“Pencatatan Perkawinan”
Dosen :
Disusun Oleh :
ARUM SAKAWUNI
(1700874201228)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATANGHARI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul KAPITA
SELEKTA HUKUM PERDATA “pencatatan perkawinan” Shalawat beserta salam kami
sampaikan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-
sahabatnya yang telah mengangkat manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
membantu dan memberi saran kepada penulisan makalah kami ini.
Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Hal itu di
karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah
ini terdapat banyak kesalahan dan kesilapan.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN....................................................................................... 19
................................................................................................................
B. SARAN ................................................................................................... 20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan permasalahan
sebagai berikut :
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENCATATAN PERKAWINAN
PERKAWINAN adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974).
PENCATATAN PERKAWINAN adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani
oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan
ketertibanhukum.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Pencatatan
perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan
upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga
seperti hak waris dan lain-lain.
SEBUAH PERKAWINAN adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti
bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di
mata agama dan kepercayaan masyarakat. Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak
perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-
belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai
negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah
Tangan (Nikah Siri). Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama
halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan,
tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat
3
administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1976, hlm. 16) Merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan
bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipilih keberlakuannya. Apabila
hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum
memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh undang-undang.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
yang menyatakan bahwa:
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada umumnya dilaksanaan
bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam
acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu,
pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan
pernikahan menurut agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk
agama Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan
di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.
Pasal 6
Ayat 1: Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
Ayat 2: Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat
meneliti pula:
1. Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur
dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan
itu;
5
2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang
tua calon mempelai;
3. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun;
4. Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai
adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
5. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
6. Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
7. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila
salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan
yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Misalnya dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri
mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan
kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan
bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak
perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh
Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara
agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut
hukum. Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan
6
perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-anak yang
akan dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus tunjangan keluarga
bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan
Karyawan Swasta, mengurus warisan.
Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari
kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau
istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan
yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta
Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara
perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil.
Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain
dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau
keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata
dengan ayahnya tidak ada.
7
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan
dari ayahnya.
Pergub No. 93 Tahun 2012 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil mengatur secara spesifik sebagai berikut;
Pencatatan Perkawinan di Daerah Pasal 65
(1)Perkawinan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi mereka yang
beragama selain Islam wajib dilaporkan oleh pemohon di Dinas bagi Orang Asing dan di
Suku Dinas bagi WNI.
(4)Sebagai bukti pencatatan perkawinan kepada suami dan istri diberikan Kutipan Akta
Perkawinan.
(5)Penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan
selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pencatatan perkawinan.
Pasal 66
8
f. Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka yang
pernah kawin;
g. Pencatatan perkawinan yang tidak memiliki bukti perkawinan dikarenakan perkawinan
adat maka pembuktian perkawinannya harus melalui proses Penetapan Pengadilan Negeri;
h. Legalisasi dari pemuka agama/pendeta/penghayat kepereayaan di tempat terjadinya
perkawinan bagi peneatatan perkawinan yang melampaui batas waktu;
Pasal 67
(1)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
9
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada Suku Dinas (F-2.12);
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan mengagendakan
permohonan pencatatan perkawinan;
(2)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan Orang Asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan di Dinas (F-
2.12);
10
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;
c. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan perkawinan selama 10
(sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman;
d. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan mengagendakan
papan pengumuman;
kelahiran anak;
h. Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan (Bk2.02) dan
Buku Pengesahan Anak (Bk3.02); dan
i.Kepala Dinas menerbitkan register akta dan 2 (dua) Kutipan Akta Perkawinan.
Pasal 68
(1) Pencatatan perkawinan yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan, data hasil
pencatatannya wajib disampaikan kepada Suku Dinas dalam waktu 10 (sepuluh) hari setelah
dilaksanakan.
(2)Suku Dinas melakukan perekaman data hasil pencatatan perkawinan oleh KUA ke dalam
database kependudukan.
(3)Data hasil pencatatan KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dimaksudkan
untuk penerbitan Kutipan Akta Perkawinan. Pelaporan Pencatatan Perkawinan di Luar
Negeri
Pasal 69
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri antar WNI atau WNI dengan Orang
Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat
perkawinan itu dilangsungkan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
11
(2) Perkawinan WNI atau WNI dengan Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan telah memperoleh akta perkawinan dari lembaga yang berwenang di luar negeri atau
dar! Perwakilan Republik Indonesia setempat, serta wajib dilaporkan oleh yang
bersangkutan, keluarga atau kuasa ke Dinas selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
(3) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyelenggarakan
pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan perkawinan dilakukan pada
(4) Laporan perkawinan di ·Iuar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
direkam dalam database kependudukan, dicatat pada daftar register perkawinan luar negeri
(5)Penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diselesaikan selambat-Iambatnya 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya berkas
persyaratan secara lengkap.
Pasal 70
a.Asli dan Fotokopi Sertifikat Akta Perkawinan Luar Negeri Asli dan terjemahan;
e.Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suamilistri bagi
mereka yang pernah kawin;
f.Foto berwarna kedua mempelai berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar;
dan
Pasal 71
12
Tata cara penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a.Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pelaporan Pencatatan Perkawinan Luar
Negeri di Dinas (F-2.13);
b.Petugas registrasi Dinas melakukan verifikasi dan validasi data permohonan;
c.Petugas registrasi Dinas mencatat perkawinan luar negeri ke dalam register perkawinan
luar negeri;
d.Petugas registrasi Dinas melakukan perekaman data perkawinan penduduk di luar negeri
ke dalam database;
e.Kepala Dinas menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri; dan
f.Pemohon menerima Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagai dasar
untuk merubahan dokumen KK dan KTP di Kelurahan. Pencatatan Perkawinan menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pada bulan Desember 2006 Pencatatan Sipil di Indonesia telah mendapat pengaturan
dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Ordonansi-ordonansi yang sebelumnya mengatur pencatatan sipil di
Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini
adalah :
a.Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar
1945 berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum
setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia
dan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan.
c.Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung
oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga
Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
d.Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak
sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak
diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan
bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan.
13
Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah agar dapat
memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang
berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif.
Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ke-empat menjamin setiap orang berhak
untuk membentuk sebuah keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang sah (pasal
28B). Kemudian pasal 29 ayat (2), negara menjamin tiap-tiap warga negara untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas
bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang
Dasar dan bersifat non- diskriminatif.
Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda agama dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah tidak sesuai dengan
penegakkan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan bahwa negara yang
rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering terjadi perkawinan beda agama,
meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah menurut undang-undang perkawinan. Hal itu
berkaitan dengan sifat manusia yang kadang punya seribu satu macam keinginan. Maka
dengan berbagai latar belakang tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 khususnya pasal 35 huruf a, hukum
positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan terhadap perkawinan beda agama di
Indonesia, dengan cara memohon penetapan pengadilan yang menjadi dasar dapat
dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Keabsahan perkawinan akan
dinilai oleh Hakim Pengadilan Negeri dimana permohonan diajukan.
Perlindungan dan pengakuan atas status pribadi dan status hukum setiap peristiwa
kependudukan dan semua peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di
dalam wilayah Indonesia, adalah diberikan oleh negara. Perkawinan merupakan satu
peristiwa penting berkaitan dengan status hukum seseorang, dan merupakan hak sipil warga
negara. Pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif dan bukan syarat sahnya
perkawinan, tetapi tetap sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan bukti autentik
terhadap status hukum seseorang. Wujudnya adalah berupa buku nikah atau akta
perkawinan, yang menunjukkan perkawinan telah benar-benar terjadi dan sah secara hukum.
Persoalannya, meskipun setiap perkawinan harus dicatatkan, tetapi undang- undang
mewajibkan perkawinan itu harus disyahkan oleh agama terlebih dahulu. Ini dikarenakan,
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia tidak lagi mengenal apa
14
yang disebut sebagai perkawinan sipil. Perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan
tata cara menurut agama para pihak yang melaksanakan perkawinan. Konsekuensi dari
ketentuan ini, pencatatan perkawinan menjadi persoalan tersendiri, sebab tidak semua
pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agamanya sama. Ada pasangan yang
agamanya berbeda, sehingga menimbulkan kesulitan, karena undang-undang melarang
perkawinan beda agama, sementara mereka kadang tetap pada agamanya masing- masing.
Tanpa adanya pengesahan dari otoritas agama, otoritas KUA dan otoritas catatan sipil
sebagai lembaga pencatat perkawinan tidak dapat mencatat perkawinan tersebut.
Oleh karenanya banyak pihak yang sengaja mencari celah agar bisa melaksanakan
perkawinan meskipun berbeda agama. Caranya adalah dengan penyelundupan hukum
dengan cara perkawinan dilaksanakan dua kali menurut masing-masing agama para pihak
yang kawin, penundukan pada salah satu agama, atau melaksanakan perkawinan diluar
negeri. Semuanya mempunyai konsekuensi masing-masing. Sehingga, untuk mencegah
adanya usaha menyeludupkan hukum dengan cara-cara tadi, maka perkawinan beda agama
dicoba diakomodir dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan tersebut.
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ketentuan selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 1 angka 17 :
Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, PERKAWINAN, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan.
Ketentuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Apabila diperhatikan lebih lanjut, ada satu pasal yang mengakomodir pencatatan
perkawinan beda agama, yaitu pasal 35 huruf a. Pasal tersebut ditujukan untuk
mengakomodir perkawinan beda agama yang selama ini sulit dilaksanakan. Tetapi
sebenarnya ketentuan tersebut kontroversial dan mengundang perdebatan. Sebagai
contohnya adalah apa yang dipermasalahkan di bawah ini. Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan berbunyi: “Pencatatan
perkawinan berlaku pula bagi Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.”
Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh
pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa sampai dengan pasal 35 dan 36 dari undang-
undang ini, dapat dimengerti dan dapat diterima akal. Tetapi menjadi janggal kalau
15
membaca penjelasan pasal 35 a, yang bunyinya tidak bisa diterima bila dihubungkan dengan
pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ungkapan yang
dikemukakan diatas, memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu
undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan atau bunyi dari suatu
pasal undang-undang yang lain.
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peristiwa perkawinan penting untuk dicatatkan oleh setiap warga negara Indonesia
sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, manfaat
pencatatan perkawinan adalah sebagai bukti yang kuat dalam menentukan kedudukan
hukum seseorang agar terwujud kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan
hukum terhadap perkawinan itu sendiri. Sedangkan alasan perkawinan tidak dicatatkan
bukan saja berasal dari pasangan suami istri (baik karena faktor ekonomi maupun faktor
lokasi), tetapi juga dari ulama atau pemuka agama yang tidak berwenang
melangsungkannya, serta tidak berjalannya sanksi bagi pelaku yang tidak mencatatkan
perkawinan mereka sehingga mengakibatkan perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum negara.
B. SARAN
Dalam hal menanggulangi terjadinya pencatatan perkawinan yang tidak dicatatkan maka
penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada orangtua hendaknya mendidik anak lebih diketat lagi dan hendaknya ditanamkan
pengajaran agama sejak usia dini hingga nanti dewasa anak memikirkan masa depan dan
cenderung melakukan hal yang baik.
2. Karena kurang tahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan maka KUA
perlu mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan melalui seminar-seminar yang
diselenggarakan Kantor Urusan Agama dan juga melalui acara-acara yang diselenggaran
Kementerian Agama dan jugaa Instansti yang berada dibawahnya, sehingga pencatatan
pernikahan bisa lebih disoliasikan lagi karena masih banyak masyarakat kurang
mementingkan adanya pencatatan pernikahan tersebut melalui acara-acara siaran televisi
atau siaran radio.
17