MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam
Dosen Pengampu :
Oleh :
BANDUNG
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Syarat dan Rukun
Perkawinan, Mahar, Pencatatan Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dr. H.
Aziz Sholeh, M. Ag., selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag., selaku
dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.............................................................................................2
D. Metodologi Penulisan.....................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Pencatatan Perkawinan...................................................................................................4
B. Syarat dan Rukun Perkawinan.....................................................................................14
C. Syarat dan Rukun Mahar..............................................................................................23
D. Hak dan Kewajiban Suami Isteri..................................................................................25
A. Kesimpulan...................................................................................................................34
B. Saran.............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................35
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi
menyatakan bahwa,”Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.2 Dan
dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa,”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Undang-
ikatan suami isteri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan mahram.4 Sedangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3
yang sangat kuat atau miitsaaqan qholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
1
Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Cetakan Pertama, Jakarta:PT Dian Rakyat, hlm. 11.
2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1.
3
Ibid.
4
Mustofa Hasan, 2011, Pengantar Hukum Keluarga, Jakarta: PT Prenhallindo, hlm. 9.
5
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan Pasal 3.
1
Sebuah perkawinan mempunyai akibat hukum, karena adanya akibat hukum
ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Sebuah
perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah maka anak yang lahir di luar
Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok dari
perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi kehidupan manusia
mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan
B. Identifikasi Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan pencatatan perkawinan dan apa dasar hukumnya?
Pandang?
dasar hukumnya.
2) Untuk mengetahui dan memahami apa saja syarat dan rukun dari sebuah
perkawinan.
6
Djoko Prakoso, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, hlm. 5- 6.
7
Soemiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberti, hlm. 13.
2
3) Untuk mengetahui dan memahami apa saja syarat dan rukun dari sebuah
mahar.
4) Untuk mengetahui dan memahami apa saja kewajiban suami dan istri.
D. Metodologi Penulisan
Oleh karena itu, kesimpulan dari studi deskriptif fokus pada pemecahan masalah
praktis, seperti yang dilakukan pada saat studi dilakukan. Dalam pendidikan, peran penelitian
deskriptif lebih merupakan solusi praktis daripada pengembangan keilmuan. Jenis penelitian
deskriptif adalah jenis penelitian pustaka, yaitu kegiatan mengamati berbagai dokumen yang
berkaitan dengan topik yang diajukan, baik berupa buku, karangan maupun tulisan,
bermanfaat untuk penelitian dan dapat digunakan dalam proses penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Pencatatan Perkawinan
Setelah pasangan suami istri telah melaksanakan akad nikah secara sah
melaksanakan pencatatan setelah akad selesai dengan syarat dan rukun nikah
terpenuhi.
Pada mulanya syariat Islam baik dalam Al-Quran atau alSunnah tidak
dalam masyarakat.9
yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
8
Tedjo Asmo Sugeng, dan Dicky Edwin Kusuma, “Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Terhadap Perkawinan Poligami”. (Jurnal Ilmiah Fenomena), Vol. XIV, No. 1, (Mei, 2016) Fakultas Hukum Universitas
Abdurrachman Saleh Situbondo, h. 1436. http://unars.ac.id/jurnal/berita-381tinjauan-undangundang-nomor-1-tahun1974-
tentang-perkawinan-terhadap-perkawinan-poligami.html. (Diakses tanggal 04 April 2021, pukul 15.00 wib).
9
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 91.
10
Esty Indrasari,Pencatatan Perkawinan, 2016, https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatanperkawinan, (Diakses
pada tanggal 05 April 2021, pukul 18.33 WIB).
4
Dengan demikan pencatatan Perkawinan merupakan syarat
perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak
pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti
autentik dari perkawinan tersebut. Bukti autentik itu disebut dengan akta
Sabiq, walimah hukumnya Sunnah, agar perkawinan itu terhindar dari nikah
sirri (nikah yang dirahasiakan), yaitu nikah yang dilarang karena tidak
memenuhi rukun dan syarat perkawinan, selain itu walimah juga untuk
yang sah secara syar’i yang dikaruniakan Allah Swt. kepada pasangan yang
bersangkutan.11
11
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 146.
5
Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada
dua kategori:
ditetapkan oleh syari’at Islam seperti, kemestian adanya ijab dan Kabul
dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami)
yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul dari dua orang yang
serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah balig, dan berakal. Oleh
yang meskipun dilindungi dengan adanya para saksi sudah tentu akan
6
Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931, tidak akan didengar
fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan
Dengan demikian menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq,
apabila pernikahan yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun dalam
syariat Islam maka nikahnya tetap dianggap sah, akan tetapi dalam fatwa
tersebut juga beliau mengingatkan syarat tawsiqy yaitu syarat tambahan yang
lembaga Pengadilan, pasangan suami istri itu dapat terlindungi haknya dengan
menunjukan akta nikah/buku nikah sebagai alat bukti autentik yang dicatat
12
Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1. h. 33-
34.
7
2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”13
Secara lebih rinci, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II Pasal 2
mempelai melaksanakan akad nikah, dan apabila bukan beragama Islam maka
13
Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia,…, h. 68.
14
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 94
8
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam pada tingkat
Agama (KUA) Kecamatan, memiliki tata cara dan prosedur sesuai dengan
2018 tentang Pencatatan Nikah, dalam pasal 1 ayat (5), (6), (7) dan pasal 8
menyatakan:
Pasal 1 berbunyi:
(7) “Kartu perkawinan adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk kartu
elektronik.”16
15
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, … , h.225.
16
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, (Jakarta: 2018), h. 4.
9
“Pencatatan perkawinan dilakukan setelah akad dilaksanakan”17
tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. Dengan adanya akta
perkawinan itu maka suami istri mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan
UU Perkawinan.18
menetukan bahwa :
hukumnya sah jika terpenuhi syarat dan rukun nikah dan tetap tidak haram jika
yang sah sesuai Hukum Islam yang belum /tidak dicatat, tidak berarti status
belum dicatat juga dapat diberikan jalan keluar atau solusinya, yaitu isbat
nikah.
17
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, …, h. 9.
18
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2011), cetakan kedua, h. 4-5.
19
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, …, h.257.
10
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah,
ayat 282:
ٌٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلٓى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢب
ُّ ب َك َما عَلَّ َمهُ هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح
ق َ بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ
َ ُب َكاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكت
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi
untuk dicatatkan, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian
yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 21:
20
Asasriwarni, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Anak dan Harta Perkawinan, 2012.
http://www.nu.or.id/post/read/38146/kepastian-hukum-quotistbat-nikahquot-terhadap-status-perkawinan-anak-dan-harta-
perkawinan. (Diakses tanggal 05 April 2021, pukul 19:15)
21
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Mushaf Fatimah, …, h. 48.
11
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
nash yang melarang dan tidak menganjurkannya, semata-mata hadir atas dasar
dilaksanakan bagi pasangan yang menikah sebab buku nikah merupakan bukti
sebuah kemaslahatan.”24
Dalam kaidah ini menjelaskan bahwa ketika kita dihadapkan dengan dua hal
maka harus dimusnahkan atau dihilangkan mudharat itu dengan sesuatu yang
membawa kemaslahatan.
mempunyai anak tidak bisa membuat akta kelahiran karena tidak ada akta
nikah dari orang tuanya. Selanjutnya ketika ada permasalahan dalam rumah
12
waris, atau terjadi perceraian tentang harta gono gini, dan nafkah. Jika tidak
mempunyai akta nikah maka pasangan suami istri tersebut tidak memperoleh
َّعيَّ ِة َمنُوْ طٌبِ ْال َمصْ لَ َح ِة َ َصرُّ فُاْ ِال َما ُم ع
ِ َلى الر َ ت
“Tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan
adalah suatu hal yang pemerintah atur untuk rakyatnya, sehingga wajib
TENTANG PERKAWINAN
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6 :
25
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 101.
13
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
Pasal 7 :
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
14
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
Pasal 8
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Pasal 9 :
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10 :
15
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan
Pasal 11 :
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Pasal 12 :
tersendiri.
Perspektif Fiqh. Rukun dan syarat keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi
bahasa. Rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian
atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun
dalam arti syarat yang berlalu untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat
itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk
rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan
mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama
menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebutnya sebagai syarat.
16
Sebagai contoh, Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah ijab
dan qabul dimana tidak aka nada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga
menyimpulkan menurut fuqaha’, rukun nikah terdiri dari ijab dan qabul. Sedangkan
yang lain termasuk kedalam syarat. Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-
syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon
perkawinan itu adakalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga
syuhud (saksi). Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, yakni calon
suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Menurut Malikiyyah, rukun nikah itu
ada lima, yakni wali, mahar, calon suami-istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak
saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun
a. Beragama islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
a. Beragama islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
17
d. Dapat dimintai persetujuannya
a. Laki-laki
b. Dewasa
d. Islam
e. Dewasa
tersebut
f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah
g. Majlis ijan dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua
orang saksi.
18
Kedua, Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Berbeda
perkawinan.Ada yang menjelaskan bahwa syarat ialah segala hal yang harus
berikut:
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara
19
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah
dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4)
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendatipun kompilasi hukum Islam
tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27) namun
20
ketiga mengenai wali nikah, pasal 19 Kompilasi Hukum Islam
a. Wali nasab
b. Wali hakim
yang berbunyi:
2) Dalam hal ini wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru
21
Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Dalam pembahasan
saksi.
Dalam memberikan mahar, calon pasangan dari pihak laki-laki juga harus
a. Harta atau bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan
khamer, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab artinya mengambil barang milik orang lain
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaanya atau tidak disebutkan jenisnya
Oleh karna itu, mahar yang diberikan harus benda yang berharga, suci, bukan
barang rampasan serta dan barang yang tidak jelas keadaannya. Karna mahar
22
adalah salah satu tolak ukur keseriusan dari laki-laki terhadap perempuan yang
Rukun mahar :
Mahar itu adalah sesuatu yang wajib diadakan meskipun tidak di jelaskan bentuk dan
harganya pada waktu akad, mahar itu ada dua macam yaitu:
a) Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah. Mahar yang umum berlaku dalam suatu
wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad
perkawinan itu. Ketika suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar
diserahkan langsung secara tunai pada waktu akad nikah agar selesai
mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah
melakukan hubungan kelamin, jika pada saat akad maharnya dalam bentuk
secara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah yang ditetapkan dalam akad.
maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah yang di tetapkan
23
waktu akad, kecuali yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan istri atau
walinya.
pada saat sebelum ataupun ketika terjadinya pernikahan. Jika mahar tidak
disebutkan jumlah dan jenisnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah
membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam
keluarganya, adapun mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsil. Ulama
hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil dengan mahar yang
pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang
dengan instruksi presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(Djalil, 2006:129).
Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, munculnya persoalan yang krusial
karena tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum
Pada bulan Maret 1985 Presiden mengambil prakarsa sehingga terbitlah surat
24
Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban suami-istri dalam bab
keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain (ayat 2)
mengasuh dan merawat anak, agar dapat mencapai tujuan pernikahan, yang
sakinah, mawaddah, warahmah. Namun apabila salah satu dari suami istri
Pengadilan Agama.
b) Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami
25
Pada pasal 78 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan suami istri harus
mempunyai rumah kediaman untuk ditempati pasangan suami istri dan anak-
anaknya.
a) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga (ayat1).
b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
kedudukan suami istri yaitu suami sebagai kepala rumah tangga dan istri
sebagai ibu rumah tangga, serta menjelaskan hak dan kedudukan suami istri
26
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri (huruf a).
(ayat6).
(ayat 1).
selama dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat
(ayat
27
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
ayat (1), (2) dan (3). Sedangkan pada pasal 80 ayat (4) dan pasal 81
b) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
suami yang beristri lebih dari satu, maka suami dalam memenuhi
28
a) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan
(ayat 1).
kewajiban istri dalam rumah tangga seperti berbakti kepada suami dan
kembaliterhadap istri.
29
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Peraturan Perundang-
Undangan :
Perkawinan
30
Oktober 1975 Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu telah
undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam bab V pasal 30 sampai
hukum.
c) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah
tangga.
(ayat 1).
31
b) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
atau rumah, yang bisa di tempati pasangan suami-istri dan juga anak-
anak mereka.
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Oleh karena itu,
secara lahir dan batin. Suami sebagai kepala rumah tangga melindungi
mereka berdomisili.
32
Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan menegaskan:
(ayat2).
Pengadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan yang sah menurut perspektif Hukum Islam adalah pernikahan yang
dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan ketentuan agama mereka yang
melangsungkan pernikahan, yang dalam hal ini yaitu agama Islam, sebagaimana yang
33
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak dapat dipisahkan, disini . Kompilasi
Hukum Islam hadir untuk mempertegas atau menjadi dasar bagi keperdataan Islam di
Indonesia, sedangkan fiqh merupakan suatu sumber hukum dimana Kompilasi Hukum Islam
keluarga, karena keluarga merupakan pondasi pertama dalam membangun sebuah bahtera
dalam berumah tangga di masyarakat. Ketika bahtera rumah sudah terbangun kuat dan
didirikan dengan dasar yang sehat dan fondasi yang kuat pula, maka produk masyarakatnya
pun menjadi kuat, mereka akan dapat hidup berbahagia dan sejahtera dunia akhirat.
Saran
Kami sebagai mahasiswa yang masih belajar dan berproses, akan sangat
menerima saran manakala masih terdapat banyak kekurangan. Yang sejatinya manusia itu
DAFTAR PUSTAKA
Tedjo Asmo Sugeng, dan Dicky Edwin Kusuma, “Tinjauan Undang-Undang Nomor 1
Fenomena), Vol. XIV, No. 1, (Mei, 2016) Fakultas Hukum Universitas Abdurrachman Saleh
Situbondo, h. 1436.
34
Esty Indrasari,Pencatatan Perkawinan, 2016,
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatanperkawinan,
Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, (Jakarta: 2018), h. 4.
Iqbal Fauzian
mengapa di indonesia, entah dulu atau sekarang, ada atau bahkan kerap terjadinya
perjodohan yang bersifat memaksa? padahal hal tersebut menyalahi salah satu dari syarat
pernikahan
35
menyetujui, bisa saja. Namun tidak jarang karena alasan untuk menaati orang tua, dsb. Dan
hal ini yang perlu untuk diperbaiki dari sudut pandnag masyarakat Indonesia, yang
dibudayakan itu adalah mengikuti aturan dengan tertib. Untuk kekurangannya mohon maaf,
mungkin cukup sekian.
36
Lydia Artika Nurkamila 1203050076
Seperti yang dikatakan, bahwa nikah namun hanya mengikuti syarat dan rukun menurut
ajaran Islam maka itu dianggap sah, maka nikah siri pun marak di lakukan karna dianggap
benar, sehingga banyak suami yang melakukan nikah siri secara diam diam, apakah itu bukan
bentuk kemudahan orang untuk menyepelekan sebuah pernikahan?
Lalu apakah ada undang undang yang mengatur kasus, ketika si suami dan si istri tersebut
melakukan kawin siri, disaat mereka masih terikat dalam perkawinan secara negara dengan
pasangan yang sebelumnya?
Beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri. Faktor – faktor tersebut
adalah:
1. Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh keluarga dari kedua belah pihak.
3. Nikah siri dilakukan dengan alasan tidak memiliki keturunan dari isteri pertamanya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan dicatatkan oleh negara.
Sementara nikah siri dan poligami yang tidak disertai izin istri pertama dianggap sebagai
perkawinan yang tidak sah secara hukum karena secara administrasi kependudukan tidak
dicatat.
Kinta Octafieny
Disebutkan bahwa pencatatan perkawinan bisa dilakukan apabila akad telah selesai dan
syarat juga rukun nikah sudah terpenuhi. Namun, bagaimana jika dalam suatu kasus,
pernikahan tersebut dilaksanakan oleh beda agama?
37
peluang pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama. Ada
beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk dapat mencatatkan pernikahan itu.
38