.7
Hal tersebut menunjukkan bahwa makna dasar dari otonomi adalah adanya
5
Deny Hidayati, “Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat…| Deny Hidayati
Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air (Waning
Value Of Local Wisdom In The Management Of Water Resources),” Jurnal Kependudukan
Indonesia | 11, no. Juni (2016): 39–48.
6
M. Laica Marzuki, “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI,” Jurnal
Konstitusi 4 (2007).
7
Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa:  Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa,” Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013).

5
suatu kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan-
kebijakan sendiri yang ditujukan bagi perlaksanaan roda pemerintahan
daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Pratikno menyatakan
bahwa kewenangan-kewenangan tersebut mengacu pada kewenangan
pembuat keputusan didaerah dalam menentukan tipe dan tingkat pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat, dan bagaimana pelayanan ini diberikan
dan dibiayai.8
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”.
Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi
daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri. Jika daerahsudah mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan
daerah maka dapatdikatakan bahwa daerah sudah berdaya (mampu) untuk
melakukan apa saja secaramandiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak luar
dan tentunya disesuaikan dengankondisi dan kebutuhan daerah.
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997)
mengemukakan bahwa:
1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan
wewenanguntuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau
tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur
danmemerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah
pusat.

B. Praktik Hukum dan Kearifan Lokal Terhadap Otonomi Daerah di


Indonesia
1. Pembentukan Hukum Otonomi Daerah Dalam perspektif Kearifan Lokal
8
Pratikno, Perumusan Pola Hubungan Pusat Daerah Dalam Rangka Realisasi Otonomi
Daerah. Laporan Penelitian (Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM, 1991).

6
dan Masyarakat Adat
Mengutip pendapat F.K. Von Savigny mengatakan bahwa hukum itu
tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat (Volkgeist) dan sering juga disebut dengan Living Law.
Menurut Von Savigny (Volkgeist) hukum itu lahir dari jiwa masyarakat
yang meng-akomodasi masyarakat. Berdasarkan inti teori Von Savigny
bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan adat dan kebiasaan
masyarakat itu sendiri dengan berdasarkan bahasa, adat istiadat, yang
dimiliki, Von Savigny menekankan bahwa setiap masyarakat
mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa,
adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas9. Seperti
yang di katakana oleh Friedrich Carl Von Savigny, dapat dilihat melalui
pembuatan hukum dan fungsi utama hukum, yaitu:
a. Pembuatan Hukum
Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum
tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum
selalu berubah seiring perubahan sosial. Dengan pernyataan Savigny
yang demikian itu maka hukum di satu negara tidak dapat diterapkan/
dipakai oleh negara lain karena masyarakatnya berbeda-beda begitu
juga dengan kebudayaan yang ada di suatu daerah sudah pasti berbeda
pula, dalam hal tempat dan waktu juga berbeda.
b. Fungsi Utama Hukum
Konsep jiwa masyarakat dalam teori Savigny tentang hukum ini
tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang
lingkupnya. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri
karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas.
Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajarjuga
tidak dapat ditErapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.
Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting
untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian sepanjang
sejarah.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagaimana Van
9
Lintje Anna Marpaung et al., Hukum Otonomi Daerah Dalam Perspektif Kearifan Lokal
(Bandar Lampung: Pusaka Media, 2019).

7
Vollen Hoven membagi wilayah hukum adat menjadi 19
(Sembilanbelas) di wilayah Indonesia dengan konsep “de gebruiken
gewoenten and godsdienstige instellingen det irlandes” (kelaziman,
kebiasaan dan lembaga-lembaga keagamaan orang-orang
pribumi) .Lebih lanjut Van Vollen Hoven mengatakan bahwa ke-19
lingkungan adat tersebut yang meliputi Aceh, Gayo Alas Batak, Nias,
Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Enggano, Melayu,
Bangka, Balitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Toraja, Sulawesi
Utara, Kepulauan Ternate, Maluku, Irian Barat, Kepulauan Timur,
Bali, Lombok, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Solo, Yogyakarta,
Jawa Barat, Jakarta. Ke-19 lingkungan adat tersebut diatas
menggambarkan bahwa masyarakat adat di Indonesia memang benar-
benar ada dan hidup.
Dalam hal ini hukum sebagai produk Pemerintah dalam kaitannya
dengan kearifan lokal dalam proses pemekaran daerah, bahwa semua
produk hukum yang berfungsi dari dua sisi yaitu buttom up dan top
down, lebih lanjut Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa hukum
adalah, untuk manusia yang disebut dengan Hukum Progresif karena
itu hukum harus mengikuti keinginan manusia atau kepentingan
manusia. Dapat dipahami bahwa adat istiadat dan kebiasaan yang
dimiliki oleh masyarakat sebagai kearifan lokal adalah sebagai hukum
progresif yang dapat mengikuti kepentingan masyarakat lokal di semua
daerah dalam rangka otonomi daerah
2. Implikasi Kearifan Lokal dan Masyarakat Adat Dalam Pembentukan
Hukum Otonomi Daerah
Secara Nasional Pengakuan keberadaan masyarakat adat, terutama
pengakuan yuridis tidak terlepas dari dinamika politik yang ada, baik
dalam politik konteks kebangsaan, politik kebudayaan maupun politik
pembangunan pada umumnya. Oleh karena itu, beberapa Undang-undang
yang dikeluarkan terkadang memperlihatkan ketidakjelasan pengakuan,
atau bahkan sampai pada upaya penafian terhadap keberadaan masyarakat

8
adat10.
Pengaturan adat di dalam hukum negara mulai dari level UUD sampai
Peraturan di bawahnya sudah ada pengakuan walaupun masih bersifat
ambigu karena tidak jelas dan tidak tegas. Dikatakan tidak jelas karena
tidak terinci bagaimana hak dan posisi masyarakat adat dalam Kerangka
kebijakan negara secara lebih luas dalam ikhtiar kesejahteraan sosial
secara bersama. Dikatakan tidak tegas karena belum ada pengaturan yang
dapat ditegakkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan yang
selama ini dialami masyarakat hukum adat seperti "perampasan" ulayat
dan ancaman kriminalisasi dari hukum negara, terutama perundang-
undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat hukum adat
dalam hukum negara dari dahulu sampai hari ini masih kabur. Pertama:
Pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator tidak mampu
mengkonstruksi keragaman masyarakat adat dengan totalitas sosialnya ke
dalam suatu perundang-undangan yang bersifat tertulis, publik dan general
secara akomodatif. Hal ini dikarenakan kemajemukan masyarakat
Indonesia yang terkategorisasi dalam berbagai pengelompokan secara
horizontal berdasarkan suku, agama, ras, bahasa dan lain.ya yang tersebar
pada berbagai pulau.
Kemungkinan, kedua, Pemerintah enggan atau tidak mau membuat
aturan yang menguatkan keberadaan masyarakat hukum adat. Hal ini
merupakan warisan dari "pembangunanisme" Orde Baru yang meletakkan
masyarakat adat sebagai faktor yang dapat menghambat investasi.
Kekaburan pengaturan masyarakat adat pada kenyataannya
menguntungkan penguasa politik dan pengu-saha swasta besar karena
dapat memanipulasi hukum yang terlanjur melemahkan masyarakat
hukum adat.
Indonesia benar-benar merupakan masyarakat majemuk nomor wahid
di dunia. Secara topografis berupa negara kepulauan yang terdiri dari
sejumlah pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, tetapi lebih daripada

10
Marpaung et al., Hukum Otonomi Daerah Dalam Perspektif Kearifan Lokal.

9
itu berupa komunitas-komunitas manusia dengan ratusan warna lokal dan
etnis. Di sinyalir oleh beberapa sumber, jumlah etnis dengan bahasanya
yang spesifik lebih dari 300 ribu lebih kelompok. Ini merupakan jumlah
yang cukup besar yang tidak boleh dipandang remeh, kendati dalam
rangka dominasi ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern mereka selalu dipinggirkan dan diabaikan.
Penerapan hukum dalam menghadapi realitas seperti itu harus
mencari, menemukan dan membangun cara-cara serta teknik tersendiri
untuk bisa menjadi satu-satunya institusi penentu dan penjaga ketertiban
dalam ruang kehidupan yang supra majemuk itu. Politik pengaturan oleh
hukum di Indonesia tidak bisa begitu saja memakai model pengaturan
yang seragam, mutlak dan sentralistik untuk suatu komunitas yang penuh
dengan heterogenitas baik secara fisik maupun sosial kultural. Realitas
keberagaman dan kemajemukan masyarakat tersebut acap kali
menimbulkan konflik hukum, khusunya dalam pengelolaan sumber daya
alam, tanah, pertanian dan lingkungan hidup.
Menghadapi kemajemukan itu, Indonesia memiliki pengalaman
sejarah hukum yang panjang dalam mensikapinya, mulai dari
pengembangan dan implementasi konsep pluralisme hukum yang sampai
saat ini masih dikukuhi dan dikembangkan oleh kalangan akademisi,
khususnya para antropologi hukum kemudian bergerak menuju konsep
multikulturalisme hukum yang mulai diintrodusir oleh kalangan aktivis
LSM/NGOs.
Kearifan Lokal dalam Konteks Hukum Nasional Membangun tata
hukum nasional dan daerah yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum
adat merupakan langkah strategis bagi terwujudnya otonomi daerah yang
mendasarkan pada prinsip pemerataan keadilan, kemudahan, kepastian,
kesederhanaan, desentralisasi dan local accountability di masa mendatang
perlu mendapat perhatian lebih besar dan serius. Bila tidak berarti terjadi
ironisme dan inkonsistensi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang secara
prinsip telah menggariskan adanya desentralisasi dan kewenangan daerah
untuk melakukan pengaturan dan pengkondisian sendiri yang bersifat

10
khusus bagi daerahnya.
Pengaturan dan pengkondisian yang bersifat khusus daerah itu
misalnya, pembentukan dan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) dan
menghidupkankembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini
tenggelam dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam
sistem hukum nasional. Padahal dari sisi keadilan, kemanusiaan, dan harga
diri masyarakat, posisi hukum adat setempat jauh lebih menjamin keadilan
dan dirasakan punya kekuatan nilai berlaku dibandingkan hukum nasional
yang cenderung kurang berpihak pada hak-hak masyarakat adat.
Dengan otonomisasi daerah, berarti yang menyangkut aturan-aturan
nilai, persoalan-persoalan hukum masyarakat dan tata pemerintahan daerah
sekaligus pihak yang terlibat membantu dan menangani persoalan lokal
kedaerahan didasarkan pada mekanisme yang ada di daerah otonom itu,
kecuali yang menyangkut kepentingan regional antar daerah atau bersifat
nasional, atau yang termasuk dalam bidang hukum publik.
Berlakunya hukum adat atau aturan hukum daerah dalam bentuk
perda-perda, memaknai kemerdekaan dan kebebasan tersendiri bagi individu
dan masyarakat di daerah dalam melaksanakan desentralisasi dan demokrasi
yang telah lama diinginkan. Pengakuan dan pemberlakuan hukum adat dan
aturan-aturan daerah sebagai bagian dalam sistem hukum nasional akan
dapat mencairkan persoalan hukum dan penegakan hukum yang krusial dan
paling tidak memberi suatu kecerahan baru bagi tegaknya negara hukum
dan supremasi hukum.
Tuntutan perubahan tersebut kemudian diakomodasi dalam Pasal 18 B
ayat (2) UUD RI 1945 hasil Amandemen II, yang berbunyi : “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang”.
Secara konseptual terdapat sejumlah atribut yang dapat dijadikan
panduan untuk memulai memahami, mengidentifikasi dan memetakan
keberadaan sistem pengelolaan sumber daya “asli” atau sistem kearifan

11
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam menurut Acquaye. Atribut-
atribut tersebut adalah :
1. Hak-hak yang terkandung dalam pengelolaan sumber daya alam sama
sekali bukan terbit dari penggunaan kekuatan politik pemerintah. Hak-
hak ini merupakan fakta-fakta yang disadari dan diyakini serta
dilegitimasi oleh masyarakat itu sendiri dan proses pengukuhan serta
transformasi dari hak-hak biasanya berlangsung secara terbuka dan
tidak dicatat secara tertulis.
2. Atribut-atribu sosial, mistis, dan religius biasanya melekat erat pada
tanah yang ada dibawah sistem tenurial adat (indigenous tenure
system).
3. Di bawah sistem pengelolaan sumberdaya alam secara adat, biasanya
hak-hak atas tanah dikuasai secara bersama oleh satu kelompok sosial.
4. Hak-hak atas tanah yang dikuasai didalam sistem pengelolaan
sumberdaya alam secara adat meliputi konsep-konsep yang terlingkup
di dalam hukum adat.
5. Dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam secara adat, hak-hak
individu dapat dsiperoleh dari dua sumber, yaitu : (1) sipemilik
merupakan anggota dari kelompok yang memiliki tanah, dan hak yang
terjadi adalah hak menggunakan tanah tersebut, (2) hasil pengaliahan
hakdari suatu kelompok (atau person) lain.
6. Hak-hak individual untuk menggunakan lahan/tanah dapat kembali
kepada kelompok jika lahan atau tanah tersebut ditinggalkan atau
diterlantarkan, punahnya sub-kelompok yang memiliki tanah,
habisnya masa (hak) penguasaan sementara, atau turunnya kesetiaan
terhadap kelompok.
7. Pengungkapan hak-hak atas tanah di bawah sistem adat tidak dapat
ditransfer tanpa adanya sejumlah klarifikasi karena banyak hal tidak
muncul dengan kasus tertentu maupun lewat kodifikasi hukum.
3. Contoh Kearifan Lokal di Indonesia
a. Hutan Larangan Adat (Riau) : Adapun tujuan dari bentuk kearifan
Lokal ialah agar masyarakat sekitar bersama-sama dapat melestarikan

12
hutan disana, dimana ada peraturan untuk tidak boleh menebang pohon
dihutan tersebut dan akan dikenakan denda seperti beras 100 kg atau
berupa uang sebesat Rp 6.000.000,-jika melanggar.
b. Awig-Awig (Lombok Barat dan Bali) : Awig Merupakan aturan adat
yang menjadi pedoman untuk bertindak dan bersikap terutama dalam
hal berinteraksi dan mengolah sumber daya alam dan lingkungan
didaerah Lombok Barat dan Bali.
c. Cincowong (Sunda/Jawa Barat) : adapun makna dari Cingcowong
ialah merupakan sebuah upacara untuk meminta hujan, tradisi
Cingcowong ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat Luragung
guna untuk melestarikan budaya serta menunjukan bagaimana suatu
permintaan kepada yang Maha Kuasa apabila tanpa adanya patuh
terhadap perintah sang maha kuasa
d. Muara Enim (Sumatera Selatan) : Merupakan tradisi menanam dan
memanen padi secara bersama-sama dengan tujuan agar pemanenan
padi cepat selesai, dan setelah panen selesai akan diadakan perayaan
sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang sukses.
e. Undau Mau (Kalimantan Barat) : Seluruh elemen masyarakat dapat
mengembangkan kearifan lokal dalam lingkungan dengan pola
penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan
menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga
penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan
ramah lingkungan.
f. Sasi (Maluku) : Sasi merupakan aturan adat yang dijadikan pedoman
pada warga Maluku yaitu dalam mengelola lingkungan atau lahan,
termasuk tuntunan pemanfaatan sumber daya alam.
g. Hompongan (Orang Rimba-Jambi) : Hompongan merupakan hutan
belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba [di
kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi] yang sengaja dijaga
keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari pihak
luar.

13
h. Repong Damar (Krui-Lampung Barat) : Repong (Hutan Damar)
merupakan suatu model pengelolaan lahan dari bekas ladang yang
dijadikan dalam bentuk wanatani, yang telah dikembangkan oleh
masyarakat pribumi Krui di Lampung Pesisir Barat, yaitu menanam
lahan dari bekas ladang dengan berbagai jenis dari tanaman, antaranya
adalah karet, dan durian.
i. Kapamalian (Banjar-Kalimantan Barat) : Kapamalian ialah merupakan
suatu aturan-aturan [pantangan] dalam pengelolaan lingkungan
misalnya, larangan membuka hutan keramat.
j. Moposad dan Moduduran (Bolang Mangondow-Sulawesi Selatan) :
Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang
penting untuk menjaga keserasian lingkungan.
k. Rimba Kepungan Sialang (Melayu, Riau) : Adapaun dari masyarakat
Melayu masih banyak mengenal tentang pembagian hutan tanah yaitu
terdiri pada 3 bagian, tanah perladangan, rimba larangan, rimba
simpanan (hak ulayat), dan rimba kepungan sialang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari makalah ini yakni :

14
1. Definisi Kearifan lokal menurut John M. Echols dan Hassan Syadily yaitu,
local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan
kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan lokal) dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Sedangkan otonomi daerah Dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2. Indoneisa mengakui dan mengatur adanya masyarakat adat dan kearifan lokal
pada pasal 18 B ayat (2) UUD RI 1945 hasil Amandemen II, yang
berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.
3. Contoh-contoh pemberlakuan otonomi daerah pada masyarakat adat di indonesia
adalah sebagai berikut ; Hutan larangan pada masyarakat adat Riau, Kapamalian
dari daerah Banjar, Undau Mau dari Kalimantan Barat, dan masih banyak
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan: Kumpulan Karangan. Jakarta:


Gramedia, 1985.
Azyumardi, Azra. Islam in Indonesian World: An Account of Institutional

15
Formation. Bandung: Mizan, 2007.
Hidayati, Deny. “Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat…| Deny
Hidayati Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Air (Waning Value Of Local Wisdom In The Management Of
Water Resources).” Jurnal Kependudukan Indonesia | 11, no. Juni (2016):
39–48.
Kearifan, Urgensi, Oleh : Lintje, and Anna Marpaung. “Urgensi Kearifan Lokal
Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah.”
Yustisia Jurnal Hukum 2, no. 2 (May 2013).
Marpaung, Lintje Anna, Zainab Ompu Jainah, Intan Nurina Seftiniara, Erlina, and
Risti Dwi Ramasari. Hukum Otonomi Daerah Dalam Perspektif Kearifan
Lokal. Bandar Lampung: Pusaka Media, 2019.
Marzuki, M. Laica. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI.”
Jurnal Konstitusi 4 (2007).
Nadir, Sakinah. “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa: Menuju
Pemberdayaan Masyarakat Desa.” Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013).
Noer, Eko, Kristiyanto Badan, Penelitian Dan, Pengembangan Hukum, and Dan
Ham. “Kedudukan Kearifan Lokal Dan Peranan Masyarakat Dalam Penataan
Ruang Di Daerah (Eko Noer Kristiyanto) Kedudukan Kearifan Lokal Dan
Peranan Masyarakat Dalam Penataan Ruang Di Daerah (Local Wisdom
Position and Role of Society in Spatial Planning in the Region)” (n.d.).
Pratikno. Perumusan Pola Hubungan Pusat Daerah Dalam Rangka Realisasi
Otonomi Daerah. Laporan Penelitian. Yogyakarta: PAU Studi Sosial UGM,
1991.

16

Anda mungkin juga menyukai