361-377
DOI: https://dx.doi.org/10.18592/jils.v4i1.xxxx
2656-8683
Article Info
Revised June 2 April 2023 religious matter and should not be played. Besides, it is because
PUBLISHED December 1 April , the marriage does not only binds the man's relationship to a
2023
woman but also binds all of the big families in the family nasab,
Keyword: and then the marriage that occurs is not only the relationship
Pernikahan; between man and woman (hablu minan nas) but also involves the
Abstrak:
calon mempelai tidak lain karena akan berimbas pada sah dan
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam
(Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu
akad yang kuat (mistaqan ghaliza) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,
yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Fikih
islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata
pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata
batal itu sendiri berasal dari bahasa arab, Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan batil
dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja
berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan. Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan
Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap
larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan
strategi jitu untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi,
baik pencegahan, pembatalan, dan penolakan semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan yang
terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak.1
Metode Penulisan
Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pendekatan yang digunakan adalah hukum islam dan sosio-legal.
Adapun penulisan yang digunakan dalam pembuatan artikel ini adalah berdasarkan metode telaah dengan
1
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan. hlm 126.
Hasil dan Pembahasan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang
diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat
materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang
meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya. Perspektif UU No.
1/1974 Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan
dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Tidak
memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat
administratif dan syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada
bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan
perkawinan. Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat dalam
perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi
dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu
(iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara
mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang
mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak
dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak
yang akan melangsungkan perkawinan. Disamping itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan
perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang
melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai
pencatat perkawinan dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal
7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undangundang perkawinan. Berkenaan dengan orang-orang
yang dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi: “Yang dapat mencegah
perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.” Mereka yang tersebut
pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon
mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orangorang seperti tersebut
Pasal 62 KHI (Kompilasi Hukum Islam) - Buku Kesatu: Hukum Perkawinan - Bab X: Pencegahan
Perkawinan.juga disebutkan yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-
Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak
kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Selanjutnya pasal 15 menyatakan: “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi
wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat yang
UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas: Pegawai pencatat perkawinan
adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-
2
Mukmin Mukri (Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.)hlm 128.
B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Adapun sahnya suatu perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu
juga diperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila
dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada
menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada,
dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau
membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau
3. Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat dipertemukan5.
1. Terjadinya li’an.
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.
4
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.
5
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum,..hlm. 309.
2. Fasadnya perkawinan.
6
3. Salah seorang pasangan itu murtad.
Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu: 1. Disebabkan oleh
perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan. 2.
Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah
Selanjutnya Amir Syarifuddin menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
1. Syiqaq Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus. sebagaimana firman
ص َٰلَ ًحا يُ َوفِ ِق ه ِ ِاق ب ينِ ِهما فَٱب عث ۟وا ح َكما ِمن أَهلِ ِهۦ وح َكما ِمن أَهل ِ ِ
ُ َ ْ ْ ً َ َ ْ ْ ً َ ُ َ ْ َ َْ َ َوإِ ْن خ ْفتُ ْم ش َق
ۗ ٓٱَّللُ بَْي نَ ُه َما ْ إ ا
ٓيد
َ ِ
ر ي نِإ ا
ٓ ه
9
يما َخبِ ًرياِ إِ هن ه
ً ٱَّللَ َكا َن َعل
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam
itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an Nisa’: 35)
2. Cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau cacat rohani atau jiwa.
Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat
yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri
3. Suami tidak mampu memberi nafkah Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah batin, yang
6
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum. hlm. 310.
7
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.
8
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan.., hlm. 245.
9
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-35
4. Mafqud (Suami ghaib) Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak
diketahui kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.
5. Melanggar perjanjian dalam perkawinanSebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat
perjanjian perkawinan.
perkawinan. Pembahasan tentang pembatalan perkawinan secara lengkap dan terperinci telah
dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22, dinyatakan
dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsung-kan perkawinan.” Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada
pasal 70 sampai Pasal 76.10 Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.11
Namun, walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan, tetapi tidak semua orang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Sedangkan pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh
salah satu dari suami istri yang bersangkutan, antar lain karena anggota keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas dari suami atau istri. Selain itu, dapat pula diajukan oleh pejabat yang berwenang atau
pejabat yang ditunjuk atau orang lain yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut. Secara jelas tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan di dalam UU Perkawinan yaitu diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73. Pihak-pihak tersebut antara lain
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. Misalnya bapak atau ibu
dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau isteri saja,
atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
10
Tim Redaksi Nuasa Aulia, Kompilasi Hukum Islam..., hlm. 21-22
11
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 12
Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 16 ayat
(2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan
Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri. d. Setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan
tersebut diputuskan.
12
Kompilasi Hukum Islam
C. Problematika pencegahan dan pembatalan perkawinan
Perbedaan Hukum Sah nya anak dalam Batalnya Perkawinan Perdata Dan UU Perkawinan
KUHPerdata memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja, jadi hanya menyangkut
hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
memandang perkawinan lebih luas, tidak hanya dalam hubungan keperdataan saja namun juga hubungan antara
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan tidak berlaku
surut terhadap anak yang dilahirkan, sehingga anak tetap menjadi anak sah dan berhak mewaris tanpa
memandang adanya itikad baik dari kedua suami istri saat melangsungkan perkawinan. Sedangkan menurut
KUHPerdata, anak merupakan anak sah dan berhak mewaris jika kedua suami istri beritikad baik atau jika
salah satu dari suami istri saja yang beritikad baik. Jika kedua suami istri beritikad buruk, maka anak akan
berstatus sebagai anak luar kawin. Jika anak luar kawin ini diakui, maka anak tersebut berhak mewaris. Namun,
jika anak luar kawin tersebut tidak diakui maka ia tidak berhak memperoleh bagian warisan.
Sedangkan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggap sebagai anak-
anak yang sah. Keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-
undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en onwettige kinderen), yang
terakhir ini juga diberi nama anak luar nikah (natuurlijkc kinderen) atau diterjemahkan "anak-anak alam".
13
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak
yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari
ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa sah atau tidaknya status seorang anak sangat tergantung dari
keabsahan perkawinan orangtuanya. Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak perkawinan itu ada sampai
perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan itu dilangsungkan secara sah. Perkawinan itu putus
karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 38 UU Perkawinan).
Disini tidak dipermasalahkan sejak kapan dibenihkan atau dikandung. Oleh karena itu pada asasnya, untuk
menetapkan keabsahan seorang anak, menurut KUHPerdata, tidak menjadi masalah kapan seorang anak
dibenihkan, dalam arti, apakah ia dibenihkan sebelum atau dalam masa perkawinan. Tidak disyaratkan, bahwa
13
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal.18
anak itu dilahirkan sepanjang perkawinan, tetapi masalah kapan anak itu dibenihkan, di sini justru memegang
peranan penting. Pada umumnya anak-anak alam adalah anak-anak yang lahir atau dibenihkan di luar
pernikahan. Mereka dibagi dalam dua golongan: (a) anak-anak luar nikah dalam arti kata luas, yaitu semua
anak yang lahir tanpa pernikahan orangtuanya, dan (b) anak-anak luar nikah dalam arti kata sempit, yaitu anak-
anak alam dalam arti kata luas, kecuali anak-anak zina (overspelig) dan sumbang (bloedschennig). Sedangkan
untuk anak tidak sah sering kali juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam
doktrin dibedakan antara anak zina, anak sumbang, dan anak luar kawin (juga disebut anak luar kawin dalam
arti sempit). Pembagian anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok seperti itu adalah sesuai dengan penyebutan
yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata, khususnya penyebutan “anak luar
kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan
tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh
ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya
perkawinan diantara kedua orangtuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu”. Artinya yang dibatalkan itu adalah di mana sejak
perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami istri yang perkawinan
dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan, tidak berlaku
surut terhadap anak-anak yang terlahir di dalamnya. Begitu juga halnya dalam KUHPerdata sehubungan
dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orangtuanya. Secara hukum
formil ini terurai jelas dalam diatur dalam bab ke-I, bagian ke enam Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata “Suatu perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap
suami istri, maupun terhadap anak-anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami istri kedua-duanya telah
dilakukan dengan itikad baik”. Akan tetapi pada bab ke 12 bagian ke tiga Pasal 283 KUHPerdata disebutkan
“Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali-kali tak boleh diakui, kecuali
terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal 273.” Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada
pengakuan, maka segala akibat hubungan perdata antara anak dan orangtua akan hilang.
Penutup
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang
diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat
materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang
meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya. Pencegahan
perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila
ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pembatalan perkawinan
adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji
mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya
syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan. Para ahli hukum islam
dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh ahli
hukum dan (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hukum islam. Dan Menurut ahli hukum Islam dikalangan
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan tersebut
Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena adanya syarat
keislaman. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di
Indonesia. Hanya ada pasalpasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu pasal 27 samapai dengan
membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau apabila suatu
perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila
perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hukum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan
kekeliruan atau karena ada paksaan. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tetap
merupakan anak yang sah dari kedua orang tuanya. Hal ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan
anak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai
status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua mereka.
Referensi
[4] A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.
[12]Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal.18