Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MENYIKAPI PERNIKAHAN PERBEDAAN AGAMA/KEYAKINAN ANTARA DUA


CALON PASANGAN

DOSEN :

Drs. PETRUS MEGU, MM.

PETRUS AM

Disusun Oleh :

ANDHINI FIRNANDHA MOUDHIYAH

20023000199

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

AKUNTANSI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya untuk selesainya pembuatan makalah berjudul “MENYIKAPI PERNIKAHAN
PERBEDAAN AGAMA/KEYAKINAN ANTARA DUA CALON PASANGAN” dengan lancar
dan selesai tepat pada waktunya. Tugas ini merupakan tugas dari mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan 2.
Selama proses penulisan makalah ini, saya memperoleh banyak bantuan dari berbagai
sumber. Untuk itu dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Drs. PETRUS MEGU, MM. ,selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan2.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa dalam rangka penulisan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan, baik dari segi isi maupun dari segi
penulisannya. Segala kritikan dan masukan dari semua pihak sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata pengantar ............................................................................................................................................... i

Daftar Isi ....................................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................................................................... 1

BAB II PERMASALAHAN ......................................................................................................................... 2

2.1. Rumusan Masalah ................................................................................................................................. 2

2.2. Tujuan Makalah .................................................................................................................................... 2

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

3.1 Pengertian Konsep, Pertahanan, Dan Keamanan Negara ....................................................................... 3

3.2 Landasan Hukum Pertahanan Dan Keamanan Negara ........................................................................... 3

3.3 Prinsip Dan Fungsi Pertahanan Keamanan Negara................................................................................. 5

BAB IV PENUTUPAN ................................................................................................................................ 7

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................................................. 7

4.2 Saran ....................................................................................................................................................... 7

4.3 Daftar Pustaka ......................................................................................................................................... 7


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya
dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi
perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa
ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain
sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan
kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan
wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang
muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman
sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit
yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang
pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan
agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status
pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas
sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD 1945,
Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.

1
BAB II
PERMASALAHAN

2.1. Rumusan Masalah


1. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum negara?
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam ?
3. Apa saja masalah yang muncul kalau kita kawin beda agama?

2.2 Tujuan Penulisan Makalah

1. Mengetahui hukum pernikahan beda agama menurut hukum negara

2. Mengetahui bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam

3. Mengetahui apa saja masalah yang muncul kalau kita kawin beda agama

2
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara

Pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2
UUP adalah :

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam


penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan
oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada
Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya
perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari
agama masing-masing.

Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut
membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita
tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain
itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).

3.2 Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik. Semua perangkat
syari'ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam
ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal
yang sangat dipelihara Islam.

Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini. Islam tidak mau
menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan
dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah

3
dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah dalam
surat Albaqarah ayat 221 :

Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)

Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan beda agama
tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini
para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para ahli
tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis),
tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk
mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1 sebagai berikut:

Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata". (QS. AL-Bayyinah : 1)

Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik dan ahlu kitab.
Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang
disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama
samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui
Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada agama samawi.

Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di belahan bumi. Sejarah
mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan
nasrani. Dengan demikian hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk
musyrikin. Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada
dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5:

Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).

Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan bahwa kebolehan menikahi
ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka
sudah imbang, bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi.

Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu). Maksudnya
sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu
kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.

Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas tidak ada lagi. Secara psikologis, pendapat Ibnu
Umar bisa dipahami. Karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika
ibunya Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar.

4
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para
ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di
kalangan sahabat sendiri tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir
dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin Affan,
Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain. Dalam kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar
menyatakan bahwa menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab
bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama
banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah tangga -yang merupakan tujuan pernikahan-
sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke
Islam bukan sesuatu yang mustahil.

Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki
muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab,
lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama
lain.

Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam
ahlu kitab? Untuk agama Hindu, Buda dan Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi,
yang tentunya konsep ketuhanannya jauh berbeda.

Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan,
sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini
untuk konteks Indonesia, sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang
belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan Islam. Dengan kata lain,
Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika
persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-
rapat.

Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu tidak ditemukan dalam
ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan
Syekh Nawawi menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang mereka masuk
Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan
Katolik telah berubah. Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf Qardlawi
dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas, maka jelaslah bahwa pernikahan
beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.

3.3 Masalah Yang Muncul Kalau Kita Kawin Beda Agama

Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974,
maka permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara
lain:

1. Keabsahan perkawinan.

5
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam
pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran
dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing
pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam
wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu
juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

2. Pencatatan perkawinan.

Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen,
maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di
Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama
Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan
Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang
dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan.
Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan
menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

3. Status anak.

Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan
memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42
UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh
karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak
yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo.
pasal 43 ayat (1) UUP].

4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri.

Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun
waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti
perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP].
Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah
menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administratif.

6
BAB IV

PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama diatur dalam
kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara Indonesia sehingga dapat
dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan peraturan UUD Negara Indonesia, yang
mana keduanya saling bertentangan. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan
perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c
dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam.

Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan,
namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5,
Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep
ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu
diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan
wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri
mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.

4.2 Saran

Menurut mendapat saya, ketika kita akan memilih pasangan hidup buat kita, kita mesti sangat
sangat selektif untuk memilihnya, tak hanya sekedar atas dasar cinta, namun juga ada banyak
faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Misal ; apakah pasangan kita merupakan orang yang
se-iman dengan kita? Jika iya, maka kita tinggal pertimbangkan hal lain buat kedepannya.
Namun, apabila calon pasangan kita tidak se-iman dengan kita, menurut saya hal tersebut hanya
akan menambah banyak masalah buat kedepannya, yakni selain rumit di soal hukum, juga soal
hal lain di kemudian hari. Maka saya sarankan untuk menikah dengan calon pasangan yang
seiman dengan kita.

4.3 Daftar Pustaka


1. Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia - Hukumonline.com
2. Kawin Beda Agama Itu Kira-kira Bakal Munculin Permasalahan Apa Saja Ya? -
Hukumonline.com
3. Makalah Pernikahan Berbeda Agama ~ Aneka Ragam Makalah (anekamakalah.com)
4. Bolehkah Menikah Beda Agama? - Cahaya Islam Berkemajuan (muhammadiyah.or.id)
5. Tanya Ustadzmu: Apa Hukum Menikah Beda Agama Dalam Pandangan Islam? ~ schmu news

Anda mungkin juga menyukai