Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Mata Kuliah : Fiqh Nikah dan Waris

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Lutfiyah, M. S. I

Disusun Oleh :

Siti Robiul Awalia 2103016008


Yusron Nur Hadi 2103016009
Zidni Elma Nafia 2103016010

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadiratan-Nya, yang melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafaatnya diakhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Fiqih Nikah dan Waris, dengan judul
“Rukun dan Syarat Pernikahan”.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Baik dari segi susunan kalimatnya maupun tata bahasanya sehingga
penyampian informasi yang tidak sama dengan pengetahuan pembaca. Oleh karena itu kami
sangat berharap saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini memberi manfaat ataupun inspirasi pada pembaca.

Semarang, 19 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1

A. Latar Belakang .......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................1

C. Tujuan ....................................................................................................................2

D. Landasan Hukum ...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................4

A. Pengertian Rukun, Syarat, dan Sah ........................................................................4

B. Rukun Nikah...........................................................................................................4

C. Syarat Sah Pernikahan............................................................................................5

BAB III PENUTUP ........................................................................................................12

A. Kesimpulan ...........................................................................................................12

B. Saran .....................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai umat Islam yang beriman & bertaqwa sudah seyogyanya kita tidak akan
terlepas dari Hukum Syariat Islam, baik itu yang menyangkut hubungan kita dengan
Allah SWT (Ubudiyah), maupun hubungan kita dengan manusia (Muamalah). Suatu
hukum ini wajib dipatuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik itu laki-
laki ataupun perempuan, tidak ada perbedaan derajat di mata Allah SWT, tetapi yang
membedakan hanya ketaqwaan kita disisi-Nya.

Salah satu dari Syari`at -Syari`at Islam adalah tentang Munakahat (Pernikahan), hal
ini sudah diatur dalam hukum Islam, baik dalam Al-Qur`an, Al-Hadits, maupun Ijtihad
para Ulama` yang terkandung di dalam Kitab-Kitab Klasik. Indonesia sendiri juga telah
mengatur adanya Pernikahan dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Pernikahan merupakan suatu Peristiwa yang sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang memberlangsungkan Pernikahan,
dimana Pernikahan ini dapat mencegah perbuatan yang melanggar norma-norma Agama
& Asusila serta menghindarkan kita dari Perbuatan Zina.

Tentunya di dalam suatu Perkara yang berkaitan dengan Syari`at Islam, terdapat
beberapa Rukun & Syarat tersendiri dalam menjalankan Syari`at tersebut. Lebih-lebih
lagi di dalam pernikahan, Kedua mempelai harus memenuhi apa yang menjadi rukun &
Syarat Sah dari Pernikahan itu sendiri, baik itu dari segi sighat Ijab & Kabul, Saksi, Wali
Nikah, Calon Suami, Calon Istri.

Terpenuhinya suatu Syarat & rukun dalam pernikahan sangat memengaruhi dari hasil
akad yang dilalui. Karena dengan adanya dua komponen penting dalam suatu pernikahan,
mengakibatkan diakuinya keabsahan dari suatu pernikahan tersebut baik dari segi Agama
maupun dari Sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.1 Namun
apabila salah satu Syarat Rukun tersebut tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan tidak
sahnya suatu Akad Perkawinan menurut Fikih Munakahat ataupun Hukum Islam. Dari

1
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenanda Media Group,
2019), hlm. 20

1
latar belakang tersebut, maka perlu kita mengkaji lebih lanjut dari Rukun & Syarat dari
Pernikahan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, dapat penulis rumuskan


masalah yang akan diteliti diantaranya sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Rukun & Syarat Sah dalam Pernikahan
2. Apa Saja Rukun dalam Pernikahan?
3. Apa Saja yang menjadi Syarat Sah Pernikahan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Untuk mengetahui Pengertian Rukun & Syarat Sah dalam pernikahan
2. Untuk mengetahui Rukun dalam Pernikahan
3. Untuk mengetahui Syarat Sah Pernikahan

D. Landasan Hukum
a. Al-Qur`an

)141 : )4( ‫َولَ ْن يَجْ َع َل هللاُ لِ ْل َكفِ ِر ْينَ َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َسبِ ْياًل (النساء‬
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisa` (4) :141)

ُ ‫ص َرى َأوْ لِيَا َء بَ ْع‬


ٍ ‫ضهُ ْم اَوْ لِيَا ُء بَع‬
...‫ْض‬ َ َّ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ ا اَل تَتَّ ِخ ُذوْ ْاليَهُوْ َد َوالن‬
)51 : )5( ‫(المائدة‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi
dan Nashrani menjadi wali sebagian untuk sebagian yang lain”. (Q.S. Al-
Maidah (5) : 51)

)234 : )2( ‫ (البقرة‬... َ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَ َع ْلن‬


َ ‫فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجن‬
“Dan Apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat kepada istri mereka...”. (Q.S. Al-Baqarah
(2) : 234)
b. Al-Hadits

2
ِ‫ِإتَّقُوْ ا هللاَ فِي النِّ َسا ِء فَِإنَّ ُك ْم َأ َخ ْذ تُ ُموْ هُ َّن بَِأ َمانَ ِة هللاِ َوا ْستَحْ لَ ْلتُ ْم فُرُوْ َجه َُّن بِ َكلِ َم ْة هلل‬
)‫(رواه مسلم‬
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil
mereka dengan kepercayaan Allah SWT, dan kamu halalkan kehormatan
mereka dengan kalimat Allah”. (H.R. Muslim)

ِ َ‫ت بِ َغي ِْر ِإ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا ب‬


)‫اط (أخرجه األربعة إال النسائي‬ ْ ‫َأ ْينَ َما ا ْم َرَأةُ نَ َك َح‬
“Barang Siapa di antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka
pernikahannya batal”. (H. R. Empat orang Ahli Hadits, Kecuali Nasa`i).

)‫اَل تُز َِّو ُج ْال َمرْ َأةُ ْال َمرْ َأةَ َواَل تُز َِّو ُج ْال َمرْ َأةُ نَ ْف َسهَا (رواه ابن ماجة والدارقطنى‬
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula
seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu Madjah dan
Daruqutni)
c. Ijma` Ulama`(Kitab-Kitab Klasik)

‫َض˜ َّمنَهُ قَ ُولُ˜هُ (ِإاَّل اَنَّهُ اَل يَ ْفتَقِ˜ ُر نِ َك˜ا ُح ال ِّذ ِّميَّ ِة ِإلَى‬
َ ‫ف ِم ْن َذلِكَ َم˜ا ت‬ َ ‫َوا ْست َْثنَى ال ُم‬
˜ُ ِّ‫صن‬
‫ا‬66‫ل فيم‬66‫ فص‬: ‫ِإ ْساَل ِم ْال َولِ ِّي َواَل يَ ْفتَقِ ُر نِ َكا ُح االَ َم ِة ِإلَى َعدَالَةُ ال َّسيِّ ِد) {فتح القريب‬
}‫ال يصح النكاح‬
“Mushonnif (Syaikh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Qasim Syafi`i)
menjelaskan tentang wali yang tidak harus memenuhi Syarat-Syarat tersebut
diatas, antara lain sebagai berikut : 1) Wali Perempuan (Pengantin Perempu-
an) kafir dzimmi, tidak harus muslim. 2) Wali budak wanita (yakni
majikannya) itu, tidak harus adil, berarti boleh (walau) Fasiq. (Fathul
Qoribul Mujib, Fashl : Syarat Nikah).2

2
Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Qasim Syafi`i, Fathul Qorib Mujib. (Semarang : Penerbit Nurul
Iman : 2000), hlm. 44.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rukun, Syarat, dan Sah


Rukun dan syarat merupakan suatu perbuatan hukum, terutama menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dengan hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu
adalah sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak
merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat
yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri
sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam pernikahan.3
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu
seperti menutup aurat untuk sholat, atau menurut Islam, calon pengantin
laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam. Sedangkan sah yaitu suatu pekerjaan
(ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.4
B. Rukun Nikah

Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:

a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan


b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang
akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi:

ِ َ‫˜ر اِ ْذ ِن َولِيّهَ˜˜ا فَنِ َكا ُحهَ˜˜ا ب‬


‫اط˜ ٌل (اخرج˜˜ه االربع˜˜ة اال‬ ْ ‫اَيُّ َم˜˜ا ا ْم˜ َرأ ٍة نِ َك َح‬
ِ ˜‫ت بِ َغ ْي‬
)‫للنسائ‬

3
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. Ke-1, juz 1, hlm.9.
4
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, hlm.36.

4
Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal.

Dalam hadis lain Nabi bersabda:

)‫ج ْال َمرْ َأةُ نَ ْف َسهَا (رواه ابن ماجه ولدارقتنى‬ ِّ ُ‫ج ْال َمرْ َأةَ َوالَ ت‬
ِ ‫زَو‬ ِ ‫الَ تُزَ َّو‬
Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan
janganlah perempuan menikahkan dirinya sendiri.
c. Adanya dua orang saksi

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan
akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi:

)‫اح اِالَّ بِ َولِ ِّى َو َشا ِهدَى َع ْد ٍل (رواه احمد‬


َ ‫الَ نِ َك‬
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.5
C. Syarat Sah Nikah
1. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan rnikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab
dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya “Saya kawinkan anak saya yang
bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Qabul adalah
penerimaan dari pihak suami ucapannya Saya terima nikah dan kawinnya anak
bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an.6
Dalam Hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad
perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Ia
dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam Al-Qur’an dengan
ungkapan ‫ ميثاق̃ا غليظا‬yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh dua
orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu
berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah.

5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-4, hlm.46.
6
Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Kajian Fiqh Nikah Lengkap), (Depok : Raja Grafindo Persada, 2018), Cet.
Ke-5, hlm. 81

5
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun pernikahan.
Untuk sahnya suatu akad perkawinan diisyaratkan beberapa syarat. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akad nikah harus diucapkan secara lisan, kecuali bagi yang tidak dapat
mengucapkan secara lisan, boleh dengan tulisan atau tanda-tanda isyarat
tertentu.
b. Akad nikah harus dilakukan dalam satu majelis dimana keduanya sama-
sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga
didalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan kabul tanpa ada jeda
dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.
c. Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi kata-kata lain atau perbuatan-
perbuatan lain yang dapat dipandang mempunyai maksud mengalihkan
akad yang sedang dilangsungkan.
d. Ijab qabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat, disandarkan pada
waktu yang akan datang, atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
e. Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan dan
isyarat-isyarat yang diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak
di waktu akad nikah.
f. Menggunakan kata yang musytaq (terambil) dari lafaz zawwajtuka atau
ankahtuka (menikahkan). Tidak sah hukumnya menggunakan lafaz selain
lafaz yang terambil dari kedua lafaz tersebut, seperti lafaz “tamlik”
(memberikan kepemilikan), “hibah” (menghadiahkan/memberikan), “al-
bay’u” (menjual) dan lain sebagainya.
Selain syarat-syarat diatas, ada beberapa syarat lain berkaitan dengan akad
nikah, yaitu:
1. Tidak boleh dilakukan secara terpaksa.
2. Harus diucapkan oleh seorang laki-laki. Akad nikah tidak boleh diucapkan
perempuan karena tidak mempunyai hak perwalian.
3. Harus mahram.
4. Baligh. Akad nikah tidak sah diucapkan anak-anak karena tidak
mempunyai hak perwalian.
5. Berakal. Akad nikah tidak sah diucapkan oleh orang gila karena tidak
mempunyai hak perwalian.

6
6. Harus adil, orang fasiq tidak sah mengucapkan akad nikah karena tidak
mempunyai hak perwalian (wilayah).
7. Bukan mahjur alaih (orang yang dilarang mengelola harta) karena safih
(orang yang akalnya tidak sempurna/cacat) karena tidak mempunyai hak
perwalian (wilayah)
8. Tidak boleh mempunyai cacat pengelihatan.
9. Tidak boleh diucapkan oleh orang yang melanggar aturan agama karena
mempunyai hak perwalian (wilayah).
10. Bukan budak, karena tidak memiliki hak perwalian (wilayah).
2. Syarat yang berkaitan dengan suami
Secara umum Syaikh Nawawi menjelaskan tentang syarat suami istri yang
akan menikah, yaitu keduanya harus orang merdeka (bukan budak), balig, berakal,
dan mampu bertasarruf (melakukan aktivitas akad/ikatan). Berdasarkan syarat ini,
pernikahan seseorang yang tergolong kategori berikut hukumnya tidak sah, yaitu:
a. Seoranng budak tanpa izin orang tuanya
b. Anak kecil (sabi’)
c. Orang gila
d. Safih (orang yang akalnya tidak sempurna sehingga tidak mampu
melangsungkan akad) tanpa izin wali.

Adapun al-Jaziri menjelaskan syarat masing-masing suami istri lebih detail.


Menurut al-Jaziri, syarat suami agar pernikahannya sah yaitu:

1. Suami bukan mahram perempuan (istri)


2. Sesuai keinginan sendiri (tidak terpaksa)
3. Suami harus jelas dan tertentu (tidak sah menikahi laki-laki yang diketahui
keberadaan dan kejelasannya)
4. Harus tahu tentang kehalalan perempuan.
3. Syarat yang berkaitan dengan istri
1. Istri bukan mahram laki-laki (suami)
2. Harus jelas dan tertentu
3. Tidak ada penghalang pernikahan.
4. Bukan salah satu dari dua perempuan yang haram dinikahi sekaligus, yaitu
saudari istri, atau ponaka atau bibi istri

7
5. Bukan perempuan yang telah menikah atau beriddah.7
4. Wali dalam pernikahan
a. Pengertian wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang
karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama
orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lainitu
adalah karena orang lain itu memiliki sesuatu kekurangan pada dirinya yang
tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan
bertindak atas urusan harta ataupun dirinya.
b. Kedudukan wali dalam pernikahan
Keberadaan seorang wali dalam nikah adalah suatu yang mesti dan
tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Dalam akad
perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan
ulama sepakat dalam mendudukkan sebagai rukun atau syarat dalam akad
pernikahan. Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat
melakukan akad dengan sendirinya dan oleh karenannya akad tersebut
dilakukan oleh walinya. Namun terhadap perempuan yang telah dewasa bai
kia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Beda pendapat
itu disebabkan oleh karena tidak adanya dalil yang pasti yang dapat dijadikan
rujukan. Diantara ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali dalam
QS. An-Nur (24) ayat 32:

‫وَأ ْن ِكحُوا اَأليَا َمى ِم ْن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوِإ َماِئ ُك ْم ِإ ْن يَ ُكونُوافُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم‬
‫هللاُ ِم ْن فَضْ لِه‬

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-


orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba sahayamu yang laki-laki dan

7
Holilur Rohman, Hukum Perkawinan Islam Menurut empat Madzhab, (Jakarta: Kencana, 2021), hlm.24.

8
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya.”
Di samping itu, terdapat pula ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan
pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali,
diantaranya terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 232:

‫ضلُوهُ َّن َأ ْن يَ ْن ِكحْ نَ َأ ْز َوا َجه َُّن‬


ُ ‫َوِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَبَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَالَ تَ ْع‬

“Bila kamu menalak istri-istrimu dan habis masa iddahnya, maka


jangan lah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suami
mereka.”
c. Orang-orang yang berhak menjadi wali
Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga kelompok:
1. Wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan
yang akan kawin.
2. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas
hamba sahaya yang dimerdekakannya.
3. Wali hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai
hakim dan penguasa.
d. Syarat-syarat wali
orang-orang berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak
berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad.
b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk
musim
d. Orang merdeka
e. Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasannya ialah
bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidakdapat berbuat
hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu
Tindakan hukum.

9
f. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena keteuannya
tidak boleh menjadi wali, karena dikhaatirkan tidak mendatangkan
maslahat dalam perkawinan tersebut
g. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
terlibat dalam dosa kecil serta tetap memelihara muru’ahatau sopan santun.
h. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.8
5. Saksi
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah sebagai berikut:
a. Muslim, orang yang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi. Kedua saksi itu
hatuslah beragama Islam, bila salah satunya kafir atau dua-duanya maka akad
itu tidak sah.
b. Mukallaf atau baligh. Maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi
atau belum baligh tidak sah menjadi saksi.
c. Berakal sehat, dengan demikian seseorang yang kurang waras atau idiot atau
gila tidak sah bila menjadi saksi sebuah pernikahan.
d. Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan
pada waktu akad nikah dilaksanakan. Orang-orang bisu dan tuli boleh juga
diangkat menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang berakad.
e. Adil, yaitu orang yang taat beragama yang menjalankan perintah Allah dan
meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
f. Saksi yang hadir minimal dua orang. Saksi itu harus laki-laki. Maka kesekian
wanita dalam pernikahan tidak sah meski dua wanita untuk penguat, khusus
dalam persaksian pernikahan kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian
tidak bisa digantikan dengan dua orang wanita.9
6. Mahar (mas kawin)
Seandainya ada pasangan suami istri yang saat menikah sepakat untuk tidak
membayar mahar maka pernikahan mereka tidak sah. Karena mahar harus ada
dalam pernikahan, baik dinyatakan secara terbuka upun diam-diam, tapi dalam

8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.69.
9
Aspandi, Fikih Perkawinan Komparatif Fiqh Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam, (Batu, Oktober 2019),
hlm 49.

10
kondisi terakhir ini wanita tersebut wajib mendapatkan mahar yang setara dengan
yang tidak diungkapkan suaminya itu.10

BAB III
10
Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah Untuk Wanita, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007),
hlm 656.

11
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengertian Rukun, Syarat, dan Sah
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam pernikahan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu
seperti menutup aurat untuk sholat, atau menurut Islam, calon pengantin
laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam. Sedangkan sah yaitu suatu pekerjaan
(ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

Rukun Nikah
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki

Syarat sah nikah


a. Akad Nikah
b. Syarat yang berkaitan dengan suami
c. Syarat yang berkaitan dengan istri
d. Adanya wali pernikahan
e. Saksi
f. Mahar

B. Kritik dan Saran


Dalam makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kekeliruan maupun
ketidakcocokan di hati para pembaca. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca agar kualitas makalah menjadi lebih baik lagi.dari
makalah ini penulis selalu berharap semoga apa yang ada di dalam makalah ini bisa

12
bermanfaat dan berguna bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, untuk itu kami selaku penulis meminta maaf.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaili, Wahbah, (1989), Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-3.
Aspandi, (2019) Fikih Perkawinan Komparatif Fiqh Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam, Batu,
Pustaka Bulan Bintang
Ghazaly, Abdul Rahman, (2019), Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana Prenanda Media Group, 2019
Hakim, Abdul Hamid, (1976) Mabadi Awwaliyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. Ke-1, juz 1,
Rohman, Holilur, (2021) Hukum Perkawinan Islam Menurut empat Madzhab, Jakarta: Kencana.
Sahrani, Sohari, (2018) Fiqh Munakahat (Kajian Fiqh Nikah Lengkap), Depok : Raja Grafindo
Persada, Cet. Ke-5,
Salim, Abu Malik Kamal Bin Sayyid, (2007), Fiqih Sunah Untuk Wanita, Jakarta: Al-I’tishom
Cahaya Umat,
Syafi`I, Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Qasim, (2000), Fathul Qorib Mujib, Semarang :
Penerbit Nurul Iman.
Syarifuddin, Amir, (2009), Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana.

14

Anda mungkin juga menyukai