Anda di halaman 1dari 13

PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN DI KUA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Administrasi
Perkawinan yang diampu oleh Dr. H. Aden Rosadi, M.Ag.

Disusun oleh:
Erlan Permana 1183010035

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
(2)

Kata Pengantar

Alhamdulillah, berkat ridho Allah SWT. atas rahmat dan karunia-Nya


sehingga penyusunan makalah yang merupakan tugas Ujian Akhir Semester
(UAS) mata kuliah Administrasi Perkawinan ini dapat terselesaikan. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, juga kepada keluarga beliau, para sahabat dan penerus perjuangan beliau
yang senantiasa istiqomah dalam menjalankan syariatnya hingga hari akhir.

Penyusun sangat berterima kasih kepada Bapak Dr. H. Aden Rosadi,


M.Ag. yang selama ini sudah banyak membimbing saya serta memberikan banyak
ilmu kepada saya pada mata kuliah Administrasi Perkawinan. Dengan demikian
Alhamdulillah makallah ini dapat saya susun dan dapat saya selesaikan pada
waktunya.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal. Namun penyusun sadar
bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan
karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya. Penyusun sangat
berharap sekali atas kritik dan sarannya yang sifatnya membangun agar
kedepannya dapat lebih baik lagi dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Penyusun berharap makalah ini nantinya dapat berguna bagi mereka yang
membutuhkan.

Bandung, 14 Juli 2021

Penulis
(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Pencatatan Perkawinan....................................................................................................6
B. Prosedur Pencatatan Perkeawinan...................................................................................7
BAB III
PENUTUP................................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencatatan menurut bahasa yaitu proses, cara, atau perbuatan mencatat. 1


Biasanya pencatatan berhubungan dengan proses catat mencatat atau juga tulis
menulis data, baik dilakukan secara manual dalam draf buku atau dalam bentuk
soft file di komputer, salah satu tujuannya adalah untuk pendataan dan
memudahkan dalam pencarian ketika data tersebut akan dibutuhkan atau data
tersebut bisa saja dijadikan sebagai alat bukti tertulis untuk sesuatu perbuatan
hukum.

Pencatatan perkawinan merupakan pendataan administrasi perkawinan


yang ditangani oleh Petugas Pencatat Perkawinan (PPN) yang bertujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum. Dalam hukum Islam pencatatan perkawianan
ditetapkan berdasarkan ijtihad, hal ini karena pencatatan perkawinan tidak diatur
secara tegas dalam Alquran dan Hadits.2

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, tetapi juga
merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu
perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama
dan kepercayaan yang dianutnya.

Dari ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa setiap


perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berarti setiap perkawinan harus diikuti dengan pencatatan perkawinan
sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kedua ayat
dalam Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974 dihubungkan satu sama lainnya, maka

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/catat, diakses tanggal 27 Juni 2021.
2 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata Dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah (Jakarta : PT. Balebat Dedikasi Prima, 2016), hal. 61
(5)

dapat disebutkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang


menentukan pula kesahan suatu perkawinan, selain mengikuti ketentuan dan
syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

Sementara itu yang lainnya berpendapat bahwa pencatatan perkawinan


bukanlah merupakan bagian dari syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya
sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan saja. Sahnya perkawinan
dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan kedua belah
pihak yang melakukan perkawinan.3

Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya


suatu perkawinan. Tetapi pencatatan hanya bersifat administratif, yang dengan itu
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang ada dan terjadi.
Sehingga dengan adanya pencatatan tersebut sebuah perkawinan menjadi jelas,
baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang
tidak tercatat dalam Akta Nikah maka perkawinannya dianggap tidak ada oleh
negara dan tidak mendapat kepastian hukum. Begitu pula segala akibat yang
timbul dari perkawinan tidak dicatat itu.4

Sebagaimana dalam KHI Pasal 5 bahwa Agar terjamin ketertiban


perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan
perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Yang kemudian dilanjut
dengan Pasal 6 KHI bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
di bawah pengawasan Pegawai Pencatat nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan atau tidak di hadapan pegawai Pencatat Nikah maka pernikahan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah agar timbulnya kemaslahatan bagi kedua mempelai pasangan suami dan
istri.

3 Rachmadi Usman, Makna Pencatatan Perkawinan dalam peraturan Perundang-Undangan


perkawinan di Indonesia, Vol. 14 No. 03 - September 2017 : 255 – 274, hal.
4 Rachmadi Usman, Loc.cit
(6)

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang harus disiapkan dalam proses pencatatan perkawinan?
2. Bagaimana Prosedur pencatatan perkawinan di KUA?
(7)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pencatatan Perkawinan

Pada dasarnya syari’at Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan


terhadap setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi manfaatnya
pencatatan nikah amat sangat diperlukan, karena pencatatan nikah dapat dijadikan
sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum.5

Seiring dengan perkembangan zaman mengubah suatu hukum dengan


berbagai pertimbangan ke-maslahatan. Syariat Islam tidak mengatur secara
konkret mengenai pencatatan perkawinan. Namun, hukum Islam di Indonesia
mengaturnya. Dengan adanya pencatatan perkawinan bertujuan mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat agar martabat dan kesucian suatu
perkawinan terlindungi. Melalui pencatatan perkawinan, yang dibuktikan oleh
akta nikah, apabila terjadi suatu perselisihan di antara suamiistri, atau salah satu
diantaranya tidak bertanggungjawab, mala pihak yang lain dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masingmasing.
Dengan dapat dibuktikannya dengan akta nikah, suamiistri memiliki bukti
autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.6

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban


perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak
berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk
menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari aspek perkawinan. Realisasi
pencatatn itu , melahirkan akta nikah yang masing-masing dimiliki oleh suami
isteri berupa salinannya. Salinan akta tersebut dapat digunakan oleh masing-

5 Hasan M. Ali, “Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam” (Jakarta: Prenada Media,
2003), hal. 123.
6 Aden Rosadi, “Hukum dan Administrasi Perkawinan” (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2021), hal. 25.
(8)

masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu
untuk mendapatkan haknya.7

Karena Selain merupakan akad yang suci, perkawinan juga mengandung


hubungan keperdataan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2 yang berisi,
“Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku”.8

Kemudian dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang


pencatatan perkawinan, yakni: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, sebagaimana diatur
dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1946 jo. UndangUndang Nomor 32
Tahun 1954.9

B. Prosedur Pencatatan Perkeawinan

1) Pemberitahuan kehendak nikah

Di dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan dinyatakan:10
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurangkurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama) bupati daerah
setempat.

7 Zainudin Ali, “Hukum Perdata Islam” (Jakarta: Visimedia, 2001), hal. 26.
8 Aden Rosadi, Op.cit. hal. 26.
9 Aden Rosadi, Loc.it.
10 Aden Rosadi, Loc.it.
(9)

Dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang orang tua atau wakilnya.
Pemberitahuan ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan, terkecuali apabila ada alasan penting sehingga menjadikannya
kurang dari 10 hari maka diperlukan surat dispensasi dari camat sebagaimana
disebutkan di atas dalam pasal 3 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Adapun hal yang diberi tahukan, yakni nama, umur, agama, pekerjaan, alamat,
dan apabila salah satu atau keduanya pernah kawin, disebutkan pula nama istri
atau suaminya.11

2) Pemeriksaan nikah12

Dalam hal ini, pegawai pencatat nikah harus meneliti asalusul kedua calon
mempelai, termasuk status perkawinannya masingmasing,sebagaimana tertera
dalam pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Pegawai pencatat yang
menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah
syaratsyarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan menurut undangundang”.

Selain itu, pegawai pencatat nikah juga diwajibkan melakukan penelitian,


sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu:

a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal
tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat
keterangan yang menyatakan umur dan asalusul calon mempelai yang
diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai.
c) Izin tertulis/izin pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat
(2), (3), (4), dan (5) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

11 Aden Rosadi, Ibid. hal. 27.


12 Aden Rosadi, Ibid. hal. 27-29.
(10)

apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai


umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d) Izin pengadilan, sebagaimana dimaksud pasal 14, dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
e) Dispensasi pengadilan/pejabat, sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
f) Izin kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian
memberikan surat keterangan perceraian, hal ini bagi perkawinan untuk
kedua kalinya atau lebih.
g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab
apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota angkatan
bersenjata.
h) Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan pegawai pencatat
apabila salah seorang calon mempelai atau kedua nya tidak dapat hadir
sendiri karena suatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada
orang lain.

Kemudian, hasil penelitian pegawai pencatatan ditulis dalam suatu daftar yang
diperuntukkan calon pasangan, sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 1
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi, apabila hasil dari penelitiannya
menunjukkan adanya halangan perkawinan, sebagaimana dimaksud undang-
undang, dan belum terpenuhi persyaratannya, seperti diatur dalam pasal 6 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pegawai pencatat memberitahukan kepada
calon mempelai atau kepada orang tua atau wakilnya. Hal tersebut diatur dalam
pasal 7 ayat 1 Dalam pasal 5 PeraturanPemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UndangUndang No. 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3) Pengumuman Kehendak Nikah13

Proses selanjutnya pegawai pencatat nikah memberikan pengumuman mengenai


perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
sudah ditetapkan oleh kantor pencatatan perkawinan. Pengumuman ditempel
ditempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Pengumuman
harus ditandatangani oleh pegawai pencatat nikah. Isi yang dimuat dalam
pengumuman, menurut pasal 9 Peraturan Pemerintah, antara lain:

13 Aden Rosadi, Ibid. hal. 29.


(11)

a) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon


mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan
nama istri dan (atau) suami mereka terlebih dahulu.

b) Hari, tanggal, waktu, dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.


Jika syaratsyarat telah terpenuhi, pernikahan dapat dilaksanakan sebagai
mana semestinya. Adapun tujuan pengumuman agar masyarakat umum
mengetahui siapa orangorang yang hendak menikah. Dengan adanya
pengumuman tersebut, apabila ada pihak yang keberatan terhadap
perkawinan yang hendak dilangsungkan, yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatan kepada kantor pencatatan perkawinan.

4) Pelaksanaan Akad Nikah

Proses pelaksanaan akad nikah yaitu:

1. Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :


 di Balai Nikah/Kantor
 di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll.
2. Pemeriksaan Ulang :
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu
memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan
administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk
melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di
kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal.
Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi
syarat.
3. Pemberian izin
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk
meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu
minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah
meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anakberstatus janda.
4. Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad
nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan
istighfar dan dua kalimat syahadat.
5. Akad Nikah /Ijab Qobul
6. Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap
calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon
mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk
olehnya.
7. Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua orang
saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
8. Pembacaan Ta’lik Talak
(12)

9. Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak


10. Penyerahan maskawin/mahar
11. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
12. Nasihat perkawinan
13. Do’a penutup.
(13)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut


hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku.

Memerhatikan ketetuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang


pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat
administratif. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya
perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Perkawinan tanpa pencatatan maka perkawinan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah apabia
salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan
upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan autentik dari
perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian bertentangan
dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai