Disusun Oleh :
Arif Mulya Wijaya
(20723084)
FiIndah Wiranda Sari
(20723013)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “ ُاَ ْليَقِيْن
ِّ الَيُزَ الُباِل َّش ” ini dengan tepat waktu.
ك
Tak lupa kami haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini, baik itu berupa bantuan moril atau materiil.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, seperti
kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu
kami nantikan agar kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan lebih baik lagi di kemudian
hari.
Demikian makalah ini kami susun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Terima kasih.
1
Daftar Isi
1. Kata Pengantar……………………………………………………………………………....1
2. Daftar Isi…………………………………………………………………………………….2
3. Bab I : Pendahuluan…………………………………………………………………………3
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………3
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………...3
C. Tujuan……………………………………………………………………………….….3
4. Bab II : Pembahasan………………………………………………………………………....4
ِّ اَ ْليَقِيْنُ الَيُ َزالُباِل َّش
A. 4………………………………………………….………..…………… ك
2
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, disini kami mencoba merumuskan masalah
sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini, adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut.
َّ ?اَ ْليَقِيْنُ الَيُ َزالُباِل
1. Bagaimana kaidah fiqih ِّشك
َّ ?اَ ْليَقِيْنُ الَيُ َزالُباِل
2. Apa dasar dari kaidah fiqih ِّشك
ِّ ?اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَ الُباِل َّش
3. Apa saja kaidah-kaidah cabang tentang ك
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
َّ اَ ْليَقِيْنُ الَيُ َزالُباِل
1. Untuk mengetahui kaidah fiqih tentang ِّشك
َّ اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَ الُباِل
2. Untuk mengetahui dasar kaidah fiqih tentang ِّشك
3
َّ اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَ الُباِل
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang tentang ِّشك
BAB II
PEMBAHASAN
4
Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat atau menunggu
(duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Secara logika, orang tersebut dalam
keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan
angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah
yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguanya baru timbul
kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan
bukti berupa bunyi atau baunya.
4. Hadits riwayat Imam Bukhari dari ‘Abad Ibn Tamim dari pamannya ia berkata:
صوْ تا ً اَوْ ِر ْيحٌا َ صالَ ِة قَ َل اَل يَ ْن
َ ص ِرفُ َحتَّى يَ ْس َم َع ِ َش َكى ِإلَى َرسُو ُل هّللا صلى هلّلا عليه وسلم ال ّر ُج ُل يَ ِج ْي ُل اَنّهُ يَ ِج ُد ال َّشى َء.
ّ فى ال
Artinya: “seseorang yang ragu dalam shalatnya mengadu kepada Rasulullah SAW.
Kemudian Rasul bersabda: “ Janganlah kamu membatalkan shalatmu sebelum mendengar
suara atau merasakan keluarnya angin.”
5. Hadits riwayat Imam Muslim:
ك َو ْليَ ْب ِن عَل َى َماا ْستَ ْيقَن ْ
ِ فَ ْليَط َر ًَأثَالَثًا َأ ْم َأرْ بَ َعة :صلَّى
َّ ح ال َّش ِ صالَتِه فَلَ ْم يَ ْد
َ ري َك ْم َ ك َأ َح ُد ُك ْم فِ ْى
َ صالَتِه َّ ِإ َذا َش
Artinya: “Apabila salah seorang kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui
berapa raka’at yang telah dikerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yag
meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang diragukan mana yang
benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam
menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang lebih
kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang sudah meyakinkan.
6. Menurut Logika (akal)
“Keyakinan adalah lebih kuat dari pada keraguan, sebab di dalam keyakinan terdapat
hukum qath’i (keputusan yang pasti) yang meyakinkan yang tidak hilang oleh keraguan..
Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh
keraguan.”
2. Kaidah-Kaidah Cabang
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan kaidah cabang dari kaidah ini.
Menurut As-Suyuthi kaidah cabang tersebut ada tujuh yaitu:
a. Kaidah Pertama:[3]
5
Penjelasan: Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu – dibolehkan atau
dilarang – tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah sebelum ada dalil yang
merubahnya. Contohnya:
Orang yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas yang menimpanya, maka dia
masih dalam keadaan suci.
Orang yang yakin bahwa ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia
lakukan, maka ia masih berhadas.
Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-
janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar
yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.
b. Kaidah Kedua:[4]
c. اََأْلصْ ُل بَ َرا َءةُال ِّذ َم ِة
Artinya: “Asal itu bebas dari tanggungan.”
Contohnya:
Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka
dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak
dibebani tanggungan tambahan.
Terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena
menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si
pendakwa.
c. Kaidah Ketiga:[5]
d. اََأْلصْ ُل ْال َع َد َم
Artinya: “Asal itu tidak ada.”
Contohnya:
Seseorang mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya
sendiri atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang berhutang mengaku telah
membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran. Sedang orang yang
menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.
Dalam perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu dimenangkan oleh
pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya belum adanya
pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan, sedaang pengakuan
telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.
6
Seorang pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta
mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya
tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya. Penyelesaian
pertengkaran ini sudah barang tentu harus dimenangkan oleh pemilik harta, karena
menurut asalnya memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan
d. Kaidah Keempat:[6]
ِ ث تُقَ ِّد ُرهُ بَِأ ْق َر
e. ب ال َّز َما ِن ٍ اََأْلصْ ُل فِى ُك ِّل َح ِد ْي
Artinya: “Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat.”
Contohnya:
Seseorang mengambil air wudhu untuk shalat dari suatu sumur. Beberapa hari
kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut terdapat bangkai tikus, sehingga
menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan shalat yang telah dikerjakan
beberapa hari yag lalu. Dalam masalah yang demikian itu ia tidak wajib mengqadha
shalat yang sudah dikerjakannya. Masa yang terdekat sejak dari peristiwa diketahuinya
bangkai tikus itulah yang dijadikan titik tolak untuk menetapkan kenajisan air yang
mengakibatkan tidak sahnya shalat dan keharusan mengqadhanya. Kecuali kalau ia
yakin bahwa bangkai itu sudah lama berada di dalam sumur sebelum ia melakukan
shalat atas adanya bukti-bukti yang meyakinkan. Jika demikian air yang dipergunakan
wudhu itu adalah air mutanajis, hingga shalat yang telah ia kerjakan harus ia qadha.
e. Kaidah Kelima:[7]
f. اََأْلصْ ُل فِى اَأْل ْشيَا ِء اِإْل بَا َح ِة
Artinya: “Asal dari sesuatu itu adalah kebolehan.”
Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai berikut: “Apa-apa
yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan
apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh
Allah tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan at-Thabrani).
Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil
yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan
aslinya, yaitu mubah. Contohnya:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak
didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka halal
dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan, karena
tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).
7
f. Kaidah Keenam:[8]
g. اََأْلصْ ُل فِى اِإْل بَا َح ِة التّحْ ِر ْي ُم
Artinya: “ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
g. Kaidah Ketujuh:[9]
h. ُاََأْلصْ ُل فِى ْالكَاَل ِم اَ ْل َحقِ ْيقَة
Artinya: “ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
3. Contoh Aplikasi
Diantara contoh dari kaidah ini ialah:
1. Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat Dhuhur, kemudian dia ragu apakah
sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga
rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
2. Seorang musafir yang ingin shalat jamak qashar bermakmum kepada orang yang tidak
ia ketahui, apakah ia sedang shalat jamak qashar atau tidak. Maka shalat jamak
qasharnya tidak memenuhi syarat.
8
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan
saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung
lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain.
Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih
kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan.
Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh
keraguan.
2. Saran
Sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama
mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariat-Nya. Dan
marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan hanya akan menjadi
penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan tetaplah konsisten dengan pendirian
yang meyakinkan hati. Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi para pembaca. Dan
kami pun berharap kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam tugas kami
selanjutnya. Sekian dan terimakasih.
9
DAFTAR PUSTAKA
Jaih Mubark, “Kiadah Fiqih”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 128.
Rachmat Syafe’i, “Ilmu Ushul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 280.
10