Anda di halaman 1dari 29

TA’ARUF, KHITBAH, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam

Dosen Pengampu:

Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag.

oleh:

Feby Zahra Marwah 1203050050

Haifa Nurul Shabira 1203050056

Karin Kintani 1203050068

Mochammad Luthfi Mubarak 1203050086

Muhamad Rafi Muharrom 1203050092

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. berkat karunia dan rahmat-Nya, baik
kesehatan maupun kesempatan, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah Hukum
Perdata Islam ini tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah Hukum Perdata Islam yang berjudul Ta’aruf, Khitbah,


Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah
Hukum Perdata Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN). Adapun tujuan
dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Hukum Perdata Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
mengenai Ta’aruf, Khitbah, Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan bagi para pembaca dan
juga penulis.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama proses penyusunan makalah ini. Terutama kepada Bapak Dr. H. Aziz Sholeh, M. Ag.,
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah membimbing
kami hingga terwujudnya makalah ini.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa terdapat
ketidaksempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi penulisan maupun teknik penyajian.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.........................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan Makalah.......................................................................................................3
E. Metodologi Penulisan................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Ta’aruf..........................................................................................................................................4
B. Khitbah (Peminangan atau Melamar)............................................................................................6
C. Pembatalan Perkawinan dan Pencegahannya..............................................................................10
BAB III..........................................................................................................................................19
PENUTUP..........................................................................................................................................19
A. Simpulan..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................20

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti
kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

ِ ‫ثنى َوثـ ُ ٰ َل َث َو ُر ٰ َب َع ۖ◌ فَِإن‬


‫خ فتُم‬ َ ِّ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلن‬
َ ٰ ‫سٓا ِء َم‬ َ َ‫في ٱليَ ٰتَ َم ٰى فَ ٱن ِك ُحو ْا َما ط‬ ِ ‫س طُو ْا‬ ِ ‫خ فتُم َأالَّ تُق‬ ِ ‫َوِإن‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ٰ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٓ َ
‫م◌ ذ لِ َك دن ٰ َى الَّ تـ َ ُعولُو ْا‬ ِ ‫َأالَّ تَع ِدلُو ْا فـ َ ٰ َو‬
ۚ ‫ح َدةً و َما َملَ َكت ي ٰ َم نُ ُك‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, ** maka (nikahilah) seorang saja,** atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (Q.S. an-
Nisa’ [4]: 3).1

Kemudian, hukum perkawinan dalam Islam Bab I Tentang Perkawinan Bab I Bagian
I pada Pasal 1 ayat (1), telah dijelaskan bahwasannya “Perkawinan ialah aqad antara calon
laki isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Selanjutnya
dijelaskan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan aqad
ialah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan Kabul dari pihak calon suami atau
wakilnya”.2

Tujuan perkawinan itu sendiri tertuang pada Pasal selanjutnya, yakni pada Pasal 2
yang berbunyi, “Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh
turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan
teratur”.3

Untuk mencapai semua tujuan dalam pernikahan, Islam memberikan arahan kepada
manusia agar memperhatikan calon pasangannya, baik itu dari segi agamanya,
keturunannya, profesi, dan lain-lain. Dengan memperhatikan aspek ini, dimungkinkan
masing-masing calon pasangan suami isteri akan saling kenal mengenal dan memahami
dengan baik masing-masing karakter pasangannya. Istilah untuk mengenal calon suami
atau isteri sebelum pernikahan ini lazim disebut dengan istilah Ta’aruf dan khitbah
(peminangan). Realita yang terjadi di tengah masyarakat, masih banyaknya kekeliruan
dalam memahami istilah ta’aruf. Sebagian muda-mudi lebih cenderung memulai
pendekatan dengan calon pasangannya sebelum menikah dengan menjalin hubungan

1
Isnadul Hamdi, TA’ARUF DAN KHITBAH SEBELUM PERKAWINAN,
<http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/959>, diakses pada 28 Maret 2021.
2
Prof Dr. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I Hanafi Maliki Hanbali,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1956), hlm. 1.
3
Ibid.
2

melalui pacaran secara bebas. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan
dan kekasih. Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita
menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa
melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk
tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba,
maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti
pacar, atau masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media
massa atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah, aborsi,
bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas
dibuang begitu saja sehingga tewas (Tihami dan Sohari Sahrani, 2014: 22).4

Setelah dilakukan khitbah atau peminangan. Maka syari’at tetap tidak membolehkan
menyendiri (berkhalwat) dengan perempuan yang dipinang. Hal ini karena menyendiri
dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi bila
ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan
maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw bersabda:

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak


halal baginya, karena ketiganya adalah syetan.”5

Aplikasi praktek peminangan ditengah masyarakat, akhir-akhir ini masih saja terlihat
ada diantara orang tua yang cenderung membuat kriteria tersendiri untuk calon anaknya,
padahal dalam Islam tidak ada yang namanya perkawinan paksa. Orang tua terkadang
lebih mengutamakan aspek dari segi kesamaan budaya, sekampung, mapan, keturunan
bangsawan. Kendatipun sebenarnya semua orang tua tidaklah seperti itu. Namun, sering
ditemui di lapangan tercegahnya perkawinan seorang anak disebabkan karena tidak sekufu
dari segi budaya dan keturunan, pendidikan dan ekonomi.6

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai


Ta’aruf, Khitbah, Pencegahan dan Pembatalan Pernikahan.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:

1) Bagaimana tinjauan umum dan tata cara dalam konsep Ta’aruf?


2) Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai Khitbah?
3) Bagaimana cara untuk melakukan pencegahan dan pembatalan pernikahan jika dilihat
dari beberapa madzhab.

4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
3

C. Tujuan Penulisan Makalah


Tentunya, tujuan penulisan ini sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah di atas,
diantaranya:

1) Untuk memaparkan dan menjelaskan tinjauan umum dan tata cara dalam konsep
Ta’aruf.
2) Untuk memberikan pemahaman akan gambaran pandangan hukum Islam mengenai
Khitbah.
3) Untuk memberikan pemahaman akan cara untuk melakukan pencegahan dan
pembatalan pernikahan jika dilihat dari beberapa madzhab.

D. Manfaat Penulisan Makalah


Manfaat penulisan makalah ini diharapkan agar:

1) Penyusun, melatih kemampuan menulis sebagai alat ukur pemahaman penyusun


terhadap sejarah tata hukum Indonesia sebelum kemerdekaan, sekaligus memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam.
2) Mahasiswa, memberikan pemahaman akan konsep Ta’aruf, Khitbah, Pencegahan dan
Pembatalan Pernikahan.
3) Pembaca umum, memberikan gambaran betapa pentingnya pengetahuan mengenai
ketiga konsep dalam pernikahan, seperti Ta’aruf, Khitbah, Pencegahan dan
Pembatalan Pernikahan.

E. Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah deskriptif, yaitu
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dari beberapa sumber. Metode ini
tidak hanya menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya. Adapula fakta-fakta yang dideskripsikan diperoleh dengan menggunakan
teknik studi pustaka (literatur). Studi Pustaka (literatur) merupakan metode pengumpulan
data yang diarahkan kepada pencari data dan informasi melalui berbagai sumber seperti
buku, jurnal dalam artikel, artikel, dan sumber lain yang mendukung dalam proses
penulisan.
4

BAB II

PEMBAHASAN
A. Ta’aruf
a) Pengertian Ta’aruf

Ta’aruf berasal dari bahasa arab, yaitu ta’arrofa yang artinya menjadi tahu. Ta’aruf
merupakan proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik terhadap teman atau
orang asing. Dengan demikian, arti pesan ta’aruf ialah seperangkat simbol verbal atau
nonverbal yang berkaitan dengan proses perkenalan. Pada konteks pernikahan, ta’aruf
ialah proses perkenalan antara calon pasangan sebelum memutuskan untuk menikah.
Ta’aruf dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keseriusan untuk segera
menikah dalam jangka waktu yang sudah di-sepakati. Konsep ini dilakukan oleh
kalangan umat Islam untuk mengenali calon pasangannya. Dengan demikian, ta’aruf
dilakukan atas dasar agama. Ta’aruf sebagai salah satu ajaran Islam terkait dengan
etika pergaulan, dijelaskan dalam QS. al-Hujurat: 13 :
‫ًُْأ‬
ٌ‫ش ُعىبًب َوقَبَبِئ َل لِتَ َعب َرفُىا ۚ ِئ َى َأ ْك َر َه ُك ْن ٌِْع َد ال ِ َل َأ ْتقَب ُكنْ ۚ ِئ َى ال ََل َعلِين‬ ُ ٌَ‫َيب َأيُ َهب ال‬
ُ ْ‫بس ًَِئب َخلَقٌَْب ُكنْ ِه ْي َذ َك ٍر َو ثَ ٰى َو َج َعلٌَْب ُكن‬
‫َخبِي ٌر‬

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kamimenciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antarakamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

b) Macam-Macam Ta’aruf

Ta’aruf dapat dilakukan dengan berbagai cara selama tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Adapun macam-macamta’aruf, yaitu sebagai berikut:

1) Ta’aruf dengan bertukar biodata

Kedua calon pasangan biasanya memulai ta’aruf dengan saling bertukar


bio-data yang diserahkan melalui pendamping (mediator). Setelah kedua
calon pasangan menerima dan membaca biodata tersebut, mereka melalukan is-
tikharah dan bertukar pikiran dengan orang tua atau orang yang berwenang.
Hal ini dilakukan untuk dapat melanjutkan ta’aruf ke tahap berikutnya. Selain
itu, mereka juga dapat mencocokkan data di lapangan, yaitu dengan bertanya
kepada teman atau orang-orang terdekat di lingkungannya. Calon pasangan tidak
harus melakukannya sendiri, namun bisa bekerja sa-ma dengan orang-orang
yang dapat dipercaya.
5

2) Ta’aruf dengan mengirim utusan

Ta’aruf dapat dilakukan dengan mengirim utusan untuk bertemu dan


mengenal calon pasangan yang melakukan proses ta’aruf. Utusan ini bisa teman,
saudara, atau seseorang yang tentunya dapat dipercaya. Dengan cara ini, dapat
diketahui hal-hal yang mungkin tidak bisa diketahui oleh calon pasangannya
sendiri. Misalnya, tentang kebiasaan buruk sehari-hari, yaitu gaya tidur, cara
makan, bau badan, bau mulut, atau hal-hal tertentu yang dapat mengganggucalon
pasangan.

3) Ta’aruf melalui dunia maya

Seiring dengan perkembangan teknologi, ta’aruf bisa dilakukan melalui


media sosial, chatting, SMS (Short Message Service) atau layanan pesan
singkat, dan lain sebagainya. Melalui perantara tersebut, kedua calon pasangan
bisa bertukar informasi dan biodata. Akan tetapi, ta’aruf melalui dunia maya
memerlukan lebih kehati-hatian, karena tidak ada pertemuan fisik antar
kedua calon pasangan dan tidak ada pendamping yang membantu. Setelah proses
tersebut berlangsung, kedua calon pasangan dapat melanjutkan ke tahap
berikutnya, yaitu ta’aruf secara personal atau bertemu langsung dengan calon
pasangan.

c) Tata Cara Ta’aruf

Ta’aruf dimaksudkan untuk menuju pernikahan islami, sehingga dilakukan


dengan tata cara yang sesuai syariat Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Membersihkan niat karena Allah


2. Menjaga keseriusan acara ta’aruf
3. Kejujuran dalam pembicaraan ta’aruf
4. Nadzor dalam ta’aruf
5. Menerima dan menolak dengan cara yang baik
6. Taat pada Syariah
7. Berpendamping
8. Tidak di tempat-tempat yang mencurigakan
9. Menjaga rahasia ta’aruf
10. Selalu istikharah

d) Waktu Ta’aruf

Sebenarnya, tidak ada ketentuan pasti terkait dengan waktu ta’aruf. Akan tetapi,
ta’aruf diperuntukkan bagi seseorang yang serius ingin menikah atau menjadikan
pernikahan sebagai salah satu prioritas yang akan segera dil-aksanakan. Oleh karena
itu, menunda-nunda waktu ta’aruf dan tidak me-nyegerakan untuk melanjutkan ke
6

jenjang pernikahan tanpa uzur yang berarti, sesungguhnya seperti membiarkan


berbagai fitnah berdatangan.. 7

B. Khitbah (Peminangan atau Melamar)


a) Pengertian Khitbah

Khitbah berasal dari bahasa Arab yang berarti “pembicaraan” dan jika terkait ihwal
perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah percakapan yang terkait
dengan masalah pernikahannya,hematnya,khitbah berarti percakapan yang berkaitan
dengan lamaran untuk menikah. Sedangkan kosakata “peminangan” berasal dari kata
“pinang”-“meminang”, yang berarti meminta seorang perempuan (untuk dijadikan
istri) dan bersinonim dengan kata “melamar”, serta dalam bahasa Arab disebut “khitbah”
(‫)الخطبة‬, yang maksudnya meminta seorang perempuan untuk di-jadikan istri atau upaya
untuk terlibat dalam hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita
dengan cara-cara yang baik (ma’ruf) dan umumnya ber-laku di suatu masyarakat

Peminangan atau khitbah merupakan awal sebelum menikah, sehingga kedua belah
pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan yang jelas. Pinangan
bukan suatu akad (transaksi) tetapi berupa lamaran atau permohonan untuk meni-kah,
jadi ketika menerima suatu pinangan tidak berarti ada akad pernikahan antara kedua pihak,
dimana pria merupakan calon suami bagi seseorang wanita di masa depan. Adapun
pertunangan merupakan proses menunggu akad nikah diantara kedua belah pihak
yang diberi ikatan seperti pemberian cincin atau lainnya yang mungkin bisa berbeda
dalam suatu daerah. Beberapa makna yang telah ditunjukkan, bahwa esensi dari khitbah
adalah untuk menyampaikan niat menikahi seseorang.Peminangan biasanya dilakukan
oleh pria kepada wanita, akan tetapi tidak ada larangan bagi wanita untuk melamar pria,
diizinkan pula bagi wali wanita untuk menawarkan pernikahan mereka kepada seorang
pria. Seorang wanita dapat mengek-spresikan keinginannya sendiri untuk menikahi pria
dan meminta untuk menikah tetapi harus tetap berpegang pada nilai atau adat yang berlaku
di tengah masyarakat Muslim dan keikhlasan menjaga kesucian dan martabat. 8

b) Hukum Khitbah

Peminangan (khitbah) sangat erat kaitannya dengan wanita yang telah di cerai mati
oleh suaminya. Dalam hal ini wanita memiliki masa iddah (Menunggu), Allah swt
berfirman dalam surat Al-baqarah 2: 234:

‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا ۖ فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما‬
ِ ‫فَ َع ْلنَ فِي َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬

Artinya :

7
Marvica, Skripsi: “PESAN TA’ARUF DALAM FILM AKU KAU DAN KUA (ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DE
SAUS-SURE)” (Jawa Timur : IAIN Tulungangung, 2019), Halaman 16-25.
8
A. Darussalam, Skripsi : “PEMINANGAN DALAM ISLAM (PERSPEKTIF HADIS NABI SAW)” (Makassar: Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar) Halaman 162-163.
7

“Orang-orang yang mati di antaramu serta meninggalkan istri-istri hen-daklah


mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
sampai iddah mereka, maka tiada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan
terhadap diri merekamenurut cara yang patut. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

Oleh sebab itu, wanita haram untuk menikah lagi dengan laki-laki lain jika ia
masih dalam masa iddah.Namun, berkenaan dengan pinangan, bagaimana jika dalam
masa iddah tersebut datang pinangan dari laki-laki lain, karena itu muncul pembahasan
tentang hukum peminangan.Secara umum wanita terbagi dalam tiga keadaan:Pertama,
wanita yang tidak sedang terikat dalampernikahan dan dia juga tidak dalam keadaan
di khitbah oleh pria lain, maka ia boleh dikhit-bah.Kedua,wanita yang sedang
dalam ikatan perkawinan tidak boleh di khit-bah.Ketiga, di perbolehkan
mengkhitbahwanita yang sedang dalam masa iddah Ali ashabuniy (2007). Beberapa
pendapat ulama tentang hukum khitbah antara lain:

1. Menurut ibnu Rusyd (2005) mayoritas ulama’ mengatakan bahwa peminangan


hukumnya mubah.
2. Menurut Syafi’iyyah bahwa peminangan itu hukumnya sunnah, hal ini bersandar-
kan kepada Rasulullah saw meminang Aisyah Binti Abu Bakr, Al bukhari (2001).
3. Menurut Daudzahiri (1997) bahwa khitbah hukumnya wajib.Berdasarkan pendapat
ulama di atas, menurut penulis bahwasanya dasar hukum yang kuat tentang
khitbahadalah mubah (boleh), karena di dalam Alqur’an tidak di jelaskan secara
terperinci mengenai dasar hukum tentang khitbah, dan yang melakukan khitbah
adalah merupakan anjuran dan langkah yang baik dalamtahapan menuju kepada
jenjang pernikahan.

c) Syarat–Syarat Khitbah

Diantara syarat-syarat khitbah antara lain:

1. Syarat mustahsinah.

Syarat merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar men-
eliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat
ini tidak wajib di penuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untukdil-aksanakan,
sehingga tanpa adanya syarat inipeminangan tetap sah Kamal Mukhtar (1974),
syarat-syarat tersebut adalah:

a. Wanita yang dipinang hendaknya sejajar dengan laki-laki yang mem-inang,


misalnyatingkat keilmuannya, status sosial, dan kekayaan.
b. Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan lelaki yang
meminang.
8

2. Syarat lazima

Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah atau


tidaknya peminangan sangat erat kaitannya dengan syarat-syarat lazimah Kamal
Mukhtar (1974), syarat-syarat tersebut antara lain:

a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama ditinggal-kan


oleh suaminya Amirsyarifuddin (2006).
b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman
mu’abbad(selamanya) seperti saudara kandung, bibi, maupun mu’aqqat(sementara)
seperti saudara ipar.
c. Tidak sedang dalam masa iddah. Mayoritas ulama sepakat atas keha-raman
meminang atau berjanjiuntuk menikah kepada wanita yang se-dang dalam masa
iddah karena kematian suaminya.
d. Tidak berada dalam pinangan orang lain. Haram kukumnya meminang wanita
yang berada dalam pinangan orang lain. Hal ini dapat merusak ikatan antar
kedua belah pihak keluarga dan merusak Ukhuwwah Islamiyah

d) Akibat Hukum Khitbah

1) Akibat Hukum Khitbah Dalam Pespektif Islam

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa khitbah adalah perjan-jian


untuk mengadakan pernikahan.Oleh sebab itu peminangan dapat saja terputus
di tengah jalan, karena akad dari peminangan ini belum mengikat dan belum
menimbulkan kewajiban antara satu pihak dengan pihak yang lain. Namun,
wahbahzuhailiy (1997) menyatakan bahwa akhlak is-lam menuntut adanya
tanggung jawab dalam tindakan. Apalagi yang sifatnya janji yang telah dibuatnya.
Dalam sabda Rasulullah SAW HR. Al bukhari : “tanda orang munafik ada tiga,
jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia menging-kari, danjika di percaya ia khianat
”.

Berdasarkan dalil-dalil diatas jelaslah bahwa jika seseorang sudah


berjanji, maka haruslah ia menepatinya,dan tidak boleh mengkhianati janji
yang sudah dibuat. Walaupun dalam hal peminangan yang status hukumnya
belum mengikat dan belum pula menimbulkan kewajiban oleh salah satu
pihak. Maka orang tersebut tidak boleh membatalkan dengan alasan yang tidak
rasional dan haruslah dilakukan dengan yang dibenarkan oleh syara’.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan pem-


inangan, di tengah-tengah masyarakat ketika proses peminangan ada ke-biasaan
memberikan seserahan (pemberian), seperti perhiasan,dan lain-lain. Hal ini
merupakan bukti keseriusan peminang untuk menuju kejenjang per-nikahan, tetapi
tidak semuapeminangan berujung kepada pernikahan, jika tidak sampai ke tahap
9

pernikahan, maka perlu adanya kejelasantentang pemberian tersebut, apakah


pemberian tersebut masih tetap di tangan wanita ataupun dapat di ambil kembali
oleh pihak si peminang. Bahkan, pada saat proses peminang pada sebagian
orang ada yang sudahmemberikan mahar. Hal ini tentu perlu kejelasan tentang
bagaimana status mahar dan pemberian yang te-lah diberikan ketika batalnya
peminangan.

2) Akibat Peminangan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peminangan adalah tahap awal menuju ke jenjang pernikahan. Biasanya


setelah adanya peminangan barulahdilangsungkan akad nikah, peminangan ini
tidak selalu berujung kepada pernikahan, bisa saja peminangan ini batal.
Walaupun demikian, jika terjadi putusnya peminangan hendaklah dilakukan
dengan cara yang baik,agar tidak timbulnya perselisihan antara kedua belah
pihak keluarga. Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan
yang dipinangnya adalah sebagaimana hubungan antara laki-laki dengan per-
empuan yang bukan mahramnya. Oleh karena itu, belum berlaku hak dankewajiban
antara keduanya dan juga di haramkan bagi keduanya untuk berdua-duaan di
tempat yang sepi(khalwat), sebagaimana haramnya laki-laki dan perempuan yang
belum menjadi suami istri.

Mengenai tata cara perkawinan di Indonesia di atur dalam un-dang-


undang No 1 tahun 1974. Jika diteliti,undang-undang perkawinan No.1 Tahun
1974, tidak menjelaskan mengenai aturan peminangan. Hal ini dikarenakan
karena peminangan bukan merupakan suatu hubungan yang bersifat
mengikat seperti perkawinan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur
masalah peminangan dalam pasal 1, 11, dan 13, keseluruhan pasal ini merujuk
kepada mazhab Syafi’i.Berkenaan dengan akibat hukumnya di tegaskan dalam
pasal 13 KHI yang berbunyi:

1. Peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas


memutuskan hubunganpeminangan.

2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata carayang


baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setem-pat, sehingga tetap
terbina kerukunan dan saling menghargai kompilasi hukum islam (1997).

Maka dapat dipahami, akibat hukum dari peminangan ini adalah sebagai berikut:

1. Belum menimbulkan akibat hukum, para pihak dapat memutuskan hub-ungan


kapan saja.

2. Kebebasan memutuskan hubungan harus dilaksanakan dengan cara yang


baik, yakni sesuai dengantuntunan agama dan tata cara setempat.
10

3. Antara pemberian (hadiah), dengan mahar haruslah dibedakan. 9

C. Pembatalan Perkawinan dan Pencegahannya


Mengingat tidak seharusnya suatu perkawinan itu dibatalkan, karena suatu
perkawinan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan. Dan
karena dalam suatu perkawinan tidak hanya mengikat hubungan satu laki-laki dengan satu
perempuan, melainkan mengikat semua keluarga besar yang ada dalam nasab keluarga dan
perkawinan yang terjadi.
Tidak hanya hubungan antara manusia dengan manusia (hablu minan nas),
melainkan melibatkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT., (hablu minallah),
sehingga perkawinan tidak mudah dibatalkan.
Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan guna memperoleh keputusan
pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal. Pengetahuan
pihak KUA terhadap keabsahan calon mempelai tidak lain karena akan berimbas pada sah
dan tidaknya perkawinan tersebut.
Sehingga dipandang penting adanya pencegahan yang dilakukan, guna tidak
terjadinya pembatalan perkawinan. Maka diperlukanlah langkah-langkah yang harus
ditempuh seperti lembaga pemerintah Kantor Urusan Agama (KUA) supaya dapat
mengambil tindakan untuk mengantisipasi terjadinya pembatalan perkawinan.
1. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan tidak seharusnya dilaksanakan karena pembatalan
perkawinan sama dengan perceraian di mana memisahkan ikatan perkawinan
yang telah sah menurut agama dan negara.
Istilah pambatalan nikah tidak dikenal dalam Islam, akan tetapi hukum Islam
hanya mengenal fasakh nikah. Fasakh artinya merusakkan atau membatalkan.
Maka fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan
atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.10
Sedangkan fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu:
a) Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau
terdapat adanya halangan perkawinan.
b) Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.11
Adapun sahnya suatu perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan
rukun perkawinan, perlu juga diperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
hukum perkawinan Islam.

9
Abdul Bari Awang,Imam Mahdie, “Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut Hukum
Islam Serta Un-dang-Undang Islam di Indonesia”, 2018, hlm. 78-81.
10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm. 85.
11
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 253.
11

Apabila dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya


perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan
menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa
perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri
yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami
isteri.

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya


merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya
perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang
telah berlangsung.12

Terjadinya fasakh menurut mazhab Syafi’iy dan Hanbaly, adalah karena:

a) Pisah karena cacat salah seorang suami istri.


b) Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami.
c) Pisah karena li’an.
d) Salah seorang suami isteri itu murtad.
e) Perkawinan itu rusak (fasad).
f) Tidak ada kesamaam status (sekufu).13
Sedangkan menurut mazhab Hanafy, yaitu:
a) Pisah karena suami isteri murtad.
b) Perceraian karena perkawinan itu fasad (rusak).
c) Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak
dapat dipertemukan.14
Adapun berdasarkan mazhab Maliky terjadinya fasakh yaitu:

a) Terjadinya li’an.
b) Fasadnya perkawinan.
c) Salah seorang pasangan itu murtad.15
Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu:

a) Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat


atau terdapat adanya halangan perkawinan.
b) Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang
tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.16

12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan.., hlm. 85.
13
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo
Persada, 1996), hlm. 309.
14
Ibid, hlm. 309.
15
Ibid, hlm. 310.
16
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan… hlm. 253.
12

Selanjutnya Amir Syarifuddin menambahkan bahwa ada beberapa faktor


yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh, yaitu:17

a) Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus,
sebagaimana firman Allah di dalam surat An-Nisa ayat 35:

ۗ ‫ق هّٰللا ُ بَ ْينَ ُه َما‬


ِ ِّ‫صاَل ًحا ُّي َوف‬
ْ ِ‫ق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُ ْوا َح َك ًما ِّمنْ اَ ْهلِ ٖه َو َح َك ًما ِّمنْ اَ ْهلِ َها ۚ اِنْ يُّ ِر ْيدَآ ا‬
َ ‫شقَا‬ ِ ‫َواِنْ ِخ ْفتُ ْم‬
‫اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َخبِ ْي ًرا‬

Artinya: “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,


Makakirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an
Nisa’: 35)

b) Cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani
atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah
suami isteri bergaul atau belum.

c) Suami Tak Mampu Memberi Nafkah


Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah batin, yang menyebabkan
penderitaan dipihak isteri.

d) Mafqud (Suami ghaib)


Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak
diketahui kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang
lama.

e) Melanggar Perjanjian dalam Perkawinan


Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian
perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.

Pembahasan tentang pembatalan perkawinan secara lengkap dan Terperinci


telah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 22, dinyatakan dengan tegas bahwa “perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsung-

17
Ibid, hlm. 245.
13

kan perkawinan.” Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada
pasal 70 sampai Pasal 76.

Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah:

a) Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan


yang tidak berwenang.
b) Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,
c) Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
d) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum,
e) Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau istri.18
Namun, walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan
perkawinan, tetapi tidak semua orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
Sedangkan pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh salah satu dari suami istri
yang bersangkutan, antar lain karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas dari suami atau istri. Selain itu, dapat pula diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang lain yang berkepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.

Pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila:

a) Perkawinan tersebut melanggar hal-hal yang dilarang untuk melakukan


perkawinan baik dalam hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan.
b) Apabila perkawinan dilaksanakan di bawah ancaman pihak lain yang dapat
melanggar ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang-undang Perkawinan. Adapun
syarat-syarat pembatalan adalah sebagai berikut:
1) harus mengajukan surat permohonan
2) dapat dilakuan oleh suami atau isteri
3) ditujukan ke Pengadilan dalam tempo 6 bulan setelah ancaman tersebut
terhenti sesuai ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU Perkawinan.
c) Pembatalan perkawinan itu dapat dilakukan apabila terdapat salah sangka
atau keliru mengenai diri calon suami atau calon isteri.
d) Pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan tidak memenuhi
syarat-syarat untuk perkawinan seperti yang ditetapkan dalam UU
Perkawinan ataupun dalam hukum Islam. Misalnya perkawinan yang tidak
ada saksinya. Permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan sesuai
yurisdiksinya masing- masing sesuai ketentuan Pasal 25 UU a quo.19
Sedangkan menurut Pasal 70 s/d Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan alasan suatu perkawinan dibatalkan antara lain karena :

18
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).
19
Wati Rahmi Ria, Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar), (Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2018),
hlm.100.
14

a) Suami melakukan perkawinan sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah


karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam kondisi iddah.
b) Seorang menikahi bekas istrinya yang telah di liannya.
c) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi 3 kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
e) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
f) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tirinya.
g) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan
bibi atau paman sesusuan.
h) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
i) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari pengadilan agama.
j) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri
pria lain yang mafqud.
k) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
l) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan, yaitu
untuk pria harus berumur 19 tahun dan untuk wanita harus berumur 16 tahun.
m) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
n) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
o) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melangar hukum.
p) Perkawinan dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau istri.
Walaupun suatu perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum atau perkawinan dilakukan dengan penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri dapat dibatalkan namun apabila ancaman telah
berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri serta tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan,
maka haknya gugur (Pasal 72 ayat 3 KHI).20

Secara jelas tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan


perkawinan di dalam UU Perkawinan yaitu diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24. 21

20
Ibid, hlm. 101.
21
Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
15

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73.22 Pihak-pihak
tersebut antara lain:

a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
Misalnya bapak atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami
atau isteri.
b) Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari
suami atau isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama
dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan (Pasal 16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih
dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan
Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.
d) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.

2. Pencegahan Pembatalan Perkawinan


Dalam mencegah terjadi pembatalan perkawinan, maka hal yang dapat
dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti KUA adalah sebagai berikut:
a) Memeriksa kelengkapan administrasi pendaftaran dan melakukan
pemeriksaan status/kebenaran data pada berkas pendaftaran pada saat
pendaftaran dengan teliti dan sesuai dengan peraturan.
Orang yang mendaftar nikah ke KUA ialah wali dan calon mempelai
wanita. Supaya pihak KUA juga dapat langsung meneliti apakah benar calon
penganti wanita adalah anak kandung dari wali atau wali adalah wali yang
sah bagi calon mempelai wanita.
Adapun syarat administrasi yang harus diserahkan, sebagai berikut:23
1) Surat persetujuan calon mempelai.
2) Akta kelahiran/Surat keterangan asal usul.
3) Surat keterangan orang tua
4) Surat keterangan untuk nikah (Model N1)
5) Surat izin kawin bagi anggota TNI/POLRI.
6) Akta Cerai, bila janda/duda.
7) Surat kematian suami/isteri, bila janda/dudanya karena kematian salah
seorang.
8) Dispensasi dari pengadilan, bila belum cukup umur.
9) Dispensasi dari Camat, bila pernikahannya kurang 10 hari sejak
pengumuman.
10) Surat keterangan tidak mampu, bila mereka tidak mampu.

22
Lihat Kompilasi Hukum Islam.
23
Dirjen Bimas Islam Depag. RI, Pedoman Penghulu (Jakarta: Dirjen Bimas RI, 2008),
hlm. 37-38
16

11) Bagi warga asing: Paspor, Surat izin dari kedutaan dan surat status dari
negaranya.
Dalam hal pendaftaran nikah harus dilakukan oleh wali, calon mempelai
wanita, dan calon mempelai pria. Berkaitan dengan siapa yang harus
mendaftarkan nikah telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa orang yang mendaftar
nikah/orang yang memberitahukan kehendak nikah ke KUA/PPN adalah
calon mempelai, orang tua, atau wakilnya.24

b) Memasang pengumuman kehendak nikah


Sebelum kehendak nikah tersebut dipublikasikan melalui pengumuman,
pihak KUA sudah harus menyatakan bahwa perkawinan bisa dilanjutkan.
Apabila ada pihak lain yang menemukan keganjilan atau kesalahan di antara
kedua calonmempelai setelah mengetahui pengumuman tersebut dapat
langsung menghubungi KUA.
Memasang pengumuman kehendak nikah, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sebagai berikut:
“Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.”25
Maksud daripada pengumuman kehendak nikah adalah untuk memberi
kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-
keberatan bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apakah yang demikian
itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya
itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan
perundangundangan lainnya.
Mengenai pengumuman kehendak nikah tidak hanya diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tetapi dalam Pasal 13 Peraturan
Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 juga dijelaskan bahwa pengumuman
kehendak nikah harus dipasang selama 10 hari dan dilakukan di tempat
tertentu di KUA atau di tempat-tempat lain yang mudah diketahui oleh
umum di tempat tinggal masing-masing calon mempelai.26
c) Memeriksa kembali kebenaran pernyataan calon mempelai atau wali pada
saat pendaftaran sebelum proses akad nikah dilaksanakan.
Adapun cara yang digunakan adalah mengajukan pertanyaan dengan
mencocokkan dengan surat-surat dan syarat administratif lainnya, seperti

24
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
25
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
26
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5.
17

ijazah, KK, KTP, dan lain sebagainya. Menghadirkan kedua calon mempelai
pada saat akad nikah dan mengidentifikasi suara.

d) Mengumumkan kepada saksi bahwa calon pengangtin dapat segera


dinikahkan dan sebelumnya memberitahu saksi mengenai fungsi dan
tugasnya dalam proses akad nikah.
Sebelum akad nikah dilaksanakan, penghulu memberi pengarahan dan
penjelasan kepada seluruh hadirin yang dijadikan sebagai saksi bahwa
mereka bertugas mengawasi apakah rukun dan syarat perkawinan yang akan
dilaksanakan tersebut telah terpenuhi atau apakah terdapat halangan-
halangan perkawinan.
Adapun jumlah saksi adalah dua orang, dengan syarat-syarat tertentu,
di antaranya saksi harus laki-laki, muslim, minimal berusia 19 tahun, berakal,
merdeka, dan adil, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2)
Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007.27
Penghulu menjelaskan bahwa para saksi berhak menunda atau
membatalkan akad nikah jika mereka mengetahui ada rukun atau syarat yang
tidak terpenuhi atau terdapat penghalang perkawinan. Apabila saksi
menyatakan perkawinan tidak sah, maka penghulu (Kepala KUA) tidak akan
meresmikan perkawinan tersebut.
e) Memberitahu kepada seluruh hadirin mengenai syarat dan rukun nikah.
Memberitahu kepada seluruh hadirin mengenai syarat dan rukun nikah,
tidak lain supaya mereka juga dapat mengidentifikasi apakah benar kedua
calon mempelai adalah pasangan yang sah atau terdapat hal-hal yang menjadi
penghalang perkawinan atau tidak.
Sama halnya dengan memberitahu saksi mengenai fungsi dan tugasnya
dalam majelis perkawinan, memberitahu para hadirin sebagai saksi nikah
mengenai rukun dan syarat nikah merupakan salah satu upaya mengindari
terjadinya pembatalan perkawinan.
f) Melakukan penolakan nikah jika ditemukan penghalang nikah.
Berdasarkan data yang diperoleh pada saat pendaftaran nikah dan pada
saat pemeriksaan berbeda dan ditemukan penghalang nikah, maka KUA tidak
dapat melakukan pernikahan dan melakukan penolakan.
Misalnya dalam hal calon pengantin tidak cukup umur, sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa seseorang yang
hendak melangsungkan perkawinan harus berusia minimal 21 tahun.21
Apabila kurang dari itu harus mendapat dispensasi dari Pengadilan.
Mengenai penolakan nikah ini berdasarkan Bab X tentang Pencegahan
Perkawinan Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
“Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.”28
27
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5.
28
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
18

Selain itu, disebutkan juga dalam Bab VI tentang Penolakan Kehendak


Nikah Pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun
2007 bahwa apabila syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi atau terdapat
halangan menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan tidak dapat
dilasaksanakan. Kemudian penolakan perkawinan tersebut diberitahukan
kepada calon suami dan wali nikah disertai alasan-alasannya.
g) Menanyakan setuju tidaknya calon mempelai untuk menikah.
Di antara syarat perkawinan sesuai yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ialah bahwa perkawinan
harus berdasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Begitu pula yang
disebutkan dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007.
Oleh karena itu, pada saat pemeriksaan perkawinan penghulu juga
menanyakan mengenai setuju atau tidaknya calon mempelai untuk menikah.
Apabila kedua calon mempelai atau salah satunya tidak berkehendak untuk
menikah, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Ini menunjukkan
bahwa KUA memperhatikan dan melaksanakan aturan yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah pemeriksaan pada saat pemberitahuan kehendak menikah
(pendaftaran), dan KUA tdak menemukan adanya hal-hal yang menjadi
penghalang menikah, maka tugas KUA selanjutnya ialah mengumumkan
kehendak menikah tersebut dalam jangka waktu 10 hari sebelum pelaksanaan
akad nikah. Dalam pengumuman kehendak nikah disebutkan identitas calon
mempelai pria, calon mempelai wanita dan orang tua masing-masing, wali,
waktu pelaksanaan akad nikah, dan nama suami/isteri terdahulu.
Apabila selama 10 hari itu tidak ada pihak yang melapor adanya
penghalang perkawinan, maka KUA dapat melaksanakan akad nikah.
Sebelum pelaksanaan akad nikah, KUA memeriksa kembali hasil
pemeriksaan pada saat pendaftaran (cross check) dan masih memberi
kesempatan kepada semua yang hadir apabila terdapat keberatan-keberatan.
Ini adalah upaya-upaya KUA yang dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Dengan demikian, maka KUA dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
sesuai perundang-undangan, di antaranya mencatat setiap orang yang
melaporkan kehendak menikah, serta memeriksa kelengkapan administrasi
yang merupakan sarana dalam memeriksa status kedua calon mempelai
beserta wali, khususnya yang berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan,
yang kesemuanya tersebut dapat mencegah terjadinya pembatalan
pernikahan.
19

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Ta’aruf adalah proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik terhadap teman
atau orang asing. Pada konteks pernikahan, ta’aruf ialah proses perkenalan antara calon
pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Adapun macam-macam ta’aruf, yaitu:
Ta’aruf dengan bertukar biodata, Ta’aruf dengan mengirim utusan, Ta’aruf melalui dunia
maya. Ta’aruf dimaksudkan untuk menuju pernikahan islami, sehingga dilakukan
dengan tata cara yang sesuai syariat Islam. Tidak ada ketentuan pasti terkait dengan
waktu ta’aruf. Akan tetapi, ta’aruf diperuntukkan bagi seseorang yang serius ingin
menikah atau menjadikan pernikahan sebagai salah satu prioritas yang akan segera
dilaksanakan.

Peminangan atau khitbah merupakan awal sebelum menikah, sehingga kedua belah
pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan yang jelas. Pinangan
bukan suatu akad (transaksi) tetapi berupa lamaran atau permohonan untuk menikah.
Dasar hukum yang kuat tentang khitbah adalah mubah (boleh). Syarat–Syarat Khitbah,
meliputi: Syarat mustahsinah, dan syarat lazima. Selanjutnya, akibat hukum dari khitbah
sendiri, yaitu: Akibat Hukum Khitbah Dalam Pespektif Islam, dan Akibat Peminangan
Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan guna memperoleh keputusan


pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal. Hal ini dapat
ditempuh melalui KUA. Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan, seprerti karena diketemukan penyimpangan
terhadap syarat sahnya perkawinan. Pembahasan tentang pembatalan perkawinan telah
dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22,
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsung-kan perkawinan.” Sedangkan di dalam KHI diatur pada Pasal 70 hingga 76.

KUA biasanya mengambil langkah-langkah untuk mencegah pembatalan perkawinan,


yaitu: Memeriksa kelengkapan administrasi dan melakukan pemeriksaan kebenaran data
dengan teliti sesuai peraturan, memasang pengumuman kehendak nikah, memeriksa
kembali kebenaran pernyataan calon mempelai atau wali pada saat pendaftaran sebelum
proses akad nikah dilaksanakan, mengumumkan pada saksi bahwa calon pengantin dapat
segera dinikahkan dan sebelumnya memberitahu saksi mengenai fungsi dan tugasnya
dalam proses akad nikah, memberitahu kepada seluruh hadirin mengenai syarat dan rukun
nikah, melakukan penolakan nikah jika ditemukan penghalang nikah, dan menanyakan
setuju tidaknya calon mempelai untuk menikah.
20

DAFTAR PUSTAKA

Awang, A dan Imam Mahdie. (2018). “Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut
Hukum Islam Serta Un-dang-Undang Islam di Indonesia”.

Basyir, A. (2000). Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press.

Basyir, A. Hukum Perkawinan.

Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5.

Darussalam, A. Skripsi : “PEMINANGAN DALAM ISLAM (PERSPEKTIF HADIS NABI


SAW)”. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Dirjen Bimas Islam Depag. RI. (2008). Pedoman Penghulu. Jakarta: Dirjen Bimas RI.

Doi, R. (1996). Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: Grafindo Persada.

Hamdi, I. TA’ARUF DAN KHITBAH SEBELUM PERKAWINAN,


http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/Juris/article/view/
959. Diakses pada 28 Maret 2021.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

Kompilasi Hukum Islam.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.

Marvica. (2019). Skripsi: “PESAN TA’ARUF DALAM FILM AKU KAU DAN KUA
(ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUS-SURE)”. Jawa
Timur : IAIN Tulungangung.

Ria, W. (2018). Hukum Perdata Islam (Suatu Pengantar). Lampung: Anugerah Utama
Raharja.

Syarifuddin, A. (2006). Hukum perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


21

Yunus, M. (1956). Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I Hanafi Maliki
Hanbali. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.

BERITA ACARA PELAKSANAAN PRESENTASI KELOMPOK 3 TENTANG


“TA’ARUF, KHITBAH, PEMBATALAN PERKAWINAN DAN
PENCEGAHANNYA”

Hari/Tanggal : Selasa, 30 Maret 2021

Waktu : 16.10 s.d. 17.50 WIB

Tempat : Dalam Jaringan (Daring) via Whatsapp Group (WAG)

Judul : “Ta’aruf, Khitbah, Pembatalan Perkawinan dan Pencegahannya”

Pelaksana Diskusi

1. Feby Zahra Marwah (Penyaji) 1203050050


2. Haifa Nurul Shabira (Penyaji) 1203050056
3. Karin Kintani (Penyaji) 1203050068
4. Mochammad Luthfi Mubarak (Moderator, Penyaji) 1203050086
5. Muhamad Rafi Muharrom (Penyaji) 1203050092

Acara

1. Pembukaan
Moderator membuka diskusi dengan mempersilahkan penyaji untuk
mempresentasikan materi yang dibawakan.
2. Penyajian
Pembicara menyampaikan materi mengenai apa itu konsep dan dasar hukum ta’aruf,
khitbah, pembatalan perkawinan dan pencegahannya.
3. Tanya Jawab
Pertanyaan :
1) Indriani Agustina (1203050064)
22

Apa perbedaan antara fasakh dengan talak karena keduanya merupakan penyebab
terjadinya perceraian?

Jawaban oleh : Mochammad Luthfi Mubarak (1203050086)

Betul sekali tentang apa yang dijelaskan Indriani perihal apa itu fasakh.

Secara umum, perpisahan/perceraian antara suami-istri bisa terjadi karena dua


hal:

1) Fasakh
2) Talak

Namun terdapat beberapa hal yang membedakan antara fasakh dengan


talak/perceraian.

Dari segi definisi dan penyebab:

Pertama, talak merupakan berakhirnya pernikahan yang sah dengan ucapan


talak, baik secara sharik (jelas dan tegas) maupun kinayah (sindirian).

Kedua, fasakh ialah pembatalan akad nikah karena sebab aib yang diketahui
setelah akad, baik setelah hubungan badan maupun sebelumnya. (Contohnya:
keluarnya salah satu pasangan dari agama Islam, suami lemah syahwat, atau
tertutupnya kemaluan istri).

Syekh Abu Bakar ibn Muhammad Syatha dalam I’anatut Thalibin


mengurai empat perbedaan antara Fasakh dan Talak

Perbedaan Fasakh dan Talak:

1) Fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Dengan demikian, jika seseorang


menjatuhkan fasakh pernikahannya, kemudian memperbaharuinya,
kemudian menjatuhkan fasakhnya lagi, maka tidak haram baginya
menikahi kembali mantan istrinya walaupun telah tiga kali akad dan tiga
kali fasakh.
2) Beda halnya dengan talak. Jika seorang suami sudah menjatuhkan talak
tiga kepada istrinya, maka talaknya berstatus bain kubra. Dengan
23

demikian ia tidak boleh menikahi mantan istrinya kecuali mantan istri


sudah pernah menikah dengan laki-laki lain (muhallil).
3) Jika melakukan fasakh nikah sebelum hubungan badan, maka tidak ada
kewajiban apapun bagi suami yang menjatuhkan fasakh. Beda halnya
dengan talak. Jika ia mentalak istrinya sebelum hubungan badan, maka
suami yang menjatuhkan talak memiliki kewajiban membayar separuh
mahar.

4) Jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena tampaknya suatu aib


setelah hubungan badan, maka ada kewajiban baginya membayar mahar
mistil. Berbeda dengan talak. Jika ia menjatuhkan talak setelah hubungan
badan, maka suaminya berkewajiban membayar seluruh mahar musamma.
5) Jika seorang istri difasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada hak
nafkah untuknya. Berbeda halnya dengan talak.

Ditambahkan oleh Musthafa Al-Khin, suami yang melakukan fasakh juga


tidak berhak menarik kembali mahar

Pertanyaan :

2) Gildan Muslim Mutaqien (1203050055)


Perihal ta’aruf, zaman sekarang banyak orang malakukan “pacaran syar’i” dab
mereka menyebutnya bagian dari proses ta’aruf. Akan tetapi, bukankah chatting
mereka itu bisa disebut khalwat? Dan bagaimana tanggapannya?

Jawaban oleh : Muhamad Rafi Muharrom (1203050092)

Pacaran syar'i dalam Islam tidak ada karena baik dalam Al-Qur'an, hadits,
maupun perkataan ulama tidak ada yang mengatakan adanya aktivitas pacaran
sebelum menikah. Pacaran syar'i itu hanyalah tipu daya setan yang dari batil
diubahnya menjadi betul supaya biar mereka bisa membawa anak cucu adam agar
terjerumus ke dalam dunia yang penuh dengan maksiat (pacaran).

Kita boleh saja berinteraksi tapi dengan batasan-batasan yang sudah


ditetapkan dalam islam asalkan kita berinteraksi tersebut ada keperluan yang penting,
24

tapi jika tidak terlalu penting sebaiknya kita hindarkan agar terhindar dari fitnah dan
hasutan setan

Pertanyaan :

3) Matahari Ginay Arsy Adila Delima Puspitahati Yonagie (1203050082)

Dalam persoalan pihak yang dapat terlibat dalam mengajukan pembatalan


perkawinan dan dimana semisal dalam pernikahannya salah satu dari kedua calon
pasangan wali nikahnya yang lain (bukan bapak kandung). Apakah bapak
kandung dari suami/isteri yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai kepala
keluarga tetap dapat mendapatkan hak kewaliannya untuk bisa membatalkan
perkawinan?

Jawaban oleh : Feby Zahra Marwah (1203050050)

Tetap saja dapat dibatalkan oleh bapak kandungnya. Hal itu didasari karena
seorang bapak kandung memiliki hak yang melekat dan utama untuk menikahkan
anak kandungnya.

Hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk melangkahi restu dan/atau izin dari
bapak kandungnya tersebut sekalipun dianggap tidak pernah melaksanakan fungsinya
sebagai kepala keluarga. Kecuali, bapak kandungnya tersebut menolak pelaksanaan
perkawinan dengan alasan yang tidak masuk akal dan diperkuat dengan surat
pernyataan dari bapak kandungnya dibawah materai bahwa ia tidak bersedia menjadi
wali nikahnya, baru hak bapak kandung itu tidak memiliki kekuatan hukum, atau
dengan kata lain boleh digantikan oleh wali yang lain.

Pertanyaan :

4) Hervina Eka Angelina (1203050061)


Bagaimana hukumnya jika terdapat pasangan yang melangsungkan kawin siri,
padahal jelas jika kawin siri tidak tercatat oleh negara, apakah tidak ada UU yang
mengatur larangan kawin siri? Lalu apa saja larangan/kebolehan yang terdapat
dalam nikah siri?

Jawaban oleh : Haifa Nurul Shabira (1203050056)


25

Berkaitan dengan pernikahan siri bila dilihat dari hukum Islam, sah
tidaknya suatu pernikahan atau perkawinan tidak terletak pada dicatatkan atau
tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan, tetapi yang membuat sah tidaknya
suatu perkawinan terletak pada syarat-syarat dan rukunnya pernikahan atau
perkawinan. Tetapi bila kita meninjau dari hukum mengenai perkawinan , tentu saja
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”). Maka UU Perkawinan dan turunannya diperlukan
dalam menganalisis kasus perzinahan (overspel). Pada Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan disebutkan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku.

Jadi apabila terjadi nikah siri berarti ia melakukan zina/gendak (overspel)


meskipun telah menikah secara siri. Dalam kasus tersebut, nikah siri yang
dimaksudkan adalah nikah yang tidak dicatatkan. Dan sesuai dengan Pasal 143 RUU
tersebut menyebutkan 'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau
hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.'

Tambahan Jawaban oleh : Karin Kintani (1203050068)

Dalam kenyataannya, praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan


masyarakat tidak sepenuhnya mengacu kepada Undang Undang. Beberapa proses
perkawinan mengacu kepada lembaga masing-masing. Fakta ini harus diakui karena
pengakuan negara terhadap pluralisme hukum tidak bisa diabaikan.

Konsekuensinya pilihan hukum dalam bidang keluarga cenderung di serahkan


sebagai kewenangan pribadi. Sebagai contoh, kasus nikah sirih adalah pilihan hukum
yang didasarkan kepada konteks agama yang penekanan esensinyatidak sekedar
hubungan hukum saja, tapi lebih kepada faktorkonsekuensi pengamalan ibadah
kepada Allah. Dari sinilah kemudian kasus nikah siri atau nikah dibawah tangan
merebak menjadi fenomena tersendiri.
26

Lalu hal yang dapat terjadi dan tidak akan melanggar hukum dalam nikah siri
adalah:

a) Suami bebas untuk menikah lagi , karena pernikahannya dianggaptidak


pernah ada secara hukum.
b) Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberi nafkah
kepada isteri dan anak-anak.
c) Suami tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan, hak
nafkah istri maupun hak nafkah dan hak pendidikan anak ketika terjadi
perceraian.

Anda mungkin juga menyukai