Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPENGHULUAN

komparasi pencatatan perkawinan antara

(UUP dan juga UU No. 23 Tahun 2006)

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS INDIVIDU KEPENGHULUAN

DOSEN PENGAMPU:

Eko Mardiono, S. Ag., M.SI.

OLEH:

FATH THORIQ ALFARHAN

(20103050093)

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022/2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat allah Swt. Yang
melimpahkan taufik serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ii dengan
sebaik mungkin kendatipun sangat sederhana.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kehadirat junjungan kita semua nabi
Muhammad saw. Sebaik-baiknya insan lintang pemimpin bagi ummat manusia terutama
ummat islam karena berkat beliau kita masih bisa menikmati nikmatnya islam.

Dalam makalah ini saya membahas tentang “komparasi pencatatan perkawinan antara
undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 dan UU NO. 26 tahun 2006”. Selanjutnya saya
haturkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu saya menyelesaikan makalah ini.

Namun pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena tidak ada
kesempurnaan sedikitpun di dunia ini. Dengan ini saya mengharap kritik dan saran untuk
lebih memotivasi saya kedepannya, terutama untuk dosen pembimbing bapak Eko Mardiono,
S. Ag., M.SI. dan semoga saja makalah ini bermanfaat bagi ita semua, amiin….

Umbul harjo, 28 september 2022

Fath thoriq Alfarhan


Daftar Isi

Contents
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
BAB 1..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................5
C. Tujuan Kepenulisian...........................................................................................................5
BAB 2..............................................................................................................................................6
ISI....................................................................................................................................................6
A. Pengertian pencatatan perkawinan.....................................................................................6
B. Ketentuan pencatatan perkawinan antara (UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 dan UU no
23 tahun 2006).............................................................................................................................7
1. Undang-undang perkawinan (No. 1 Tahun 1974)...........................................................7
2. UU No. 23 Tahun 2006...................................................................................................11
C. Persamaan dan perbedaan................................................................................................12
D. Kekurangan dan kelebihan...............................................................................................13
BAB 3............................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
A. Kesimpulan........................................................................................................................14
B. Saran..................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sahnya suatu perkawinan itu apabila sah menurut agama. Di Indonesia pada saat ini
telah memiliki hukum perkawinan nasional yang telah berlaku bagi seluruh wilayah
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan
dibuktikannya dengan akta nikah. Dalam hukum Islam menggunakan metode
maslahahmursalah. Hal ini karena meski secara formal tidak ada ketentuan ayat atau
sunnah yang memerintahkan pencatatan, namun kandungan maslahatnya sejalan
dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Dapat
ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima
dan dilaksanakan oleh semua pihak.Dalam pasal 2 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, menyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar inilah, apabila seseorang ingin melakukan perkawinan, maka dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dengantujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya
yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian
(misaq al-ghalid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan
rumah tangga melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,
yang masing-masing suami istri mendapat salinannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bunyi UU pencatatan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan


UU No. 23 Tahun 2003?
2. Apa persamaan dan perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 23 tahun
2006?
C. Tujuan Kepenulisian

1. Mahasiswa/I dapat memehami bunyi UU tentang pencatatan perkawinan yaitu UU


No. 1 Tentang Pencatatan perkawinan dan UU No. 23 tahun 2006.
2. Mahasiswa/I yang membaca makalah ini mengetahui komparasi antara UU No. 1
Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2003.
3. Memenuhi tugas Individu mata kuliah kepenghulua
BAB 2

ISI
A. Pengertian pencatatan perkawinan

Pengertian pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan


oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian
perkawinan dalam ensiklopedia indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan di lakukan dengan
ijab dan qabul. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan dasar dalam
keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak
dalam memperoleh hak-hak dalam keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

Seiring berjalannya waktu, pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu


solusi terhadap kondisi demikian. Dengan begitu maka pencatatan perkawinan
dianggap sebagai salah satu solusi terhadap bentuk pembaruan hukum (reformasi
hukum) keluarga yang dilakukan oleh negara-negara dunia islam.1

B. Ketentuan pencatatan perkawinan antara (UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974


dan UU no 23 tahun 2006)

1. Undang-undang perkawinan (No. 1 Tahun 1974)

Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 UU 1/1974 yang


menyatakan:
1. Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masig-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dan pelaksanaannya :
Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
1
Dainori. Studi komparasi hukum pencatatan perkawinan dalam islam dan di negara kontemporer. Jpik vol.4,
maret 2021, hal: 3.
Pencatatan Perkawinan - eSty indrasari (weebly.com)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh
orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah
tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)Pegawai Pencatat
meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh
Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal
orang tua calon mempelai.
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4)
dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri.
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang.
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian
surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan
Bersenjata.
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam
sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai
dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada
calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu
halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat
pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan
pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh pegawai pencatat pernikahan dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka
terdahulu:
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

Yang kita lihat dari pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan pula bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam penjelasan umum disbutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah
sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseoranh
seperti kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu
akta resmi yang juga dimuat dalam daftar percatatan. Perbuatan pencatatan tidak
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa
peristiwa itu ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative.2

Merujuk pada pasal 2 ayat 1 dan 2 yang menentukan bahwa suatu perkawinan
harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keercayaannya
masing-masing dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pilih
keberlakuannya apabila hanya memenui salah satu saja maka peristiwa
perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang di tentukan oleh
undang-undang.

Adapun dasar hukum pencatatan perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974


terdapat pada:
- UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundng-undangan yang
berlaku”
- UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk pasal 1
ayat 1
“ nikah yang dilakukan menurut agama islam, selanjutnya disebut nikah, di
awasi oleh pencatat nikah yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai
2
K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16
yang di tunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama islam
selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat
nikah.”
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk
menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam
Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada dengan
kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan
sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan
sampai ada kekacauan.
Sedangkan Dalam Kompilasi hukum Islam, pencatatan perkawinan diatur di
dalam BAB II "DASAR-DASAR PERKAWINAN" yakni pasal 5 dan pasal 6.
Pasal 5 yang berbunyi;
(1) Agar terjamin ketertiban Perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
Perkawinan harus dicatat
(2) Pencatatan Perkawinan tersebut pada ayat (1),  dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah 

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 undang-


undang No.32 tahun 1954.
Pasal 6 yang berbunyi;
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah
tidak mempunyai kekebalan hukum.

Di indonesia sendiri ada dua instansi/lembaga yang diberi tugas


menyelenggarakan pencatatan perkawinan umat islam(Kantor Urusan Agama
dan Kantor Pencatatan Sipil). Berdasarkan bunyi pada pasal ini, dapat
dipahami bahwa tujuan dari pencatatan perkawinan adalah untuk ketertiban
dalam masyarakat islam. Pencatatan itu sendiri harus dilangsungkan
dihadapan P3N.3

3
Novita aulialubis. Pencatatan perkawinan dan fase perkawinan. 13 maret 2021, diperbarui : 13 maret 2021.
(Pencatatan Perkawinan dan Fase Perkawinan Halaman 1 - Kompasiana.com)
2. UU No. 23 Tahun 2006

Bagian Ketiga Pencatatan Perkawinan


Paragraf 1 Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Pasal 34
(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan
oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil
mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

Berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan sah apabila dicatat menurut


perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang digunakan di sini ialah Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU
Administrasi Kependudukan). Pasal 1 angka 17 UU Administrasi Kependudukan
mengkategorikan  perkawinan sebagai peristiwa penting. Pasal 3 kemudian menyatakan
bahwa setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa penting yang dialaminya kepada
Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pencatatan Sipil.
Artinya, perkawinan di Indonesia wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi pasangan
muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non-muslim.
Lantas, apakah dengan tidak dicatatkannya perkawinan, perkawinan tersebut menjadi tidak
sah? Tentunya saja tidak bisa secara langsung disimpulkan demikian. Perkawinan yang
dilakukan di tempat ibadah adalah sah secara agama. Namun, karena tidak adanya
pencatatan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada oleh hukum Indonesia. Artinya,
berdasarkan hukum Indonesia pasangan suami istri ini adalah masih dalam status sendiri atau
belum menikah.
Lalu, bagaimana status dari anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil?
Karena anak lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum, anak tersebut berstatus
sebagai anak luar kawin. Menurut Pasal 43 UU Perkawinan, anak luar kawin hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Akibat yang timbul dari status
anak luar kawin adalah sebagai berikut.
1. Akta Kelahiran dari anak luar kawin hanya akan mencatat nama ibu saja sebagai orang tua
sah tanpa nama ayah.
2. Karena Akta Kelahiran anak luar kawin hanya mencatat nama ibu saja, anak luar kawin
tidak berhak mewaris dari ayahnya dan hanya akan mewaris dari ibunya sesuai dengan
bagian waris anak luar kawin yang ditentukan oleh undang-undang.
C. Persamaan dan perbedaan
Persamaan dari kedua undang-undang yang paling nampak jelas adalah
mewajibkan adanya pencatatan perkawinan. Perbedaannya adalah dalam UU No. 1
Tahun 1974 tidak seperti UU No. 23 tahun 2006 yang mana setelah melakukan
pencatatan sipil hal yang dilakukan selanjutnya ialah mencatat pada register akta
perkawinan dan menerbitkan akta perkawinan.
Perbedaan selanjutnya adalah dalam UU No. 1 tahun 1974 menyatakann bahwa
pernikahan haruslah dilaksanakan didepan seorang PPN tetapi berbeda dengan UU
No. 23 tahun 2006 tidaklah begitu dan hanya menghendaki ada pelaporan selambat-
lambatnya adalah 60 hari.

D. Kekurangan dan kelebihan


Pada dasarnya tujuan Undang-Undang Perkawinan itu untuk memberikan
batasan yang sifatnya berupa norma larangan untuk melakukan perkawinan beda agama.
Sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan bertujuan untuk mewujudkan tertib
administrasi kependudukan terhadap mereka yang melakukan perkawinan beda agama, baik
dengan penetapan pengadilan, maupun dengan cara yang lain. Karena Undang-Undang
Perkawinan mengatur tentang keabsahan perkawinan dan pengakuan dari negara melalui
buku nikah. Sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan hanya memberikan
pengakuan bahwa telah dilakukannya perkawinan beda agama dan negara diwajibkan
mencatat perkawinan tersebut. Akan tetapi tidak menyatakan bahwa perkawinan beda agama
adalah sah. Dengan demikian mengesahkan perkawinan berbeda dengan mengakui
perkawinan melalui pencatatan perkawinan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan produk hukum yang
bersifat dialektik terkait dengan pro dan kontra perkawinan beda agama. Meskipun tidak
membuka peluang perkawinan beda agama yang seluas-luasnya, akan tetapi telah membuat
lubang kecil dinding pemisah antara yang haq dengan yang batil untuk menjaga moral umat
Islam, dan yang menjadi tameng moral diamanatkan pada hakim apakah memberikan izin
untuk menikah beda agama atau tidak.
BAB 3

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ketentuannya, meninjau pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Pencatatan Perkawinan menyatakan bahwa Ketentuan pencatatan
perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU 1/1974 yang menyatakan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturanperundang-undangan yang berlaku. Sementara Undang-Undang
Administrasi Kependudukan merupakan rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
Dalam perspektif persamaan dan perbedaanya, hal yang saling bersinggungan
antara UU Perkawinan dengan UU Administrasi Kependudukan adalah masalah
perkawinan. Sementara perbedaanya yakni: Undang-Undang Perkawinan
mengatur tentang perkawinan, syarat-syarat perkawinan, sahnya perkawinan,
pembatalan perkawinan dan lain-lain. Sedangkan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan mengatur tentang kelahiran, perubahan nama, perkawinan,
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, kematian dan lai-lain. Dalam
perspektif kelebihan dan kekurangannya menurut pandangan hukum, Undang-
Undang Perkawinan mengatur tentang keabsahan perkawinan dan pengakuan dari
negara melalui buku nikah. Sedangkan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan hanya memberikan pengakuan bahwa telah dilakukannya
perkawinan beda agama dan negara diwajibkan mencatat perkawinan tersebut.
Akan tetapi tidak menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah sah.

B. Saran
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan dalam konteks perkawinan
secara umum dan pencatatan perkawinan secara khusus, telah diatur sedemikian rupa
agar menjadi perundang-undangan yang aplikatif dalam kehidupan dengan melihat
ditawarkannya solusi terhadap masalah seperti pernikahan yang tidak tercatat dan akta
yang hilang. Penyusunan yang dilakukan juga telah diatur agar sesuai dengan konteks
yang menjadi latar awal undang-undang yang terkait, seperti UU Pencatatan
Administrasi Kependudukan yang kemudian membahas terkait pencatatan pernikahan
dalam konteks administrasi yang dilakukan pemerintahan. Barang tentu kedua hal ini
dibuat guna mudahnya aplikasi dan pencarian sehingga masyarakat mudah dalam
menerapkan dan menaati undang-undang, namun hal ini tidak serta merta menjadi hal
yang 100% begitu nyatanya.
Sebelum mematuhi undang-undang tentu harus mengetahui terlebih dahulu
seperti apa undang-undang tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman, namun dalam
proses memahami undang-undang yang mencakup permasalahan perkawinan secara
umum dan pencatatan perkawinan secara khusus ini terdapat permasalahan yang kami
temukan yaitu susahnya mencari informasi dikarenakan terpencarnya undang-undang.
Dilihat dari UUP yang mencakup peraturan dari undang-undang lain namun tidak
mencantumkan undang-undang mana yang dimaksud, hal ini menjadi kesulitan atau
jika setidaknya tidak sulit maka bisa dikatakan keribetan tersendiri karena proses
pencarian yang berliku-liku. Maka saran yang bisa dimasukkan terkait permasalahan
yang terjadi yakni kodifikasi atau pengumpulan secara khusus masalah pernikahan
yang dibahas dan disebutkan secara rinci dari a-z tanpa perlu melihat-lihat ke sumber
yang lain dan kemudian memahamkan secara mudah dan ringkas.
DAFTAR PUSTAKA
Dainori. Studi komparasi hukum pencatatan perkawinan dalam islam dan di negara
kontemporer. Jpik vol.4, maret 2021, hal: 3.
K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm.
16
Novita aulialubis. Pencatatan perkawinan dan fase perkawinan. 13 maret 2021, diperbarui :
13 maret 2021. (Pencatatan Perkawinan dan Fase Perkawinan Halaman 1 - Kompasiana.com)

Estyindrasari. Pencatatan perkawinan. Pencatatan Perkawinan - eSty indrasari (weebly.com)


Di akses pada 20 september 2002

Anda mungkin juga menyukai