Anda di halaman 1dari 21

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Makalah di susun untuk memenuhi mata kuliah

MASAIL FIQIH

Dosen pengampu :

Drs. H. M. Nawawi, M.Ag,

Di susun oleh :

Achmad Maulana Bahauddin (D01218037)


Shofa Safira (D01218048)
Zakiyatul Nisa’ (D71218108)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberika rahmat serta
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Hukum
Pernikahan Beda Agama Dengan tepat waktu, terlepas dari kekurangan dan
ketidaksempurnaan makalah ini.

Untuk itu sangat penting bagi penulis untuk berterima kasih kepada pihak-
pihak yang telah memberikan perannya dalam pembuatan makalah ini. Terutama
dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqh, Bapak Drs. H. M Nawawi M.Ag.
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Besar harapan
penulis semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Sehingga makalah ini dapat tersusun dengan sistematis dan komperhensif. Oleh
karena itu besar harapan penulis tentang makalah ini, semoga dapat bermanfaat
dan memberikan pengaruh yang baik bagi pembaca.

Terlepas dari itu semua, penulis sangat menyadari akan banyaknya


kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami selaku penulis
memohon maaf yang sebesar besarnya atas segala kekurangan dan
ketidaksempurnaan yang terkandung didalamnya.

Surabaya, 4 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Pengertian dan Problematika Pernikahan Beda Agama ........................... 3
B. Dalil-dalil serta Pendapat Para Ulama ...................................................... 6
C. Analisa Penalaran Hukum ...................................................................... 14
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
Kesimpulan ....................................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama di Indonesia telah menjadi isu
yang lama dibicarakan. Populernya isu ini merupakan konsekuensi dari
masayarakat Indonesia sendiri yang majemuk, terdiri dari bermacam-
macam agama dan suku. Karena itu, persoalan mengenai isu ini menjadi
perhatian dari beberapa kalangan, diantaranya pemerintah, tokoh agama,
maupun lembaga keagamaan baik yang beragama Islam maupun non-
Islam.
Seringkali kita lihat banyak masyarakat terutama di kalangan artis
terjadi pernikahan beda agama, entah perempuan muslim dengan laki-laki
non-muslim (Nasrani, Yahudi, Hindu, dan agama lainnya) ataupun
sebaliknya, laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim. Tidak sedikit
orang yang terpengaruh dengan paham liberal, yang mengagungkan
kebebasan dan jauh dari syari’at Islam. Paham liberal memiliki keyakinan
bahwa Pernikahan beda agama tidak jadi masalah. Sehingga semakin
maraklah Pernikahan beda agama saat ini.
Lalu bagaimana sebenarnya hukum nikah beda agama menurut
pandangan Islam yang benar? Diangkat dari permasalahan tersebut,
melalui makalah ini kami mencoba sedikit memaparkan tentang hukum
Pernikahan beda agama menurut hukum Islam sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama dan
problematikanya?
2. Bagaimana pendapat ulama dan dalil mengenai pernikahan beda
agama?
3. Bagaimana analisa penalaran hukum dari pernikahan beda agama?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penikahan beda agama dan problemnya.
2. Memaparkan pendapat ulama beserta dalil-dalil yang berkaitan tentang
penikahan beda agama.
3. Menganalisa hukum dari penikahan beda agama melalui penalaran
hukum dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Problematika Pernikahan Beda Agama


Nikah berasal dari bahasa Arab ‫ينكح‬-‫ نكح‬menurut bahasa yaitu perjanjian

antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Dalam kitab-kitab fiqih
dinyatakan bahwa nikah menurut bahasa memiliki arti hakiki dan arti majazi.
Menurut arti hakiki nikah adalah “bergabung” atau “bercampur” ‫الضم و التداخل‬

sedang arti majazi adalah “bersetubuh” ‫الوطئ‬.1 Menurut hukum islam yang diatur

dalam ilmu fiqih, pernikahan atau akad nikah adalah ikatan yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya buka merupakan
mahram.2
Dalam Pasal 1 Bab 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Pernikahan, bahwa Pernikahan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan definisi
Pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa Pernikahan menurut
hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau (mitsaqan ghalizhan).
Pernikahan berbeda agama sendiri yaitu pernikahan yang dilakukan laki-laki
dan perempuan yang berbeda keyakinan atau agama. Pernikahan berbeda Agama
juga dapat menimbulkan problematika yang dihadapi. Di antara masalah yang
timbul akibat dilaksanakannya nikah beda agama yakni:
a. Keabsahan Pernikahan. Pasal 2 ayat (1) UU Pernikahan, menyerahkan
keputusan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Masalahnya,
apakah agama dan kepercayaan itu membolehkan praktek nikah beda agama.
Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh nikah dengan laki-laki yang
tidakberagama Islam (QS. Al-Baqarah: 221).

1
http://repository.uin-suska.ac.id/20622/8/BAB%20III.pdf
2
http://digilib.uinsby.ac.id/10024/5/bab2.pdf
3
b. Pencatatan Pernikahan. Apabila pernikahan beda agama dilakukan oleh orang
Islam dengan Kristen, maka terjadi permasalahan terkait pencatatan
Pernikahan, apakah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan
Sipil. Sebab ketentuan pencatatan nikah berbeda antara agama Islam dengan
agama selain Islam. Apabila pernikahan tersebut ingin dilaksanakan di Kantor
Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan apakah pernikahan beda
agama yang akan dilangsungkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 UU
Pernikahan. Apabila pegawai pencatat Pernikahan berpendapat bahwa nikah
beda agama bertentangan dengan Pasal 2 UU Pernikahan, maka ia dapat
menolak untuk melakukan pencatatan Pernikahan.
c. Status anak. Apabila pencatatan nikah beda agama ditolak, akan berakibat
hukum pada status anak yang terlahir dalam Pernikahan. Menurut ketentuan
Pasal 42 UU Pernikahan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat Pernikahan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya
pencatatan Pernikahan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak
yang sah.
d. Penikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila pasangan nikah
beda agama dilaksanakan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun
setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, harus mendaftarkan
surat bukti Pernikahan mereka ke Kantor Pencatatan Pernikahan tempat
tinggal mereka (Pasal 56 ayat (2) UU Pernikahan). Permasalahan yang timbul
akan sama sepeti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah
menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima
pendaftaran Pernikahan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah
tidaknya Pernikahan, melainkan sekedar pelaporan administratif.
Di sisi lain, dampak nikah beda agama yakni sebagai berikut:
a. Split of Personality Anak (Karakter unik dan khusus yang dimiliki
setiap manusia).
b. Subjektivitas Keagamaan.
c. Kerinduan sesama akidah.

4
a. Persepsi negatif masyarakat.3
Selain masalah-masalah diatas, menurut pemakalah masalah Pernikahan beda
agama yang paling penting yaitu terjadi percampuran dua akidah yang bisa
berakibat terhadap anaknya sehingga anak yang masih kecil/belum mengerti
menjadi bingung dan bisa menjalankan dan mencampurkan dua agama terlebih
lagi Agama Islam dengan lainnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Indonesia memiliki beragam agama yang
yang tidak bisa dipisahkan. Akibatnya Pernikahan beda Agama pun banyak
terjadi. Akan tetapi dalam pernikahan agama di Indonesia tidak semudah yang
dibayangan karena banyak peraturan perundang-undangan yang sudah mengatur
tentang pernikahan ini. Sulitnya pelaksanaan Pernikahan beda agama di Indonesia
menyebabkan muncul berbagai model penyelesaian di kalangan masyarakat. Di
antara praktik pelaksanaan Pernikahan beda agama di masyarakat adalah dengan
masuk agama semu ke agama salah satu pasangan.
Cara penundukan agama tersebut, biasa dibarengi dengan syarat administrasi
untuk pecatatan, yaitu dengan mengubah identitas agama yang dianut dalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Demikian pula para penganut agama lainnya, seperti
Kristen, Hindu dan Budha.4
Dengan terjadinya dinamika sosial tersebut, disertai adanya pertanyaan
masyarakat tentang kebolehannya, para ulama yang tergabung dalam majelis
ulama Indonesia kemudian berusaha memberikan dalil agama untuk memberikan
kepastian hukum terhadap kasus ini. Dalam fatwanya, MUI menyatakan dengan
berbagai landasan dalil bahwa Pernikahan beda agama adalah haram sama sekali,5
yang padahal bertentangan dengan jumhur ulama. Lantas bagaimana Agama Islam
dalam menyikapi masalah Hukum Pernikahan beda Agama ini ? selanjutnya akan
dibahas melalui kajian fiqih dibawah ini.

3
Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis, Kado Cinta bagi Pasangan Beda Agama, (Jakarta:
Gramedia, 2008), h. 228-236.
4
Sri Wahyuni, Jurnal Pernikahan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, h.133 dari
https://ejournal.uin-suka.ac.id/
5
Ahmadi Hasanuddin Dardiri,Dkk.,Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam Dan
HAM, Jurnal KHAZANAH, Vol. 6 No.1 Juni 2013, h. 100
5
B. Dalil-dalil serta Pendapat Para Ulama
1. Pernikahan Beda Agama Menurut Al Quran dan As-Sunnah

a. Al-Quran menyatakan pelarangan tentang pernikahan beda agama


terhadap laki-laki muslim dengan wanita kafir yang musyrik dan juga
melarang wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir,
Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 221:
َ ُ َْ َ َْ َ َ ْ َ ٌَ ْ ٌ ََ ْ ّٰ َ ٰ ْ ْ ُ َْ َ
‫َولا تن ِكحوا ال ُمش ِرك ِت حتى ُيؤمِ َّنۗ َولا َمة ُّمؤمِ نة خ ْي ٌر ِم ْن ُّمش ِرك ٍة َّول ْو اعجبتك ْمۚ َولا‬

َ ٰۤ ُ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ ٌ ََ ُ ْ ّٰ َ َ ْ ْ ُ ُْ
‫تن ِكحوا ال ُمش ِر ِك ْين حتى ُيؤ ِمن ْواۗ َولع ْبد ُّمؤمِ ٌن خ ْي ٌر ِم ْن ُّمش ِر ٍك َّول ْو اعج َبك ْمۗ اول ِٕىك‬

َّ َ َ ٰ ْ ْ َ َّ َ َ ْ ُ ْ َ
‫اس لعل ُه ْم‬
َّ
‫لن‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ُ ّٰ ‫النارۖ َو‬
ٰ ‫اّٰلل َي ْد ُع ْوْٓا الى ال َجَّنة َوال َم ْغف َرةِ با ْذنهٖۚ َو ُي َبي ُن ا‬ ‫يدعون ِالى‬
ِ ِ ٖ‫ه‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ

َ َّ َ
٢٢١ ࣖ ‫َي َتذك ُر ْون‬

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 221).

b. Di sisi lain Al-Qur’an membolehkan laki-laki yang muslim menikah


dengan wanita kafir (non Islam) akan tetapi yang diperbolehkan
dinikahi hanya wanita kafir (non Islam) yang beragama samawi atau
wanita ahlul kitab seperti Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang telah
Allah firmankan dalam Surat Al-Ma’idah Ayat 5:
ُ ُ َ َ ُ َّ ٰ ْ ُ ْ ُ َ ْ َّ ُ َ َ َ ُ ٰ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ْ َ ْ َ
ْ َ ْ َ
‫اليوم ا ِحل لكم الط ِيبتۗ وطعام ال ِذين اوتوا ال ِكتب ِحل لكمۖوطعامكم ِحل‬
َ ُ َ ٰ ْ ُ ُ َ ْ َّ ُ ٰ َ ْ ْ ٰ ْ ْ ُ ٰ َ ْ ْ َّ
ْٓ‫ل ُه ْمۖ َوال ُمحصنت ِم َن ال ُمؤمِ ن ِت َوال ُمحصنت ِم َن ال ِذين ا ْوتوا ال ِكت َب ِم ْن ق ْب ِلك ْم ِاذا‬
6
َ ْ ْ ْ ُ ْ َّ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ ُ َ َ َ ْ ُ
ٰ ُ َ ْ َ َ ْ ْ ُ َّ ُ َ ْ ُ َّ ُ ْ ُ ُ ْ َ
ٰ
‫ان‬
ِ ‫انۗ ومن يكفر ِبال ِايم‬ٍ ‫ي اخد‬ ْٓ ‫اتيتموهن اجورهن مح ِص ِنين غير مس ِف ِحين ولا مت ِخ ِذ‬
ْٰ ْٰ ُ ُ َ ْ َ َ
٥ ࣖ ‫فقد َح ِب َط ع َملهۖ َوه َو ِفى الا ِخ َرةِ ِم َن الخ ِس ِر ْي َن‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-
hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”(Al Maidah :5)

c. Adapun As-Sunnah mengenai hal ini tetap menganjurkan agar kaum


muslimin dan muslimah agar tetap beruapaya mencari dan memilih
pasangan suami atau istri yang seakidah tentunya yang agamanya baik,
sebagaimana hadits bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda: “Wanita
dinikahi karena empat alasan; karena harta, keturunan, kecantikan, dan
agamanya. Carilah yang taat beragama, niscaya kalian beruntung.”
(H.R. Al-Bukhari).

2. Pernikahan Beda Agama Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di


Indonesia

Pernikahan yang sah telah diatur dalam perundang-undangan pasal 2


Undang-undang no 1 tahun1974 sebagai berikut :
a. UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa Pernikahan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
b. Pernikahan wajib dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

7
Kompilasi hukum Islam telah mengatur tentang Pernikahan :
a. Pasal 2 Pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
b. Pasal 3 Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
c. Pasal 4 Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Pernikahan.
d. Pasal 40 huruf C Kompilasi Hukum islam menyatakan sebagai berikut:
1.) Dilarang melangsungkan Pernikahan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu; karena wanita yang
bersangkutan masih terikat satu Pernikahan dengan pria lain;
2.) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
3.) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
e. Pasal 44 menyatakan sebagai berikut: Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan Pernikahan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
Berdasarkan undang-undang Pernikahan no 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam diatas, bahwa setiap orang yang ingin melakukan
pernikahan harus menganut agama yang sama. Jika terjadi pernikahan yang
berbeda agama dianggap pernikannya tidak sah.
No Peraturan perundang-undangan di Isi Kesimpulan
Indonesia
1. UU No. 1 tahun 1974 bahwa Pernikahan adalah sah, apabila Tidak boleh seorang Muslim
dilakukan menurut hukum masing-masing menikah dengan cara atau
agamanya dan kepercayaannya itu. menurut agama Nasrani atau
sebaliknya. Hal ini tidak
memungkinkan pernikahan
beda agama.
2. Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan Seorang Muslim tidak sah

8
menurut hukum Islam. pernikahannya bila dilakukan
di menurut hukum agama
lain. Hal ini tidak
memungkinkan pernikahan
beda agama.
3. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Dilarang melangsungkan Pernikahan: Dilarang menikahi Seorang
- Seorang wanita yang masih berada wanita yang tidak beragama
Islam
dalam masa iddah dengan pria lain; Islam.
- Seorang wanita yang tidak beragama Hal ini tidak memungkinkan
Islam. pernikahan beda agama
4. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam Seorang wanita Islam dilarang Tegas dilarang nikah beda
melangsungkan Pernikahan dengan agama.
seorang pria yang tidak beragama Islam.

3. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam Madzhab

a. Madzhab Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Pernikahan antara pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani),
sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka
yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut
mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang
mempercayai seorang nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah S.W.T.,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim alaihissalam dan
Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, Pernikahan dengan wanita kitabiyah yang ada di darul harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafasid yang besar, sedangkan Pernikahan dengan wanita
ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena
wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan
9
daging babi.

NO Pendapat Imam Isi Keterangan


Hanafi
Pernikahan antara pria muslim dengan Haram pernikahan beda
1. Haram Mutlak wanita non muslim (musyrik) hukumnya
agama
adalah haram mutlak.
Pernikahan antara pria muslim dengan Boleh jika antara laki-laki
2. Boleh/Mubah wanita ahlu al-kitab (Yahudi dan muslim dengan wanita
Nasrani), hukumnya mubah (boleh). Yahudi dan Nasrani
Pernikahan dengan wanita kitabiyah yang
ada di Daar al-Harbi hukumnya makruh Lebih diinginkan untuk
3. Makruh Tahrim tahrim, karena akan membuka pintu dilarang pernikahan beda
fitnah, dan mengandung mafasid agama.
(kerusakan-kerusakan) yang besar.

Pernikahan dengan wanita ahlu al-kitab


zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
Lebih diinginkan untuk
4. Makruh Tanzih mereka adalah karena wanita ahlu al-kitab
dilarang pernikahan beda
dzimmi ini menghalalkan minuman arak
agama
dan menghalalkan daging babi - Seorang
wanita yang tidak beragama Islam.

b. Mazhab Imam Malik


Madzhab Maliki tentang Pernikahan lintas agama ini mempunyai dua
pendapat, yaitu :
1) Menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik
dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada diwilayah atau negeri
yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun
makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika
dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-
anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarangsecara mutlaq.
Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan pendekatan sad al-
zariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan), jika

10
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam Pernikahan beda
agama ini, maka diharamkan.
NO Pendapat Isi Keterangan
Imam Maliki
1. Haram Mutlak Apabila dikhawatirkan bahwa si isteri yang Haram pernikahan beda
kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya agama.
dan meninggalkan agama ayahnya maka
hukumnya haram mutlak.
2. Makruh Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh Lebih baik dihindari
baik dzimmiyah maupun harbiyah, namun pernikahan beda agama
makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar
bila tidak dikhawatirkan mempengaruhi anak-
anaknya dan meninggalkan agama Islam
3. Makruh Tahrim Pernikahan dengan wanita kitabiyah yang ada di Lebih diinginkan untuk
Daar al-Harbi hukumnya makruh tahrim, dilarang pernikahan beda
karena akan membuka pintu fitnah, dan agama.
mengandung mafasid (kerusakan-kerusakan)
yang besar.

c. Mazhab Imam Syafi’i


Imam Syafi’i berkata; Allah Swt berfirman dalam Al-Mumtahanah Ayat
10 :
ْ َ َ َ ْ َ ُ ّٰ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ٰ ْ ْ ُ َ َ ُ ٰ َ ْ َّ َ َ
‫ّٰلل اعل ُم ِب ِا ْيما ِن ِهَّن ف ِان‬ ‫جا َۤءك ُم ال ُمؤمِ نت ُم ٰه ِج ٰر ٍت فامت ِحنوهنۗ ا‬ ‫يٰٓايُّها ال ِذين ا َمن ْوْٓا ِاذا‬
ُ ُٰ َ َ ُّ َ ُ َ ُ َّ ْ َ
ْٓ‫ي ل ْون ل ُهَّنۗ َوات ْوه ْم َّما‬ َّ ُ َ َُّ َّ ُ ْ ُ ََ ٰ ْ
َ ُ ُ َ
‫ع ِل ْمت ُم ْوهَّن ُمؤمِ ن ٍت فلا‬
ِ‫ت ْر ِجعوهن ِالى الكف ِارۗ لا هن ِحل له ْم َولا ه ْم ح‬
َ ْ َ ُ ُ َ ُ ُ ُ ُ ُ ْ َٰ َ ُ ُ َْ ْ َ ُ ََ َ َ ُ َ ُ ََْ
‫انفق ْواۗ َولا جناح عل ْيك ْم ان تن ِكح ْوهَّن ِاذآْ اتيت ُم ْوهَّن اج ْو َرهَّنۗ َولا ت ْم ِسك ْوا ِب ِعص ِم الكو ِاف ِر‬
َ

َ َ ُ ّٰ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ُ ْ َ ّٰ ُ ْ ُ ْ ُ ٰ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َٔ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َٔ ْ َ
١٠ ‫اّٰلل ع ِل ْي ٌم ح ِك ْي ٌم‬ ‫اّٰللۗيحكم بينكمۗ و‬ِ ‫وسـلوا مآْ انفقتم وليسـلوا مآْ انفقواۗ ذ ِلكم حكم‬
Setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang menghalalkan wanita-
wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini sebagaimana yang dijelaskan
Allah S.W.T. dalam Surat Al-Ma’idah Ayat 5 sebelumnya. Ketetapan Allah
SWT yang membolehkan menikahi wanita-wanita merdeka di kalangan ahli
kitab merupakan dalil yang mengharamkan menikahi wanita-wanita budak

11
mereka, karena telah dikenal dalam bahasa; apabila suatu sifat disebutkan
dalam kalimat yang berkonotasi penghalalan atau pengharaman, maka hal ini
menjadi dalil bahwa yang berada di luar sifat tersebut, tidak masuk dari kalimat
tadi.
Beliau (Imam Syafi‟i) juga berpendapat bahwa apabila seorang wanita
masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah seorang dari
kedua orang tuanya masuk Islam, sementara da masih anak-anak dan belum
mencapai usia balig. Maka haram atas setiap lelaki musyrik, ahli kitab, atau
penyembah berhala untuk menikahinya dalam segala keadaan. Apabila kedua
orang tuanya musyrik, lalu disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia
memahaminya, maka saya melarang wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.
Namun bila disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam namun ia tidak
memahaminya, maka saya lebih menyukai untuk laki-laki musyrik dilarang
untuk menikahinya.
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanita-wanita
merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah S.W.T. menghalalkan
mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab yang merdeka dan boleh
dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yakni; Taurat dan Injil dan
mereka adalah Yahudi dan Nasrani.
Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu. Dihalalkan pula
menikahi wanita-wanita dari golongan Syabiun dan Samirah dari kalangan
yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka dan memakan
hewan sembelihan mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi
orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al kitab dan
mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian
diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana diharamkannya
menikahi wanita-wanita Majusi.
No. Pendapat Isi Keterangan
Imam Syafi’i
Haram menikahi orang-orang yang Haram pernikahan beda
1. Haram menganut Yahudi dan Nasran sesudah Al- agama.
Qur’an diturunkan karena tidak termasuk

12
Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-kitab
Pernikahan beda agama adalah boleh, Lebih baik dihindari
menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani pernikahan beda agama
keturunan orang-orang bangsa Israel dan
2. Boleh tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun
termasuk penganut Yahudi dan Nasrani,
karena termasuk Yahudi dan Nasrani
kategori ahlu al-kitab

d. Madzab Imam Hanbali


Mazhab Hanbali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih
kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin
Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk
ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.

Pendapat
No. Madzhab Isi Keterangan
Hanbali
Pernikahan beda agama haram apabila wanita- Haram pernikahan beda agama.
1. Haram
wanita musyrik.
Boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani Lebih baik dihindari pernikahan
sebagai ahlul kitab, Termasuk ahlual-kitab beda agama
2. Boleh adalah yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum
diutus menjadi Rasul.

Dari pemaparan diatas, maka dapat dilihat bahwa peraturan perundang-


undangan di Indonesia melarang Pernikahan beda agama. Berdasarkan uraian
di atas, telah dijelaskan bahwa ulama Imam Madzhab sepakat untuk
mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik dan
membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab
yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Imam Madzhab
13
tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) di sini adalah karena wanita
ahlul kitab pada zaman dahulu berbeda dengan wanita ahlul kitab pada zaman
sekarang.
Pada zaman dahulu wanita ahlul kitab mengimani kitab-kitab mereka yang
belum banyak adanya perubahan dan wanita ahlul kitab pada zaman dahulu
tidak berpengaruh terhadap pemikiran dan keyakinan laki-laki muslim (suami).
Adapun pada saat ini, mereka wanita ahlul kitab mayoritas tidak memahami isi
dan kandungan kitab-kitab mereka yang sesungguhnya, karena sudah
banyaknya perubahan.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa pendapat Imam Madzhab
tentang pembolehan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul
kitab hanya sebatas pada zaman mereka. Jika dianalisis berdasarkan apa yang
telah disebutkan di atas sesuai dengan realita sekarang, maka sudah barang
tentu Imam Madzhab akan mengharamkan pernikahan beda agama tanpa
terkecuali.

C. Analisa Penalaran Hukum


Analisa hukum tentang Pernikahan beda agama, penulis menggunakan
penalaran bayani dan penalaran istishlahi. Penalaran bayani merupakan metode
penalaran hukum yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan yang terdapat
dalam sumber hukum utama (Al-Qur’an dan hadits). Sedangkan penalaran
istishlahi bertumpu pada kemaslahatan umat dan tujuan pensyariatan.6
Dalam penalaran bayani, dalil yang digunakan yaitu surah Al-Baqarah ayat
221. Qatadah, seorang mufassir dari kalangan tabi’in, sebagaimana dikutip oleh
rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik pada surah Al-Baqarah
ayat 221 adalah penyembah berhala saat al-Qur’an turun.7 Dalam tafsir jalalain
dijelaskan bahwa lafadz “musyrikat” ialah wanita-wanita kafir. Ayat ini turun
berkenaan dengan celaan pada laki-laki yang menikahi budak wanita, dan senang

6
Yusna Zaidah, Metode Penemuan Hukum Islam, Jurnal Syariah, Vol.7 No.2, Desember
2017, h.142.
7
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Matba’ahal Qahirah, 1380 H), h. 186-187.
14
terhadap laki-laki yang menikahi wanita merdeka yang musyrik.8 Terdapat
khilafiyah antara para ulama tentang permasalahan perempuan non-muslim ahli
kitab. Beberapa ulama yang memperbolehkan menggunakan dalil surah Al-
Maidah ayat 5. Akan tetapi, fatwa MUI 1 Juni 1980 mengharamkan menikahi
perempuan non-muslim (ahli kitab) karena melihat konteks orang Kristen dan
Yahudi di Indonesia bukan tergolong ahli kitab seperti yang dimaksud dalam
surah Al-Maidah ayat 5.
Selain melarang menikahi wanita musyrik, dalam surah al-Baqarah ayat 221
ini juga terdapat larangan untuk menikahi laki-laki musyrik, walupun menarik hati
karena ketampanan dan hartanya. Serta di akhir ayat menjelaskan bahwasannya
mereka tidak sejalan dengan agama Islam, karena pada dasarnya mereka juga
akan mengajak untuk melakukan sesuai agama mereka, sedangkan Allah
mengajak umat Islam menuju surga dan ampunan-Nya.9
Dari segi penalaran istishlahi, ketetapan pengharaman nikah beda agama itu
lebih besar maslahatnya. Jika ditinjau dari tujuan Pernikahan itu sendiri, maka
sendi kemaslahatan kawin beda agama akan mengurangi bahkan menghilangkan
Pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam ridha Allah. Suasana
tersebut dapat dicapai dengan mudah apabila Pernikahan dibangun atas dasar yang
kokoh, seperti suami dan istri yang sekufu (kafa’ah).
Kafa’ah dalam Pernikahan berarti sama dan sebanding (al-musawat wa al-
mumatsalat), misalnya seagama atau sama-sama ingin meneruskan keturunan
yang shaleh, dan sebagainya. Dalam hal kafa’ah, keempat imam madzhab
berpendapat bahwa agama merupakan faktor penting dan unsur yang harus
dipertimbangkan.
Hukum Islam dibangun untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan sendiri ada lewat terpenuhinya lima
kebutuhan dasar, atau lebih dikenal dengan Maqashid Syar’iyyah. Kelima
kebutuhan dasar itu ialah: agama, jiwa, akal, harta, keturunan, dan kehormatan.

8
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim lil Imami Al-
Jalalain; al-Juz al-Awwal, (Surabaya: Maktabah Imarotallah, 1433 H), h. 33.
9
Ibid.,… h. 33.
15
Dalam Pernikahan terdapat dua aspek dari maqashid syar’iyyah yaitu menjaga
agama dan menjaga keturunan. Keharusan pemeliharaan agama akan sulit tercapai
jika terdapat gangguan adanya andil dari non-muslim dalam menata kehidupan
keluarga.10
Sehingga pernikahan beda agama jika dilihat dari penalaran istislahi lebih
besar mafsadahnya daripada maslahatnya. Rumah tangga yang dibangun dengan
tidak memperhatikan kafa’ah dalam agama (terutama perbedaan agama) akan
berdampak pada kerusakan keluarga seperti penyelewengan aqidah, serta
ketakutan anak-anaknya untuk memilih agama akibat perbedaan kepercayaan.
Setelah mempertimbangkan dari segi penalaran bayani dan istishlahi, maka,
Pernikahan lintas agama atau beda agama hukumnya haram. Meskipun ada
khilafiyah memperbolehkan menikah dengan wanita non-muslim ahli kitab, tetapi
alangkah baiknya kalau tidak melakukannya, mengingat besarnya mafsadah yang
terjadi daripada kemaslahatan.

10
Muhammad Yusuf, Relasi Teks dan Konteks; Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif
Melalui Manhaj Imam Syafi’i, (Jogja: Indie Book Corner, 2020), h. 242-244.
16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pernikahan beda agama merupakan Pernikahan yang dilakukan antar
agama atau orang yang berlainan agama, antara laki-laki muslim dengan
perempuan non muslim atau sebaliknya, laki-laki non muslim dengan perempuan
muslim. Terdapat perbedaan pendapat antara para ulama terkait boleh atau
tidaknya menikahi perempuan non-muslim ahli kitab.
Hukum Pernikahan beda agama dalam Islam adalah haram, walau masih
banyak perdebatan tentang hal ini. Begitu juga di Indonesia, Pernikahan beda
agama hukumnya haram berdasarkan fatwa MUI dan UU Pernikahan yang telah
ditetapkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim lil


Imami Al-Jalalain; al-Juz al-Awwal. Surabaya: Maktabah Imarotallah.
1433 H.
Hasanuddin Dardiri, Ahmadi, Dkk. Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari
Perspektif Islam Dan HAM. Jurnal KHAZANAH. Vol. 6 No.1 Juni
2013.
http://digilib.uinsby.ac.id/10024/5/bab2.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/20622/8/BAB%20III.pdf
Monib, Mohammad & Ahmad Nurcholis. Kado Cinta bagi Pasangan Beda
Agama. Jakarta: Gramedia. 2008.
Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Mesir: Matba’ahal Qahirah. 1380 H.
Wahyuni, Sri. Jurnal Pernikahan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi
Manusia. dari https://ejournal.uin-suka.ac.id/
Yusuf, Muhammad. Relasi Teks dan Konteks; Memahami Hadis-Hadis
Kontradiktif Melalui Manhaj Imam Syafi’i. Jogja: Indie Book Corner,
2020.
Zaidah, Yusna. Metode Penemuan Hukum Islam. Jurnal Syariah. Vol.7 No.2.
Desember 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai