Anda di halaman 1dari 16

PENCATATAN PERKAWINAN

Tugas ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Kepenghuluan Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone

Dosen Pangampu: Ali Said, S.Sy.,


M.Sy Oleh
Kelompok VI

LALA ANDRIANA
NIM: 742302019195

INDRA LESMANA
NIM: 7423020192020

FAKLUTAS SYARIAH DAN HUKUM


ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BONE TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT sebab kerena
limpahan rahmat hidayahnya saya mampu untuk menyelesaikan Makalah saya
dengan judul “Pencatatan Perkawinan” ini. Shalwat serta salam tidak lupa kita
kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW sebagai “King of the
King, King of the World” yang telah menggulung tikar - tikar kejahiliaan dan
mampu membentangkan tikar – tikar kebenaran. Berdasarkan pentujung dan
hidayah dari sang Pencipta yaitu Allah SWT yang maha pemurah lagi maha
penyayang.
Selanjutnya dengan rendah hati saya memohon kritik dan saran dari
pembaca apabila terdapat hal yang ganjil, agar selanjutnya dapat saya revisi
kembali. Karena saya menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik sang Pencipta
yaitu Allah SWT.Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak – banyaknya kepada
setiap pihak yang telah mendukung serta membatu saya selama proses
menyeleseikan makalah saya hingga rampungnya makalah ini.
Demikianlah yang dapat saya haturkan, saya berharap supaya makalah
yang telah saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.
Dan bernilai ibadah disisi Allah SWT. Wallahul Muaffieq Ila Aqwamith Thariq.
Watampone, 30 Oktober 2021

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan dan Kegunaan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum dan Urgensi (Tujuan dan Manfaat) Pencatatan Perkawinan 3

B. Tata Cara Pencatatan Perkawinan 7

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 11

B. Saran 12

DAFTAR RUJUKAN

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak awal


dibentuknya Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) tahun 1973 yang
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019; untuk selanjutnya disebut UU 1/1974) hingga
dewasa ini.1 Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan
perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.2
Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU 1/1974 yang
menyatakan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan
Pasal 2 UU 1/1974 jelas, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Artinya setiap perkawinan harus diikuti dengan pencatatan perkawinan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila kedua ayat dalam
Pasal 2 UU 1/1974 dihubungkan satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa
pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan pula kesahan
suatu perkawinan, selain mengikuti ketentuan dan syarat-syarat perkawinan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut


1

Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Sinar Grafika:Jakarta2010), h. 1.


2
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses
Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara,
(Mizan: Bandung,1997), h. 91-96.

1
2

lainnya berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya


perkawinan, melainkan hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi
perkawinan.
Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama
dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Perbuatan
pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa
perkawinan itu memang ada dan terjadi.
Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang
bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat
dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian
hukum.3 Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tidak dicatat itu.4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum dan urgensi (tujuan dan manfaat) pencatatan
perkawinan ?
2. Bagaimana tata cara pencatatan perkawinan ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Untuk mengetahui hukum dan urgensi (tujuan dan manfaat) pencatatan


perkawinan
2. Untuk mengetahui tata cara pencatatan perkawinan

3
Marbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan Dituntut oleh
Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan, (Bimbingan dan Dakwah Agama Islam Kanwil
Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan: Banjarmasin,1977/1988), h. 8.
4
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Alumni: Bandung,1986) h. 16.
3

BAB II
PEMBAHASA
N

A. Hukum dan Urgensi (Tujuan dan Manfaat) Pencatatan Perkawinan

1. Tujuan Pencatatan Perkawinan


Walaupun pernikahan tercantum dalam lingkup keperdataan , tetapi negeri 
harus membagikan jaminan kepastian hukum serta membagikan proteksi hukum 
kepada pihakpihak yang terpaut dalam pernikahan ( suami , istri serta anak ) palin
gutama dalam hubungannya dengan pencatatan administrasi kependudukan terpat 
dengan hak keperdataan serta kewajibannya .
Oleh sebab itu pencatatan masing- masing pernikahan jadi sesuatu
kebutuhan resmi buat legalitas atas sesuatu kejadian yang bisa menyebabkan
sesuatu konsekuensi yuridis dalam hak- hak keperdataan serta kewajibannya
semacam kewajiban berikan nafkah serta hak waris. Tujuan pencatatan
pernikahan ialah selaku berikut:
a. untuk tertib administrasi perkawinan;

b. jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran,


membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-
lain);
c. memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;

d. memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak;

e. memberikan perlindungan terhadap hakhak sipil yang diakibatkan oleh


adanya perkawinan;
Atas bawah dalil tersebut, hingga syarat Pasal 2 ayat( 2) UU Pernikahan
yang berbunyi“ masing- masing pernikahan dicatat bagi peraturan perundang-
undangan yang berlaku” ialah norma yang memiliki legalitas sebagai

3
4

sesuatu wujud resmi pernikahan. Pencatatan pernikahan dalam wujud akta


pernikahan( akta otentik) jadi berarti buat membagikan jaminan kepastian hukum
serta proteksi hukum buat tiap pernikahan.
Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat diartikan sebagai
peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil. Hal ini mempengaruhi
hak-hak sipil yang dihasilkan dari perkawinan. Anak yang lahir dari perkawinan
yang tidak tercantum dalam ketentuan hukum yang ditentukan.5
Dari penjelasan pemerintah dan DPR, jelas terlihat bahwa pencatatan
perkawinan merupakan syarat resmi untuk menjamin keabsahan perkawinan.
Perkawinan yang dibawa ke pengadilan menurut hukum suatu agama atau
keyakinan agama tidak dapat diterima sebagai perkawinan kecuali jika dicatat
dalam buku nikah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, pencatatan perkawinan menyangkut penetapan keabsahan
perkawinan menurut UU 1/11974 atau menurut UU. Bertentangan dengan
pendapat Pemerintah dan DPR di atas, Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUUVIII/2010 menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan
faktor penentu sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Perkawinan
bersifat administratif. Kewajiban, itu hukum.
.

5
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012, h.26- 27.
5

Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-


undangan merupakan kewajiban administratif.6
Menurut Pasal 2 UU 1/1974 dan penjelasan di atas, jelas bahwa
perkawinan yang diakui harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Proses
perkawinan dilakukan menurut hukum semua agama dan kepercayaan, dan (2)
perkawinan harus dicatat dalam buku nikah sesuai dengan persyaratan dan tata
cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernikahan hanya akan dimulai jika pernikahan yang bersangkutan adalah
agama atau jika kepercayaan agama dari kedua mempelai yang terlibat adalah
kesepakatan. Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa perkawinan
tersebut mempunyai akibat hukum terhadap pasangan dan anak-anaknya dan
bahwa perkawinan tersebut dijamin dan dilindungi oleh Negara.
Kedua syarat perkawinan itu harus dipenuhi agar perkawinan itu diakui
sebagai perbuatan hukum dengan akibat hukum yang dijamin dan dilindungi oleh
negara. Apabila suatu perkawinan dilangsungkan semata-mata untuk memenuhi
ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU 1/1974, maka perkawinan tersebut akan diakui
sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi sebagai perbuatan
hukum oleh negara, tidak demikian.
Oleh karena itu, perkawinan semacam itu tidak diperbolehkan dan tidak
dilindungi secara hukum. Kedua unsur Pasal 2 UU 1/1974 itu bekerja secara
kumulatif, tidak bergantian. Unsur pertama Pasal 2 (1) UU 1/1974 menandai
perkawinan secara sah, dan unsur kedua Pasal 2 (2) UU 1/1974 menandai
perkawinan merupakan perbuatan hukum.

6
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012, h. 33.
6

Sehubungan dengan itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh
hukum. Pencatatan perkawinan di sini sangat penting merupakan bukti otentik
tentang telah dilangsungkan perkawinan yang sah.7
2. Pencatatan akad perkawinan secara resmi memiliki beberapa manfaat yang
banyak sekali, diantaranya:
a. Mendapat perlindungan hukum

Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pengaduan


istri kepada pihak berwajib sebagai istri yang menderita kekerasan tidak
berdasar. Pasalnya, istri tidak bisa memberikan bukti asli akta nikah resmi.
Hal ini karena menurut hukum Indonesia, akta nikah merupakan bukti
sahnya suatu perkawinan. Selain itu, hak-hak yang tidak berguna dilindungi,
baik dalam hak-hak suami dan istri maupun dalam bentuk hubungan orang
tua-anak, penghidupan, warisan, dan bentuk-bentuk hak anak lainnya.
Catatan resmi ini adalah bukti asli yang tidak dapat diganggu gugat. Hak
untuk memperoleh.
b. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan
pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan
kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak
menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung,
pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya. Yang dalam proses
tersebut memebutuhkan bukti otentik dari adanya sebuah keluarga yaitu
dengan bukti akta nikah.
7
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial, (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,2010) h. 23-24.
7

c. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum

Perkawinan yang dianggap sah menurut hukum adalah


perkawinan yang dicatat atau ditunjuk oleh Pejabat Pencatatan Perkawinan
(PPN). Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN
adalah sah secara agama, tetapi pada dasarnya tidak sah menurut undang-
undang. Jika suatu sengketa hukum tertunda di tengah-tengah perkawinan
dan harus disidangkan di pengadilan, harus ada bukti sahnya perkawinan itu,
yaitu akta perkawinan.
d. Terjamin keamanannya

Perkawinan yang terdaftar secara resmi dijamin akan terlindungi


dari pemalsuan dan penipuan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri
ingin memalsukan namanya di akta nikah karena berbagai alasan. Dengan
demikian, keaslian akta nikah dapat dibandingkan dengan salinan akta nikah
KUA yang pertama kali dinikahi oleh para pihak.8
B. Tata Cara Pencatatan Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ichigami (Pasal 1, Pasal 1 UU
1974).Pencatatan perkawinan adalah pendataan pengurusan perkawinan yang
dilakukan oleh Pencatatan Perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk membentuk
suatu sistem hukum.

8
Ahmad Yusron, Prosedur Pencatatan Perkawinan Menurut Undang - Undang No. 1
Tahun 1974 Jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 (Studi Kasus Kantor Urusan Agama
Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon), Skripsi Fakultas Syariah Kementerian Agama Republik
Indonesia Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, tahun 20011 / 1431,h. 47-49
8

Perkawinan yang sah menurut hukum harus dilaporkan oleh residen


kepada agen di tempat perkawinan dalam waktu 60 hari sejak tanggal perkawinan.
Pernikahan pada dasarnya adalah hak keluarga. Kami juga berusaha untuk
melindungi perempuan dan anak-anak untuk memperoleh hak-hak keluarga
seperti ahli waris.
Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan (Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan). Hal ini terjadi jika
pernikahan tersebut memenuhi syarat dan rukun pernikahan, atau jika dilakukan
Ijab Kabul (bagi umat Islam), atau jika imam/pendeta melakukan berkah atau
ritual lainnya (non-Muslim). kepercayaan agama dan publik.
Banyak perkawinan yang tidak dicatatkan karena dianggap sah. Ini mungkin
karena prosedur yang mahal dan rumit, atau untuk memilah-milah jejak dan
menghindari menerima pengaduan atau sanksi administratif oleh atasan, terutama
dalam hal pernikahan kembali (dalam kasus PNS dan ABRI).Pernikahan yang
tidak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Pernikahan Siri.
Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga menyatakan
bahwa perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penjelasan umum menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan sama
dengan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran atau
kematian, dicatat dalam suatu dokumen yang juga dicatat dalam pencatatan itu.
Undang-undang Pendaftaran tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi
membuktikan bahwa peristiwa itu ada dan terjadi, yaitu murni bersifat
administratif.9

Dengan mengacu pada Pasal 2 (1) dan (2), Ketentuan ini merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipilih yang sah apabila perkawinan itu harus
dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan pandangan dunia dan
diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika
hanya salah satu syarat yang terpenuhi, perkawinan tidak memenuhi unsur-unsur
yang diwajibkan secara hukum dalam UU .
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa:
1. Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
2. Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada
umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas
pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang
beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor
Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut agamanya
masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama Katholik atau
Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan di gereja,

9
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976), h. 16
10

dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut

dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.10

10
Esty Indra, “Pencatatan Perkawinan’, dalam https://estyindra.weebly.com/mkn-
journal/pencatatan-perkawinan, 30 Oktober 2021.
11

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,


kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pengaturan
mengenai hal tersebut. Apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui
peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak
yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan
pihak lain terutama isteri dan anak-anak.
Penjelasan Umum Angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas hukum
perkawinan hukum telah mereduksi kewajiban melakukan pencatatan dan
pembuatan Akta Perkawinan atau Akta Nikah ini, yang menyamakan pencatatan
setiap perkawinan dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian, sehingga kewajiban
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974
ditafsirkan sebagai kewajiban administratif belaka, yang diwajibkan berdasarkan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan bukan merupakan syarat
yang menentukan kesahannya suatu perkawinan.
Adapun hal yang menentukan sahnya suatu perkawinan yaitu
berdasarkan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh hukum agamanya atau
kepercayaan agamanya dari pasangan calon mempelai. Sehubungan dengan itu,
agar tercipta taraf sinkronisasi internal pengaturan hukum pencatatan perkawinan
dalam UU 1/1974, maka perlu dilakukan harmonisasi internal pengaturan hukum
pencatatan perkawinan, sehingga dapat terjamin konsistensi pengaturan hukum
pencatatan perkawinan.

11
12

Berdasarkan uraian di atas, pembaharuan norma pencatatan perkawinan


amat penting untuk segera dilakukan. Pencatatan perkawinan tidak hanya
sekedar dalam rangka memenuhi kewajiban administratif belaka. Kewajiban
untuk melakukan pencatatan dan pembuatan akta perkawinan tersebut harus
dimaknai sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Sudah seharusnya perkawinan
yang tidak tercatat tidak lagi diwadahi oleh dan dalam UU 1/1974.
Pencatatan perkawinan ini juga dapat menjadi sarana kontrol mengenai
status perkawinan seseorang sebagai anggota keluarga. Mengingat pencatatan
perkawinan penting, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran, maka sudah
seyogianya dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan hukum pencatatan
perkawinan yang selama ini menimbulkan penafsiran hukum yang ambiguitas.
Ketentuan hukum pencatatan perkawinan yang termuat dalam Pasal 2
ayat (2) UU 1/1974 hendaknya diubah/direvisi, hendaknya normanya
mewajibkan pencatatan setiap perkawinan, walaupun perkawinan telah
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan
agamanya itu. Hal ini mengandung makna, bahwa sepanjang perkawinan itu
belum dicatat di Kantor/Dinas Catatan Sipil (Kan/ Discapil) atau di Kantor
Urusan Agama (KUA), maka perkawinan tersebut tetap merupakan suatu
perkawinan yang tidak sah, walaupun sebelumnya perkawinan telah dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu.
B. Saran

Karya ini masi jauh dari kata sempurna oleh karena itu masi sangat
memerlukan kritik dan saran yang mendukung dari teman-teman untuk
memperbaiki kedepannya.
13

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di


Indonesia. Alumni: Bandung,1986.
Djubaidah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Sinar
Grafika:Jakarta2010.
Indra, Esty. “Pencatatan Perkawinan’, dalam https://estyindra.weebly.com/mkn-
journal/pencatatan-perkawinan, 30 Oktober 2021.
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012.
Marbuddin. Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan Menurut dan Dituntut
oleh Undang-Undang Perkawinan, Proyek Penerangan. Bimbingan dan
Dakwah Agama Islam Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan
Selatan: Banjarmasin,1977/1988..
Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan:
Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan
Lembaga Negara. Mizan: Bandung,1997.
MK, M. Anshary. Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah
Krusial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2010.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan di Indonesia. Ghalia Indonesia: Jakarta,
1976.
Yusron, Ahmad. Prosedur Pencatatan Perkawinan Menurut Undang - Undang No.
1 Tahun 1974 Jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 (Studi
Kasus Kantor Urusan Agama Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon),
Skripsi Fakultas Syariah Kementerian Agama Republik Indonesia Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, tahun 20011 / 1431.

Anda mungkin juga menyukai