MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam
Dosen Pengampu:
oleh:
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. berkat karunia dan rahmat-Nya, baik
kesehatan maupun kesempatan, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah Hukum
Perdata Islam ini tepat pada waktunya.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama proses penyusunan makalah ini. Terutama kepada Bapak Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag.,
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah membimbing
kami hingga terwujudnya makalah ini.
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa terdapat
ketidaksempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi penulisan maupun teknik penyajian.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.........................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan Makalah.......................................................................................................3
E. Metodologi Penulisan................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Ta’aruf..........................................................................................................................................4
B. Khitbah (Peminangan atau Melamar)............................................................................................6
C. Pembatalan Perkawinan dan Pencegahannya..............................................................................10
BAB III..........................................................................................................................................19
PENUTUP..........................................................................................................................................19
A. Simpulan..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................20
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti
kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, ** maka (nikahilah) seorang saja,** atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (Q.S. an-
Nisa’ [4]: 3).1
Kemudian, hukum perkawinan dalam Islam Bab I Tentang Perkawinan Bab I Bagian
I pada Pasal 1 ayat (1), telah dijelaskan bahwasannya “Perkawinan ialah aqad antara calon
laki isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Selanjutnya
dijelaskan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan aqad
ialah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan Kabul dari pihak calon suami atau
wakilnya”.2
Tujuan perkawinan itu sendiri tertuang pada Pasal selanjutnya, yakni pada Pasal 2
yang berbunyi, “Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh
turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan
teratur”.3
Untuk mencapai semua tujuan dalam pernikahan, Islam memberikan arahan kepada
manusia agar memperhatikan calon pasangannya, baik itu dari segi agamanya,
keturunannya, profesi, dan lain-lain. Dengan memperhatikan aspek ini, dimungkinkan
masing-masing calon pasangan suami isteri akan saling kenal mengenal dan memahami
dengan baik masing-masing karakter pasangannya. Istilah untuk mengenal calon suami
atau isteri sebelum pernikahan ini lazim disebut dengan istilah Ta’aruf dan khitbah
(peminangan). Realita yang terjadi di tengah masyarakat, masih banyaknya kekeliruan
dalam memahami istilah ta’aruf. Sebagian muda-mudi lebih cenderung memulai
pendekatan dengan calon pasangannya sebelum menikah dengan menjalin hubungan
1
Isnadul Hamdi, TA’ARUF DAN KHITBAH SEBELUM PERKAWINAN,
<http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/959>, diakses pada 28 Maret 2021.
2
Prof Dr. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I Hanafi Maliki Hanbali,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1956), hlm. 1.
3
Ibid.
2
melalui pacaran secara bebas. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan
dan kekasih. Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita
menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa
melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk
tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba,
maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti
pacar, atau masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media
massa atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah, aborsi,
bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas
dibuang begitu saja sehingga tewas (Tihami dan Sohari Sahrani, 2014: 22).4
Setelah dilakukan khitbah atau peminangan. Maka syari’at tetap tidak membolehkan
menyendiri (berkhalwat) dengan perempuan yang dipinang. Hal ini karena menyendiri
dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi bila
ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan
maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw bersabda:
Aplikasi praktek peminangan ditengah masyarakat, akhir-akhir ini masih saja terlihat
ada diantara orang tua yang cenderung membuat kriteria tersendiri untuk calon anaknya,
padahal dalam Islam tidak ada yang namanya perkawinan paksa. Orang tua terkadang
lebih mengutamakan aspek dari segi kesamaan budaya, sekampung, mapan, keturunan
bangsawan. Kendatipun sebenarnya semua orang tua tidaklah seperti itu. Namun, sering
ditemui di lapangan tercegahnya perkawinan seorang anak disebabkan karena tidak sekufu
dari segi budaya dan keturunan, pendidikan dan ekonomi.6
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
3
1) Untuk memaparkan dan menjelaskan tinjauan umum dan tata cara dalam konsep
Ta’aruf.
2) Untuk memberikan pemahaman akan gambaran pandangan hukum Islam mengenai
Khitbah.
3) Untuk memberikan pemahaman akan cara untuk melakukan pencegahan dan
pembatalan pernikahan jika dilihat dari beberapa madzhab.
E. Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah deskriptif, yaitu
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dari beberapa sumber. Metode ini
tidak hanya menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya. Adapula fakta-fakta yang dideskripsikan diperoleh dengan menggunakan
teknik studi pustaka (literatur). Studi Pustaka (literatur) merupakan metode pengumpulan
data yang diarahkan kepada pencari data dan informasi melalui berbagai sumber seperti
buku, jurnal dalam artikel, artikel, dan sumber lain yang mendukung dalam proses
penulisan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ta’aruf
a) Pengertian Ta’aruf
Ta’aruf berasal dari bahasa arab, yaitu ta’arrofa yang artinya menjadi tahu. Ta’aruf
merupakan proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik terhadap teman atau
orang asing. Dengan demikian, arti pesan ta’aruf ialah seperangkat simbol verbal atau
nonverbal yang berkaitan dengan proses perkenalan. Pada konteks pernikahan, ta’aruf
ialah proses perkenalan antara calon pasangan sebelum memutuskan untuk menikah.
Ta’aruf dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keseriusan untuk segera
menikah dalam jangka waktu yang sudah di-sepakati. Konsep ini dilakukan oleh
kalangan umat Islam untuk mengenali calon pasangannya. Dengan demikian, ta’aruf
dilakukan atas dasar agama. Ta’aruf sebagai salah satu ajaran Islam terkait dengan
etika pergaulan, dijelaskan dalam QS. al-Hujurat: 13 :
ًُْأ
ٌش ُعىبًب َوقَبَبِئ َل لِتَ َعب َرفُىا ۚ ِئ َى َأ ْك َر َه ُك ْن ٌِْع َد ال ِ َل َأ ْتقَب ُكنْ ۚ ِئ َى ال ََل َعلِين ُ ٌََيب َأيُ َهب ال
ُ ْبس ًَِئب َخلَقٌَْب ُكنْ ِه ْي َذ َك ٍر َو ثَ ٰى َو َج َعلٌَْب ُكن
َخبِي ٌر
b) Macam-Macam Ta’aruf
Ta’aruf dapat dilakukan dengan berbagai cara selama tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Adapun macam-macamta’aruf, yaitu sebagai berikut:
d) Waktu Ta’aruf
Sebenarnya, tidak ada ketentuan pasti terkait dengan waktu ta’aruf. Akan tetapi,
ta’aruf diperuntukkan bagi seseorang yang serius ingin menikah atau menjadikan
pernikahan sebagai salah satu prioritas yang akan segera dil-aksanakan. Oleh karena
itu, menunda-nunda waktu ta’aruf dan tidak me-nyegerakan untuk melanjutkan ke
6
Khitbah berasal dari bahasa Arab yang berarti “pembicaraan” dan jika terkait ihwal
perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah percakapan yang terkait
dengan masalah pernikahannya,hematnya,khitbah berarti percakapan yang berkaitan
dengan lamaran untuk menikah. Sedangkan kosakata “peminangan” berasal dari kata
“pinang”-“meminang”, yang berarti meminta seorang perempuan (untuk dijadikan
istri) dan bersinonim dengan kata “melamar”, serta dalam bahasa Arab disebut “khitbah”
()الخطبة, yang maksudnya meminta seorang perempuan untuk di-jadikan istri atau upaya
untuk terlibat dalam hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita
dengan cara-cara yang baik (ma’ruf) dan umumnya ber-laku di suatu masyarakat
Peminangan atau khitbah merupakan awal sebelum menikah, sehingga kedua belah
pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan yang jelas. Pinangan
bukan suatu akad (transaksi) tetapi berupa lamaran atau permohonan untuk meni-kah,
jadi ketika menerima suatu pinangan tidak berarti ada akad pernikahan antara kedua pihak,
dimana pria merupakan calon suami bagi seseorang wanita di masa depan. Adapun
pertunangan merupakan proses menunggu akad nikah diantara kedua belah pihak
yang diberi ikatan seperti pemberian cincin atau lainnya yang mungkin bisa berbeda
dalam suatu daerah. Beberapa makna yang telah ditunjukkan, bahwa esensi dari khitbah
adalah untuk menyampaikan niat menikahi seseorang.Peminangan biasanya dilakukan
oleh pria kepada wanita, akan tetapi tidak ada larangan bagi wanita untuk melamar pria,
diizinkan pula bagi wali wanita untuk menawarkan pernikahan mereka kepada seorang
pria. Seorang wanita dapat mengek-spresikan keinginannya sendiri untuk menikahi pria
dan meminta untuk menikah tetapi harus tetap berpegang pada nilai atau adat yang berlaku
di tengah masyarakat Muslim dan keikhlasan menjaga kesucian dan martabat. 8
b) Hukum Khitbah
Peminangan (khitbah) sangat erat kaitannya dengan wanita yang telah di cerai mati
oleh suaminya. Dalam hal ini wanita memiliki masa iddah (Menunggu), Allah swt
berfirman dalam surat Al-baqarah 2: 234:
َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا ۖ فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما
ِ فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر
ُوف ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر
Artinya :
7
Marvica, Skripsi: “PESAN TA’ARUF DALAM FILM AKU KAU DAN KUA (ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DE
SAUS-SURE)” (Jawa Timur : IAIN Tulungangung, 2019), Halaman 16-25.
8
A. Darussalam, Skripsi : “PEMINANGAN DALAM ISLAM (PERSPEKTIF HADIS NABI SAW)” (Makassar: Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar) Halaman 162-163.
7
Oleh sebab itu, wanita haram untuk menikah lagi dengan laki-laki lain jika ia
masih dalam masa iddah.Namun, berkenaan dengan pinangan, bagaimana jika dalam
masa iddah tersebut datang pinangan dari laki-laki lain, karena itu muncul pembahasan
tentang hukum peminangan.Secara umum wanita terbagi dalam tiga keadaan:Pertama,
wanita yang tidak sedang terikat dalampernikahan dan dia juga tidak dalam keadaan
di khitbah oleh pria lain, maka ia boleh dikhit-bah.Kedua,wanita yang sedang
dalam ikatan perkawinan tidak boleh di khit-bah.Ketiga, di perbolehkan
mengkhitbahwanita yang sedang dalam masa iddah Ali ashabuniy (2007). Beberapa
pendapat ulama tentang hukum khitbah antara lain:
c) Syarat–Syarat Khitbah
1. Syarat mustahsinah.
Syarat merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar men-
eliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat
ini tidak wajib di penuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untukdil-aksanakan,
sehingga tanpa adanya syarat inipeminangan tetap sah Kamal Mukhtar (1974),
syarat-syarat tersebut adalah:
2. Syarat lazima
Maka dapat dipahami, akibat hukum dari peminangan ini adalah sebagai berikut:
9
Abdul Bari Awang,Imam Mahdie, “Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut Hukum
Islam Serta Un-dang-Undang Islam di Indonesia”, 2018, hlm. 78-81.
10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm. 85.
11
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 253.
11
a) Terjadinya li’an.
b) Fasadnya perkawinan.
c) Salah seorang pasangan itu murtad.15
Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu:
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.
13
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo
Persada, 1996), hlm. 309.
14
Ibid, hlm. 309.
15
Ibid, hlm. 310.
16
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.
12
a) Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus,
sebagaimana firman Allah di dalam surat An-Nisa ayat 35:
b) Cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani
atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah
suami isteri bergaul atau belum.
17
Ibid, hlm. 245.
13
kan perkawinan.” Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada
pasal 70 sampai Pasal 76.
18
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).
19
Wati Rahmi Ria, Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar), (Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2018),
hlm.100.
14
20
Ibid, hlm. 101.
21
Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
15
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73.22 Pihak-pihak
tersebut antara lain:
a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
Misalnya bapak atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami
atau isteri.
b) Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari
suami atau isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama
dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan (Pasal 16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih
dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan
Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.
d) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.
22
Lihat Kompilasi Hukum Islam.
23
Dirjen Bimas Islam Depag. RI, Pedoman Penghulu (Jakarta: Dirjen Bimas RI, 2008),
hlm. 37-38
16
11) Bagi warga asing: Paspor, Surat izin dari kedutaan dan surat status dari
negaranya.
Dalam hal pendaftaran nikah harus dilakukan oleh wali, calon mempelai
wanita, dan calon mempelai pria. Berkaitan dengan siapa yang harus
mendaftarkan nikah telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa orang yang mendaftar
nikah/orang yang memberitahukan kehendak nikah ke KUA/PPN adalah
calon mempelai, orang tua, atau wakilnya.24
24
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
25
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
26
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5.
17
ijazah, KK, KTP, dan lain sebagainya. Menghadirkan kedua calon mempelai
pada saat akad nikah dan mengidentifikasi suara.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ta’aruf adalah proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik terhadap teman
atau orang asing. Pada konteks pernikahan, ta’aruf ialah proses perkenalan antara calon
pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Adapun macam-macam ta’aruf, yaitu:
Ta’aruf dengan bertukar biodata, Ta’aruf dengan mengirim utusan, Ta’aruf melalui dunia
maya. Ta’aruf dimaksudkan untuk menuju pernikahan islami, sehingga dilakukan
dengan tata cara yang sesuai syariat Islam. Tidak ada ketentuan pasti terkait dengan
waktu ta’aruf. Akan tetapi, ta’aruf diperuntukkan bagi seseorang yang serius ingin
menikah atau menjadikan pernikahan sebagai salah satu prioritas yang akan segera
dilaksanakan.
Peminangan atau khitbah merupakan awal sebelum menikah, sehingga kedua belah
pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan yang jelas. Pinangan
bukan suatu akad (transaksi) tetapi berupa lamaran atau permohonan untuk menikah.
Dasar hukum yang kuat tentang khitbah adalah mubah (boleh). Syarat–Syarat Khitbah,
meliputi: Syarat mustahsinah, dan syarat lazima. Selanjutnya, akibat hukum dari khitbah
sendiri, yaitu: Akibat Hukum Khitbah Dalam Pespektif Islam, dan Akibat Peminangan
Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI).
DAFTAR PUSTAKA
Awang, A dan Imam Mahdie. (2018). “Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut
Hukum Islam Serta Un-dang-Undang Islam di Indonesia”.
Dirjen Bimas Islam Depag. RI. (2008). Pedoman Penghulu. Jakarta: Dirjen Bimas RI.
Doi, R. (1996). Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: Grafindo Persada.
Marvica. (2019). Skripsi: “PESAN TA’ARUF DALAM FILM AKU KAU DAN KUA
(ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUS-SURE)”. Jawa
Timur : IAIN Tulungangung.
Ria, W. (2018). Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar). Lampung: Anugerah Utama
Raharja.
Syarifuddin, A. (2006). Hukum perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Yunus, M. (1956). Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I Hanafi Maliki
Hanbali. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Pelaksana Diskusi
Acara
1. Pembukaan
Moderator membuka diskusi dengan mempersilahkan penyaji untuk
mempresentasikan materi yang dibawakan.
2. Penyajian
Pembicara menyampaikan materi mengenai apa itu konsep dan dasar hukum ta’aruf,
khitbah, pembatalan perkawinan dan pencegahannya.
3. Tanya Jawab
Pertanyaan :
1) Indriani Agustina (1203050064)
22
Apa perbedaan antara fasakh dengan talak karena keduanya merupakan penyebab
terjadinya perceraian?
Betul sekali tentang apa yang dijelaskan Indriani perihal apa itu fasakh.
1) Fasakh
2) Talak
Kedua, fasakh ialah pembatalan akad nikah karena sebab aib yang diketahui
setelah akad, baik setelah hubungan badan maupun sebelumnya. (Contohnya:
keluarnya salah satu pasangan dari agama Islam, suami lemah syahwat, atau
tertutupnya kemaluan istri).
Pertanyaan :
Pacaran syar'i dalam Islam tidak ada karena baik dalam Al-Qur'an, hadits,
maupun perkataan ulama tidak ada yang mengatakan adanya aktivitas pacaran
sebelum menikah. Pacaran syar'i itu hanyalah tipu daya setan yang dari batil
diubahnya menjadi betul supaya biar mereka bisa membawa anak cucu adam agar
terjerumus ke dalam dunia yang penuh dengan maksiat (pacaran).
tapi jika tidak terlalu penting sebaiknya kita hindarkan agar terhindar dari fitnah dan
hasutan setan
Pertanyaan :
Tetap saja dapat dibatalkan oleh bapak kandungnya. Hal itu didasari karena
seorang bapak kandung memiliki hak yang melekat dan utama untuk menikahkan
anak kandungnya.
Hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk melangkahi restu dan/atau izin dari
bapak kandungnya tersebut sekalipun dianggap tidak pernah melaksanakan fungsinya
sebagai kepala keluarga. Kecuali, bapak kandungnya tersebut menolak pelaksanaan
perkawinan dengan alasan yang tidak masuk akal dan diperkuat dengan surat
pernyataan dari bapak kandungnya dibawah materai bahwa ia tidak bersedia menjadi
wali nikahnya, baru hak bapak kandung itu tidak memiliki kekuatan hukum, atau
dengan kata lain boleh digantikan oleh wali yang lain.
Pertanyaan :
Berkaitan dengan pernikahan siri bila dilihat dari hukum Islam, sah
tidaknya suatu pernikahan atau perkawinan tidak terletak pada dicatatkan atau
tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan, tetapi yang membuat sah tidaknya
suatu perkawinan terletak pada syarat-syarat dan rukunnya pernikahan atau
perkawinan. Tetapi bila kita meninjau dari hukum mengenai perkawinan , tentu saja
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”). Maka UU Perkawinan dan turunannya diperlukan
dalam menganalisis kasus perzinahan (overspel). Pada Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan disebutkan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku.
Lalu hal yang dapat terjadi dan tidak akan melanggar hukum dalam nikah siri
adalah: