Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA I

“Peraturan pencatatan Perkawinan dan Perceraian”

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Elimartati, M. Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 5

Alief Dinulhaq 2130201010

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS

BATUSANGKAR

2023
KATA PENGANTAR
‫بسم هلال الرحمن الرحيم‬

Alhamdulillah,puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat


dan nikmat-nikmat nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
yang berjudul Peraturan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian.Sholawat dan salam
semoga disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas makalah pada mata kuliah
Hukum Perdata Islam.Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
pembuatan makalah ini.Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
tanggapan yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

Penyusunan makalah ini mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari


berbagai pihak.Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada ibuk Prof.Dr.Elimartati,M.Ag dan kepada rekan-rekan Program Studi
Ahwal Al-Syakhshiyyah tahun 2023.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan


khususnya dan pembaca pada umumnya.

Batusangkar, 17Oktober 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................ 3
PEMABAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pencatatan Perkawinan .......................................................................... 3
B. Tata cara Perkawaninan dan Perceraian bagi PNS/ABRI .................... 5

BAB III ............................................................................................................... 9


PENUTUP .......................................................................................................... 9
A. Kesimpulan .............................................................................................. 9
B. Saran ........................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang sudah umum dikenal dalam peradaban
manusia. Perkawinan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, karena menyangkut
eksistensi manusia untuk melanjutkan garis keturunannya. Kebebasan untuk menentukan
pasangan hidup berada di tangan manusia seutuhnya. Negara tidak berhak melakukan
intervensi soal urusan perkawinan sebagaimana yang dilakukan ayah terhadap anak
gadisnya. Akan tetapi, bagaimana dengan ketentuan negara yang mengatur persoalan
pencatatan perkawinan? Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan
bukanlah termasuk usaha negara untuk mengintervensi ruang-ruang privat warga
negaranya. Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh negara
untuk mengatur administrasi yang bersangkutan dengan warga negaranya. Negara
mengatur masyarakat demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Kepastian hukum menjadi salah satu tujuan penting diadakannya aturan
tentang pencatatan perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan menjamin hak-hak
masing-masing warga negara dapat terpenuhi. Pencatatan perkawinan sama halnya dengan
pencatatan peristiwa hukum lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan
dalam daftar pencatatan yang telah disediakan. Di Indonesia, ketentuan tentang pencatatan
perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Bunyi Pasal 2 dari Undang-Undang Perkawinan
tersebut ternyata menimbulkan polemik di kalangan para ilmuan: apakah pencataan
perkawinan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan? Terkait 48 Itsnaatul
Lathifah, Pencatatan Perkawinan(43-54) dengan hal ini, ada dua pendapat sarjana hukum.
Pendapat pertama cenderung ingin memisahkan penafsiran Pasal 2 ayat (1) dengan ayat
(2), bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu, sedangkan pendaftaran adalah syarat administratif saja. Tidak
dilakukannya pencatatan perkawinan tidak akan mengakibatkan cacat atau tidak sahnya
suatu perkawinan. Pendapat kedua menafsirkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu bukan dari
sudut yuridis saja, yakni terkait sahnya suatu perkawinan, tetapi juga dikaitkan dengan
aspek sosiologis. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu tidak dapat dipisahkan,
karena keduanya saling terkait.
Dua ayat tersebut diibaratkan seperti rajutan yang saling jalin-menjalin, yang
jika salah satu jalinannya lepas maka akan berkurang kekuatan rajutan tersebut dan bahkan
akan hilang sama sekali. Sebab, sebuah pernikahan pada hakikatnya akan melahirkan
akibat hukum yang melekat pada suami dan istri.8 Oleh karena itu, mencatatkan
perkawinan merupakah sesuatu yang mesti dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan dan
kepastian hukum.9 Dicatatkannya sebuah perkawinan akan membantu menjaga masing
masing pihak mendapatkan haknya, dan sekaligus menjadi bukti otentik jika ada

1
perselisihan ataupun wanprestasi. Selain itu, akta perkawinan juga merupakan salah satu
alat bukti perkawinan.

2
A. Rumusan Masalah
1. Apa itu pencatatan perkawinan di dalam Hukum Perdata Islam?
2. Bagaimana tata cara perkawinan dan perceraian bagi PNS/ABRI di
dalam Hukum Perdata Islam?

B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui pencacatan perkawinan di dalam Hukum Perdata
Islam
2. Untuk Mengetahui tata cara perkawinan dan perceraian bagi
PNS/ABRI di dalam Hukum Perdata Islam

3
BAB II
PEMABAHASAN

A. Pencacatan Perkawinan

Pada zaman Rasulullah tidak ada istilah pencatatan perkawinan melainkan


terdapat tradisi I‟lan an-nikah (mengumumkan suatu perkawinan di tengah
masyarakat setempat). Praktik I‟lan an-nikah sangat disunnahkan dan dianjurkan
oleh Rasulullah, Salah satu bentuk I‟lan an-nikah adalah walimah al-„urs
(resepsi/pesta perkawinan). Pada masa awal Islam, acara walimah merupakan
bentuk pengakuan dan jaminan bagi masyarakat. Namun seiring dengan
perkembangan zaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat serta kemajuan
dalam administrasi dan ketatanegaraan, maka bentuk pengakuan masyarakat dan
penjaminan hak juga mengalami perkembangan. Bentuk pengakuan dan jaminan
ini di masa sekarang muncul dalam bentuk tulisan, yaitu pencatatan perkawinan
berupa akta kelahiran. Pencatatan Perkawinan adalah suatu pencatatan yang
dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan ketika akan
melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.

Pencatatan perkawinan juga merupakan suatu bentuk administrasi dari


sebuah perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di
Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah kedua calon mempelai melangsungkan
perkawinan yang beragama Islam, dan di Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang
beragama selain Islam.Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melaksanakan
ketertiban suatu perkawinan dalam masyarakat dan merupakan suatu upaya yang
diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian
(misaq al-galidz) perkawinan, dan lebih utama lagi perempuan dan anak-anak
dalam kehidupan rumah tangga.

Dengan melalui pencatatan perkawinan dapat dibuktikan dengan akta nikah


dan suami istri memiliki bukti autentik bahwa mereka telah melakukan peristiwa
perkawinan. Apabila terjadi perselisihan di antara mereka, dan salah satu di
antaranya tidak bertanggung jawab, maka pihak yang lain dapat melakukan
upaya hukum dengan akta tersebut untuk mempertahankan atau memperoleh
haknya masing-masing.Adapun manfaat dari pencatatan perkawinan yaitu
sebagai alat bukti hukum yang dilakukan oleh mempelai perempuan dan
mempelai laki-laki terhadap peristiwa perkawinan. Dengan adanya kepastian
hukum tersebut akan membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Dengan demikian, maka pencatatan perkawinan akan
mendatangkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak suami atau istri.Akta nikah
merupakan salah satu alat bukti autentik yang sah dengan tujuan untuk
menguatkan bahwa seseorang mempunyai hak dan menyatakan bahwa telah
terjadi suatu peristiwa hukum. Oleh karena itu, akta nikah secara hukum sangat
penting untuk melindungi hak-hak seseorang dan untuk membuktikan bahwa
telah dilakukannya suatu peristiwa hukum
4 dalam perkara di pengadilan. Selain
itu, akta nikah dapat berlaku selamanya jika surat-surat dalam bentuk akta nikah1
tersebut masih ada. Berbeda dengan kesaksian hanya berlaku jika seorang saksi
tersebut masih hidup. Dengan tidak adanya akta nikah akan berdampak pada
tidak terlaksananya hukum Islam dengan baik, khususnya yang berhubungan
dengan hukum keluarga seperti nafkah istri, nafkah anak, pendidikan anak dan
waris.Pencatatan perkawinan memberikan perlindungan terhadap status dan hak
anak, apabila perkawinan tidak dicatatkan akan berdampak terhadap status anak
dan anak akan dianggap sebagai anak yang tidak sah dihadapan negara. Oleh
karena itu, melalui pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah,
maka seseorang dapat membuktikannya bahwa dia sedang terikat dalam satu
ikatan perkawinan, sehingga para pihak dapat menuntut hak-haknya dan dituntut
untuk memenuhi kewajibannya. Dengan demikian pencatatan perkawinan juga
untuk membuktikan status seorang anak sebagai anak dari pasangan suami istri.7
Adapun dampak dari perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap suami istri,
yakni suami istri tidak mempunyai kekuatan hukum apapun dalam melindungi
hak dan kewajibannya. Jika terjadi pelangaran yang dilakukan oleh suami atau
istri, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apapun secara hukum.
Sebab suatu perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum
perkawinan yang berlaku di Indonesia dan perkawinan tersebut dipandang tidak
resmi di mata hukum. Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan tanpa
didaftarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut
menimbulkan kemudaratan dalam ikatan perkawinan Proses pencatatan
perkawinan dimulai dari pemberitahuan kehendak menikah, bagi orang yang
beragama Islam kemudian pemberitahuan disampaikan kepada Kantor Urusan
Agama karena berlaku Undangundang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama Islam,
pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat.9 Setelah itu
PPN akan memeriksa persyaratan yang telah diajukan kepadanya. Apabila syarat
yang diajukan itu ada kurangnya, maka PPN berkewajiban akan memberitahukan
kepada kedua mempelai agar syarat yang kurang harus dilengkapi. Jika
persyaratan yang diajukan lengkap, maka PPN akan membuat pengumuman
tentang pelaksanaan nikah. Pengumuman dilakukan selama 10 hari dan setelah
pengumuman dilakukan maka dilanjutkan dengan pelaksanaan akad nikah.
Setelah akad nikah dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan penandatanganan
akta nikah oleh suami dan istri, wali, dua orang saksi dan PPN. Dengan
ditandatangani akta nikah, maka secara resmi perkawinan tersebut telah tercatat
di dalam administrasi negara dan suami istri diberikan buku kutipan akta nikah,
sebagai bukti bahwa mereka secara resmi sudah menikah.10 Melalui pencatatan
perkawinan dan akta nikah sebagai bukti autentik bertujuan untuk menjadikan
perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain
dan masyarakat, karena bentuk dari akta nikah berupa surat yang dapat dibaca
dan bersifat resmi yang tercantum dalam suatu daftar yang khusus disediakan,
sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan, terutama sebagai suatu alat bukti

1
Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan Dalam Kitab Fikih5 Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (Perspektif Maqasid Syari‟ah)”, Al-Mazahib Vol.2 No.1, Juni 2014, h. 57.
tertulis yang autentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau
dicegah suatu perbuatan yang lain.

1.Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan


Pencatatan perkawinan merupakan peristiwa penting dan sebagai
pembuktian telah diadakannya suatu pernikahan. Pencatatan bukanlah salah
satu peristiwa yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, sahnya
suatu pernikahan adalah jika telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-
masing, walaupun belum didaftarkan kepada pegawai pencatat nikah. Dalam surat
keputusan Mahkamah Islam Tinggi pada tahun 1953 Nomor 23/19 menegaskan
bahwa bila rukun nikah telah lengkap tetapi tidak didaftarkan perkawinannya
dihadapan pegawai pencatat nikah maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan kedua
mempelai dikenakan denda12 dan akan menanggung resikonya secara hukum serta
perkawinannya dikatakan sebagai perkawinan liar dalam bentuk kumpul kebo
(pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri tanpa ada ikatan pernikahan) atau
compassionate marriage. 13 Adapun terdapat beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang pencatatan perkawinan yang telah lama berlaku di
Indonesia, antara lain: 12Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), cetakan kelima, h. 71. 13 Abdul Shomad,
Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2017), cetakan ketiga, h. 281. 34 1. Pencatatan Perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) : 1) Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.14 Pengertian yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) adalah termasuk ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu selama
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Jadi, bagi
orang Islam sahnya perkawinan adalah apabila dilakukan menurut Hukum Islam,
sedangkan pencatatan perkawinan hanya sebagai kewajiban administrasi. 15 14
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 Ayat (1) dan (2). 15 Neng Djubaedah, Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 214.
35 Menurut Khairuddin Nasution yang dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan, bahwa Undang-undang perkawinan bukanlah undangundang
pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Muslim Indonesia.
Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang mengatur
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Di dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 disebutkan: (i) perkawinan diawasi oleh pegawai pencatat nikah; (ii)
bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari pegawai
pencatat nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.16 Pegawai
pencatatan nikah hanya bertugas mengawasi terlaksananya perkawinan agar suatu
perkawinan berlangsung menurut ketentuanketentuan agama Islam. Sebagaimana
konsideran Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975,
bahwa 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata… h. 107-
108 36 demi berlangsungnya kelancaran pelaksanaan Undangundang Nomor 1
Tahun 1974, kiranya dipandang perlu untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah yang
6
khusus mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut.
2
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1957 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mengatur tata
cara pelaksanaan perkawinan dan pencatatan perkawinan. Beberapa pasal yang
dianggap penting untuk dikemukakan, yaitu pasal 2 ayat (1) dan (2): 1) Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 2)
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya 37 dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.17 Dalam
penjelasan pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pencatatan dilakukan hanya
dua instansi: 1. Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk; 2. Kantor Catatan Sipil
atau instansi/pejabat yang membantunya.18 Dengan demikian, pencatatan
perkawinan sangatlah penting walaupun di dalam undang-undang perkawinan hanya
diatur oleh satu ayat dan dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri
yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. 19 17 Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2). 18 K. Wantijk Shaleh, Hukum Perkawinan…
h. 18. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam… h.
98. 38 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) KHI memuat masalah pencatatan
perkawinan ini pada pasal 5 ayat (1) dan (2) sebagai berikut: 1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. 2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22/1946 jo. Undang-
Undang No. 32/1954. Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) dijelaskan: 1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2) Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. Selanjutnya pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan: 1) Perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.20 20 Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Bandung: Nuansa Aulia,
2015), h. 2-3. 39 Ketentuan pencatatan perkawinan di dalam Kompilasi Hukum
Islam tidak hanya berbicara masalah administratif. Pertama, di dalam Pasal 5 ada
klausul yang menyatakan “Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam”. Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri‟ (tujuan hukum Islam) yaitu
menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul
“Tidak mempunyai kekuatan hukum”. Yang dimaksud dengan tidak mempunyai
kekuatan hukum di sini sebagaimana dijelaskan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan dimaknai dengan tidak sah (la yasihhu). Jadi, perkawinan yang tidak
dicatatkan dipandang tidak sah.21 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Peristiwa penting menurut pasal 1 angka 17 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, adalah kejadian
yang 21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata… h. 99. 40
dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan,
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama

2
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis counter Draft Kompilasi
7 2005), h. 38. 3 Mardani, Hukum Keluarga… h.
Hukum Islam yang Kontroversial itu, (Jakarta: Grahacipta,
53
dan perubahan status kewarganegaraan. Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang
beragama Islam, pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menentukan bahwa
kewajiban Instansi Pelaksana untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi
penduduk yang beragama Islam pada tingkat Kecamatan dilakukan oleh pegawai
pencatat pada KUA Kecamatan.22 Beberapa pasal yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan dalam undang-undang administrasi kependudukan, yaitu
pasal 34 ayat (1) sampai (7) sebagai berikut: 1) Perkawinan yang sah menurut
Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi
Pelaksana di tempat 22 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan… h. 225. 41
terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan
Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta
Perkawinan. 3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
masing-masing diberikan kepada suami dan istri. 4) Pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA
Kec. 5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan dalam pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUA Kec keapada Instansi
Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan
perkawinan dilaksanakan. 6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil. 42 7) Pada tingkat
kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD
Instansi Pelaksana. Selanjutnya dalam pasal 35 yaitu: Pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. Perkawinan yang
ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan
di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.23 Dalam
penjelasan Pasal 35 huruf a dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat
yang berbeda agama.24 Pasal 35 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
menjelaskan bahwa “Perkawinan yang dilakukan di Indonesia oleh warga negara
asing dengan orang Islam di Indonesia, maka harus warga negara 23 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. 24 Neng
Djubaedah, Pencatatan Perkawinan… h. 227. 43 asing yang beragama Islam serta
harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan di
Indonesia”. Hal ini berarti, warga negara asing yang akan melakukan perkawinan
dengan orang Islam di Indonesia harus warga negara asing yang beragama Islam. 25
4. Peraturan Menteri Agama No. 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan.
Dalam tertib administrasi, transparansi dan kepastian hukum sebagai pelaksanaan
pernikahan bagi umat Islam, perlu mengatur mengenai pencatatan pernikahan yang
terdapat pada Peraturan Menteri Agama No. 20 tahun 2019 tentang Pencatatan
Pernikahan. Dalam peraturan menteri ini istilah pencatatan perkawinan terdapat
pada pasal 1 ayat (1), yaitu: 1) Pencatatan pernikahan adalah kegiatan
pengadministrasian peristiwa pernikahan. 25 Neng Djubaedah, Pencatatan
Perkawinan… h. 229. 44 Kemudian pada pasal 2 ayat (1), (2) dan (3), yaitu: 1)
Pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam dicatat
dalam Akta Nikah. 2) Pencatatan Pernikahan dalam Akta Nikah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan atau PPN LN. 3)
Pencatatan Pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Pendaftaran
kehendak nikah; b. Pemeriksaan kehendak nikah; c. Pengumuman kehendak nikah;
d. Pelaksanaan pencatatan nikah; dan8 e. Penyerahan Buku Nikah.26 Pencatatan
perkawinan dalam akad pernikahan dan pencatatan dalam akad mu‟amalah,
3
keduanya bisa diqiyaskan karena pernikahan juga merupakan suatu tindakan yang
masuk dalam kategori amalan mu‟amalah. 26 Peraturan Menteri Agama No. 20
Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan. 45 Dalam pemahaman Islam ada dua
macam amalan seorang muslim, yaitu ibadah dan mu‟amalah. Maka, pernikahan
merupakan suatu amalan mu‟amalah, seperti halnya aktivitas berdagang, utang-
piutang dan pinjammeminjam. Sebagaimana dalam Firman Allah QS. AlBaqarah
ayat 282 :         
          
       
       
         
         
       
        
     
       
          
    Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman!, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah 46 mengajarkan kepadanya, maka
hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan,
dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi
sedikitpun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau
lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah
walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai
dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil…”.
(Q.S Al-Baqarah: 282)27 Menurut sebagian ulama dalam ayat tersebut menjelaskan
tentang perintah mencatatkan hutang piutang secara tertulis dan disaksikannya di
hadapan pihak ketiga, dalam ayat tersebut juga dijelaskan pentingnya menulis
hutang walaupun hanya sedikit dengan disertai jumlah dan waktu melakukan hutang
piutang. Tujuannya untuk menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari. 28
27Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-
HikmahAl-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro: 2007)
h. 48. 28 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.
602. 47 Apabila akad hutang piutang yang secara tertulis dalam bentuk urusan
mu‟amalah harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur lebih utama
lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah mu‟amalah biasa akan tetapi perjanjian
yang sangat kuat. Pencatatan perkawinan sejalan dengan kaidah fiqhiyah. ْ ‫لَى َ ِام ع َ ِإلم‬
ْ
ِ ‫ ر ُف ا َصُّ َ ت ِ ة َ َ ْصلَح الم ِ ُو ٌط ب ن َ م ِ ة ي‬Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin
‫رع ال‬
terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatannya”.29 Karena tujuan
pencatatan perkawinan adalah untuk mendatangkan kemaslahatan bersama. Maka,

3
7 Imam Faishol, “Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum 9 Kekeluargaan Di Indonesia”, Jurnal Ulumul
Syar’I Vol. 8 No. 2, Desember 2019, h. 12. 8 Mardani, Hukum Keluarga Islam… h. 58.
pencatatan perkawinan ialah peraturan perundangundangan yang telah diundang-
undangkan untuk memberikan perlindungan hukum pada umat Islam. Penjelasan
tersebut sesuai dengan dasar maslahat, sehingga dalam pandangan hukum Islam
harus ditaati. Dalam hal ini, hukum perkawinan tanpa dicatatkan tetap 29 A. Djazuli,
Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), cetakan kedelapan, h.
15. 48 sah secara agama akan tetapi secara Negara tidak akan mendapatkan kekuatan
hukum apapun. Seorang muslim tidak boleh sekehendak hatinya melanggar
peraturan perundang-undangan terutama dalam peristiwa pencatatan perkawinan,
karena pencatatan perkawinan merupakan suatu bukti ketika berurusan dengan
lembaga resmi pemerintahan, terutama pengadilan.30 Pencatatan perkawinan adalah
syarat administratif dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pencatatan
perkawinan. Artinya perkawinan tetap sah, karena sah dan tidaknya perkawinan
ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan
perkawinan. Maka diaturnya pencatatan perkawinan dalam perundang-undangan
untuk mempunyai kekuatan hukum. Dampak yang timbul adalah, apabila salah satu
pihak melanggar kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya
hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang 30 Imam Faishol, Pencatatan
Perkawinan… h. 12. 49 sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.31

2.Sejarah Pencatatan Perkawinan Munculnya pencatatan perkawinan karena


lemahnya rasa tanggung jawab dan hubungan dalam keluarga serta anak-anak. Pada
zaman dahulu ikatan keluarga dalam pasangan suami istri sangat kuat tidak ada yang
saling mengingkari kewajibannya, mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi,
saling menjaga dan saling mempercayai dalam kelangsungan hubungan mereka,
walaupun tidak disertai dengan pencatatan perkawinan. 32 Pada masa awal Islam
terdapat praktik i‟lan annikah (mengumumkan suatu perkawinan di tengah
masyarakat setempat) yang merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. Dengan salah satu bentuknya ialah walimah al-„urusy
(resepsi/pesta perkawinan). Walimah adalah hidangan makanan yang terdapat di
dalam suatu acara pesta perkawinan atau 31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam… h. 93.
32 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfy, Nikah Sirri, (Solo: Wacana Ilmiah Press,
2010), h. 157. 50 makanan untuk para tamu undangan yang hadir. Acara Walimah
diadakan ketika akad perkawinan berlangsung atau sesudahnya, atau setelah
pengantin berhubungan badan setelah akad nikah, hal ini sesuai dengan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau selalu melakukan walimah sesudah dukhul.
Walimah Bisa juga dilaksanakan sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.33 Akad nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, maka acara walimah sangat dianjurkan untuk “mengumumkan”
kepada masyarakat bahwa telah terjadi suatu peristiwa bagi kedua mempelai dan
kedua mempelai sudah menjadi suami istri yang sah secara syar‟I. Walimah
berfungsi agar terhindar dari fitnah terhadap kedua pasangan suami istri.34 Selain
itu, orang yang diundang dalam acara walimah, wajib untuk hadir dan menunjukkan
perhatiannya dan membahagiakan orang yang mengundang walimah. 33 Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cetakan keempat,
h. 131-132. 34 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan… h. 146. 51 Ulama
berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan dalam walimah adalah wajib
kifayah dan ada yang mengatakan Sunnah. Adapun hukum menghadiri undangan
selain walimah, menurut jumhur ulama adalah sunah muakkad dan sebagian
pengikut Syafi’I berpendapat wajib. 10 Undangan tersebut wajib dihadiri, apabila
memenuhi beberapa syarat yaitu: 1. Undangan walimah ditujukan untuk seorang
mukallaf, merdeka, beragama Islam dan berakal sehat. 2. Undangan walimah
tersebut tidak mengkhususkan hanya kepada orang kaya saja dan orang yang
disenangi atau dihormati sedangkan orang miskin atau orang yang tidak disenangi
tidak diundangkannya, maka hukumnya adalah haram 3. Belum didahului oleh
undangan lain, jadi jika telah didahului oleh undangan lain maka yang pertama harus
didahulukan. 52 4. Dalam acara walimah tidak diselenggarakan perbuatan
munkar.35 Pencatatan perkawinan tidak terdapat dalam kitabkitab fiqh klasik seperti
halnya dalam kitab Al-Umm karya Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i,
hanya dikenal adanya nikah sirri namun pengertian nikah sirri di masyarakat
Indonesia berbeda dengan pengertian nikah sirri dalam kitab-kitab klasik. Di
Indonesia, pengetahuan tentang nikah sirri ada dua pengertian yakni nikah di bawah
tangan dan nikah secara rahasia atau sembunyi-sembunyi. Nikah di bawah tangan
artinya nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, tetapi tidak
dicatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri
secara rahasia atau sembunyi-sembunyi adalah nikah yang tidak ingin diketahui oleh
banyak orang terutama Pegawai Pencatat Pernikahan, karena jika diketahui banyak
orang akan menghambat pernikahannya tidak sah.36 35 Tihami dan Sohari Sahrani,
Fikih Munakahat… h. 135-136. 36 Islamiyati, “Pencatatan Pernikahan Sebagai
Upaya Penanggulangan Nikah Sirri Dalam Hukum Islam”, MMH Jilid 39 No. 3
September 2010, h. 256-257. 53 Adapun Nikah sirri dalam kitab-kitab klasik dapat
dilihat dari dua pengertian. Pertama, adalah pernikahan yang tidak diberitahukan
pada semua orang dengan cara memukul duff, atau pernikahan yang tidak adanya
saksi atau karena kurangnya saksi. Kedua, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak
diberitahukan dengan cara duff sebagai tanda adanya pernikahan. Dalam pernikahan
sirri butuh kejelasan status suatu pernikahan seseorang, baik itu dengan adanya
saksi-saksi atau pengumuman, dengan cara memukul gendang (duff).37 Pada zaman
dahulu dalam melangsungkan suatu pernikahan cukup hanya dua orang saksi
pernikahan dan mesti orang yang adil serta berakal agar dapat memberikan
keterangan yang jelas dalam permasalahan perkawinan dan tidak mesti melakukan
pencatatan perkawinan. 38 Kondisi tersebut yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh
klasik, saksi tetap menjadi salah satu syarat dalam 37 Ahmad Tholabi Kharlie,
Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 182-183. 38
Muksalmina, “Pernikahan Sirri Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif”, Jurnal Inovasi Penelitian Vol. 1 No. 2, Juli 2020, h. 56. 54 perkawinan,
tetapi dalam cakupan pengadilan pada saat ini yang menjadi bukti terkuat adalah
surat-menyurat (autentik). Dengan demikian, walaupun suatu perkawinan sudah
terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi secara hukum normatif tidak memiliki
kekuatan apapun. 39 Pencatatan perkawinan tidak pernah ada dalam khazanah, fikih
konvensional dan kitab-kitab yang mendasarkan pada perkataan Rasulullah Saw.,
tetapi tujuan dan urgensinya untuk saat ini sangat mendesak, maka tidak ada
salahnya jika pencatatan perkawinan menjadi salah satu komponen dasar
perkawinan masyarakat modern suatu negara.40 Sejalan dengan perkembangan
zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-
perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri
masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi
hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab
kematian, manusia dapat juga 39 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga… h.
185. 40 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga… h. 188. 55 mengalami kelupaan
dan kekhilafan. Atas dasar ini, diperlukan
11 sebuah bukti yang abadi itulah yang
disebutkan dengan akta. Dengan demikian, salah satu bentuk pembaruan hukum
kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu
ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaruan hukum Islam
karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih seperti dalam
kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i. 41 Jika dibuka kembali kitab-kitab fikih klasik,
maka tidak akan ditemukan adanya kewajiban pasangan suami istri untuk
mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat Islam
terdahulu, perkawinan sudah dianggap sah bila telah terpenuhi syarat dan
rukunrukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah, yang dengan tegas al-
Qur’an memerintahkan untuk mencatatkannya. Dengan demikian, ketentuan
mengenai pencatatan perkawinan dapat dikatakan baru diterapkan 41 Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata… h. 97. 56 dalam masyarakat
Islam ketika terjadinya pembaruan hukum perkawinan.42 Pencatatan perkawinan
sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah menjadi suatu keharusan dan keniscayaan. Sehingga diatur
melalui perundang-undangan, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan akan
memberikan jaminan perlindungan hukum kepada suami, istri dan anak. Ketentuan
dalam UndangUndang yang mengharuskan pencatatan dalam perkawinan tersebut
wajib dilakukan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar
ketentuan hukum akan mendapatkan sanksi pidana dan perkawinannya bahkan
dianggap batal. 43 Di Indonesia, regulasi pencatatan perkawinan telah ditetapkan
tidak lama setelah Indonesia merdeka, yakni diundangkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1946 42 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga… h.182. 43
Islamiyati, Pencatatan Pernikahan… h. 257 57 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk. Dalam undangundang ini disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan
pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 1 ayat (1)). Kemudian
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setelah
mengalami beberapa proses selama 15 bulan lamanya, dalam undang-undang ini
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pencatatan ini juga
ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaannya, yang di antaranya disebutkan bahwa bagi mereka yang
melangsungkan pernikahan tetapi tidak memberitahukan kepada Pencatat Nikah,
maka didenda sebanyak Rp7.500. Begitu pula dengan Pegawai Pencatat yang
melakukan pelanggaran juga dikenakan hukuman kurungan paling lama tiga bulan
atau denda Rp7.500.44 Hukum pencatatan perkawinan terlahir disebabkan oleh
adanya peristiwa yang terjadi pada kaum perempuan, 44 Ahmad Tholabie Kharlie,
Hukum Keluarga… h. 189-190. 58 pada saat itu organisasi perempuan melakukan
momen Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928. Momen kongres tersebut
membahas keburukan-keburukan pada perempuan yang terjadi dalam perkawinan
di kalangan umat Islam, selain itu pada kongres tersebut menuntut untuk dibuatnya
hukum untuk melindungi hak-hak kaum perempuan yang hanya dianggap sebelah
mata sehingga terjadi peristiwa yang tidak melindungi hak-hak perempuan seperti
perkawinan di bawah umur, kawin paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang
dan mengabaikan hak-hak perempuan. Sehingga dirancanglah Undang-undang
perkawinan yang dapat melindungi perempuan walaupun pada masa itu masih
dibawah kekuasaan kolonial Belanda.45 Kesimpulannya bahwa pencatatan
perkawinan berikut denda atau hukuman bagi yang melanggar hanyalah merupakan
peraturan administratif saja, tidak12termasuk sebagai salah satu syarat sahnya
4
perkawinan di Indonesia. Namun, pencatatan perkawinan yang hanya berstatus 45
Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan… h. 40. 59 administratif ini justru
memberikan ambiguitas dalam pemahaman dan penerapannya. Pencatatan
perkawinan yang tidak termasuk syarat sahnya perkawinan melahirkan konsekuensi
yuridis bahwa setiap perkawinan yang dilakukan menurut agama yang bersangkutan
dapat dianggap sah meski tidak dicatatkan karena dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan disebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dan bagi
perkawinan yang tidak dicatatkan, maka tidak mempunyai kekuatan hukum.46
Undang-Undang No.1/1974 tentang perkawinan dan diikuti pula PP No.9/1975
tentang UU No.1/1974 ini, merupakan salah satu dari upaya pemerintah untuk
melakukan pembaharuan hukum tertulis guna mengganti hukum peninggalan
kolonial untuk dijadikan hukum nasional. Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu
unsur hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan hukum
nasional tersebut, upaya ini telah 46 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Perkawinan…
h. 190. 60 menghasilkan beberapa perubahan perundang-undangan di antaranya
adalah UU No.1/1974.47 Sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, merupakan
era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia
umumnya. Undangundang ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
Perkawinan, yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam memiliki
eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipir oleh Hukum Adat. Pencatatan
perkawinan seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” meski
telah disosialisasikan selama 30 tahun lebih sampai saat ini masih dirasakan adanya
kendala yang berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya ini perlu terusmenerus
dilakukan secara berkesinambungan.48 Kemudian Undang-undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan diubah dengan Undang-undang No. 16 tahun 2019 tentang
Perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang 47 Baharuddin Ahmad, Hukum
Perkawinan… h. 44. 48 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata… h. 92. 61 Perkawinan yang
disahkan pada tanggal 14 Oktober 2019, perubahannya ialah tentang batasan usia
minimal dalam perkawinan. Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan batasan usia minimal dari 19 tahun laki-laki dan 16 tahun perempuan,
hal ini dianggap kurang relevan dalam pengambilan keputusan, maka diubah batas
usia minimal dalam perkawinan dipersamakan dengan batas usia minimal bagi laki-
laki yaitu menjadi 19 tahun untuk kedua pasangan laki-laki dan perempuan dalam
pasal 7 Undang-undang No. 16 tahun 2019. Batas usia tersebut dalam arti telah
matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dengan dibentuknya
undangundang tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan perkawinan tanpa
mengakibatkan perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas,
selain itu diharpakan dapat menurunkan resiko kematian seorang ibu dan anak.49
49 Jogloabang, “UU 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan”, https://www.jogloabang.com/pustaka/uu16-2019-
perubahan-uu-1-1974-perkawinan (diakses pada 28 November 2021, pukul 12.36).
62 D. Pendapat Ulama Fiqh Terhadap Pencatatan Perkawinan Ada beberapa hal
yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian
yang serius oleh ulama fikih walaupun ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk
mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama, di zaman Rasulullah ada

4
9 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum13
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2019), cetakan ketujuh, h. 125
larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu
berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang
pertama, maka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah
peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga,
tradisi walimah al- „ursy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di
samping saksi syar’I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan
yang berlangsung pada masa awal Islam belum terjadi antar wilayah negara yang
berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung di mana calon suami dan
calon istri berada dalam suatu wilayah 63 yang sama. Sehingga alat bukti kawin
selain saksi belum dibutuhkan. Dengan alasan-alasan tersebut, dapatlah dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah
perkawinan. Salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang
harus dipenuhi. Dikatakan pembaruan hukum Islam karena masalah tersebut tidak
ditemukan di dalam kitab-kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.50 Pencatatan
perkawinan tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh klasik, hanya dikenal adanya
nikah sirri namun dalam konsepsinya berbeda dengan pengertian sekarang. Nikah
sirri dalam konteks kitab-kitab klasik dapat dilihat dari dua pengertian. Pertama,
adalah pernikahan yang tidak diumumkan pada khalayak ramai, 50 Amiur Nuruddin
dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata… h. 96-97. 64 dengan cara memukul
duff, atau pernikahan yang tidak menghadirkan saksi atau karena kurangnya saksi.
Dalam hal ini, Imam al-Syafi’I menjelaskan tentang kedudukan dua orang saksi
dalam pernikahan.51 Ia menjelaskan bahwa jika ada orang yang menikah dengan
dihadiri seorang wali dan dua orang saksi, lalu mereka merahasiakannya, atau
memberi pesan agar pernikahan tersebut dirahasiakan, maka hal tersebut makruh
hukumnya walaupun nikahnya tetap sah. Pendapat ini diikuti oleh Imam Abu
Hanifah, Syafi’I, dan Ibnu Mundzir. Di antara para sahabat dan generasi setelahnya
yang membenci nikah yang dirahasiakan (sirri) adalah: Umar bin Khathab, Urwah,
Ubaidillah bin Abdullah bin Uthbah, Sya’bi dan Nafi.52 Kedua, nikah yang
tergolong nikah sirri adalah pernikahan yang tidak diumumkan dengan duff atau
membakar sesuatu (sampai terlihat asap) sebagai tanda adanya pernikahan. Hal
pertama suatu pernikahan dianggap 51 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga…
h. 182. 52 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfy, Nikah Sirri… h. 28. 65 sirri karena
tidak adanya saksi, sedangkan dalam hal yang kedua pernikahan dianggap sirri
ketika tidak ada pengumuman atas akad yang telah dilakukan. Dalam hal ini perlulah
kejelasan status pernikahan seseorang, baik itu dengan saksi-saksi atau adanya
pengumuman, baik secara eksplisit atau implisit dengan cara memukul gendang
(duff).53 Konsep nikah sirri berdasarkan ulama kontemporer dan sesuai dengan
kenyataan masa kini adalah jenis pernikahan tanpa saksi dan wali, pernikahan yang
tidak tercatat secara resmi di badan yang berwenang dan kesaksian para saksi yang
dirahasiakan (baik pernikahan tersebut dicatat secara resmi maupun tidak).54 Imam
al-Qarafi menyatakan bahwa Imam Malik bin Anas tidak mengharuskan adanya
saksi dalam akad nikah, tetapi harus diumumkan setelah akad ketika hendak
berhubungan. Jika tidak, maka perkawinan ini tergolong tidak sah dan konsekuensi
hukumnya adalah rajam bagi 53 Ahmad Tholabi Kharlie. Hukum Keluarga… h.
182-183 54 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfy, Nikah Sirri… h. 41. 66 mereka
yang tetap berhubungan badan layaknya suami istri. Meskipun mengharuskan
adanya saksi setelah akad nikah, al-Qarafi
14 menganggap nikah yang hanya memiliki
satu orang saksi sebagai syubhat, dan tidak boleh langsung dijatuhkan hukuman.
Sementara itu, bagi pasangan yang menikah dengan dua orang saksi, tetapi tetap
merahasiakan status perkawinannya maka dianggap batal nikahnya. Menurutnya,
saksi menjadi penting untuk mencegah kerusakan status sebuah akad dan adanya
gharar dalam akad itu sendiri, selain seorang hakim (qadhi) akan memutus suatu
perkara akan sangat tergantung dengan adanya bukti. Oleh karena itu, melihat
urgensi dan tujuan tersebut Imam al-Qarafi mengharuskan adanya saksi dalam
pernikahan. Al-Sarakhsi dari mazhab Hanafi dalam kitabnya AlMabsuth,
menyatakan bahwa saksi termasuk ke dalam rukun nikah, sementara pengumuman
(I‟lan) hanya sebagai penguat suatu akad perkawinan. Pendapat tersebut
bertentangan dengan Ibn Qudamah dalam kitabnya Al- 67 Mughni Syarah Al-Kabir,
yang memasukkan salah satu syarat nikah adalah dua orang saksi, meski menurut
keterangan al-Daruquthni, Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mengharuskan saksi
sebagai syarat nikah, karena Rasulullah Saw, menikahkan Shafiyah tanpa adanya
saksi. Terkait dengan konsekuensi-konsekuensi hukum, dalam konteks saat ini
justru terbalik dengan kondisi seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih klasik
tersebut. Saksi tetap menjadi salah satu unsur dalam perkawinan, tetapi dalam
lingkup pengadilan saat ini justru yang menjadi bukti terkuat adalah surat-menyurat
(autentik). Dengan demikian, ketika suatu perkawinan dilakukan, meski telah
terpenuhi syarat dan rukun seperti yang disebutkan fikih, tapi secara hukum normatif
tidak memiliki kekuatan apa-apa. 55 55 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga… h. 184-185

B.Tata Cara Perkawinan dan Perceraian bagi PNS/ABRI


Secara umum pelaksanaan perceraian PNS di Pengadilan Agama pengajuan
Permohonan perkaranya sama hal pada umumnya tidak ada pengkhususan namun Pengadilan
menghormati satu Pemerintah yang memiliki banyak instansi, menghormati instansi satu dengan
lainnya. Seperti halnya pengajuan perceraian PNS, Pengadilan Agama menghormati aturan tersebut
dengan adanya surat izin secara tertulis dari atasannya. 6 Pelaksanaan perceraian PNS di Pengadilan
Agama tidak merujuk pada peristiwa/kronologi berdasarkan surat izin dari atasan, namun
Pengadilan Agama memeriksa hubungannya dengan gugatan bukan berdasarkan izin. Pengadilan
Agama mempunyai aturan tersendiri, bahwa dalam Pengadilan Agama cerai adalah pintu darurat
yang tidak boleh dilewati kecuali ada alasan-alasan menurut undang-undang atau hukum positif
yang berlaku. Permohonan perkara perceraian PNS yang telah masuk ke Pengadilan dan sudah
mendapatkan surat izin melakukan perceraian dari atasannya, kemudian Pengadilan memberikan
upaya perdamaian yaitu dengan menempuh proses mediasi yang pelaksanaanya seperti perkara-
perkara lain (pada umumnya). Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah
lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk
selama-lamanya dengan maksud supaya, apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan dengan
bantuan alat-alat negara (dengan kekuatan umum).3 Pada hakikatnya tugas Hakim/Majelis Hakim
dalam proses penanganan perkara adalah memimpin jalannya persidangan untuk mendapatkan
suatu putusan atau penetapan. Sebagai pemimpin dalam persidangan, Hakim harus mampu dan
pandai mengendalikan jalannya persidangan agar berjalan dengan lancar tidak terhambat dan tidak
bertele-tele yang berakibat memakan waktu yang panjang.4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin
melakukan perceraian, selain harus mengindahkan ketentuan umum sebagaimana termuat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaanya Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 yang telah diuraikan, juga harus mengindahkan ketentuan khusus bagi 3R. Subekti,
1982, Hukum acara Perdata, Bandung: Bina Cipta,15Hal. 124. 4Taufiq Hamami, 2003, Kedudukan
dan Esistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, Hal. 132. 7 Pegawai Negeri
Sipil yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No.
45 Tahun 1990, yaitu mengatur mengenai izin perceraian.5 Prosedur upaya dalam menempuh
proses perceraian secara hierarki, Pegawai Negeri Sipil yang telah mendapat izin melakukan
perceraian dari pejabat apabila ia tetap ingin bercerai, maka harus menempuh prosedur lainnya
yaitu untuk melakukan perceraian yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sebab izin untuk melakukan perceraian yang diberikan
pejabat kepada Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1983 ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan peraturan perundang-undangan
lainnya.6 Jika berbicara mengenai surat izin untuk bercerai, maka surat izin tersebut sebenarnya
merupakan ketentuan administrasi dalam proses di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama dalam
hal ini para hakim tidak terikat dengan surat izin untuk bercerai tersebut, namun Pengadilan Agama
memeriksa hubungannya dengan gugatan bukan berdasarkan izin. Bila alasan-alasan untuk bercerai
sesuai hukum yang berlaku sudah terpenuhi, Pengadilan tidak bisa menolak atau menunda
memeriksa perkara cerai itu dengan alasan belum ada izin dari atasan. Perkara perceraian akan
dilanjutkan jika Penggugat atau Pemohon tetap ingin melanjutkan perkaranya, dengan catatan pihak
bersangkutan berani menanggung resiko, salah satunya hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Setiap PNS yang akan melakukan perceraian di Pengadilan Agama, maka 5Riduan Syahrani, 1986,
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: PT.Media Saran Press, Hal. 65. 6
Ibid., Hal. 69. 8 dipersyaratkan adanya surat izin secara tertulis dari atasannya tersebut. Namun
apabila PNS yang bersengkutan belum mendapatkan izin maka diberi kesempatan selama enam (6)
bulan untuk mengurusnya. Dan dalam tenggang waktu enam (6) bulan itu belum ada surat izin,
maka hakim akan memeberikan pilihan kepada PNS yang bersangkutan apakah ingin malanjutkan
perkaranya atau ingin mencabutya.7 Pelaksanaan perceraian yang dilakukan di pengadilan Agama
pada dasarnya sama dengan proses perceraian bagi masyarakat pada umumnya, namun khusus bagi
PNS sebelum perceraian didaftarkan ke pengadilan pihak yang berperkara (sebagai PNS) harus
terlebih dahulu mendapat izin untuk melakukan perceraian dari atasan PNS tersebut yang disertai
dengan alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.8 Diterimanya gugatan atau
permohonan cerai di pengadilan tetap akan berkaca pada alasan-alasan perceraian yang tercantum
di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses perceraian bagi PNS harus diketahui
oleh atasan langsung PNS dilembaga atau instansinya bekerja serta mengajukan izin perceraian
yang disertai dengan alasan-alasan yang konkrit serta menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagaimana perceraian pada umumnya, perceraian PNS juga membawa akibat tertentu, baik bagi
bekas suami isteri maupun bagi anak-anak yang
dilahirkan selama perkawinan keduanya tersebut berlangsung. PNS yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. Putusan
pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh pihakpihak yang berperkara untuk
menyelesaikan perkara mereka dengan sebaikbaiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut,
pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam
berperkara yang mereka hadapi.10 Berdasarkan kasus dengan Putusan Nomor
0822/Pdt.G/2014/PA.Ska. bahwa pemohon telah memperoleh surat izin untuk melakukan
perceraian dari atasan, yang selanjutnya pihak yang bersangkutan melanjutkan perkaranya ke
Pengadilan Agama. Akibat hukum yang ditimbulkan dari perceraian tersebut memiliki kepastian
hukum bagi termohon yaitu berdasarkan surat izin yang diperoleh pemohon dari atasannya untuk
melanjutkan perkara di Pengadilan apabila memang pihak Pemohon terbukti melakukan kesalahan
atau pelanggaran. Akibat hukum yang timbul bermacam-macam di antaranya pengalihan sebagian
gaji PNS sebagai kewajiban pemberian nafkah pasca16perceraian. Yang dimaksud dengan gaji adalah
penghasilan yang diterima oleh suami dan tidak terbatas pada penghasilan suami pada waktu
5
terjadinya perceraian.11 Berdasarkan dari wawancara yang penulis lakukan dengan salah satu
hakim di Pengadilan Agama Surakarta menjelaskan bahwa pada pertimbangan hakim dalam
putusannya, Pengadilan Agama yang menangani perkara tersebut tidak memiliki kewenangan
memberikan hak 1/3 gaji dari tergugat rekonvensi (pemohon) sebagai PNS kepada penggugat
rekonvensi (Termohon). Di dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1990 bahwa pemberian 1/3 gaji dari pemohon sebagai PNS hal tersebut menjadi kewenangan
instansi di mana pemohon bekerja, oleh karenanya hakim dalam hal ini tidak memiliki kewenangan
mempertimbangkan dan harus dikesampingkan. Pelaksanaan pembagian gaji yang menjadi hak
mantan isteri dan anaknya sebagai akibat dari perceraian yang ditimbulkan pemohon sebagai PNS
yaitu dapat diterima langsung dari bendaharawan gaji pemohon, atau dengan surat kuasa, atau dapat
meminta untuk dikirimkan kepadanya. Akibat perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang tercantum
dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1990. Akibat dari permasalahan perceraian yang ditimbulkan pemohon tidak sekedar pengalihan
gaji kepada mantan isteri melainkan juga terhadap anak apabila pernikahan keduanya dikaruniai
anak. Dalam hal terjadinya perceraian pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam. Orang tua yang
telah bercerai tetap mempunyai kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anaknya,
apabila anak belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, maka pemeliharaan adalah hak
ibunya. Hak nafkah untuk anak yang menjadi kewajiban ayah akan terus berlangsung sampai anak
menikah, telah bekerja atau bisa menghidupi dirinya sendiri. Mendidik dan merawat anak
merupakan tanggung jawab seorang ayah dan ibu, meskipun terjadi perceraian jangan sampai
mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai keadaanya.12 Sesuai dengan Putusan
Nomor 0822/Pdt.G/2014/PA.Ska. yang penulis uraikan di atas bahwa pemohon adalah PNS yang
memiliki kewajiban memberikan nafkah sesuai dengan PP No.10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun
1990 tentang Perkawinan dan Perceraian PNS berkewajiban memberikan nafkah kepada mantan
isteri sebesar 1/3 dari gaji pemohon sebagai PNS, dan pemberin nafkah kepada anaknya sebesar
1/3 dari gaji pemohon. Pemberian nafkah 1/3 dari gaji pemohon sebagai PNS untuk mantan isteri
dan anak dalam Putusan Nomor 0822/Pdt.G/2014/PA.Ska. yang telah penulis uraikan bahwa hakim
dalam pertimbangannya adalah mengesampingkan karena pemberian nafkah 1/3 dari gaji pemohon
sebagai PNS adalah kewenangan atasan pemohon atau kewenangan instansi pemohon bekerja.
Hakim dalam Putusan Nomor 0822/Pdt.G/2014/PA.Ska. menyatakan menghukum pemohon
dengan memberikan nafkah kepada mantan isteri dan anak adalah mut’ah berupa bangunan rumah
dan 2 sepeda motor, nafkah iddah sebesar Rp 3.300.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah), dan
nafkah madliyah sebesar Rp 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah). Adapun dalam
permasalahan ini akibat hukum yang ditimbulkan yaitu tidak sekedar pengalihan gaji, ada juga
mengenai pelanggaran bahwa dalam duduk perkaranya pihak termohon melaporkan kepada atasan
pemohon dengan tuduhan perselingkuhan, yang pada awalnya pemohon berkeyakinan setelah
pemohon mengenalkan seorang perempuan (janda beranak dua) termohon bisa menerima dan
memenuhi keinginan pemohon dengan kata lain pemohon ingin memiliki anak lagi karena menurut
keterangan dokter termohon sudah sangat sulit utuk bisa hamil lagid an dahulu (sebelum menikah)
termohon pernah menyatakan bahwa tidak keberatan untuk menikah lagi. Akan tetapi laporan
termohon kepada atasan pemohon tersebut pada akhirnya menjadikan pemohon mendapat sanksi
disiplin, sehingga pemohon harus menjalani masa-masa pemeriksaan yang panjang yang secara
psikis sangat melelahkan karena harus menanggung malu dan was-was yaitu laporan dengan
tuduhan perselingkuhan. Akibat hukum yang 13 dijalani pemohon yaitu sanksi disiplin berupa
penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.Yang diatur dalam Peraturan

5
2Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986),
cetakan kelima, h. 71. 13 Abdul Shomad, Hukum Islam17 Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), cetakan ketiga, h. 281
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Akibat hukum yang
ditimbulkan oleh pemohon merupakan wujud pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah yang
berlaku. Hal ini yang memiliki wewenang menghukum yaitu pihak atasan atau instansi yang
bersangkutan. Akibat hukum yang dijalani pemohon yaitu sanksi disiplin berupa penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil

18
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Bahwa pencatatan perkawinan dan aktanya merupakan suatu hal yang


diperintahkan dan dianjurkan oleh syara’ dan ketentuan hukum yang berlaku, agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Sehingga perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dibuat oleh KUA melalui PPN.

Pencatatan perkawinan yang dapat dibuktikan dengan akta nikah selain


merupakan bukti otentik suatu perkawinan ia memiliki fungsi sebagai “jaminan
hukum” (dasar tuntutan) untuk melakukan upaya hukum kepada Pengadilan Agama
apabila seorang suami atas isteri melakukan suatu tindakan menyimpang dan
melanggar ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku. Akkta nikah juga
berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak, dasar untuk pencantuman isteri dalam
daftar gaji suami dan juga untuk pembuatan akta kelahiran anak. Bagi perkawinan yang
tidak dicatatkan dan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah maka dapat diajukan
isbat nikah ke Pengadilan Agama oleh suami atau isteri anak-anak mereka, wali nikah,
dan atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut.

B. Saran
Sekian makalah tentang Peraturan pencatatan Perkawinan dan Perceraian
dapat pemakalah sampaikan. pemakalah menyadari bahwa makalah yang disusun ini
jauh dari kata sempurna., oleh karena itu pemakalah memohon saran dari semua pihak
dan pembaca demi kesempurnaan makalah yang telah susun ini. Semoga makalah ini
dapat berguna bagi pembaca sekalian.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sehabudin, “Pencatatan Perkawinan Dalam Kitab Fikih Dan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Perspektif Maqasid Syari‟ah)”, Al-Mazahib

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis counter Draft
Kompilasi Hukum Islam

Jogloabang, “UU 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan”,

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
182-183. 38 Muksalmina, “Pernikahan Sirri Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Positif”, Jurnal Inovasi Penelitian Vol. 1 No. 2, Juli 2020, h. 56.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat… h. 135-136. 36 Islamiyati, “Pencatatan


Pernikahan Sebagai Upaya Penanggulangan Nikah Sirri Dalam Hukum Islam”, MMH
Jilid 39 No. 3 September 2010, h. 256-257.

21

Anda mungkin juga menyukai