Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TAFSIR AYAT AYAT HUKUM

"NIKAH BEDA AGAMA"

Dosen pengampu: Muhammad Yasir, S.Th..i, M.A.

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ayat
Hukum

Disusun oleh:

Imam Firdaus (12030215113)

Ibnu Fadhil ( 12030215011

Devi Damayanti Sitorus (12030224907)

Khoirulrizal Nasution ( 12030215272)

Zul Afif (12030215010)

Kelas: 3D IAT

PRODI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF
KASIM RIAU 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT. yang mana telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “TAFSIR AYAT AYAT HUKUM” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah TAFSIR AYAT AYAT HUKUM. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang “TAFSIR AYAT AYAT
HUKUM” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Yasir, S.Th..i, M.A.
yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
pengetahuannya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami meminta kritik dan saran dari pembaca yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bangkinang , 07 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Penafsiran Nikah Beda Agama Di Dalam Q,S Al-Baqoroh Ayat 221
Dan Al Maidah Ayat 5 .................................................................................3
B. Pendapat Mazhab Tentang Q,S Al-Baqoroh Ayat 221 Dan Al-Maidah
Ayat 5 ...........................................................................................................7
1. Pernikahan Beda Agama .......................................................................... 7
2. Pernikahan Beda Agama .......................................................................... 9
3. Pernikahan Beda Agama ........................................................................ 10
4. Pernikahan Beda Agama ........................................................................ 11
C. Pendapat Ulama Tentang Q,S Al-Baqoroh Ayat 221 Dan Al-Maidah
Ayat 5 .........................................................................................................12
1. Pendapat Ulama Tentang Al-Baqarah Ayat: 221 ................................... 12
D. Ayat-Ayat Yang Berkenaan Tantang Hukum .............................................14
1. Q,S Al Baqoroh Ayat 221 ...................................................................... 14
2. Al Maidah Ayat 5 ................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17
A. Kesimpulan .................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terdapat 1.109 orang yang ditemukan berkeinginan melangsungkan
pernikahan beda agama namun belum terlaksana. Banyak faktor disebut-sebut
di dalam terlaksana atau tidak terlaksananya pernikahan beda agama, yaitu
faktor agama, lembaga keagamaan, keluarga, oknum negara, dan faktor
lingkungan atau masyarakat (Achmad, 2012: 958).

Pernikahan beda agama dalam perspektif Islam adalah pernikahan laki-


laki Muslim dengan perempuan non-Muslimah atau, sebaliknya, pernikahan
perempuan Muslimah dengan laki-laki non- Muslim. Pernikahan ini
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, pertama, pernikahan laki-laki Muslim
dengan perempuan musyrik (musyrikah), kedua, pernikahan laki-laki Muslim
dengan perempuan Ahl al-Kitab (kitabiyyah) dan, ketiga, pernikahan
perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik musyrik atau pun
Ahl al-Kitab (kitabi).

Ketiga jenis pernikahan ini belakangan semakin sering terjadi di dunia


Islam, termasuk Indonesia, sehingga dirasa perlu adanya penjelasan
komprehensif mengenai hukum masing-masing jenis tersebut1.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran nikah beda agama di dalam Q,S al-baqoroh ayat
221 dan al-maidah ayat 5?

2. Bagaimana pendapat mazhab tentang Q,S al-baqoroh ayat 221 dan al-
maidah ayat 5?

1
Zainul Mu’ien Husni, pernikahan beda agama menurut al qur'an dan sunnah, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni
2015.

1
3. Bagaimana pendapat ulama tentang Q,S al-baqoroh ayat 221 dan al-
maidah ayat 5?

4. Bagaimana ayat-ayat yang berkenaan tantang hukum ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penafsiran nikah beda agama di dalam Q,S al-baqoroh
ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5

2. Untuk mengetahui pendapat mazhab tentang Q,S al-baqoroh ayat 221 dan
Al-Maidah Ayat 5

3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang Q,S al-baqoroh ayat 221 dan
Al-Maidah ayat 5

4. Untuk mengetahui ayat-ayat yang berkenaan tantang hukum

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penafsiran Nikah Beda Agama Di Dalam Q,S Al-Baqoroh Ayat 221 Dan
Al Maidah Ayat 5
Tafsir Al-baqarah ayat 221

ِ ‫َو َﻻ ﺗ َ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ٰﻛ‬


ۚ ‫ﺖ َﺣﺘﱣﻰ ﯾُﺆْ ِﻣ ﱠﻦ ۗ َو َﻻَ َﻣﺔٌ ﱡﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔٌ َﺧﯿ ٌْﺮ ِ ّﻣ ْﻦ ﱡﻣ ْﺸ ِﺮ َﻛ ٍﺔ ﱠوﻟَ ْﻮ ا َ ْﻋ َﺠﺒَﺘْ ُﻜ ْﻢ‬
ٰۤ ُ ُ
‫وﻟﯨ َﻚ‬ ‫َو َﻻ ﺗ ُ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ِﻛﯿْﻦَ َﺣﺘﱣﻰ ﯾُﺆْ ِﻣﻨُ ْﻮا ۗ َوﻟَ َﻌ ْﺒﺪٌ ﱡﻣﺆْ ِﻣ ٌﻦ َﺧﯿ ٌْﺮ ِ ّﻣ ْﻦ ﱡﻣ ْﺸ ِﺮكٍ ﱠوﻟَ ْﻮ ا َ ْﻋ َﺠﺒَﻜ ْﻢ ۗ ا‬
‫ﺎس ﻟَﻌَﻠﱠ ُﮭ ْﻢ‬ِ ‫ﻋ ْٓﻮا اِﻟَﻰ ْاﻟ َﺠﻨﱠ ِﺔ َو ْاﻟ َﻤ ْﻐ ِﻔ َﺮةِ ﺑِ ِﺎ ْذﻧِ ٖ ۚﮫ َوﯾُﺒَﯿِّ ُﻦ ٰا ٰﯾﺘِ ٖﮫ ِﻟﻠﻨﱠ‬ ِ ‫ﻋ ْﻮنَ اِﻟَﻰ اﻟﻨﱠ‬
ُ ‫ﺎر ۖ َوا ﱣ ُ ﯾَ ْﺪ‬ ُ ‫ﯾَ ْﺪ‬
َ‫ﯾَﺘَﺬَ ﱠﻛ ُﺮ ْون‬

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.

al-Maraghi dalam menjelaskan ayat “wala tankihul musryikat hatta


yu‟minu “. Menurut beliau laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita
musyrik selagi mereka masih berada dalam kemusyrikan, akan tetapi laki-laki
muslim boleh menikahi wanita musyrik apabila mereka telah beriman dan
menjalankan syriat-syariat agama islam. Dalam hal ini al-Maraghi
berlandaskan firman Allah sebagai berikut:

3
Al bayyinah ayat 1

ِ َ‫وا ِﻣ ْﻦ أ َ ْھ ِﻞ ْٱﻟ ِﻜ ٰﺘ‬


ْ ‫ﺐ َو ْٱﻟ ُﻤ‬
‫ﺸ ِﺮ ِﻛﯿﻦَ ﻣُﻨﻔَ ِ ّﻜﯿﻦَ َﺣﺘ ﱠ ٰﻰ‬ ۟ ‫ﻟَ ْﻢ ﯾَ ُﻜ ِﻦ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َﻛﻔَ ُﺮ‬

ُ‫ﺗَﺄْﺗِﯿَ ُﮭ ُﻢ ْٱﻟﺒَ ِّﯿﻨَﺔ‬

Arab-Latin: Lam yakunillażīna kafarụ min ahlil-kitābi wal-musyrikīna


munfakkīna ḥattā ta`tiyahumul-bayyinah

Artinya: Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik


(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata

Dalam ayat ini al-Maraghi melarang menikahi wanita musryik selagi mereka
masih berada dalam kemusryikan. dalam penafsirannya al-Maraghi melarang
untuk menikahi mereka walaupun mereka itu cantik, dan kaya sebab menurut
al-Maraghi orang yang menikahi wanita musyrik hanya karna kecantikan dan
hartanya tidak akan semuanya itu dapat membantu mereka untuk pindah
mengikuti agama Islam.

Dalam hal ini al-Maraghi menukil pendapat Ibnu Majah dan Ibnu
Umar Radiyallahu Anhu, sesungguhnya Nabi bersabda: “janganlah kalian
nikahi wanita-wanita musyrik karena kecantikannya maka tidak mungkin
kecantikannya itu dapat membalikan mereka dan janganlah kalian menikahi
wanita karena hartanya, karena tidak mungkin harta mereka akan membantu
kita. Dan nikahilah mereka atas agamanya, bahkan wanita-wanita (hamba
sahaya) yang hitam yang mempunyai agama itu lebih baik daripada orang
musyrik yang gagah dan cantik.2

Al-Maraghi juga menukil pendapat dua Syaik Buhari dan Muslim dari
Abu Hurairah “sesungguhnya Nabi saw, harus menikahi wanita karena empat
perkara: pertama hartanya, keduanasabnya, ketiga kecantikannya, dan
keempat agamanya maka nikahilah yang mempunyai agama.”

2
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babi al-Halabi, Juz 2, 1962, h. 151

4
Penjelasan al- Al-Maraghi larangan untuk menikah dengan wanita
musyrik apabila mereka belum beriman, akan tetapi boleh menikah dengan
wanita musyrik apabila mereka telah beriman kepada Allah swt, sebab
menurut al-Maraghi menikahi seorang budak yang beriman itu lebih baik
daripada menikah dengan orang musyrik, karena perbuatan orang musyrik itu
selalu mengajak untuk ke neraka. 3 Al-Maraghi selain melarang menikah
dengan orang musyrik, tetapi al-Maraghi membolehkan menikah dengan
orang musyrik dengan beberapa syarat salah satunya adalah membolehkan
menikah dengan orang musyrik apabila mereka itu telah beriman kepada Allah,
bukan karena harta ataupun kecantikannya saja sebab perbuatan orang-orang
musyrik itu mengandung unsur syirik yang jelas dan selalu mengajak kepada
neraka.

Tafsir Al Maidah Ayat 5

‫طﻌَﺎ ُﻣ ُﻜ ْﻢ ِﺣ ﱞﻞ‬ َ ‫ﺐ ِﺣ ﱞﻞ ﻟﱠ ُﻜ ْﻢ َۖو‬ َ ‫طﻌَﺎ ُم اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ا ُ ْوﺗُﻮا ْاﻟ ِﻜ ٰﺘ‬َ ‫اﻟﻄ ِﯿّ ٰﺒ ۗﺖُ َو‬
‫ا َ ْﻟﯿَ ْﻮ َم ا ُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ ﱠ‬
‫ﺐ ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﺒ ِﻠ ُﻜ ْﻢ اِذَآ ٰاﺗ َ ْﯿﺘ ُ ُﻤ ْﻮ ُھ ﱠﻦ‬ َ ‫ﺼ ٰﻨﺖُ ِﻣﻦَ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ا ُ ْوﺗُﻮا ْاﻟ ِﻜ ٰﺘ‬ َ ْ‫ﺖ َو ْاﻟ ُﻤﺤ‬ ِ ‫ﺼ ٰﻨﺖُ ِﻣﻦَ ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣ ٰﻨ‬َ ْ‫ﻟﱠ ُﮭ ْﻢ َۖو ْاﻟ ُﻤﺤ‬
َ ِ‫ﺎن ﻓَﻘَ ْﺪ َﺣﺒ‬
‫ﻂ‬ ِ ْ ‫ان َو َﻣ ْﻦ ﯾﱠ ْﻜﻔُ ْﺮ ِﺑ‬
ِ ‫ﺎﻻ ْﯾ َﻤ‬ ٍ ۗ َ‫ِي ا َ ْﺧﺪ‬
ْٓ ‫ﻏﯿ َْﺮ ُﻣﺴٰ ِﻔ ِﺤﯿْﻦَ َو َﻻ ُﻣﺘ ﱠ ِﺨﺬ‬َ َ‫ﺼ ِﻨﯿْﻦ‬ ِ ْ‫ا ُ ُﺟ ْﻮ َر ُھ ﱠﻦ ُﻣﺤ‬
ٰ ْ ‫ﻋ َﻤﻠُﮫٗ َۖو ُھ َﻮ ﻓِﻰ‬
َ‫اﻻ ِﺧ َﺮ ِة ِﻣﻦَ ْاﻟ ٰﺨﺴ ِِﺮﯾْﻦ‬ َ

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.
Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan

3
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, , Tafsir al-Maraghi, , h. 152

5
perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-
sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.4

Menurut Al-Maraghi halal memakan binatang sembelihan ahli kitab


yang telah diberi taurat dan injil kecuali sembelihan kaum musyrikin yang
tiada berkitab yaitu para penyembah patung dan berhala itu tidak halal
dimakan. Dalam hal ini al-Maraghi menukil dari pendapat yang diriwayatkan
Ibnu Jarir dari Abu Darda dan Ibnu Zaid, bahwa keduanya pernah ditanya
mengenai binatang yang disembelih untuk gereja.Maka, keduanya
mempatwakan, itu boleh dimakan.Bahkan Ibnu Zaid berkata, “Allah telah
menghalalkan makanan mereka dan mengecualikan apa-apa
daripadanya.”Sedangkan Abu Darda berkata yaitu ketika dia ditanya tentang
seekor domba yang disembelih untuk sebuah gereja yang bernama jirjis,
mereka mengorbankan domba tersebut untuk gereja tersebut, bolehkah kita
memakannya? Sesungguhnya mereka adalah ahli kitab, makanan mereka halal
bagi kita dan makanan kita halal bagi mereka, lalu dia menyuruh memakannya
dan dalam menjelaskan “ ” menurut al-Maraghi bahwa dibolehkannya
binatang sembelihan adalah dari dan untuk masing-masing kedua belah
pihak.5

Akan tetapi lain halnya dalam soal hubungan perkawinan, menurut al-
Maraghi dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 5 masalah kebolehan untuk
menikahi wanita ahli kitab Wal muhsonatu minal mukminina....

Ayat ini menurut al-Maraghi adalah ayat yang membolehkan laki-laki


muslim menikahi wanita ahli kitab akan tetapi yang muhsanat yaitu orang
yang memiliki kitab dan orang yang memelihara dirinya dari perbuatan zina
dan menjaga dengan baik agamanya, sebab menurut beliau mereka tidak
bertentangan dan masih dalam batasan-batasan syariat Islam dan memegang
teguh ajaran-jaran agamanya. kataAl-Muhsanât disini yang dimaksud adalah
4
Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi, 1962, Juz 16, h.108
5
Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-Babial-Halabi, 1962, Juz 16, h.111

6
Al-Hârâir (wanita-wanita merdeka). Menurut al-Maraghi laki-laki mu‟min
boleh menikahi wanita ahli kitab yakni wanita merdeka yang telah
didatangkan kitab sebelum kamu (Yahudi dan Nasroni). Sedangkan wanita
muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab karena menurut al-
Maraghi sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa wanita muslim tidak
memiliki wewenang atas laki-laki, dikhawatirkan wanita tersebut akan
mengikuti agama suaminya dan akan merusak aqidah/ agama anaknya. Karena
sesungguhnya wanita musyrik dan laki-laki musyrik perbuatan mereka akan
membawa kita kepada jalan neraka.6

B. Pendapat Mazhab Tentang Q,S Al-Baqoroh Ayat 221 Dan Al-Maidah


Ayat 5

1. Pernikahan Beda Agama


Menurut Madzhab Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini
trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut
memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul
kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang
pernah diturunkanAllah S.W.T., termasuk juga orang yang percaya kepada
Nabi Ibrahim alaihissalam dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada
nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja
menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di
darul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah,
dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan
wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah

6
Ahmad Mustâfâ Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo : Mustâfâ), Juz 2, 1962, h. 152 -154.

7
karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan
menghalalkan daging babi.

Penulis menyimpulkan bahwa pendapat Imam Abu Hanifah


tentang keharaman menikahi wanita musyrik karena mengacu kepada
firman Allah S.W.T. dalam Surat Al-Baqarah Ayat 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanitamukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-Baqarah: 221)

Akan tetapi pendapat madzhab Imam Hanafi membolehkan


mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) hal ini juga karena
merujuk kepada firman Allah S.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5
yang telah disebutkan sebelumnya.

Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh sebagaimana


yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili, bahwa mazhab Hanafi
berpendapat, seorang muslim makruh menikah dengan perempuan Ahli
Kitab dan ahli dzimmah. Karena Umar radhiyallahu „anhu berkata kepada
orang-orang yang kawin dengan perempuan ahli kitab, “Ceraikanlah
mereka”. Maka para sahabat radhiyallahu „anhum menceraikan mereka,
kecuali Hudzaifah radhiyallahu „anhu. Kemudian, Umar radhiyallahu
„anhu berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya,
“Apakah kamu bersaksi bahwa dia haram?” Umar kembali berkata
kepadanya, “Dia minum minuman keras.” Hudzaifah kembali berkata
“Aku telah mengetahui dia minum minuman keras, akan tetapi dia halal
bagiku.” Setelah lewat beberapa waktu, dia ceraikan istrinya tersebut.

8
Lalu ada orang yang berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak
menceraikannya manakala Umar memerintahkan hal itu kepadamu?” Dia
menjawab, “Aku tidak mau manusia melihat aku melakukan suatu perkara
yang tidak selayaknya aku lakukan”.7

Bisa jadi, hatinya menyayanginya, karena dia memesona. Bisa juga


karena mereka berdua telah mempunyai anak, dan dia menyayanginya.
Sedangkan perempuan ahli harb (kafir yang memerangi umat Islam),
menurut mazhab Hanafi haram untuk dikawini, jika dia berada di darul
harb (wilayah konflik); karena mengawininya akan membuka pintu
fitnah.8

2. Pernikahan Beda Agama


a. Menurut Madzhab Imam Malik

Madzhab Maliki tentang perkawinan lintas agama ini mempunyai


dua pendapat, yaitu 1) menikah denganwanita kitabiyah hukumnya
makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada
diwilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita
harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan
tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka
hukumnya haram; dan 2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarangsecara mutlaq.

Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan pendekatan


sad al-zariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan), jika

7
Wahbah Az-Zuhaili. (2011). hlm. 272.
8
Wahbah Az-Zuhaili. (2011). hlm. 273.

9
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda
agama ini, maka diharamkan.9

3. Pernikahan Beda Agama


a. Menurut Madzhab Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i berkata; Allah tabarokawataala berfirman dalam Al-


Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang
menghalalkan wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini
sebagaimana yang dijelaskan AllahS.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat
5 sebelumnya.

Ketetapan Allah Subhanahu wataala yang membolehkan menikahi


wanita-wanita merdeka di kalangan ahli kitab merupakan dalil yang
mengharamkan menikahi wanita-wanita budak mereka, karena telah
dikenal dalam bahasa; apabila suatu sifat disebutkan dalam kalimat yang
berkonotasi penghalalan atau pengharaman, maka hal ini menjadi dalil
bahwa yang berada di luar sifat tersebut, tidak masuk dari kalimat tadi.10

Beliau (Imam Syafi‟i) juga berpendapat bahwa apabila seorang


wanita masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah
seorang dari kedua orang tuanya masuk Islam, sementara da masih anak-
anak dan belum mencapai usia balig. Maka haram atas setiap lelaki
musyrik, ahli kitab, atau penyembah berhala untuk menikahinya dalam
segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia memahaminya, maka saya melarang
wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.Namun bila disebutkan kepadanya
sifat-sifat Islam namun ia tidak memahaminya, maka saya lebih menyukai
untuk laki-laki musyrik dilarang untuk menikahinya.

9
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. (2009). Fiqh Munakahat. Jakarta:
Amzah. hlm. 37.
10
Imam Syafi‟i. (2010). Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. 432.

10
Imam Syafi‟i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanita-
wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah
S.W.T.menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli
kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang
masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani.

Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu. Dihalalkan pula


menikahi wanita-wanita dari golongan Syabiun dan Samirah dari kalangan
yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka dan
memakan hewan sembelihan mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka
menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al
kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi
demikian diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana
diharamkannya menikahi wanita-wanita Majusi.11

4. Pernikahan Beda Agama


a. Menurut Madzhab Imam Hambali

Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-


wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab
ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru
Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa
yang termasuk ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel
saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi
Rasul.12

Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan bahwa ulama Imam


Madzhab sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara laki-laki
muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan pernikahan antara laki-

11
Imam Syafi‟i. (2010). hlm. 433.
12
Imam Syafi‟i. (2010). hlm. 325.

11
laki muslim dengan wanita ahlul kitab yakni Yahudi dan Nasrani. Akan
tetapi, yang dimaksud oleh Imam Madzhab tentang wanita ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani) di sini adalah karena wanitaahlul kitab pada zaman
dahulu berbeda dengan wanita ahlul kitab pada zaman sekarang.

Pada zaman dahulu wanita ahlul kitab mengimani kitab-kitab


mereka yang belum banyak adanya perubahan dan wanita ahlul kitab pada
zaman dahulu tidak berpengaruh terhadap pemikiran dan keyakinan laki-
laki muslim (suami). Adapun pada saat ini, mereka wanita ahlul kitab
mayoritas tidak memahami isi dan kandungan kitab-kitab mereka yang
sesungguhnya, karena sudah banyaknya perubahan. Dengan demikian,
penulis menyimpulkan bahwa pendapat Imam Madzhab tentang
pembolehan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab
hanya sebatas pada zaman mereka. Jika dianalisis berdasarkan apa yang
telah disebutkan di atas sesuai dengan realita sekarang, makasudah barang
tentu Imam Madzhab akan mengharamkan pernikahan beda agama tanpa
terkecuali.

C. Pendapat Ulama Tentang Q,S Al-Baqoroh Ayat 221 Dan Al-Maidah Ayat
5

1. Pendapat Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-sa'adi, pakar tafsir


abad 14 H Tentang Al-Baqarah Ayat: 221 Dan Al-Maidah ayat 5
Beliau berpendapat yakni bahwa Maksudnya, “Dan janganlah
kamu menikahi” wanita wanita “musyrik” selama mereka masih dalam
kesyirikan mereka “hingga mereka beriman”; karena seorang wanita
Mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada
seorang wanita musyrik walau sangat cantik parasnya. Ini umum pada
seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam Quran surat al-
maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana Allah
berfirman : "(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang

12
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik." QS Al-maidah ayat 5 “Dan janganlah
kamu menikah kan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin)
sebelum mereka beriman.”Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian
di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum
haramnya seorang mukmin atau wanita Mukmin menikah dengan selain
agama mereka dalam FirmanNya, “mereka mengajak ke neraka,” yakni,
dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi
mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang
bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya
kesengsaraan yang abadi. Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat
melarang bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika
menikah saja tidak boleh padahal memiliki kemaslahatan yang begitu
besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi,
khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang
musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti
pelayanan atau semacamnya. Dalam FirmanNya, “dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik dengan (wanita-wanita Mukmin)”
terdapat dalil tentang harus adanya Wali dalam nikah. “Sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan,” maksudnya, menyeru hamba-
hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara
akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara
mengajaknya untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal Shalih,
bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan
mengamalkannya. “Dan Allah menerangkan ayat ayatNya (perintah-
perintahNya),” maksudnya, hukum hukum, dan hikmah hikmahNya
“kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut
mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan
mengetahui apa yang tidak mereka ketahui, serta mengerjakan apa yang
13
telah mereka lalaikan.Kemudian Abdullah bin Rawahah bersumpah untuk
memerdekakannya dan menikahinya. Masyarakat setempat pada waktu itu
ramai memberitakan pernikahan Abdullah bin Rawahah dengan mantan
budak perempuannya, seakan itu adalah pernikahan yang hina, sehingga
mereka menyayangkan hal itu terjadi.

Ramainya pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada waktu


yang bersamaan adanya fenomena yang tengah ramai di masyarakat Arab
dimana mereka senang menikahi perempuan musyrik karena biasanya
mereka mempunyai jabatan bagus atau berpangkat.

Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah QS Al-baqarah ayat


221, sebagai jawaban bahwa apa yang dilakukan Abdullah bin Rawahah
bukan sebuah hal yang buruk.

2. An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi

Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi Berpendapat bahwahasnya


bahwa di ayat ini bahwasanya Allah melarang orang-orang yang beriman
untuk menikahi wanita-wanita musyrik sampai wanita-wanita tersebut
masuk Islam; dan Allah menjelaskan bahwasannya menikahi muslimah
lebih baik daripada musyrikah.

D. Ayat-Ayat Yang Berkenaan Tantang Hukum

1. Q,S Al Baqoroh Ayat 221


‫ﺖ َﺣﺘﱣﻰ ﯾُﺆْ ِﻣ ﱠﻦ ۗ َو َﻻَ َﻣﺔٌ ﱡﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔٌ َﺧﯿ ٌْﺮ ِ ّﻣ ْﻦ ﱡﻣ ْﺸ ِﺮ َﻛ ٍﺔ ﱠوﻟَ ْﻮ ا َ ْﻋ َﺠﺒَﺘْ ُﻜ ْﻢ ۚ َو َﻻ ﺗ ُ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا‬ ِ ‫َو َﻻ ﺗ َ ْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا ْاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ٰﻛ‬
ٰۤ ُ ُ
ِ ‫وﻟﯨﻚَ ﯾَﺪْﻋ ُْﻮنَ اِﻟَﻰ اﻟﻨﱠ‬
ُ ‫ﺎر ۖ َوا ﱣ‬ ‫ْاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ِﻛﯿْﻦَ َﺣﺘﱣﻰ ﯾُﺆْ ِﻣﻨُ ْﻮا ۗ َوﻟَ َﻌ ْﺒﺪ ٌ ﱡﻣﺆْ ِﻣ ٌﻦ َﺧﯿ ٌْﺮ ِ ّﻣ ْﻦ ﱡﻣ ْﺸ ِﺮكٍ ﱠوﻟَ ْﻮ ا َ ْﻋ َﺠﺒَﻜ ْﻢ ۗ ا‬
ِ ‫َﯾﺪْﻋ ُْٓﻮا اِﻟَﻰ ْاﻟ َﺠﻨﱠ ِﺔ َو ْاﻟ َﻤ ْﻐ ِﻔ َﺮ ِة ِﺑ ِﺎ ْذﻧِ ٖ ۚﮫ َوﯾُ َﺒ ِﯿّﻦُ ٰا ٰﯾﺘِ ٖﮫ ِﻟﻠﻨﱠ‬
َ‫ﺎس ﻟَ َﻌ ﱠﻠ ُﮭ ْﻢ َﯾﺘَﺬَ ﱠﻛ ُﺮ ْون‬

Wa lā tangkiḥul-musyrikāti ḥattā yu`minn, wa la`amatum


mu`minatun khairum mim musyrikatiw walau a'jabatkum, wa lā
tungkiḥul-musyrikīna ḥattā yu`minụ, wa la'abdum mu`minun khairum

14
mim musyrikiw walau a'jabakum, ulā`ika yad'ụna ilan-nāri wallāhu yad'ū
ilal-jannati wal-magfirati bi`iżnih, wa yubayyinu āyātihī lin-nāsi
la'allahum yatażakkarụn

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

2. Al Maidah Ayat 5
َ‫ﺼ ٰﻨﺖُ ِﻣﻦ‬ َ ْ‫ط َﻌﺎ ُﻣ ُﻜ ْﻢ ِﺣ ﱞﻞ ﻟﱠ ُﮭ ْﻢ َۖو ْاﻟ ُﻤﺤ‬
َ ‫ﺐ ِﺣ ﱞﻞ ﻟﱠ ُﻜ ْﻢ َۖو‬ َ ‫اﻟﻄ ِﯿّ ٰﺒ ۗﺖُ َو‬
َ ‫ط َﻌﺎ ُم اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ا ُ ْوﺗُﻮا ْاﻟ ِﻜ ٰﺘ‬ ‫ا َ ْﻟﯿَ ْﻮ َم ا ُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ ﱠ‬
‫ﺼ ِﻨﯿْﻦَ َﻏﯿ َْﺮ‬ِ ْ‫ﺐ ِﻣ ْﻦ َﻗ ْﺒ ِﻠ ُﻜ ْﻢ اِذَآ ٰاﺗ َ ْﯿﺘ ُ ُﻤ ْﻮھ ﱠُﻦ ا ُ ُﺟ ْﻮ َرھ ﱠُﻦ ُﻣﺤ‬ َ ‫ﺼ ٰﻨﺖُ ِﻣﻦَ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ا ُ ْوﺗُﻮا ْاﻟ ِﻜ ٰﺘ‬ َ ْ‫ﺖ َو ْاﻟ ُﻤﺤ‬ِ ‫ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣ ٰﻨ‬
ٰ ْ ‫ﻂ َﻋ َﻤﻠُﮫٗ َۖوھ َُﻮ ﻓِﻰ‬
َ‫اﻻ ِﺧ َﺮةِ ِﻣﻦَ ْاﻟ ٰﺨﺴ ِِﺮﯾْﻦ‬ َ ِ‫ﺎن ﻓَﻘَﺪْ َﺣﺒ‬ ِ ْ ِ‫ان َو َﻣ ْﻦ ﯾﱠ ْﻜﻔُ ْﺮ ﺑ‬
ِ ‫ﺎﻻ ْﯾ َﻤ‬ ٍ ۗ َ‫ِي ا َ ْﺧﺪ‬
ْٓ ‫ﺴﺎﻓِ ِﺤﯿْﻦَ َو َﻻ ُﻣﺘ ﱠ ِﺨﺬ‬
َ ‫ُﻣ‬

Al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa'āmullażīna ụtul-kitāba


ḥillul lakum wa ṭa'āmukum ḥillul lahum wal-muḥṣanātu minal-mu`mināti
wal-muḥṣanātu minallażīna ụtul-kitāba ming qablikum iżā ātaitumụhunna
ujụrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may
yakfur bil-īmāni fa qad ḥabiṭa 'amaluhụ wa huwa fil-ākhirati minal-
khāsirīn

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
15
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Jashash dan al-Qurtubi telah mengharamkan untuk menikahi
wanita-wanita musyrik”, karena ajakan mereka ke neraka menjadi alasan
tegas diharamkannya menikah dengan mereka. Hal ini karena mereka
(orang musyrik) dan kita (muslim) berada pada keyakinan yang
berseberangan, dan seandainya terjadi perkawinan, maka anak-anaknya
kelak akan tumbuh dalam kondisi pertengkaran yang terjadi dalam
keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi akhlak mereka yang
setiap harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran.

Disini kita dapat mengatakan bahwa menikahi wanita musyrik


tentu dilarang dan dibenci oleh Rasulullah saw, karena anak-anak mereka
yang lahir karena pernikahan tersebut pasti cenderung akan mengikuti dan
mencontoh perilaku ibunya yang musyrik. Ketika ada pilihan antara
wanita musyrik dengan wanita budak mukmin maka diharuskan untuk
memilih wanita budakmukmin, meskipun wanita musyrik itu mempunyai
kedudukan dan kekayaan,disamping itu kekhawatiran beberapa ulama
akan adanya ketidakharmonisan perkawinan antara dua orang yang
berbeda keyakinan menjadi alasan diharamkannya pernikahan ini.

B. Saran
Jika ditinjau ulang, tentu di dalam makalah ini tidak lepas dari koreksi
para pembaca. Kami menyadari makalah yang kami sajikan ini jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kamimengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca agar nantinya makalah ini akan menjadi lebih sempurna.

17
DAFTAR PUSTAKA

____________Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas.


(2009). Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah. hlm. 37.

____________Ahmad, Mustâfâ Maraghi,Tafsir al-Maraghi, Kairo : Mustâfâ al-


Babial-Halabi, 1962, Juz 16, h.111

____________Imam Syafi‟i. (2010). Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka


Azzam. hlm. 432.

____________Wahbah Az-Zuhaili. (2011). hlm. 272.

____________Zainul Mu’ien Husni, pernikahan beda agama menurut al qur'an


dan sunnah, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015.

18

Anda mungkin juga menyukai