B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan yang muncul mengenai pengertian dan
ruang lingkup aqidah dan akhlak, diantaranya adalah:
1. Apa pengertian dari aqidah dan akhlak ?
2. Bagaimana ruang lingkup aqidah ?
3. Bagaimana ruang lingkup akhlak ?
C. Pembahasan
1. Pengertian aqidah dan akhlak
a. Pengertian Aqidah
Secara etimologis (lughatan), aqidah berakar dari kata aqada ya’qidu -‘aqdan-aqidatan.
Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti
keyakinan (Al-Munawwir, 1984, hal. 1023). Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah
adalah keyakinanan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian.[4]
Secara teminologis (ishthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
a. Menurut Hasan al-Banna
ٌّ از ُجهُ َريْبٌ َواَل يُخَ ا لِطُهُ َش
ك ْ ك َوت
َ َط َمِئ ُّن ِإلَ ْيهَا نَ ْف ُس
ِ ك َوتَ ُكوْ نُ يَقِ ْينًا ِع ْندَكَ اَل يُ َم َ ُق بِهَا قَ ْلب َ ُاَ ْل َعقَاِئ ُد ِه َي ْاالُ ُموْ ُراَّلتِ ْي يَ ِجبُ اَ ْن ي
ُ ص ِّد
“aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
keberadaannya oleh hati (mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan’’ ( Al-Banna, tt., hal. 465)
b. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy :
ُص ْد ُره ْ ِ َوال َّس ْمع َو ْالف,ق ْالبَ ِد ِهيَّ ِة ْال ُم َسلَّ َم ِة بِاْل َع ْق ِل
َ َوي ُْثنَي َعلَ ْيهَا,ُ يَ ْعقِ ُد َعلَ ْيهَا ْااِل ْن َسانُ قَ ْلبَه,ط َر ِة ِّ ضايَا ْال َح
َ َاَ ْل َعقِ ْي َدةُ ِه َي َمجْ ُموْ َعةٌ ِم ْن ق
ِ
َأ
صحُّ اَوْ يَ ُكوْ نُ بَدًا ُ
ِ ُ قَا ِطعًا بِ ُوجُوْ ِدهَا َوثبُوْ تِهَااَل يَ َرى ِخاَل فَهَا اَنَّهُ ي,ص َّحتِهَا ِ ِاز ًما ب ِ َج
“ aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh
manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. Yakni kesahihan dan keberadaannya (secara
pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu” (Al-Jazairy, 1978,
hal. 21)
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas kita perlu mengemukakan beberapa catatan
tambahan sebagai berikut[5]:
1. Ilmu terbagi menjadi dua : pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang
dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri sedangkan ilmu yang
memerlukan dalil atau pembuktian disebut ilmu nazhari.
2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari
kebenaran, akal akan menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman
menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang
bertentangn dengan kebenaran itu.
6. Tingkat keyakinan aqidah seseorang bergatung kepada tingkat pemahamannya terhadap
dalil.
b. Pengertian Akhlak
Istilah “akhlak” diambil dari bahasa Arab, plural dari akar kata khuluq, yang menurut kamus
Marbawi diartikan sebagai perangai, adat. Kemudian ditranskrip ke dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan.[6] Jadi, akhlak merupakan
sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah
laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka
disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila
tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau
akhlakul madzmumah.
Namun ada yang mengatakan bahwa secara bahasa kata akhlak merupakan isim jamid atau
ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang
sudah demikian adanya. Kata akhlak adalah jama’ dari kata khilqun atau khuluqun yang
artinya sama dengan arti akhlak sebagai mana telah disebutkan diatas. Baik kata akhlak atau
khuluq keduanya dapat dijumpai pemakaiannya dalam al-quran al-sunnah, misalnya terdapat
dalam surah Al-Qalam ayat 4 yang mempunyai arti “budi pekerti” dan surat Al-Syu’ara ayat
137 yang mempunyai pengertian “adat istiadat”[7]
Ada beberapa pendapat para pemikir akhlak, untuk memberikan deskripsi akhlak secara
bulat[8]:
1) Imam Al Ghazali berpendapat bahwa akhlak adalah gejala jiwa yang dari padanya
lahir tingkah laku perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan.
Apabila yang lahir dari jiwa itu perbuatan yang baik menurut akal dan syara’, maka laku
perbuatan itu baik. Akan tetapi apabila yang lahir dari gejala jiwa itu perbuatan buruk maka
perbuatan buruk.
2) Syekh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa akhlak ialah gejala kejiwaan yang
realisasinya dengan keadaan yang pantas maka dikerjakan dan apabila keadaannya tidak
pantas maka ditinggalkan.
3) Ahmad Amin berpendapat bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak dengan
memenangkan keinginan secara terus-terusan.
4) Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa akhlak ialah keadaan jiwa yang dari padanya
keluar perbuatan-perbuatan tanpa pikiran dan pertimbangan.
Kalau ditilik secara garis besarnya, maka kesemua pengertian sebagai contoh di atas nampak
tidak adanya kesamaannya. Tetapi semua para pemikir akhlak mengakui bahwa semua
pengertian itu mengandung unsur esensi yang sama ialah: laku perbuatan yang sadar terbiasa,
yang berdasarkan norma baik buruk yang dijadikan standard dalam pergaulan.
2. Ruang lingkup aqidah
Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan akidah terdiri dari[9]:
a. Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah
(Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama- nama dan sifat- sifat Allah, Af’al dan lain- lain.
b. Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab- kitab Allah, mu’jizat, karamah dan sebagainya.
c. Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain- lain.
d. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sami’ (dalil naqli berupa Al- Qur’an dan sunnah seperti alam barzah, akhirat, azab kubur,
tanda- tanda kiamat, surga neraka, dan sebagainya)
Selain yang terpapar diatas, ruang lingkup aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul
iman, yaitu:
1. Iman kepada Allah SWT
2. Iman kepada malaikat- malaikat Allah
3. Iman kepada kitab- kitab Allah
4. Iman kepada Nabi dan Rasul
5. Iman kepada hari akhir
6. Iman kepada qadha dan qadar Allah
3. Ruang lingkup akhlak
Dalam hal ini ruang lingkup pembahasa akhlak dibagi menjadi beberapa hal yang di
antaranya[10]:
a. Akhlak terhadap Allah SWT
Yang dimaksud adalah sikap dan perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia
terhadap Allah SWT. Ini meliputi beribadah kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, berdoa,
berzikir, dan bersyukur serta tunduk dan taat hanya kepada Allah SWT.
QS.Adz Dzariyat ayat 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (QS.Adz Dzariyat: 56)
QS. Thaha ayat 14
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ’ÎTô‰ç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
ü“Ìò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
Artinya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”. (QS. Thaha ayat 14)
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian aqidah secara etimologis
(lughatan), aqidah berakar dari kata aqada ya’qidu -‘aqdan-aqidatan. Aqdan berarti simpul,
ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi
antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinanan itu tersimpul dengan kokoh di dalam
hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Sedangkan secara teminologis
(ishthilahan), aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hati
(mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun
dengan keragu-raguan atau sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma)
oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. Yakni kesahihan dan keberadaannya
(secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Sedangkan Pengertian istilah “akhlak” diambil dari bahasa Arab, plural dari akar kata khuluq,
yang menurut kamus Marbawi diartikan sebagai perangai, adat. Kemudian ditranskrip ke
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan.
Sehingga akhlak adalah laku perbuatan yang sadar terbiasa, yang berdasarkan norma baik
buruk yang dijadikan standard dalam pergaulan.
Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan akidah terdiri dari: Ilahiyat, Nubuwat,
Ruhaniyat, Sam’iyyat. Selain itu, ruang lingkup aqidah bisa juga mengikuti sistematika
arkanul iman, yaitu: iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat- malaikat Allah, iman
kepada kitab- kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada hari akhir, iman kepada
qadha dan qadar Allah.
Sedangkan ruang lingkup pembahasa akhlak dibagi menjadi beberapa hal yang di antaranya:
akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap Manusia (akhlak terhadap diri sendiri, akhlak
terhadap keluarga, akhlak terhadap Masyarakat), akhlak terhadap Alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin. 1975. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT Bulan Bintang
H. Z. A. Syihab. 1998. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: PT Bumi Aksara
Idris Yahya. 1983. Telaah Akhlak Dari Sudut Teoritis. Semarang: Badan penerbit fakultas
usuluddin IAIN walisongo Semarang
M.Sholihin dan M.Rasyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: Penerbit Nuansa
Nurhayati dan Iffa Chumaida, Fitrah Aqidah Akhlak, Solo: CV Al Fath
Yunahar Ilyas. 1993. Kuliah Aqidah Islam. yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam