361-377
DOI: https://dx.doi.org/10.18592/jils.v4i1.xxxx
ISSN: 2656-8683
Article Info
Received April 2 April 2023 Considering that a marriage should not be annulled since it is
Revised June 2 April 2023
a religious matter and should not be played. Besides, it is
PUBLISHED December 1
because the marriage does not only binds the man's
April , 2023
Problematika;
nas) but also involves the relationship between human being
of marriage, prevention.
Abstrak:
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi
Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut
Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghaliza) untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Fikih islam tidak mengenal adanya
pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan dalam fikih
islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu
sendiri berasal dari bahasa arab, Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan
batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Baik pencegahan dan
pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan. Secara sederhana pencegahan
sehingga perkawinan tidak dilangsungkan. Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita
saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin
terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu untuk
menghindarkan perkawinan yang terlarang. Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik
yang terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua
pihak.1
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pendekatan yang digunakan adalah hukum islam dan
sosio-legal. Adapun penulisan yang digunakan dalam pembuatan artikel ini adalah berdasarkan
metode telaah dengan menggunakan buku, jurnal, dan artikel internet sebagai bahan referensi.
1
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan. hlm 126.
Hasil dan Pembahasan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.
Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah,
dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada
setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan
pelaksanaan akad nikahnya. Perspektif UU No. 1/1974 Pencegahan perkawinan diatur dalam UU
No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak
yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administratif dan syarat
materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara
perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat dalam
perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan
dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan
berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali
telah mendapat dispensasi dari pengadilan. Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak
yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke
pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan
menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang
mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan
dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Disamping itu undang-undang
perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20).
Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan
tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9,
pasal 10, dan pasal 12 undangundang perkawinan. Berkenaan dengan orang-orang yang dapat
melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi: “Yang dapat mencegah
perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali
nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.”
Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orangorang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 62 KHI (Kompilasi Hukum Islam) - Buku Kesatu: Hukum Perkawinan - Bab X: Pencegahan
Perkawinan.juga disebutkan yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang
Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat
mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat 2 dan
pasal 4 undang-undang ini.” Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal
16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan
Adapun sahnya suatu perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun
menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan
tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya
dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri. Pembatalan perkawinan
dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh
sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan
2
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.)hlm 128.
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.
5. Perkawinan itu rusak (fasad).
3. Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat
dipertemukan5.
1. Terjadinya li’an.
2. Fasadnya perkawinan.
Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu: 1. Disebabkan
oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan
perkawinan. 2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
1. Syiqaq Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus. sebagaimana
ٰ ا ح َكم ا ِّمن َْأهلِ ِهۦ وح َكم ا ِّمن َْأهلِه ٓا ِإن ي ِري َدٓا ِإD۟اق بينِ ِهم ا فَ ٱبعثُو ِ ِ ِإ
ُص لَ ًحا يُ َوفِّ ِق ٱللَّه
ْ ُ َ ْ ً ََ ْ ً َ َ ْ َ َْ َ َو ْن خ ْفتُ ْم ش َق
4
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.
5
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum,..hlm. 309.
6
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum. hlm. 310.
7
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.
8
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan.., hlm. 245.
يما َخبِ ًرياِ ِإ
ً َبْيَن ُه َمٓا ۗ َّن ٱللَّهَ َكا َن َعل
9
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika
kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
an Nisa’: 35)
2. Cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani
atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh
pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau
3. Suami tidak mampu memberi nafkah Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah
4. Mafqud (Suami ghaib) Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan
tidak diketahui kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.
5. Melanggar perjanjian dalam perkawinanSebelum akad nikah suami dan isteri dapat
Perkawinan Pasal 22, dinyatakan dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan,
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 70 sampai Pasal 76.10
9
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-35
10
Tim Redaksi Nuasa Aulia, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 21-22
yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang. 2.
5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.11
Namun, walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan, tetapi tidak
perkawinan dapat diajukan oleh salah satu dari suami istri yang bersangkutan, antar lain
karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri. Selain itu,
dapat pula diajukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang
lain yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. Secara
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73. Pihak-pihak tersebut
antara lain
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. Misalnya bapak
atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau
isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan
pembatalan perkawinan.
Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan (Pasal
16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala
Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri. d. Setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
11
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).
12
Kompilasi Hukum Islam
tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.
Perbedaan Hukum Sah nya anak dalam Batalnya Perkawinan Perdata Dan UU Perkawinan
KUHPerdata memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja, jadi hanya
menyangkut hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 memandang perkawinan lebih luas, tidak hanya dalam hubungan keperdataan saja
namun juga hubungan antara manusia dan Tuhan.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap anak yang dilahirkan, sehingga anak tetap menjadi anak sah dan berhak mewaris tanpa memandang adanya
itikad baik dari kedua suami istri saat melangsungkan perkawinan. Sedangkan menurut KUHPerdata, anak merupakan
anak sah dan berhak mewaris jika kedua suami istri beritikad baik atau jika salah satu dari suami istri saja yang
beritikad baik. Jika kedua suami istri beritikad buruk, maka anak akan berstatus sebagai anak luar kawin. Jika anak luar
kawin ini diakui, maka anak tersebut berhak mewaris. Namun, jika anak luar kawin tersebut tidak diakui maka ia tidak
Sedangkan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggap sebagai anak-anak yang
sah. Keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur
tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en onwettige kinderen), yang terakhir ini juga diberi nama anak
luar nikah (natuurlijkc kinderen) atau diterjemahkan "anak-anak alam". 13Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal
250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa sah atau tidaknya status seorang
anak sangat tergantung dari keabsahan perkawinan orangtuanya. Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak
perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan itu dilangsungkan secara sah.
Perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 38 UU
Perkawinan). Disini tidak dipermasalahkan sejak kapan dibenihkan atau dikandung. Oleh karena itu pada asasnya,
untuk menetapkan keabsahan seorang anak, menurut KUHPerdata, tidak menjadi masalah kapan seorang anak
dibenihkan, dalam arti, apakah ia dibenihkan sebelum atau dalam masa perkawinan. Tidak disyaratkan, bahwa anak itu
dilahirkan sepanjang perkawinan, tetapi masalah kapan anak itu dibenihkan, di sini justru memegang peranan penting.
Pada umumnya anak-anak alam adalah anak-anak yang lahir atau dibenihkan di luar pernikahan. Mereka dibagi dalam
13
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal.18
dua golongan: (a) anak-anak luar nikah dalam arti kata luas, yaitu semua anak yang lahir tanpa pernikahan orangtuanya,
dan (b) anak-anak luar nikah dalam arti kata sempit, yaitu anak-anak alam dalam arti kata luas, kecuali anak-anak zina
(overspelig) dan sumbang (bloedschennig). Sedangkan untuk anak tidak sah sering kali juga dipakai istilah anak luar
kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara anak zina, anak sumbang, dan anak luar kawin
(juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit). Pembagian anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok seperti itu adalah
sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata,
khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit
adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling
menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280
KUHPerdata). Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya
No. 1 Tahun 1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu”. Artinya yang
dibatalkan itu adalah di mana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad
nikahnya antara suami istri yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah
adanya anak dan ketika adanya keputusan, tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di
dalamnya. Begitu juga halnya dalam KUHPerdata sehubungan dengan anak yang dilahirkan dari
akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orangtuanya. Secara hukum formil ini terurai jelas
dalam diatur dalam bab ke-I, bagian ke enam Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Suatu perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik
terhadap suami istri, maupun terhadap anak-anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami istri
kedua-duanya telah dilakukan dengan itikad baik”. Akan tetapi pada bab ke 12 bagian ke tiga Pasal
283 KUHPerdata disebutkan “Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang,
sekali-kali tak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal
273.” Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada pengakuan, maka segala akibat hubungan perdata
antara anak dan orangtua akan hilang.
Penutup
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.
Menurut ahli hukum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
1 Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita
3 Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan
4 Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena
adanya syarat keislaman. apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat
hukum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan. anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tetap merupakan anak yang sah dari kedua orang
tuanya. Hal ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan
perlindungan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum
[4] A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada,
[12]Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta,
2000, hal.18