Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERNIKAHAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : FIQIH MUNAKAHAT
Dosen pengampu : Dr. Nadhifah Attamimi, M.Si

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Siti Maryam Duila (210102003)
2. Sulistiawati (210102004)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala atas segala
rahmatnya sehingga makalah dapat tersusun sampai dengan selesai. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nadhifah Attamimi, M.Si Selaku dosen
mata kuliah Fiqih Munakahat. Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih Munakahat . Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi ksempurnaan makalah ini.

Ambon, 06 April 2022


Daftar isi
Judul.............................................................................................................................
Kata pengantar............................................................................................................
Daftar isi.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................
1.3 Tujuan....................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pernikahan dan Hukun sesuai syariah................................................
2.2 Rukun-rukun Pernikahan............................... .....................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................
3.2 Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan menurut ilmu fiqih, di sebut dengan istilah nikah yang mengandung
dua arti, yaitu (1) arti menurut bahasa adalah berkumpul atau besetubuh, dan (2) arti
menurut hukum adalah akad atau perjanjian dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan
pelaksanaannya merupakan ibadah sesuai dengna pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa Pengertian Pernikahan dan Hukun sesuai syariat
2. Apa saja Rukun-rukun Pernikahan

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Pernikahan
2. Mengetahui Rukun-rukun Pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian pernikahan dan Hukum sesuai Syariat


Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah an-nikah. 1 an-Nikah yang
bermakna al-wat’u dan addammu wa at-tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-
dammu wa al-jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 2 Bahkan
perkawinan dalam literature fiqh disebut dengan dua kata nikah} dan zawaj. 3Kedua kata
ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan banyak terdapat dalam al-Qur’an
maupun hadis Rasulullah Muhammad saw. Sebagai contoh, kata na –ka – ha ( ‫ ) نكح‬dalam
al-Qur’an yang berarti kawin sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 3
:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب ۚ َع فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َوا ِح َدةً اَوْ َما‬ َ ‫ط‬َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما‬
‫ك اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
َ ِ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫َملَ َك‬
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."
QS. An-Nisa'[4]:3

Demikian juga kata zawaj dalam al-Qur’an yang berarti kawin sebagaimana terdapat
dalam QS. al-Ahzab ayat 37 : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ َ‫اج اَ ْد ِعيَ ۤا ِٕى ِه ْم اِ َذا ق‬
......‫ضوْ ا ِم ْنه َُّن َوطَر ًۗا‬ ۗ
ِ ‫ضى زَ ْي ٌد ِّم ْنهَا َوطَرًا زَ َّوجْ ٰن َكهَا لِ َك ْي اَل يَ ُكوْ نَ َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َح َر ٌج فِ ْٓي اَ ْز َو‬ ٰ َ‫فَلَ َّما ق‬
‫َو َكانَ اَ ْم ُر هّٰللا ِ َم ْفعُوْ اًل‬
1

11
.Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-
Qur’an, 1973), h. 468
".......Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi."
QS. Al-Ahzab[33]:37
Dalam pengertian majaz, nikah di istilahkan dengan akad, dimana akad
merupakan sebaga diperbolehkannya bersenggama.4 Karena nikah adalah akad, maka
pernikahan didefinisikan sebagai suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan (
‫ ) غليظا ميثاقا‬untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5
Dengan kata lain nikah (kawin) menurut arti asli adalah hubungan seksual sedangkan
menurut arti majazi atau arti hukum, nikah (kawin) adalah akad atau perjanjian yang
menjadikan halal hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri.6
Adapun istilah akad nikah diartikan sebagai perjanjian suci untuk mengikatkan
diri dalam perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita guna membentuk
keluarga bahagia dan kekal. Suci di sini berarti mempunyai unsure agama atau Ketuhanan
yang Maha Esa.7 Oleh karena itu makna berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa yang
dimaksud bahwa perkawinan tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai karunia tuhan
kepada manusia sebagai makhluk yang beradab, karena itu perkawinan dilakukan secara
beradab sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan tuhan kepada manusia.8
Dengan demikian, perkawinan adalah akad/perjanjian yang menghalalkan pergaulan,
membatasi hak dan kewajiban, serta sikap tolong menolong antara seorang pria dan
seorang wanita yang keduanya bukan muhrim. 9 Sehingga terbentuklah fungsi masing-
masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin, 10 serta terjadi pertalian yang
sah antara seorang pria dan seorang wanita dalam waktu yang lama.11
2

2
Amiur Nuruddin dan Azhar : Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media,2004), h. 38
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakat dan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 35
24
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (t.t : Dar alFikr, t.th), Juz. IV, h. 2
5
Lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
6
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), h. 1
7
Ibid.
8
Achmad Samsudin dalam Yani Trizakin, Latar Belakang dan Dampak perceraian, (Semarang : UNS, 2005), h, 74
9
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Inter Masa, 1996), h. 23
10
Achmad Samsudin, op.cit., h. 74
11
Subekti, op.cit., h. 23
Sementara makna nikah (kawin) dalam perspektif sosiologis bahwa perkawinan
merupakan suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan
kehilangan yang terjadi antara sepasang suami istri. Oleh karena perkawinan merupakan
proses integrasi dua individu yang memiliki latar belakang sosial budaya, serta keinginan
dan kebutuhan yang berbeda, maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus
senantiasa dirundingkan dan disepakati bersama.12 Sehingga dalam konteks sosiologis,
bahwa perkawinan tidak akan terjadi apabila tidak ada kesepakatan bersama, yakni untuk
bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga.
Selanjutnya mengenai pengertian perkawinan / pernikahan kiranya dapat
dikemukakan beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
guna membentuk keluarga yang kekal, santun – menyantuni, kasih – mengasihi,
tentram dan bahagia.13
2. Menurut Hazairin, perkawinan adalah hubungan seksual, sehingga tidak ada
perkawinan (nikah) bilaman tidak ada seksual, sebagai contoh apabila tidak ada
hubungan seksual antara sumai istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu
(iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.14
3. Menurut Mahmud Yunus, perkawinan (nikah) adalah hubungan seksual (setubuh),
dimana beliau mendasarkan pendapatnya itu kepada hadis Rasulullah yang berbunyi :
Allah mengutuk orang yang menikah (setubuh) dengan tangannya.15
4. Menurut Ibrahim Husen, perkawinan (nikah) berarti akad dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita.16
5. Menurut Imam Syafii, nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan menurut arti majazi
(mathaporic) nikah artinya hubungan seksual.17
6. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalaph ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa. Pertimbangannya adalah pancasila sila pertamanya, yakni
ketuhanan yang maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
3

Berdasarkan pengertian di atas, kiranya dapat dipahami hal-hal18 sebagai berikut;


 Pertama, digunakannya kata-kata seorang pria dengan seorang wanita
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang
berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang saat ini telah di
legalkan oleh beberapa Negara Barat.
 Kedua, digunakannya kata sebagai suami istri, mengandung arti bahwa
perkawinan adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga.
 Ketiga, disebutkan ungkapan, membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal, ini artinya bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal.
 Keempat, di sebutkannya berdasarkan ketuhanan yang maha esa, ini
menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam merupakan peristiwa agama dan
dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
Selain definisi-definisi tersebut di atas, kompilasi hukum Islam di Indonesia
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi Undang-undang
tersebut, namun bersifat menambah penyelesaian, yaitu bahwa perkawinan menurut
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.19 Ungkapan akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan, merupakan penjelasan dari ungkapan,
ikatan lahir batin, yang terdapat dalam rumusan undang-undang yang mengandung
arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata-mata perjanjian yang bersifat
keperdataan.20
Demikian juga ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan berdasarkan ketuhanan yang
Maha Esa dalam undang-undan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan dalam
Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu bagi orang yang
melaksanakannya telah melakuan perbuatan ibadah.21

312
T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta : Yayasan Obor, 2004), h. 137
13
Moh. Idris Ramulyo, op.cit., h. 2
14
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta : Tintamas, 1964), 61
15
Baca kembali Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta : Al-Hidayah, 1964)
16
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta : Yayasan Al-Ihya, 1971), h. 65
17
Moh. Idris Ramulyo, op.cit., h. 2
4

Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu perbuatan ibadah, perempuan


yang sudah menjadi istri pun merupakan amanah Allah yang harus di jaga dan
diperlakukan secara baik, bahkan perkawinan juga merupakan sunnah Allah dan
sunnah Rasulullah.22
Perkawinan sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat
sebagai berikut :
 Pertama, Allah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan, hal
ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Ad-dzariyat ayat 49:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء خَ لَ ْقنَا زَ وْ َج ْي ِن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah). " QS. Az-Zariyat[51]:49
 Kedua, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam an-Najm ayat 45 :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫الذ َك َر َوااْل ُ ْن ٰثى‬
َّ ‫ق ال َّزوْ َج ْي ِن‬
َ َ‫َواَنَّهٗ خَ ل‬
"dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan
perempuan," QS. An-Najm[53]:45
 Ketiga, Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling
melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1 :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ث ِم ْنهُ َم•ا ِر َج• ااًل َكثِ ْي•رًا َّونِ َس• ۤا ۚ ًء‬
َّ َ‫ق ِم ْنهَ•ا زَ وْ َجهَ•ا َوب‬ َ َ‫س وَّا ِح َد ٍة َّو َخل‬ ٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْ ا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
‫َواتَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذيْ تَ َس ۤا َءلُوْ نَ بِ ٖه َوااْل َرْ َحا َم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya
(Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
418
Amir Syarifuddin, op.cit., h. 40
19
Lihat Pasal 2 Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
20
Amir Syarifuddin, Loc.Cit.
21
Ibid., h. 41
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." QS. An-Nisa'[4]:1
5

Sedangkan perkawinan merupakan sunnah Rasulullah Muhammad


saw, berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya
sendiri dan untuk umatnya. Bahkan ketika ada seseorang yang memberatkan
dirinya untuk terus beribadah kepada Allah swt sehingga meninggalkan
ibiadah nikah di dalamnya, maka Rasul pun mengingatkan mereka,
sebagaimana hadis Rasulullah saw: yang artinya
“Kalian yang mengatakan begini dan begitu, maka demi Allah ketahuilah
bahwa aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa
dibandingkan kalian, aku berpuasa juga berbuka, aku shalat juga beristirahat,
aku pun menikahi wanita, maka bagi siapa yang membenci ajaranku maka ia
bukan golonganku.” (HR. Al-Bukhari) 23
B. Hukum dilakukannya Perkawinan
Perkawinan merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan, sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum asal perkawinan adalah boleh atau mubah.24 Akan tetapi dengan melihat
perkawinan sebagai sunnah Rasul, tentunya tidak mungkin dapat di katakana bahwa
hukum asal perkawinan itu hanya sebatas mubah, bahkan dapat dikatakan bahwa
melangsungkan perkawinan itu sangat di perintahkan oleh agama, sebab dengan telah
berlangsungnya akad perkawinan, maka pergaulan antara laki-laki dengan perempuan
menjadi boleh (halal), yakni sebagai pasangan suami istri.25
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun hukum perkawinan itu
asalnya mubah}, namun dalam perkembangannya dapat berubah berdasarkan ah}kam
alkhamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan,26 yakni di antaranya :
1. Nikah wajib, yaitu nikah yang diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah takwa, selain itu nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu yang akan
menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perubatan haram. Kewajiban ini tentunya
tidak akan terlaksana kecuali dengan menikah.
2. Nikah haram, yaitu nikah yang diharamkan bagi orang yang mengetahui bahwa
dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, baik lahir seperti memberi

522 ibid
nafakh, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain, maupun kewajiban batin seperti
menggauli (mencampuri) istri. 6

3. Nikah sunnah, yaitu nikah yang di sunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya (nafsunya) dari perbuatan haram.
Dalam hal seperti ini, maka nikah lebih baik dibanding membujang, sebab
membujang tidak diajarkan dalam islam.
4. Nikah mubah, yaitu nikah bagi orang-orang yang tidak berhalangan untuk menikah
dan dorongan untuk menikah juga belum membahayakan dirinya, sehingg ia belum
wajib menikah dan tidak haram apabila tidak menikah.

Lebih lanjut Maz]hab Malikiyyah, Syafiiyah dan Hanbilah menjelaskan bahwa


hukum perkawinan (menikah) berbeda-beda tergantung keadaan seseorang.
 Pertama, manikah hukumnya wajib, yakni bagi mereka yang sudah siap dan
mampu baik lahir maupun batin, sehingga apabila tidak menikah ia akan
terjerumus kepada perbuatan zina.
 Kedua, menikah hukumnya sunnah, yakni bagi mereka yang syawatnya sudah
menggebu tetapi ia masih dapat menjaga atau mengendalikan dirinya
(Nafsunya) dari perbuatan zina.
 Ketiga, menikah hukumnya makruh, yakni bagi mereka yang kondisinya
belum siap, baik lahir maupun batin, tetapi tidak sampai menimbulkan
madharat bagi mereka apabila menikah, oleh karenanya dalam kondisi seperti
ini sebaiknya tidak menikah terlebih dahulu.
 Keempat, menikah hukumnya haram, yakni bagi mereka yang belum siap
menikah, baik lahir maupun batin, sehingga apabila dipaksakan menikah dapat
menimbulkan madharat, atau menikah dengan maksud jahat, dimana dengan
nikahnya ingin menyakiti istri dan keluarganya atau ingin balas dendam, dan
lain sebagainya.

623
Muhammad bin Isma'il Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami' as}-S{ah}ih} al-Mukhtas}ar, (Beirut: Dar Ibn Kas\ir,
1987), Juz. 5, h. 1949
24
Amir Syarifuddin, op.cit., h. 43
25
Ibid.
26
H.A.S. Al-Hamdani, op.cit., h. 8
Oleh karena itu berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa hukum menikah
pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh tergantung pada
keadaan maslahat dan manfaatnya.

2.2 Rukun-rukun Pernikahan


Rukun Perkawinan Rukun adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan (ibadah) itu, misalnya membasuh muka dalam wudhu dan takbiratul ihrom
dalam shalat.27
Contoh lain, adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, dan lain
sebagainya. Semua itu merupakan sesuatu (rukun) yang harus ada dalam suatu pekerjaan
(ibadah). Oleh karenanya apabila sesuatu (rukun) itu tidak ada, maka tidak sah pekerjaan
(ibadah) itu.
Menurut jumhur ulama bahwa rukun adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksana hakekat, baik yang merupakan bagaimana maupun di luar itu. Sementara syarat
adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk bagianhakikat. 28 Mengenai rukun
perkawinan terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Menurut Jumhur ulama,29 bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab Kabul
(shighat), calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan dan wali.
2. Menurut al-Zubaili,30 bahwa dari sekian rukun nikah yang ada, hanya ada dua rukun
perkawinan yang di sepakati ulama Fikih, yaitu ijab dan Kabul, sedangkan sisanya
hanyalah merupakan syarat perkawinan.
3. Menurut al-Girnati al-Maliki,31 bahwa rukun perkawinan shighat (ijab dan Kabul).
4. Menurut an-Nawawi,32 bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab dan Kabul
(shighat), calon mempelai laki-laki dan perempuan, saksi dan dua orang saksi.
5. Menurut al-Shirazi,33 bahwa rukun perkawinan tidak disebutkan secara tegas, beliau
hanya menyebutkan sejumlah hal yang harus dipenuhi untuk sahnya perkawinan,
yaitu harus ada wali, harus ada saksi, harus ada calon mempelai dan harus ada akad.
6. Menurut Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, 34 bahwa rukun perkawinan ada lima,
yakni istri, suami, wali, dua orang saksi dan akad (shighat). 7

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah an-nikah. an-Nikah yang
bermakna al-wat’u dan addammu wa at-tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-
dammu wa al-jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Bahkan
perkawinan dalam literature fiqh disebut dengan dua kata nikah} dan zawaj.Kedua kata
ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan banyak terdapat dalam al-Qur’an
maupun hadis Rasulullah Muhammad saw. Sebagai contoh, kata na –ka – ha ( ‫ ) نكح‬dalam
al-Qur’an yang berarti kawin sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 3
:
Menurut jumhur ulama bahwa rukun adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksana hakekat, baik yang merupakan bagaimana maupun di luar itu. Sementara syarat
adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk bagianhakikat. Mengenai rukun
perkawinan terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Menurut Jumhur ulama, bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab Kabul
(shighat), calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan dan wali.
2. Menurut al-Zubaili, bahwa dari sekian rukun nikah yang ada, hanya ada dua rukun
perkawinan yang di sepakati ulama Fikih, yaitu ijab dan Kabul, sedangkan sisanya
hanyalah merupakan syarat perkawinan.
727
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Juz I, h. 9; Lihat juga Abd. Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 45-46
28
Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damskus: Dear AlFikr, 1980), VII, h. 36
29
Ibid., h. 36-37
30
Ibid.
31
Muhammad Ibnu Ahmad Ibn Juzaiy al-Maliki, Qawanin al-Ah}kam asySyar’iyyah, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al
Malayin, 1974), h. 219
32
Abi Zakaria Yahya al-Nawawi al-Dimasyqi, Rawd}ah at}-T}alibin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1412/1992), V, h. 382-400
33
Abi Ishaq Ibrahim al-Fairuzabadi al-Syirazi, al-Muhaz\z\ab fi Fiqh alImam al-Syafi’i, (Semarang : Toha Putra,
t.t.) II, h. 35-41
34
Zainuddin bin al-Aziz al-Malibari, Fath} al-Mu'in bin Syarh} Qurrah al-‘Ain, (Cirebon: al-Maktabah al- Misriyah,
t.t.) h. 99
3. Menurut al-Girnati al-Maliki, bahwa rukun perkawinan shighat (ijab dan Kabul).
4. Menurut an-Nawawi, bahwa rukun perkawinan ada empat, yakni ijab dan Kabul
(shighat), calon mempelai laki-laki dan perempuan, saksi dan dua orang saksi.
5. Menurut al-Shirazi, bahwa rukun perkawinan tidak disebutkan secara tegas, beliau
hanya menyebutkan sejumlah hal yang harus dipenuhi untuk sahnya perkawinan,
yaitu harus ada wali, harus ada saksi, harus ada calon mempelai dan harus ada akad.
6. Menurut Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, bahwa rukun perkawinan ada lima,
yakni istri, suami, wali, dua orang saksi dan akad (shighat).
3.2 Saran
Kami penulis berharap dengan makalah ini pembaca dapat mengetahui mahar serta hak
dan kewajiban suami istri. Kami penulis masih kekurang akan ilmu maka kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan.

Daftar Pustaka
H. A. Kumedi Ja’far, 2021. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Sukabumi : Arjasa
Pratama

Anda mungkin juga menyukai