Anda di halaman 1dari 17

Vol. 5, No. 3, 2021, pp.

361-377

DOI: https://dx.doi.org/10.18592/jils.v4i1.xxxx

Contents lists available at http://jurnal.uin-antasari.ac.id/

JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES

ISSN: 2656-8683

Journal homepage: http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/jils/

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN


Jalaludin Muhammad Akbar(2112140557)

Yusril Anwar Ibrahim

Institut Agama Islam Negri Palangka Raya

Jalan G. OBOS Induk

Article Info

Article history: Abstract:

Received April 2 April 2023 Considering that a marriage should not be annulled since it is
Revised June 2 April 2023
a religious matter and should not be played. Besides, it is
PUBLISHED December 1
because the marriage does not only binds the man's
April , 2023

relationship to a woman but also binds all of the big families


Keyword:
in the family nasab, and then the marriage that occurs is not
Pernikahan;
only the relationship between man and woman (hablu minan
Pencegahan;

Problematika;
nas) but also involves the relationship between human being

Pembatalan. and Allah SWT (hablu minallah), so marriage is not easily

annulled. Annulment of marriage is an act to obtain a court

decision stating that the marriage carried out is void. The

KUA party's knowledge of the bride-to-be's validity is none


other than because it will impact whether the marriage is

valid or not. Thus, it is considered necessary that prevention

is carried out in order not to cancel the marriage. Therefore,

some steps must be taken, such as government agencies, The

Office of Religious Affairs (KUA), in order to take action to

anticipate the annulment of marriage. Keywords: Annulment

of marriage, prevention.
Abstrak:

Mengingat tidak seharusnya suatu perkawinan itu

dibatalkan, karena suatu perkawinan merupakan suatu hal

yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan. Dan

karena dalam suatu perkawinan tidak hanya mengikat

hubungan satu laki-laki dengan satu perempuan,

melainkan mengikat semua keluarga besar yang ada dalam

nasab keluarga dan perkawinan yang terjadi tidak hanya

hubungan antara manusia dengan manusia (hablu minan

nas), melainkan melibatkan hubungan antara manusia

dengan Allah SWT.,(hablu minallah), sehingga perkawinan

tidak mudah dibatalkan. Pembatalan perkawinan

merupakan suatu tindakan guna memperoleh keputusan

pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang

dilaksanakan batal. Pengetahuan pihak KUA terhadap

keabsahan calon mempelai tidak lain karena akan

berimbas pada sah dan tidaknya perkawinan tersebut.

Sehingga dipandang penting adanya pencegahan yang

dilakukan, guna tidak terjadinya pembatalan perkawinan.

Maka diperlukanlah langkah-langkah yang harus ditempuh

seperti lembaga pemerintah Kantor Urusan Agama (KUA)

supaya dapat mengambil tindakan untuk mengantisipasi

terjadinya pembatalan perkawinan. Kata Kunci:

Pembatalan perkawinan, pencegahan.


Pendahuluan

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi

Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut

Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghaliza) untuk menaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Fikih islam tidak mengenal adanya

pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan dalam fikih

islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu

sendiri berasal dari bahasa arab, Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan

batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Baik pencegahan dan

pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan. Secara sederhana pencegahan

dapat diartikan dengan perbuatan menghalanghalangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan

sehingga perkawinan tidak dilangsungkan. Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita

saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin

terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu untuk

menghindarkan perkawinan yang terlarang. Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik

pencegahan, pembatalan, dan penolakan semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan

yang terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua

pihak.1

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pendekatan yang digunakan adalah hukum islam dan

sosio-legal. Adapun penulisan yang digunakan dalam pembuatan artikel ini adalah berdasarkan

metode telaah dengan menggunakan buku, jurnal, dan artikel internet sebagai bahan referensi.
1
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan. hlm 126.
Hasil dan Pembahasan

A. Dasar hukum Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam

yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.

Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah,

dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada

setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan

pelaksanaan akad nikahnya. Perspektif UU No. 1/1974 Pencegahan perkawinan diatur dalam UU

No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Tidak memenuhi persyaratan seperti

yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administratif dan syarat

materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara

perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.

Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat dalam

perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan

dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan

berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19

tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali

telah mendapat dispensasi dari pengadilan. Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak

yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke

pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan

memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan

menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang

mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka

perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan
dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Disamping itu undang-undang

perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20).

Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan

tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9,

pasal 10, dan pasal 12 undangundang perkawinan. Berkenaan dengan orang-orang yang dapat

melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi: “Yang dapat mencegah

perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali

nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.”

Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan

apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan

tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai

hubungan dengan orangorang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 62 KHI (Kompilasi Hukum Islam) - Buku Kesatu: Hukum Perkawinan - Bab X: Pencegahan

Perkawinan.juga disebutkan yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang

calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak

kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Selanjutnya pasal 15 menyatakan: “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat

dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat

mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat 2 dan

pasal 4 undang-undang ini.” Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal

16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan

perkawinan. Mengenai pejabat yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-


undangan. Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu melangsungkan

perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut. Dalam pasal

20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas: Pegawai pencatat perkawinan tidak

diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia

mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan

pasal 12 undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.2

B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Adapun sahnya suatu perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun

perkawinan, perlu juga diperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum

perkawinan Islam. Apabila dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat

sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan

menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan

tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya

dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri. Pembatalan perkawinan

dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh

sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan

hubungan perkawinan yang telah berlangsung3.

Terjadinya fasakh menurut mazhab Syafi’iy dan Hanbaly, adalah karena:

1. Pisah karena cacat salah seorang suami istri.

2. Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami.

3. Pisah karena li’an.

4. Salah seorang suami isteri itu murtad.

2
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.)hlm 128.
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.
5. Perkawinan itu rusak (fasad).

6. Tidak ada kesamaam status (sekufu). 4

Sedangkan menurut mazhab Hanafy, yaitu:

1. Pisah karena suami isteri murtad.

2. Perceraian karena perkawinan itu fasad(rusak).

3. Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat

dipertemukan5.

Adapun berdasarkan mazhab Maliky terjadinya fasakh yaitu:

1. Terjadinya li’an.

2. Fasadnya perkawinan.

3. Salah seorang pasangan itu murtad. 6

Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu: 1. Disebabkan

oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan

perkawinan. 2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak

memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan7.

Selanjutnya Amir Syarifuddin menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh, yaitu:8

1. Syiqaq Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus. sebagaimana

firman Allah di dalam surat an Nisa ayat 35:

ٰ ‫ا ح َكم ا ِّمن َْأهلِ ِهۦ وح َكم ا ِّمن َْأهلِه ٓا ِإن ي ِري َدٓا ِإ‬D۟‫اق بينِ ِهم ا فَ ٱبعثُو‬ ِ ِ ‫ِإ‬
ُ‫ص لَ ًحا يُ َوفِّ ِق ٱللَّه‬
ْ ُ َ ْ ً ََ ْ ً َ َ ْ َ َْ َ ‫َو ْن خ ْفتُ ْم ش َق‬
4
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.
5
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum,..hlm. 309.
6
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum. hlm. 310.
7
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.
8
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan.., hlm. 245.
‫يما َخبِ ًريا‬ِ ‫ِإ‬
ً ‫َبْيَن ُه َمٓا ۗ َّن ٱللَّهَ َكا َن َعل‬
9

Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah

seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika

kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik

kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.

an Nisa’: 35)

2. Cacat

Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani

atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh

pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau

terjadinya itu setelah suami isteri bergaul atau belum.

3. Suami tidak mampu memberi nafkah Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah

batin, yang menyebabkan penderitaan dipihak isteri.

4. Mafqud (Suami ghaib) Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan

tidak diketahui kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.

5. Melanggar perjanjian dalam perkawinanSebelum akad nikah suami dan isteri dapat

membuat perjanjian perkawinan.

Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat menyebabkan terjadinya

pembatalan perkawinan. Pembahasan tentang pembatalan perkawinan secara lengkap dan

terperinci telah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Pasal 22, dinyatakan dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan,

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsung-kan perkawinan.”

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 70 sampai Pasal 76.10

Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah: 1. Perkawinan

9
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-35
10
Tim Redaksi Nuasa Aulia, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 21-22
yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang. 2.

Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,

3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,

4. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum,

5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.11

Namun, walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan, tetapi tidak

semua orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Sedangkan pembatalan

perkawinan dapat diajukan oleh salah satu dari suami istri yang bersangkutan, antar lain

karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri. Selain itu,

dapat pula diajukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang

lain yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. Secara

jelas tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan di dalam UU

Perkawinan yaitu diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73. Pihak-pihak tersebut

antara lain

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. Misalnya bapak

atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami atau isteri.

b. Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau

isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan

pembatalan perkawinan.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 12

Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan (Pasal

16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala

Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri. d. Setiap

orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,

11
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).
12
Kompilasi Hukum Islam
tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.

C. Problematika pencegahan dan pembatalan perkawinan

Perbedaan Hukum Sah nya anak dalam Batalnya Perkawinan Perdata Dan UU Perkawinan

KUHPerdata memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja, jadi hanya

menyangkut hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 memandang perkawinan lebih luas, tidak hanya dalam hubungan keperdataan saja
namun juga hubungan antara manusia dan Tuhan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan tidak berlaku surut

terhadap anak yang dilahirkan, sehingga anak tetap menjadi anak sah dan berhak mewaris tanpa memandang adanya

itikad baik dari kedua suami istri saat melangsungkan perkawinan. Sedangkan menurut KUHPerdata, anak merupakan

anak sah dan berhak mewaris jika kedua suami istri beritikad baik atau jika salah satu dari suami istri saja yang

beritikad baik. Jika kedua suami istri beritikad buruk, maka anak akan berstatus sebagai anak luar kawin. Jika anak luar

kawin ini diakui, maka anak tersebut berhak mewaris. Namun, jika anak luar kawin tersebut tidak diakui maka ia tidak

berhak memperoleh bagian warisan.

Sedangkan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggap sebagai anak-anak yang

sah. Keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur

tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en onwettige kinderen), yang terakhir ini juga diberi nama anak

luar nikah (natuurlijkc kinderen) atau diterjemahkan "anak-anak alam". 13Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal

250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,

memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa sah atau tidaknya status seorang

anak sangat tergantung dari keabsahan perkawinan orangtuanya. Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak

perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan itu dilangsungkan secara sah.

Perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 38 UU

Perkawinan). Disini tidak dipermasalahkan sejak kapan dibenihkan atau dikandung. Oleh karena itu pada asasnya,

untuk menetapkan keabsahan seorang anak, menurut KUHPerdata, tidak menjadi masalah kapan seorang anak

dibenihkan, dalam arti, apakah ia dibenihkan sebelum atau dalam masa perkawinan. Tidak disyaratkan, bahwa anak itu

dilahirkan sepanjang perkawinan, tetapi masalah kapan anak itu dibenihkan, di sini justru memegang peranan penting.

Pada umumnya anak-anak alam adalah anak-anak yang lahir atau dibenihkan di luar pernikahan. Mereka dibagi dalam
13
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal.18
dua golongan: (a) anak-anak luar nikah dalam arti kata luas, yaitu semua anak yang lahir tanpa pernikahan orangtuanya,

dan (b) anak-anak luar nikah dalam arti kata sempit, yaitu anak-anak alam dalam arti kata luas, kecuali anak-anak zina

(overspelig) dan sumbang (bloedschennig). Sedangkan untuk anak tidak sah sering kali juga dipakai istilah anak luar

kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara anak zina, anak sumbang, dan anak luar kawin

(juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit). Pembagian anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok seperti itu adalah

sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata,

khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan

pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit

adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,

yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling

menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280

KUHPerdata). Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya

perkawinan diantara kedua orangtuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu”. Artinya yang

dibatalkan itu adalah di mana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad

nikahnya antara suami istri yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah

adanya anak dan ketika adanya keputusan, tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di

dalamnya. Begitu juga halnya dalam KUHPerdata sehubungan dengan anak yang dilahirkan dari

akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orangtuanya. Secara hukum formil ini terurai jelas

dalam diatur dalam bab ke-I, bagian ke enam Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

“Suatu perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik

terhadap suami istri, maupun terhadap anak-anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami istri

kedua-duanya telah dilakukan dengan itikad baik”. Akan tetapi pada bab ke 12 bagian ke tiga Pasal

283 KUHPerdata disebutkan “Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang,

sekali-kali tak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal

273.” Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada pengakuan, maka segala akibat hubungan perdata
antara anak dan orangtua akan hilang.

Penutup

Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam

yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.

Pertama, syarat materiil Kedua, syarat administratif

Menurut ahli hukum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:

1 Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita

tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.

2 Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat

3 Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan

tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.

4 Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena

adanya syarat keislaman. apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat

hukum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan. anak-anak

yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tetap merupakan anak yang sah dari kedua orang

tuanya. Hal ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan

perlindungan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum

yang jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua mereka.


Referensi

[1]Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan. hlm 126.

[2]Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.)hlm 128.

[3]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.

[4] A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada,

1996), hlm. 309.

[5]A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum,..hlm. 309.

[6]A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum. hlm. 310.

[7]Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.

[8]Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan.., hlm. 245.

[9]Tim Redaksi Nuasa Aulia, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 21-22

[10]Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).

[11]Kompilasi Hukum Islam

[12]Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta,

2000, hal.18

Anda mungkin juga menyukai