Anda di halaman 1dari 41

SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN, MAHAR, PENCATATAN PERKAWINAN,

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam

Dosen Pengampu :

Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag.

Oleh :

Hakimah Nurazmina Dini 1203050057

Kayla Zevira Alfasha 1203050069

Muhamad Prawira Santosa 1203050091

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Syarat dan Rukun
Perkawinan, Mahar, Pencatatan Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dr. H.
Aziz Sholeh, M. Ag., selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag., selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.............................................................................................2
D. Metodologi Penulisan.....................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4

A. Pencatatan Perkawinan...................................................................................................4
B. Syarat dan Rukun Perkawinan.....................................................................................14
C. Syarat dan Rukun Mahar..............................................................................................23
D. Hak dan Kewajiban Suami Isteri..................................................................................25

BAB III PENUTUP................................................................................................................34

A. Kesimpulan...................................................................................................................34
B. Saran.............................................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat

Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi

menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat.1

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

menyatakan bahwa,”Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.2 Dan

dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa,”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Undang-

Undang dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah”.3

Dalam hukum Islam menyebutkan bahwa Perkawinan ialah akad yang

menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena

ikatan suami isteri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang bukan mahram.4 Sedangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan, akad

yang sangat kuat atau miitsaaqan qholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.5

1
Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Cetakan Pertama, Jakarta:PT Dian Rakyat, hlm. 11.

2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1.
3
Ibid.
4
Mustofa Hasan, 2011, Pengantar Hukum Keluarga, Jakarta: PT Prenhallindo, hlm. 9.
5
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan Pasal 3.

1
Sebuah perkawinan mempunyai akibat hukum, karena adanya akibat hukum

ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Sebuah

perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah maka anak yang lahir di luar

perkawinan itu juga akan merupakan anak yang tidak sah.6

Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok dari

perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi kehidupan manusia

mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan

kepentingan yang bersifat umum (universal).7

Berdasarkan uraian di atas mengenai perkawinan penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai Syarat dan Rukun Perkawinan, Mahar, Pencatatan

Perkawinan, dan Hak dan Kewajiban Suami Isteri.

B. Identifikasi Masalah

1) Apa yang dimaksud dengan pencatatan perkawinan dan apa dasar hukumnya?

2) Bagaimana Syarat dan Rukun dari Perkawinan Menurut berbagai Sudut

Pandang?

3) Apa saja Syarat dan Rukun Mahar?

4) Bagaimana Kewajiban Suami dan Istri?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1) Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengertian pencatatan perkawinan dan

dasar hukumnya.

2) Untuk mengetahui dan memahami apa saja syarat dan rukun dari sebuah

perkawinan.
6
Djoko Prakoso, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, hlm. 5- 6.
7
Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberti, hlm. 13.

2
3) Untuk mengetahui dan memahami apa saja syarat dan rukun dari sebuah

mahar.

4) Untuk mengetahui dan memahami apa saja kewajiban suami dan istri.

D. Metodologi Penulisan

Metode penulisan yang digunakan penulis adalah penelitian deskriptif. Metode


berasal dari bahasa Yunani, yakni Metha yang berarti langsung, dan Hodos yang berarti cara,
alat, atau kekuatan. Ahmad Tafsir juga mendefinisikan metode, istilah yang digunakan untuk
mengungkapkan cara yang paling tepat dan tercepat dalam melakukan sesuatu. Dengan kata
lain, metode berarti satu atau lebih cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Padahal menurut KBBI, menulis adalah proses, cara, dan perilaku menulis atau
menulis.

Metode deskriptif adalah mendeskripsikan gejala, peristiwa, dan peristiwa yang


terjadi di masa lampau penulis mencoba memotret peristiwa-peristiwa tersebut yang menjadi
fokus perhatian masyarakat, kemudian mendeskripsikannya. Sedangkan metode penelitian
deskriptif digunakan untuk memecahkan dan menjawab permasalahan yang ada. Oleh karena
itu, kesimpulan dari studi deskriptif fokus pada pemecahan masalah praktis, seperti yang
dilakukan pada saat studi dilakukan. Dalam pendidikan, peran penelitian deskriptif lebih
merupakan solusi praktis daripada pengembangan keilmuan.

Oleh karena itu, kesimpulan dari studi deskriptif fokus pada pemecahan masalah
praktis, seperti yang dilakukan pada saat studi dilakukan. Dalam pendidikan, peran penelitian
deskriptif lebih merupakan solusi praktis daripada pengembangan keilmuan. Jenis penelitian
deskriptif adalah jenis penelitian pustaka, yaitu kegiatan mengamati berbagai dokumen yang
berkaitan dengan topik yang diajukan, baik berupa buku, karangan maupun tulisan,
bermanfaat untuk penelitian dan dapat digunakan dalam proses penelitian.

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Salah satu tahapan penting dalam perkawinan di Indonesia adalah

pencatatan perkawinan secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Setelah pasangan suami istri telah melaksanakan akad nikah secara sah

menurut pandangan agama dengan rukun nikah terpenuhi.

Pencatatan Perkawinan adalah sesuatu yang dilakukan oleh pejabat

negara terhadap peristiwa perkawinan.8

Peristiwa perkawinan adalah ketika pasangan suami dan istri

melangsungkan akad nikah, maka Pegawai Pencatat Nikah langsung

melaksanakan pencatatan setelah akad selesai dengan syarat dan rukun nikah

terpenuhi.

Pada mulanya syariat Islam baik dalam Al-Quran atau alSunnah tidak

mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Tuntutan

perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan hukum perdata

Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di

dalam masyarakat.9

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan

yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk

menciptakan ketertiban hukum.10

8
Tedjo Asmo Sugeng, dan Dicky Edwin Kusuma, “Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Terhadap Perkawinan Poligami”. (Jurnal Ilmiah Fenomena), Vol. XIV, No. 1, (Mei, 2016) Fakultas Hukum Universitas
Abdurrachman Saleh Situbondo, h. 1436. http://unars.ac.id/jurnal/berita-381tinjauan-undangundang-nomor-1-tahun1974-
tentang-perkawinan-terhadap-perkawinan-poligami.html. (Diakses tanggal 04 April 2021, pukul 15.00 wib).
9
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 91.
10
Esty Indrasari,Pencatatan Perkawinan, 2016, https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatanperkawinan, (Diakses
pada tanggal 05 April 2021, pukul 18.33 WIB).

4
Dengan demikan pencatatan Perkawinan merupakan syarat

administratif, standar sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama dari

pasangan suami dan istri yang melangsungkan perkawinan. Akan tetapi

perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak

memiliki kekuatan hukum yang berlaku, yang akan melindungi status

perkawinannya. Apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka

pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti

autentik dari perkawinan tersebut. Bukti autentik itu disebut dengan akta

nikah/ buku nikah.

Pada zaman dahulu tidak mengenal pencatatan perkawinan akan tetapi

lebih mengenal kepada pesta perkawinan atau walimah. Menurut Sayyid

Sabiq, walimah hukumnya Sunnah, agar perkawinan itu terhindar dari nikah

sirri (nikah yang dirahasiakan), yaitu nikah yang dilarang karena tidak

memenuhi rukun dan syarat perkawinan, selain itu walimah juga untuk

menyatakan rasa syukur dan gembira atas kehalalan hubungan perkawinan

yang sah secara syar’i yang dikaruniakan Allah Swt. kepada pasangan yang

bersangkutan.11

Maka dari itu sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, walimah

dianggap sebagai sarana untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa

kedua mempelai telah melangsungkan akad perkawinan, oleh karena itu

walimah bisa disebut sebagai pencatatan perkawinan pada zaman dahulu,

dengan arti kedua mempelai tidak menikah secara sirri.

Sebuah perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana mestinya menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku, menurut fatwa Syekh Jaad al-

11
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 146.

5
Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada

dua kategori:

1) Peraturan syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak

sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang

ditetapkan oleh syari’at Islam seperti, kemestian adanya ijab dan Kabul

dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami)

yang diucapkan pada majlis yang sama, dengan menggunakan lafal

yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul dari dua orang yang

mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’,

serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah balig, dan berakal. Oleh

ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur-

unsur pembentuk bagi akad nikah, apabila unsur pembentuknya telah

secara sempurna dapat dipenuhi, maka menurutnya, akad nikah itu

secara syara’ telah dianggap sah sehingga halal bergaul layaknya

suami dan istri.

2) Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang

bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi

tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang

dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada

peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai antisipasi dari

adanya pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di belakang hari,

yang meskipun dilindungi dengan adanya para saksi sudah tentu akan

dapat lebih dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga

yang berwenang untuk itu. Menurut Undang-undang Perkawinan

6
Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931, tidak akan didengar

suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang

didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya pencatatan

akad nikah atau adanya dokumen resmi pernikahan. Namun menurut

fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan

perundang-undangan itu, secara syar’i nikahnya sudah dianggap sah,

apabila telah melengkapi segala syarat dan rukunnya seperti diatur

dalam syariat Islam.12

Dengan demikian menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq,

apabila pernikahan yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun dalam

syariat Islam maka nikahnya tetap dianggap sah, akan tetapi dalam fatwa

tersebut juga beliau mengingatkan syarat tawsiqy yaitu syarat tambahan yang

penting dalam sebuah pernikahan, bahwa pernikahan harus dicatatkan agar

mengantisipasi bilamana terjadi persoalan rumah tangga yang berurusan dalam

lembaga Pengadilan, pasangan suami istri itu dapat terlindungi haknya dengan

menunjukan akta nikah/buku nikah sebagai alat bukti autentik yang dicatat

oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

2. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Dasar hukum tentang pencatatan perkawinan ada dalam Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 tentang ketentuan

pencatatan perkawinan menyatakan:

1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

12
Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1. h. 33-
34.

7
2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”13

Secara lebih rinci, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2

menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:

1) Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat, sebagaimana

dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan-Nikah,

Talak, dan Rujuk.

2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada

Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.14

Pasangan suami istri beragama Islam dapat melakukan pencatatan

perkawinan pada petugas Kantor Urusan Agama (KUA) tempat kedua

mempelai melaksanakan akad nikah, dan apabila bukan beragama Islam maka

untuk mendapatkan akta nikah wajib mencatatkan atau melaporkan diri ke

Kantor Catatan Sipil daerah tempat tinggalnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 merupakan perubahan

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi

kependudukan yang mengatur tentang tata cara pencatatan perkawinan. Pasal

1 Nomor 17 yang dimaksud dengan peristiwa penting adalah kejadian yang

dialami seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan,

13
Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia,…, h. 68.
14
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 94

8
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan

nama, dan perubahan status kewarganegaraan. Pencatatan perkawinan bagi

penduduk beragama Islam dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 menentukan, bahwa kewajiban Instansi Pelaksana untuk pencatatan

nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam pada tingkat

Kecamatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada KUA Kecamatan.15

Di Indonesia pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh Kantor Urusan

Agama (KUA) Kecamatan, memiliki tata cara dan prosedur sesuai dengan

Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 dan disempurnakan

dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan

Nikah dan disempurnakan kembali dengan Peraturan Menteri Agama Nomor

19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.

Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2018 tentang Pencatatan Nikah, dalam pasal 1 ayat (5), (6), (7) dan pasal 8

menyatakan:

Pasal 1 berbunyi:

(5) “Akta nikah adalah akta autentik pencatatan peristiwa perkawinan.”

(6) “Buku pencatatan perkawinan adalah kutipan akta nikah.”

(7) “Kartu perkawinan adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk kartu

elektronik.”16

Pasal 8 ayat (1) berbunyi:

15
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, … , h.225.
16
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, (Jakarta: 2018), h. 4.

9
“Pencatatan perkawinan dilakukan setelah akad dilaksanakan”17

Maka setelah akad dilaksanakan akta tersebut ditandatangani oleh

kedua saksi dan Pegawai Pencatat Perkawinan serta mempelai yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditanda tangani oleh Wali

Nikah atau yang mewakilinya, dengan penandatanganan akta perkawinan

tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. Dengan adanya akta

perkawinan itu maka suami istri mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan

UU Perkawinan.18

Menurut MUI dan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia II pada

Mei 2006 tentang Masa’il Waqi’iyyah Mu’ashirah, nikah di bawah tangan,

menetukan bahwa :

1) Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi

syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.

2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang,

sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat.19

Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan tidak dicatat adalah

hukumnya sah jika terpenuhi syarat dan rukun nikah dan tetap tidak haram jika

tidak terdapat mudharat. Sekalipun terdapat kemudharatan dalam perkawinan

yang sah sesuai Hukum Islam yang belum /tidak dicatat, tidak berarti status

perkawinannya menjadi batal demi hukum. Karena pencatatan perkawinan itu

bukan sebagai rukun nikah, kemudharatan yang ditimbulkan oleh perkawinan

belum dicatat juga dapat diberikan jalan keluar atau solusinya, yaitu isbat

nikah.
17
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, …, h. 9.
18
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2011), cetakan kedua, h. 4-5.
19
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, …, h.257.

10
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah,

setidaknya ada dua alasan, yaitu qiyas dan maslahat mursalah.20

Yang pertama diqiyaskan kepada ayat mudayanah yang

mengisyaratkan bahwa adanya bukti autentik sangat diperlukan untuk menjaga

kepastian hukum. Sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah

ayat 282:

ٌ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلٓى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢب‬

ُّ ‫ب َك َما عَلَّ َمهُ هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح‬
‫ق‬ َ ‫بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ‬
َ ُ‫ب َكاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكت‬

‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل يَبْخَسْ ِم ْنهُ َش ْيـ ًۗٔا‬


ِ َّ‫َو ْليَت‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang

piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah

mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah

orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada

Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.”21

Apabila akad utang piutang atau hubungan kerja harus dicatatkan,

mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi

untuk dicatatkan, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian

yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 21:

‫ َّواَخَ ۡذنَ ِم ۡن ُكمۡ ِّم ۡيثَاقًا َغلِ ۡيظًا‬...

20
Asasriwarni, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Anak dan Harta Perkawinan, 2012.
http://www.nu.or.id/post/read/38146/kepastian-hukum-quotistbat-nikahquot-terhadap-status-perkawinan-anak-dan-harta-
perkawinan. (Diakses tanggal 05 April 2021, pukul 19:15)
21
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Mushaf Fatimah, …, h. 48.

11
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat

(ikatan pernikahan) dari kamu.”22

Kedua, maslahah mursalah adalah kemaslahatan, karena tidak ada

nash yang melarang dan tidak menganjurkannya, semata-mata hadir atas dasar

kebutuhan masyarakat.23 Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk

dilaksanakan bagi pasangan yang menikah sebab buku nikah merupakan bukti

tentang keabsahan pernikahan baik menurut agama maupun oleh negara.

Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan

membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan kemaslahatan

bagi tegaknya sebuah rumah tangga.ini sejalan dengan kaidah fikih:

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صل‬ ِ ‫اس ِد َأوْ لَى ِم ْن َج ْل‬
ِ َ‫َدرْ ُء ْال َمف‬
“Menghindari ke-madharat-an lebih didahulukan daripada mengambil

sebuah kemaslahatan.”24

Dalam kaidah ini menjelaskan bahwa ketika kita dihadapkan dengan dua hal

antara kemudharatan dan kemaslahatan, maka harus diimbang terlebih dahulu.

Apabila mudharatnya atau kerusakannya lebih besar daripada maslahatannya

maka harus dimusnahkan atau dihilangkan mudharat itu dengan sesuatu yang

membawa kemaslahatan.

Seperti halnya pencatatan perkawinan, apabila pasangan suami istri

tidak mencatatkan perkawinannya maka akibat hukumnya adalah ketika

mempunyai anak tidak bisa membuat akta kelahiran karena tidak ada akta

nikah dari orang tuanya. Selanjutnya ketika ada permasalahan dalam rumah

tangganya akan sulit di selesaikan di Pengadilan. Misalnya terkait dalam hal


22
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Mushaf Fatimah, …, h. 81
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2012), Cet. 3,
h. 20.
24
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis,
(Jakarta: Prenada media Group, 2016), Cetakan Keenam, h. 11.

12
waris, atau terjadi perceraian tentang harta gono gini, dan nafkah. Jika tidak

mempunyai akta nikah maka pasangan suami istri tersebut tidak memperoleh

perlindungan hukum secara sah menurut hukum negara karena tidak

dibuktikan dengan bukti autentik, yaitu akta nikah.

‫َّعيَّ ِة َمنُوْ طٌبِ ْال َمصْ لَ َح ِة‬ َ ‫َصرُّ فُاْ ِال َما ُم ع‬
ِ ‫َلى الر‬ َ ‫ت‬
“Tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan

dan kemaslahatan rakyatnya.”25

Dalam kaidah tersebut menjelaskan bahwa peraturan yang dibuat oleh

pemerintah tidak akan menjerumuskan rakyatnya, adapun peraturan dibuat

untuk kemaslkahatan rakyat yang dipimpinnya. Maka pencatatan perkawinan

adalah suatu hal yang pemerintah atur untuk rakyatnya, sehingga wajib

hukumnya apabila warga negaranya melaksanakan pernikahannya dan

mencatatkannya di Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dan sebagai warga negara

wajib mengindahkan segala hukum, Undang-Undang, peraturan serta dasar

dan falsafah yang sah.

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6 :

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

25
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 101.

13
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud

ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari

orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang

yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka

tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang

tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7 :

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun.

14
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak

pria maupun pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua

tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam

hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi

yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan

bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,

dilarang kawin.

Pasal 9 :

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,

kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10 :

15
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan

perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11 :

1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam

Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12 :

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan

tersendiri.

Rukun dan syarat perkawinan terdapat beberapa ragam perspektif. Pertama,

Perspektif Fiqh. Rukun dan syarat keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi

bahasa. Rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian

atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di

luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun

dalam arti syarat yang berlalu untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat

itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius dikalangan fuqaha.

Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk

rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan

mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama

menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebutnya sebagai syarat.

16
Sebagai contoh, Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah ijab

dan qabul dimana tidak aka nada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga

menyimpulkan menurut fuqaha’, rukun nikah terdiri dari ijab dan qabul. Sedangkan

yang lain termasuk kedalam syarat. Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-

syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon

mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah, syarat

perkawinan itu adakalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga

syuhud (saksi). Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, yakni calon

suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Menurut Malikiyyah, rukun nikah itu

ada lima, yakni wali, mahar, calon suami-istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak

saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam

detailnya. Malikiyyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’i

menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun

itu memiliki syarat-syarat tertentu. Yakni:

1. Calon suami, dengan syarat:

a. Beragama islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon istri, dengan syarat:

a. Beragama islam

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

17
d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, dengan syarat:

a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwalian

4. Saksi nikah, dengan syarat:

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, dengan syarat:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata

tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau

umrah

g. Majlis ijan dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua

orang saksi.

18
Kedua, Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Berbeda

dengan perspektif fiqh, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun

perkawinan.Ada yang menjelaskan bahwa syarat ialah segala hal yang harus

dipenuhi berdasarkan peraturan Undang-Undang. Syarat perkawinan ialah

segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan

Undang-Undang, sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat perkawinan itu

banyak dan telah dirinci dalam Undang-Undang perkawinan. Tampaknya

UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan.

Didalam Bab II Pasal 6 ditemukan ayat-ayat perkawinan, sebagai

berikut:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang

mampu menyatakan kehendaknya

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka

masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara

19
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah

hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan

atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih

dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4)

dalam pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Selanjutnya pada pasal

7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan dengan

calon mempelai pria dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas

minimum umur calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun

dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Ketiga,

Perspektif Kompilasi Hukum Islam. Berbeda dengan UU No. 1/1974,

Kompilasi Hukum Islam ketika membahas rukun perkawinan

tampaknya mengikuti sistematika fiqh yang mengaitkan rukun dan

syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendatipun kompilasi hukum Islam

menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fiqh, ternyata dalam

uraian persyaratannya kompilasi hukum islam mengikuti UUP yang

melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon

mempelai dan batasan umur. Pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas

tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27) namun

sistematikanya diltakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan

rukun. Sampai disini, Kompilasi Hukum Islam tidak mengikuti skema

fiqh, juga tidak mengikuti UU No. 1/1974 yang hanya membahas

persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.9 Bagian

20
ketiga mengenai wali nikah, pasal 19 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang

harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya”. Selanjutnya, pasal 20 dinyatakan:

1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.

2) Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab

b. Wali hakim

Pada pasal 21, dibahas empat kelompok wali nasab yang

pembahasannya sama dengan fiqh Islam seperti pertama,

kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok

kerabat saudara laki-laki kandung, seayah dan keturunan laki-

laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara

laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki

mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek,

saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

Menyangkut dengan wali hakim, dinyatakan pada pasal 23

yang berbunyi:

1) Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak

diketahui tempat tinggalnya atau ghaib

atau ‘adhal atau enggan

2) Dalam hal ini wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru

dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan

21
Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Dalam pembahasan

saksi nikah, Kompilasi Hukum Islam juga masih senada dengan

apa yang berkembang dalam fiqh. Pada bagian keempat pasal

24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun

nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang

saksi.

C. Syarat dan Rukun Mahar

Dalam memberikan mahar, calon pasangan dari pihak laki-laki juga harus

memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian mahar.

Adapun syarat-syarat mahar yaitu :

a. Harta atau bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,

walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi

apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan

khamer, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab artinya mengambil barang milik orang lain

tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat

untuk mengembalikanya kelak.memberikan mahar dengan barang hasil ghasab

tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan

memberikan barang yang tidak jelas keadaanya atau tidak disebutkan jenisnya

Oleh karna itu, mahar yang diberikan harus benda yang berharga, suci, bukan

barang rampasan serta dan barang yang tidak jelas keadaannya. Karna mahar

22
adalah salah satu tolak ukur keseriusan dari laki-laki terhadap perempuan yang

akan dinikahi tersebut.

Rukun mahar :

Mahar itu adalah sesuatu yang wajib diadakan meskipun tidak di jelaskan bentuk dan

harganya pada waktu akad, mahar itu ada dua macam yaitu:

a) Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan

besarnya ketika akad nikah. Mahar yang umum berlaku dalam suatu

perkawinan, kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama

berlangsungnya perkawinan. Suami wajib membayar mahar tersebut yang

wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad

perkawinan itu. Ketika suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar

tersebut dan tidak dapat diselesaikan. Maka mahar musamma sebaiknya

diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah agar selesai

pelaksanaan kewajibannya. Dalam keadaan tertentu mahar tidak diserahkan

secara tunai, bahkan pembayarannya dapat dilakukan secara cicilan. Jika

mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah

melakukan hubungan kelamin, jika pada saat akad maharnya dalam bentuk

musamma, maka kewajiban suami yang menceraikannya bisa dikatakan mahar

secara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah yang ditetapkan dalam akad.

Apabila salah seorang diantara keduanya meninggal dunia yang telah

melakukan hubungan kelamin. Namun bila perceraian terjadi sebelum

berlangsunya hubungan kelamin, sedangkan jumlah mahar sudah ditentukan,

maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah yang di tetapkan

23
waktu akad, kecuali yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan istri atau

walinya.

b) Maharmitsil(sepadan) adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya

pada saat sebelum ataupun ketika terjadinya pernikahan. Jika mahar tidak

disebutkan jumlah dan jenisnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah

membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam

keluarganya, adapun mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsil. Ulama

hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil dengan mahar yang

pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang

sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat

kecerdasannya, tingkat keberagamaanya, negeri tempat tinggalnya, dan

masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.

D. Kewajiban Suami dan Istri

Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama,

dengan instruksi presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

(Djalil, 2006:129).

Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, munculnya persoalan yang krusial

karena tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum

terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Hal ini disebabkan tidak tersedianya

kitab materi hukum Islam yang sama. (Suharto, 2015: 2).

Pada bulan Maret 1985 Presiden mengambil prakarsa sehingga terbitlah surat

keputusan bersama Mahkamah dan Menteri Agama untuk membentuk proyek

Kompilasi Hukum Islam (Djalil, 2006: 131).

24
Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban suami-istri dalam bab

VII pasal 77 sampai dengan pasal 84 yaitu:

1) Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

a) Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan

keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar

dari susunan masyarakat” (ayat 1).

b) Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormat setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain (ayat 2)

c) Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani

maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya (ayat 3).

d) Suami-istri wajib memelihara kehormatanya (ayat 4).

e) Jika suami atau istri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan agama (ayat 5).

Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam mejelaskan tentang kewajiban

bersama suami istri seperti saling cinta-mencintai, hormat-menghormat dan

mengasuh dan merawat anak, agar dapat mencapai tujuan pernikahan, yang

sakinah, mawaddah, warahmah. Namun apabila salah satu dari suami istri

melalaikan kewajibannya, maka salah satunya dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Agama.

2) Pasal 78 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan:

a) Suami-istri harus mempunyai kediaman yang sah (ayat 1).

b) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami

isteri bersama (ayat 2).

25
Pada pasal 78 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan suami istri harus

mempunyai rumah kediaman untuk ditempati pasangan suami istri dan anak-

anaknya.

3) Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

a) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga (ayat1).

b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

masyarakat (ayat 2).

c) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (ayat 3).

Pada pasal 79 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang

kedudukan suami istri yaitu suami sebagai kepala rumah tangga dan istri

sebagai ibu rumah tangga, serta menjelaskan hak dan kedudukan suami istri

adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga, hidup bermasyarakat

maupun dalam perbuatan hukum.

4) Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan:

1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan

tetapi mengenai hal-hal urusan rumah- tangga yang penting di

putuskan oleh suami-istri bersama (ayat 1).

2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu keperluan

hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya (ayat 2).

3) Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan belajar

pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan

bangsa (ayat 3).

4) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung (ayat 4):

26
 Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri (huruf a).

 Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan

bagi istri dan anak (huruf b).

 Biaya pendidikan anak (huruf c).

 Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat

(4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin dari

istrinya (ayat 5).

 Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap

dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b

(ayat6).

 Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila

isteri nusyuz (ayat 6).

5) Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang tempat

kediaman yang menyatakan:

a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan

anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam masa iddah

(ayat 1).

b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri

selama dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat

(ayat

c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-

anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa

aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai

tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan

mengatur alat-alat rumah-tangga (ayat 3).

27
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan

tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga

maupun sarana penunjang lainnya (ayat 4).

Pada pasal 80 dan 81 Kompilasi Hukum Islam menerangkan

tentang beberapa kewajiban suami baik secara materi maupun non

materi. Kewajiban suami secara non materi diterangkan pada pasal 80

ayat (1), (2) dan (3). Sedangkan pada pasal 80 ayat (4) dan pasal 81

menerangkan kewajiban suami secara materi.

6) Pasal 82 Kompilasi Hukum Islam menerangkan tentang kewajiban

suami yang beristeri lebih dari seorang yaitu:

a) Suami yang mempunya isteri lebih dari seorang berkewajiban

memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-

masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah

keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada

perjanjian perkawinan (ayat 1).

b) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan

isterinya dalam satu tempat kediaman (ayat 2).

Pada pasal 82 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan kewajiban

suami yang beristri lebih dari satu, maka suami dalam memenuhi

keperluan rumah tangga harus adil di antara istri-istrinya.

7) Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan:

28
a) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan

batin di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam

(ayat 1).

b) Isteri menyelanggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga

sehari-hari dengan sebaik-baiknya (ayat 2).

Pada pasal 83 Kompilasi Hukum Islam menerangkan tentang

kewajiban istri dalam rumah tangga seperti berbakti kepada suami dan

menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan baik.

8) Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan:

a) Isteri dapat dianggap nusyuz jika Ia tidak mau melaksanakan

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83

ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (ayat 3).

b) Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap

istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak

berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya (ayat2).

c) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali

sesudah isteri tidak nusyuz (ayat 3).

d) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri

harus didasarkan atas bukti yang sah (ayat 4).

Pada pasal 84 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan istri

nusyus karena istri tidak mau melaksanakan kewajiban, maka

kewajiban suami terhadap istri menjadi gugur. Namun apabila istri

sudah tidak lagi nusyus maka kewajiban suami berlaku

kembaliterhadap istri.

29
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Peraturan Perundang-

Undangan :

a. Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang

Perkawinan

Lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

yang berlaku bagi semua warga Negara RI tanggal 2 Januari

1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan

masyarakat Indonesia. Tututan ini sudah dikumandangkan

sejak kongres perempuan Indonesia pertama tahun 1928 yang

kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan

lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam

perkawinan. Pada tanggal 2 januari tahun 1974, disahkannya

Undang-undang perkawinan oleh presiden, yaitu Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat

dalam lembaran negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1974, tambahan lembaran negara republik Indonesia Nomor

3019 Tahun 1974.

Adapun peraturan pelaksanaanya diundangkan melalui

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.hukum

perkawinan Indonesia Asli yang beragama Islam yang

terjantum dalam kitab fiqh, menurut sistem hukum Indonesia

tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis,

karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah, maka

dibuatlah Undang-undang No. 1 tahun 1974. Mulai tanggal 1

30
Oktober 1975 Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu telah

berjalan secara efektif dan dirasakan sudah mantab sekalipun

masih diperlukan upaya lain untuk mempertahankan

eksistensinya (Djalil, 2006: 83-86).

Undang-undang perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Dalam Undang-

undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam bab V pasal 30 sampai

dengan pasal 34 yaitu:

1) Pasal 30 Undang-undang Perkawinan

Undang-undang perkawinan tahun 30 menyatakan: ”Suami-istri

memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang

menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

2) Pasal 31 Undang-undang perkawinan

Di dalam Undang-undang perkawinan pasal 31 mengatur tentang

kedudukan suami-isteri yang menyatakan:

a) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

b) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.

c) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah

tangga.

3) Pasal 32 Undang-undang perkawinan

Pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan:

a) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat

(ayat 1).

31
b) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal

ini ditentukan oleh suami-isteri bersama (ayat 2).

Tempat kediaman dalam ayat (1) dalam artian tempat tinggal

atau rumah, yang bisa di tempati pasangan suami-istri dan juga anak-

anak mereka.

Pasal 30 Undang-undang perkawinan merupakan prolog bagi

pasal 32, Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa: Suami-

isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga

yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Oleh karena itu,

mereka (suami-isteri) harus mempunyai tempat kediaman yang tetap

yang ditentukan bersama, disamping mereka (suami- isteri) harus

saling mencintai, hormat-menghormati dan saling memberi bantuan

secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala rumah tangga melindungi

istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga

sesuai dengan kemampuan sang suami.

Demikian pula isteri wajib mengatur urusan rumah tangga

sebaik-baiknya. Kemudian apabila salah satu dari keduanya melalaikan

kewajibannya, mereka dapat menuntut ke pengadilan di wilayah

mereka berdomisili.

4) Pasal 33 Undang-undang perkawinan

Pada pasal 33 Undang-undang perkawinan menerangkan bahwa suami-

istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia memberi

bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

5) Pasal 34 Undang-undang perkawinan

32
Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan menegaskan:

a) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuanya (ayat 1).

b) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

(ayat2).

c) Jika suami atau istrei melalaikan kewajibannya masing-masing

dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (ayat 3).

Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan suami

wajib melindungi isteri dan keluarganya, yaitu memberikan

rasa aman dan nyaman, dan isteri wajib mengurus urusan

rumah tangga sebaik mungkin. Jika keduanya melakukan

sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibannya maka baik

istri atau suaminya maka dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perkawinan yang sah menurut perspektif Hukum Islam adalah pernikahan yang

dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan ketentuan agama mereka yang

melangsungkan pernikahan, yang dalam hal ini yaitu agama Islam, sebagaimana yang

33
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak dapat dipisahkan, disini . Kompilasi

Hukum Islam hadir untuk mempertegas atau menjadi dasar bagi keperdataan Islam di

Indonesia, sedangkan fiqh merupakan suatu sumber hukum dimana Kompilasi Hukum Islam

terbentuk. Syari’at Islam telah sungguh-sungguh memperhatikan segala permasalahan

keluarga, karena keluarga merupakan pondasi pertama dalam membangun sebuah bahtera

dalam berumah tangga di masyarakat. Ketika bahtera rumah sudah terbangun kuat dan

didirikan dengan dasar yang sehat dan fondasi yang kuat pula, maka produk masyarakatnya

pun menjadi kuat, mereka akan dapat hidup berbahagia dan sejahtera dunia akhirat.

Saran

Kami sebagai mahasiswa yang masih belajar dan berproses, akan sangat

menerima saran manakala masih terdapat banyak kekurangan. Yang sejatinya manusia itu

tidak luput dari banyak kekurangan dan kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Tedjo Asmo Sugeng, dan Dicky Edwin Kusuma, “Tinjauan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Perkawinan Poligami”. (Jurnal Ilmiah

Fenomena), Vol. XIV, No. 1, (Mei, 2016) Fakultas Hukum Universitas Abdurrachman Saleh

Situbondo, h. 1436.

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 91.

34
Esty Indrasari,Pencatatan Perkawinan, 2016,

https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatanperkawinan,

Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1

Tahun 1974, Cetakan Pertama, Jakarta:PT Dian Rakyat, hlm. 11.

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 101.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, (Jakarta: 2018), h. 4.

Berita Acara Kelompok 4 Hukum Perdata Islam

Intan Puspita Ayu 1203050065


Mengenai mahar jika seorang pria mengkawini perempuan, tetapi keadaan pria tersebut
belum bekerja dan ingin segera mengawini perempuan tersebut. Lalu permintaannya
dikabulkan dan walinya memberi permintaan dibayar dalam jangka waktu satu bulan. Jika
dalam satu bulan pria belum dapat membayar apakah pernikahan mereka tidak sah?

Jawaban oleh Muhamad Prawira Santosa 1203050091


sah sah saja Karena mahar bukan rukun atau syarat sahnya perkawinan Islam maka seperti
yang disebutkan dalam Pasal 34 ayat (2) KHI, kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar
pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam
keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pada prinsipnya,
ketiadaan mahar atau kekurangan mahar tidaklah membatalkan suatu perkawinan.

Iqbal Fauzian
mengapa di indonesia, entah dulu atau sekarang, ada atau bahkan kerap terjadinya
perjodohan yang bersifat memaksa? padahal hal tersebut menyalahi salah satu dari syarat
pernikahan

Jawaban oleh Hakimah Nurazmina Dini 1203050057


Baik, saya mau mencoba untuk menjawab pertanyaan dari Iqbal Fauzian . Sedikit dari analisa
dan opini saya, bahwa ini kejadian2 yang sering terjadi karena sudah membudaya. Bisa
membudaya karena dibiasakan. Jika memang kedua pihak dari sebuah perkawinan itu tidak

35
menyetujui, bisa saja. Namun tidak jarang karena alasan untuk menaati orang tua, dsb. Dan
hal ini yang perlu untuk diperbaiki dari sudut pandnag masyarakat Indonesia, yang
dibudayakan itu adalah mengikuti aturan dengan tertib. Untuk kekurangannya mohon maaf,
mungkin cukup sekian.

Matahari Yonagie 1203050082


Mengenai Kewajiban Istri yang tercantum pada pasal 84 dalam Kompilasi Hukum Islam,
dalam prakteknya nusyuz itu perbuatan yang tidak mau melaksanakan kewajibannya atau
tidak mematuhi suami, tetapi apakah ada Nusyuz yang diperbolehkan sehingga tidak
menghilangkan kewajiban suami terhadap istrinya ?

Jawaban oleh Hakimah Nurazmina Dini 1203050057


Dari sedikit pemahaman dan opini saya. Suami itu sebagai imam dalam sebuah keluarga.
Namun terlepas bagaimana, kewajiban istri terhadap suami itu mematuhi. Namun, jika
dalam Islam ketika suami atau seorang imam sudah tidak memimpin dan mengajarkan Islam,
maka istri sudah tidak memiliki kewajiban atas hal itu.

Tanggapan dari Mochammad Luthfi Mubarak 1203050086


Terkait apa itu nusyuz sejauh pemahaman saya terkait hal itu, nusyuz itu tidak hanya
berlaku di kalangan isteri, bahkan ia juga berlaku di kalangan suami.
Maka nusyuz bisa diartikan sbg suami/istri yang tidak melaksanakan tanggung jawab mereka
terhadap pasangan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Allah SWT kepada mereka.
Jadi, kalo misalnya ditanyakan apakah ada nusyuz yang diperbolehkan? Menurut saya tidak
ada, kalo pun ada tidak termasuk ke dalam nusyuz.
Akan tetapi, terdapat contoh kasus dimana apabila kita melihatnya dari satu sisi itu seolah
perbuatan nusyuz suami seperti seorang suami mengambil sesuatu yang diberikannya
kepada sang isteri yg dimana sebenarnya itu menjadi hak seorang isteri.
Hal demikian di atas jika tanpa sebab bisa disebut sbg nusyuz yang dilakukan oleh suami.
Namun menurut para sahabat Abu Hanifah mengatakan jika kemudharatan berasal dari
pihak isteri maka bagi suami diperbolehkan untuk mengambil apa yang pernah diberikannya
kepada isterinya tanpa meminta tambahan.
Mungkin itu mohon koreksi apabila ada yg keliru, terima kasih .

Makhyatul Fikriya 1203050079


Perihal pernikahan. Apabila kedua mempelai sudah ijab kobul atau nikah siri. Apakah perlu
alad lagi ketika pencatatan negara?

Jawaban oleh Kayla Zevira Alfasha 1203050069


Pada zaman dahulu tidak mengenal pencatatan perkawinan akan tetapi lebih mengenal
kepada pesta perkawinan atau walimah. Menurut Sayyid Sabiq, walimah hukumnya Sunnah,
agar perkawinan itu terhindar dari nikah sirri (nikah yang dirahasiakan), yaitu nikah yang
dilarang karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Jadi jika seseorang telah
melakukan nikah sirri maka tidak ada / tidak dilakukan pencatatan pernikahan karena nikah
sirri itu merupakan nikah yang di lakukan secara diam2 (dirahasiakan) yang berarti
pernikahannya tidak dicatat oleh negara.

36
Lydia Artika Nurkamila 1203050076
Seperti yang dikatakan, bahwa nikah namun hanya mengikuti syarat dan rukun menurut
ajaran Islam maka itu dianggap sah, maka nikah siri pun marak di lakukan karna dianggap
benar, sehingga banyak suami yang melakukan nikah siri secara diam diam, apakah itu bukan
bentuk kemudahan orang untuk menyepelekan sebuah pernikahan?

Lalu apakah ada undang undang yang mengatur kasus, ketika si suami dan si istri tersebut
melakukan kawin siri, disaat mereka masih terikat dalam perkawinan secara negara dengan
pasangan yang sebelumnya?

Jawaban oleh Hakimah Nurazmina Dini 1203050057

Beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri. Faktor – faktor tersebut
adalah:

1. Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh keluarga dari kedua belah pihak.

2. Nikah siri dilakukan karena adanya hubungan terlarang atau perselingkuhan.

3. Nikah siri dilakukan dengan alasan tidak memiliki keturunan dari isteri pertamanya.

4. Nikah siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan dicatatkan oleh negara.

Sementara nikah siri dan poligami yang tidak disertai izin istri pertama dianggap sebagai
perkawinan yang tidak sah secara hukum karena secara administrasi kependudukan tidak
dicatat.

Kinta Octafieny
Disebutkan bahwa pencatatan perkawinan bisa dilakukan apabila akad telah selesai dan
syarat juga rukun nikah sudah terpenuhi. Namun, bagaimana jika dalam suatu kasus,
pernikahan tersebut dilaksanakan oleh beda agama?

Jawaban oleh Hakimah Nurazmina Dini 1203050057


Dengan sedikit yang saya pahami dan beberapa opini saya. UU no. 23 tahun 2006 tentanga
administrasi kependudukan yang telah diubah oleh UU no. 24 tahun 2013 tentang
perubahan atas UU no.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, membuka

37
peluang pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama. Ada
beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk dapat mencatatkan pernikahan itu.

Gema Fahrian Azhar 1203050053


berkaitan dengan pembahasan tersebut, maraknya pergaulan bebas dimasa kini tentu
membuat kenaikan angka pernikahan khususnya di luar nikah yg semakin tinggi tak sedikit
pula ada yg menikah dibawah umur, bagaimana jika ada pasangan menikah dalam kondisi
wanita sedang mengandung, berkaitan dengan hal tersebut bagaimana agama dan negara
dalam menyikapi hal tersebut?

Jawaban oleh Hakimah Nurazmina Dini 1203050057


Dengan apa yang saya pahami dan opini saya. Dalam agama Islam, diatur bahwa ketika
wanita sedang hamil tidak boleh dulu melakukan pernikahan lagi sebelum bayi tersebut
lahir. Terdapat ketentuan2nya, seperti ketika seorang istri diberi talak 1 sampai talak 3
maka berbeda juga ketentuannya. Mungkin segitu yang dapat saya jawab, untuk
kekurangannya mohon maaf.

Tanggapan dari Mochammad Luthfi Mubarak 1203050086


Terkait pasangan yg hamil di luar nikah, lalu memutuskan untuk menikah, perkawinan
tersebut diperbolehkan dalam hukum islam.
Diatur dalam KHI mengenai "kawin hamil" Pasal 53 mengatakan bahwa seorang wanita
hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tsb
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dan tidak perlu
perkawinan ulang kwtika anak yg dikandungnya lahir.

38

Anda mungkin juga menyukai