TENTANG
“MENGENENAL DAN MEMAHAMI RAGAM
NILAI BUDAYA LOKAL”
Dosen pengampuh :Andang S.Pd.,M.Pd.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karean atas berkat, rahmat dan
karunianya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mampu
mengenal dan memahami ragam nilai budaya lokal” dengan teapat waktu. Tak
lupa pula shalawat serta salam kita khaturkan kepada baginda besar kita, sang
revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
jahiliah menuju zaman islamiah, islam yang kita imani saat ini sampai yaumul
qiamah .
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.............................................................................i
Kata Pengantar............................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................1
C. Tujuan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan................................................................................14
B. Saran.......................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan menjadi
dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Budaya lahir dan
dikembangkan oleh manusia, melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi.
Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya diklaim sebagai
hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar yang sangat bergantung
pada pengembangan kemampuan manusia yang unik yang memanfatkan simbol,
tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah dengan
hal-hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia baik individu
atau kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa, dan
karsa masing-masing.
Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya
masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga
merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu
bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Oleh karena
itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan
peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan
komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin
peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Sementara itu,
sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga
merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat
penuturnya.
Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal
berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naif
jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan
pelestariannya. Ibarat kata pepatah ”menggapai burung terbang sementara punai
di tangan dilepaskan”. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal misalnya cerita
(dongeng) rakyat, ritual kedaerahan, tradisi kedaerahan, kreativitas (tari, lagu,
drama, dll.), dan keunikan masyarakat setempat. Beragam wujud warisan budaya
lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local genius)
dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan lokal
adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya
tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM,
2005). Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Menurut John Haba ( 2008:7-8) kearifan lokal merupakan bagian dari
konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk
memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum, kearifan
lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai penanda identitas sebuah
komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial; (3) sebagai unsur budaya
yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur
budaya yang dipaksakan dari atas; (4) berfungsi memberikan warna kebersamaan
bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik
individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground; (6)
mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama
untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau
perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh
gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan
dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok
etnis tertentu. Masalahnya kearifan lokal tersebut seringkali diabaikan, dianggap
tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya
adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan
bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat
sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan
budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya
dengan warisan budaya justru terkadang mengabaikan aset yang tidak ternilai
tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif.
Terdapat beberapa macam nilai budaya yang perlu terus dilestarikan masyarakat,
di antaranya:
Nilai Kejujuran
Nilai Patriotisme
Nilai Kompetitif
Mengucapkan "Permisi"
Sedekah Bumi
Grebekkan Maulud
Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat dua pulau besar (Pulau Sumbawa
dan Pulau Lombok), Pulau tersebut dihuni oleh tiga suku (Suku Mbojo, Suku
Sumbawa dan Suku Sasak), yang menjadi etnis dominan Masyarakat Nusa
Tenggara Barat. Suku Mbojo dan Suku Sumbawa mendiami pulau Sumbawa,
sedangkan suku Sasak menyebar di seluruh Pulau Lombok.Sebagaimana suku
bangsa secara universal, ketiga suku di NTB tersebut memiliki semboyan dan
falsafat hidup dan budaya yang berbeda tetapi masing-masing mengandung nilai-
nilai luhur dan mengakar dalam kehidupan Masyarakatnya. Suku Mbojo sistem
nilai budaya Maja Labo Dahu, suku Sumbawa mempunyai budaya Sabalong
Samalewa, dan suku Sasak terkenal dengan budayanya Patut Patuh Patju. Budaya
Bima sebagai perisai kehidupan yang paling menonjol adalah budaya” Maja labo
Dahu”. Sebuah Simbol yang dibudayakan agar menjadi benteng dan tindakan
seseorang dalam kehidupan yang dapat memberikan petunjuk untuk menetapkan
tentang tindakan yang baik atau buruk,
Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kota Bima menggelar diskusi
Budaya dengan tema Maja Labo Dahu, diskusi yang digelar di Aula Drs. H M
Noor A Latif Gedung Perpustakan dan Kerasipan Daerah Kota Bima Kamis
(14/9/2023) tersebut mengundang tiga Narasumber ternama yang kompoten di
bidang budaya dan Keadatan Bima.Beberapa poin penting tentang falsafah Mbojo
Maja Labo Dahu terungkap dalam diskusi tersebut, diantaranya Drs. H Anwar
Hasnun telah mengutarakan bagaimana penerapan Maja Labo Dahu yang
sebenarnya dalam kehidupan Masyarakat Bima sejak semboyan tersebut dipakai
baik oleh Masyarakat maupun system pemerintahan di Bima, makna yang
terkandung merupakan saripati ajaran agama Islam dan budaya yang mengajarkan
karakter bertanggung jawab dalam kehidupan sosial. “Makna Pada perintah
agama berbuat baik, masuk dalam semboyan ini, yakni Maja yang berarti Malu
terhadap sesama manusia Ketika melakukan perbuatan yang melanggar aturan dan
tidak sesuai adab, dan Takut kepada Allah yang Maha Pencipta tatkala melakukan
perbuatan jahat,” paparnya.
Penulis buku Nggusu Upa (4), Nggusu Ini (6) dan Nggusu Waru (8) ini
mengungkapkan, penerapan semboyan Maja Labo Dahu dalam kehidupan saat ini
menurutnya masih sangat relevan, apalagi generasi dihadapkan pada
perkembangan jaman yang begitu cepat, telah membuat banyak semboyan Luhur
yang diajarkan oleh para orangtua terdahulu mulai hilang dalam kehidupan
bermasyarakat utamanya anak muda, oleh karena itu perlu adanya kesepahaman
untuk tetap mempertahankan nilai tersebut dengan mengadopsinya dalam
pembelajaran di sekolah hingga ke tingkat Perguruan Tinggi. “Kita perlu mencari
cara agar ajaran luhur yang diwariskan oleh para orangtua Kita itu masih menjadi
pegangan hidup generasi berikutnya, walaupun kemajuan teknologi telah
membuat individu kurang peduli dengan orang lain di sekitarnya, akan tetapi
penerapan Maja Labo Dahu bisa menjadi benteng bagi generasi.
--https://brida.bimakota.go.id/web/detail-berita/375/membangun-
kembali-falsafah-hidup-%E2%80%98maja-labo-dahu%E2%80%99-
melalui-diskusi-budaya-#:~:text=Ia%20menjelaskan%20falsafah
%20Bima%20Maja,cara%20bertindak%20dalam%20hidup
%20bermasyarakat