Anda di halaman 1dari 15

1

MEMELIHARA EKUILIBRIUM IMAN, ILMU DAN AMAL


PRESPEKTIF ISLAM

Makalah Dipresentasikan Pada Lokakarya Penyusunan Materi AIK &

Penyegaran Dosen AIK PTM

Di Yogyakarta

Oleh:

M. Fazlurraman H.

LEMBAGA PENGKAJI AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2015
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi setiap Muslim, akidah adalah bagian yang paling mendasar dari kesadaran
keagamaannya. Pula, akidah merupakan landasan pokok dari setiap amal seorang muslim
dan sangat menentukan terhadap nilai sebuah amal, karena akidah erat kaitannya dengan
hati. Dalam Islam, antara iman, ilmu, juga amal terdapat korelasi yang terintegrasi ke
dalam agama Islam. Dimana Islam ialah agama yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia, yang terkandung di dalamnya tiga ruang lingkup, yaitu: akidah, shari’ah, dan
akhlak. Adapun iman, ilmu, serta amal include ke dalam ranah tersebut. Iman berorientasi
pada rukun iman yang enam, sedangkan ilmu dan amal orientasinya terhadap rukun islam
yaitu mengenai tata cara ibadah dan implementasinya.
Sebagaimana disampaikan di atas, maka akidah sebagai kepercayaan inilah yang
kemudian melahirkan bentuk keimanan. Lalu, shari’ah ialah peraturan yang diciptakan
Allah agar menjadi pegangan bagi manusia dalam beribadah dan beramal. Artinya
shari’ahlah yang membahas amaliyah seorang muslim kepada Allah dan pada sesama
manusia, yakni berupa perintah serta larangan-Nya. Kedekatan manusia dengan Allah
memunculkan rukun islam, mengenai hubungan manusia dengan manusia melahirkan
adanya muamala>t, muna>kaha>t, jina>ya>t, dan yang lainnya. Intinya, orientasi dari
shari’ah inilah yang mencetuskan adanya ilmu dan amal.
Manusia sebagai makhluk Allah tentu mempunyai kewajiban atau tanggung jawab
untuk beribadah kepada Allah SWT. Namun, ibadah memiliki tata cara dan aturan
tertentu. Dengan begitu dibutuhkan ilmu untuk mengetahui cara ibadah yang benar, itulah
kenapa ketiga dasar tersebut tidak dapat dipisahkan. Meskipun hal yang paling
menentukan ialah keimanan atau akidah, tetapi tanpa integrasi ilmu serta amal dalam
perilaku kehidupan muslim, maka keislaman seorang muslim menjadi kurang sempurna.
Bahkan akan mengakibatkan degradasi keimanan pada diri muslim, sebab eksistensi
perilaku lahiriyah seorang muslim adalah perlambang batinnya. Dan jika IPTEK
dikembangkan atas nilai-nilai iman juga ilmu akan menghasilkan amal s}aleh serta yang
terjadi bukan kerusakan alam.
Oleh karena itu, mengapa perlu adanya usaha untuk meningkatkan dan
menyeimbangkan iman, ilmu, pun amal. Sebab, keintegralan ketiganya dalam setiap
pribadi muslim adalah entitas untuk merealisasikan tujuan Islam sebagai agama pembawa
kedamaian serta keselamatan. Sebaliknya, pengabaian salah satu komponen tersebut akan
menjadi stimulan kerusakan juga kehancuran. Sehingga dengan kuatnya iman, ilmu dan
amal merupakan syarat awal terbentuknya akhlak yang mahmudah (baik). Jadi iman
bukanlah sekedar yakin serta membenarkan saja. Keyakinan dan pembenaran
membutuhkan pembuktian yang menunjukkan sah tidaknya iman tersebut. Maka dari pada
itu, iman yang sekedar melekat di hati belum termasuk iman yang ka>mil (paripurna).
Sebab, keyakinan-pembenaran juga berarti pengungkapan dengan lisan dan penegasan
dengan amal perbuatan.
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian iman, ilmu dan amal?
2. Bagaimana jika iman tanpa ilmu dan amal atau sebaliknya?
3. Bagaimana cara menyeimbangkan antara iman, ilmu dan amal dalam Islam?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka
tujuan dari masalah ini adalah:
1. Agar mengetahui pengertian iman, ilmu dan amal
2. Untuk mengetahui juga memahami korelasi dari iman, ilmu dan amal
3. Agar dapat meng-equivalent-kan antara iman, ilmu dan amal

BAB II

PEMBAHASAN
4

A. Terminologi Iman, Ilmu dan Amal


1. Pengertian Iman
Iman secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang artinya percaya atau yakin.
Sedangkan iman berdasarkan terminologi terdapat perbedaan pendapat mengenainya,
sebagaimana disampaikan Yunahar Ilyas yang dikutip dari Sulaiman al-Ashkar dari
bukunya yang berjudul al-‘Aqi>dah fillah, menurutnya:
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang
membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam
(aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar.
Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan
pembuktian dengan amal. Sebenarnya masalahnya tergantung dari definisi
iman. Kalau kita mengikuti definisi iman menurut Jah}miyah dan ‘Ash’ariyah
yang mengatakan bahwa iman hanyalah al-Tas}diq (membenarkan dalam hati)
maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini
pendapat imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah
‘I’tiqa>d, sedangkan amal ialah bukti iman, tetapi tak dinamai iman.
Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama’-ulama’ seperti:
Imam Ahmad, Malik, Sha>fi’i, yang mengatakan bahwa iman adalah:
‫باألركان‬
ِ ْ ُ‫بالجنان ون‬
‫ط ُق باللسان وعم ٌل‬ ِ ‫إعتقا ُد‬
“seseuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan
dengan anggota tubuh”. Maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.1

Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang


beriman) sempurna apabila dapat memenuhi ketiga unsur tersebut. Jika seseorang
mengakui dalam hatinya mengenai kebaradaan Allah, namun tidak diikrarkan dengan
lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, jadi orang tersebut belum dapat dikatakan
sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga elemen di atas merupakan satu-kesatuan
yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi
seseorang. Allah memberkan intruksi agar umat manusia beriman kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah swt.:

‫ِى ا َ ۡنزَ َل ِم ۡن قَ ۡب ُلؕ َو َم ۡن ي َّۡكفُ ۡر‬


ٰۤۡ ‫ب الَّذ‬ ِ ‫س ۡو ِل ٖه َو ۡال ِك ٰت‬
ُ ‫ع ٰلى َر‬
َ ‫ِى ن ََّز َل‬ ۡ ‫ب الَّذ‬ِ ‫س ۡو ِل ٖه َو ۡال ِك ٰت‬
ُ ‫اّٰللِ َو َر‬ ‫ٰٰۤياَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُ ٰۡۤوا ٰا ِمنُ ۡوا بِ ه‬
‫ض ٰل ا ًۢل َب ِع ۡيداا‬
َ ‫ض َّل‬ َ ‫اۡل ِخ ِر فَقَ ۡد‬ ُ ‫اّٰللِ َو َم ٰلٰٓ ِٕٮ َك ِت ٖه َو ُكتُبِ ٖه َو ُر‬
ٰ ۡ ‫س ِل ٖه َو ۡال َي ۡو ِم‬ ‫ِب ه‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya”. (QS: An Nisa’: 136).

1
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2011), 4. Menurut penulis, jika yang dimaksud iman
dengan pengertian istilah pendapat ke dua (imam Maliki, Sha>fi’I, dan Ahmad) maka sesuai dengan contoh
dalam QS: al-Mu’minun: 1-11. Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan pendapat pertama, yaitu iman
bermakna I’tiqa>ad (aqidah), maka sebagaimana termaktub dalam QS: al-‘As}r: 3. Lihat juga: Zainuddin
Ahmad Busyra, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010), 33.
5

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa tatkala ingkar kepada Allah, maka
akan mengalami kesesatan yang nyata. Dan orang yang sesat tak akan dapat merasakan
kebahagian dalam kehidupan. Oleh karena itu, beriman kepada Allah swt. sejatinya
ialah untuk kebaikan manusia itu sendiri. 2

2. Definisi Ilmu
Dari unsur etimologi, kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‫ي ْعلَ ُم‬-‫( َع ِل َم‬tahu), jadi
ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Science berasal dari kata
scio, scire (bahasa latin yang artinnya tahu).3 Adapun dari segi terminologi, para
ilmuwan mempunyai pemahaman yang berbeda-beda, di antaranya: Churhman, C.
West & Russel L. Ackoff : “Science is efficien inquiry. (ilmu adalah penyelidikan yang
efisien).4 Sedangkan, Archie Bahm berpendapat: “Science is a name for man’s attempt
to uanderstand the nature on things by formulating hypotheses or theories about such
natures and by testing them, observationally or experimentally, to see whether or not
they hold.” ( Ilmu adalah sebuah nama bagi usaha manusia untuk memahami sifat dasar
berbagai hal dengan jalan merumuskan hipotesis-hipotesis atau teori-teori tentang sifat
dasar itu dan mengujinya secara pengamatan atau percobaan untuk mengetahui apakah
berlaku atau tidak.)5. Lain halnya dengan Endang Saifuddin Anshari, menurutnya: ilmu
adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu system mengenai
kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ikhwal
yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya
pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara
empiris, riset dan eksperimental.6
Dari beberapa definisi tentang ilmu di atas, bila ditinjau dari segi maknanya
menunjukkan sekurang-kurangnnya tiga hal, yakni aktivitas, metode, dan pengetahuan.
Pengertian ilmu sebagai aktivitas, metode, dan pengetahuan itu lebih mendalam
sesungguhnya tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan
kesatuan yang logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan
aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.

2
Selain itu, Allah mengintruksikan kepada manusia untuk beriman secara menyeluruh atau holistik, sebab bila
mengkufuri sebagian akan secara otomatis kufur keseluruhan. Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-
Kashsha>f an-Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-‘Aqa<wil fi Wujud al-Ta’wi>l, Juz I, (Kairo: Maktabah al-
Taufiqiyah, t. th),657-658.
3
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dan Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006), 95.
Bandingkan dengan Ahmad warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP Munawwir,1984),
1036. Menurutnya, ‫ي ْعلَم‬-‫عل َِم‬
َ memiliki arti mengerti atau memahami benar-benar.
4
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000), 85.
5
Ibid., 189.
6
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat & Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), 49. Beda halnya dengan
Quraish Shihab, ia menambahkan bahwa kata ilmu lebih banyak tidak melekat pada manusia tetapi pada tuhan.
Yaitu ‘alim yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), hal ini memperkuat dugaan bahwa perlakuan istimewa
umat islam atas makna ‘ilmu’ menjadi lebih beralasan lagi. Menurut Qurais Shihab, istilah yang lebih banyak
melekat pada manusia adalah kata ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan).
Lepas dari hirarki religi atas konsep ilmu ini, nampaknya makna ilmu sepadan dengan makna pengetahuan
(knowledge). M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagi Persoalan Umat.
(Bandung: Mizan, 1996), 434-435.
6

Kesatuan dan interaksi di antara aktivitas, metode, dan pengetahuan yang


boleh dikatakan menyusun diri menjadi ilmu dapatlah digambarkan dalam suatu bagan
segitiga sebagai berikut di bawah ini ;7
Aktivitas

Ilmu

Metode Pengetahuan

Maka dapat ditarik sebuah konklusi bahwa ilmu sebagai produk pikir, maka
ilmu yang Islami ini juga mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi serta situasi
sosial budaya masyarakat Islam. Sebab itu, ilmu yang meliputi seluruh aspek mengenai
alam semesta ini, seyogyanya bila bersifat terbuka, artinya ilmu pengetahuan itu sendiri
dapat menerima suatu kebenaran dari luar, sehingga ilmu sendiri dapat semakin bersifat
komprehensif.

3. Pengertian Amal
Kata ‘Amal berasal dari kata bahasa Arab yang berarti ‫( المهنة‬pekerjaan) dan
‫( الفعل‬perbuatan), yang dalam bentuk jama’nya disebut ‫أعمال‬.8 Lain halnya dengan
Ra>ghib al-As}fahany (wafat 502 H/ 108 M), menurutnya ‘amal ialah sinonim dari
kata fi’il, namun walaupun demikian keduanya tetap memiliki perbedaan yang sangat
mendasar. Dimana perbuatan atau fi’il lebih umum dari pada amal, sebab dapat dipakai
pada manusia, hewan, maupun benda-benda mati (al-Jama>da>t). Sedangkan istilah
‘amal hanya digunakan bagi manusia saja, karena itu definisi dari amal adalah prilaku
atau tindakan makhluk hidup yang disertai tujuan, apakah prilaku itu baik maupun
buruk. 9 Misalkan dalam kedua firman-Nya:

‫ت‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ِإ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh …” (QS: al-
Baqarah: 277).
‫صا ِلح‬
َ ‫غي ُْر‬ َ ُ‫إِنَّه‬
َ ‫ع َم ٌل‬
“Sesungguhnya (bawaannya) bukanlah amal yang s}aleh…” (QS: Hud: 46).

7
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000), 86-88
8
Ibn Mandzur, Lisa>n al-‘Arab, Juz 9, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, t.th), 461.
9
Husein ibn Muhammad al-Ra>ghib al-As}faha>ny, al-Mufrada>t fi Gharib al-Qur’an, Juz 2, (: Maktabah
Naza>r Must}afa> al-Ba>z, t.th), 451-452. Lihat juga dalam bukunya: Mufrada>t Alfa>dz al-Qur’an,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, t.th),587.
7

Maka, “suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan, pilihan


sendiri, dan dikerjakan dengan sengaja atau niat”. Semua itu hanya akan diperoleh dari
manusia, sebab hewan dan benda-benda mati lainnya tidak mungkin dapat melakukan
suatu tindakan atau prilaku yang berlandaskan ilmu sera niat. Dengan demikian, Allah
memerintahkan manusia untuk senantiasa beramal s}aleh dan wajib menghindari amal-
amal yang tercela atau sayyiah.

B. Korelasi antara Iman, Ilmu dan Amal


1. Antara Iman dan Ilmu
Dalam prespektif Islam, ilmu tidak berada di belakang, di samping atau
bahkan sampai menentangnya sama sekali seperti yang pernah terjadi di masyarakat
Barat pada era “pencerahan” atau Renaisance. Ideologi Islam tidak pernah mengenal
antithesis atau paradoks antara iman dan ilmu, hal semacam ini sama sekali tidak
terdapat dalam “ensiklopedi Islam”, baik qauliyah maupun qauniyah.
Maka dari pada itu, kita tidak dapat memakai frame-work Barat atau tradisi-
tradisi agama pagan dalam memaknai Islam, lebih-lebih dalam permasalahan keimanan,
keilmuan serta kehidupan. Kebanyakan mereka memakai pendekatana sosiologi-
antropologi-psikologi untuk memahami agama, sehingga sepenuhnya bersifat empiris-
sekuler-relatif. Dengan demikian, berdasarkan paradigma ini, segala hal yang tak dapat
dibuktikan secara empirisme, adalah sesuatu yang tak dapat diterima. Jika pun dapat
diterima, maka ia akan bersifat relatif dan cenderung subyektif. Yusuf Qard}a>wy
menulis sebuah buku kecil yang dengan detail mengupas persoalan Manzilah al-Aql wa
al-‘Ilm fi al-Isla>m (Posisi Akal dan Ilmu dalam Islam)juga Atha>r al-‘Ilm fi al-Ima>n
wa al-Sulu>k (Dampak Ilmu terhadap Iman dan Suluk). Menurutnya agama Islam
dalam rangka membangun keyakinan atau keimanan, sudah semestinya akan menolak
taklid dan tab’iyah (mengekor), maka Alla mengingatkan dalam firman-Nya:

‫علَ ۡي ِه ٰا َبا ٰٓ َءنَا ا َ َولَ ۡو َكانَ ٰابَا ٰٓ ُؤ ُه ۡم َۡل‬


َ ‫س ۡو ِل قَالُ ۡوا َح ۡسبُنَا َما َو َج ۡدنَا‬ ‫َواِذَا ِق ۡي َل لَ ُه ۡم ت َ َعالَ ۡوا ا ِٰلى َم ٰۤا ا َ ۡنزَ َل ه‬
َّ ‫ّٰللاُ َواِلَى‬
ُ ‫الر‬
َ‫يَعۡ لَ ُم ۡونَ ش َۡيــًٔـا َّو َۡل يَهۡ تَد ُۡون‬

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan


Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami
dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti
nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa
dan tidak (pula) mendapat petunjuk”. (QS: al-Maidah: 104).
Pada hakikatnya ilmu dan iman itu berjalan beriringan seirama menurut kaca
mata Islam, maka dengan sebab itu dihimpun menjadi satu dalam al-Qur’an, sebagai
berikut:10

ِ ۡ‫ّٰللاِ ا ِٰلى يَ ۡو ِم ۡالبَـع‬


‫ث‬ ‫ب ه‬ ِ ۡ ‫َوقَا َل الَّذ ِۡينَ ا ُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم َو‬
ِ ‫اۡل ۡي َمانَ لَقَ ۡد لَبِ ۡثـت ُ ۡم فِ ۡى ِك ٰت‬

10
Yusuf Qard}a>wy, al-Hayah al-Rabba>niyah wa al-‘Ilm; Taysi>r Fiqh al-Suluk fi D{au’i al-Qur’an wa al-
Sunnah, (t.t: Maktabah Wahbah, t.th),67.
8

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan


(kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur)
menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit”. (QS: al-Rum: 56).
Maka seseorang yang berilmu sudah tentu beriman, dan sebaliknya bahwa
tidaklah beriman seseorang sebelum berilmu. Senada dengan firman Allah:11

‫ّٰللاَ لَ َها ِد الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُ ٰۡۤوا ا ِٰلى‬ ُّ ‫َّو ِليَـعۡ لَ َم الَّذ ِۡينَ ا ُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم اَنَّهُ ۡال َح‬
‫ـق ِم ۡن َّر ِبكَ فَي ُۡؤ ِمنُ ۡوا ِب ٖه فَـت ُ ۡخ ِبتَ لَهٗ قُلُ ۡوبُ ُه ۡم َوا َِّن ه‬
‫ص َراط ُّم ۡست َ ِق ۡيم‬ ِ
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-
Qur'an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang
beriman kepada jalan yang lurus”. (QS: al-Hajj: 54). Demikianlah ilmu dan iman tidak
ada pemisahnya, supaya diketahui bahwa iman menghasilkan gerakan hati yang
bernama al-Ikhba>t (tunduk dan patuh atau tawad}u’), dan Khushu’ (penuh
konsentrasi) kepada Allah. Sedangkan iman ialah buah dari ilmu itu sendiri.12 Sehingga
dipertegas kembali oleh Allah dalam firman-Nya:

‫اط ۡال َع ِز ۡي ِز ۡال َح ِم ۡي ِد‬ ِ ‫ِى ا ِٰلى‬


ِ ‫ص َر‬ َّ ‫ِى ا ُ ۡن ِز َل اِلَ ۡيكَ ِم ۡن َّر ِبكَ ُه َو ۡال َح‬
ٰۤۡ ‫ـق ۙ َويَهۡ د‬ ٰۤۡ ‫َويَ َرى الَّذ ِۡينَ ا ُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم الَّذ‬

“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia)
kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS: Saba>’: 6).

Ilmu yang hanif (lurus) lah yang dapat menghayati keimanan, dan iman yang
hakikilah bisa melapangkan wawasan keilmuan. Oleh karena itu keduanya merupakan
dua hal yang sepadan dan selaras, pun saling ber-tafahum, bahkan dapat diibaratkan
dua saudara yang saling berkerja sama. Maka ilmu semacam inilah yang dikehendaki
oleh Islam, apapun tema serta pokok bahasannya. Islam berkeinginan ilmu yang berada
di bawah naungan iman dengan pula berbagai nilainya yang luhur. 13 Menuju arah itulah
Islam menuntun saat pertama kali Allah berfirman dalam QS: al-‘Alaq ayat 1: “Iqra>’”
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Maknanya tidak hanya
dengan nama Allah, melainkan juga atas izin, perintah, dan keberkahan-Nya.

2. Between Ilmu dan Amal


Ilmu tanpa diiringi dengan amal maka hanya berupa konsep-konsep saja. Ilmu
yang tidak dilanjutkan dengan perbuatan, mungkin dapat disebut sebagai pengetahuan
teoritis. Namun, apa faedahnya ilmu teoritis jika kita tidak diejawantahkan ke dalam
ilmu praktis, kemudian meneruskannya menjadi perbuatan yang mendatangkan hasil.
Maka dalam pandangan Islam, selain sebagai petunjuk keimanan, ilmu juga selaku
“guide” untuk beramal. Amal dalam Islam tidak hanya diartikan secara dogmatis,yaitu

11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ibid., 66.
9

hanya terbatas pada ibadah wajib saja, begitu pula dengan ilmu tak hanya mencakup
ilmu fikih dan ilmu-ilmu agama saja. Artinya, ilmu dapat meliputi semua yang
bermanfaat bagi manusia seperti ilmu sosial, budaya, alam dan yang lainnya. Jadi
menyandingkan amal dengan ilmu adalah sebuah keharusan.
Menurut Imam Ibn al-Qayyim sebagaimana dikutip oleh Muhamad ibn Sa’id
dalam bukunya al-‘Ilm wa al-‘Amal, bahwa amal adalah tahapan dari beberapa
tingkatan dalam mendapatkan ilmu, dan saat amal itu tiada maka otomatis ilmu tesebut
juga nihil. Allah mengingatkan dalam firman-Nya:

َّ ‫إِ َّن فِي ذَلِكَ لَ ِذ ْك َرى ِل َم ْن َكانَ لَهُ َق ْلبٌ أ َ ْو أ َ ْلقَى ال‬
َ ‫س ْم َع َو ُه َو‬
ٌ‫ش ِهيد‬
“Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya.” (QS: Qaf:37). Dimana menurutnya, menuntut ilmu itu memiliki
enam level, antaralain: bertanya dengan baik, conversation dan listening yang bagus,
mempunyai pemahaman cemerlang, menghafal, belajar, dan yang terakhir adalah
buahnya yaitu amal.14
Dan ilmu adalah pembimbing dan penunjuk arah bagi amal, sehingga beramal
dengan menggunakan ilmu dapat diibaratkan mengarahkan jiwa kepada hal-hal yang
sifatnya tidak disukai oleh hati atau menjauhi hawa nafsu tersebut, pun hal itu termasuk
yang disebut sebagai Jihad al-Nafsy.15 Oleh sebab itu menurutnya Ulama>’ itu ada tiga
variannya, di antaranya: Pertama, orang yang berilmu (‘A<lim) yang menyinari dirinya
dan manusia lainnya, maka yang demikian inilah yang disebut pewaris para nabi.
Kedua, orang yang mempunyai ilmu juga dapat menerangi dirinya, namun tidak dapat
bermanfaat bagi orang lain, dan seperti ini disebut orang yang lalai atau sedang menyia-
nyiakan dirinya sendiri. Ketiga, seorang yang ‘A<lim tetapi ilmunya tidak bermanfaat
bagi dirinya sendiri maupun orang lain, sesunggunya ulama’ yang demikian ilmunya
petaka baginya.16
Jadi tidak ada manfaatnya teori-teori atau penemuan-penemuan yang
didapatkan oleh seorang ilmuwan, jika tak diubah menjadi perbuatan yang nyata,
karena wujud dari pengetahuan itu ialah amal dan karya nyatanya. Jika ilmu tidak
diimplementasikan maka akan memberikan dampak yang negatif. Diantara penyakit
sosial yang paling berbahaya melanda berbagai umat -termasuk umat Islam- adalah
penyakit pengandasan ilmu -khususnya ilmu-ilmu agama- dari amal perbuatan, dan
menyeabkan berubahnya ilmu menjadi sekumpulan teori belaka yang jauh dari
kenyataan dan penerapan. Padahal, kaidah Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa
menyeru kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang
senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu
maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun sebaliknya, jika tidak terjadi
hubungan yang baik diantara keduanya, maka ilmu akan meninggalkan amal perbuatan,

14
Muhammad ibn Sa’id ibn Rusla>n, al-‘Ilm wa al-‘Amal, (Mesir: Da>r al-Furqa>n, 2008), 65.
15
Adapun jihad melawan hawa nafsu ada empat, yaitu: Pertama, berjihad dengan cara memberikan asupan
ilmu-ilmu agama atau mencari hidayah Allah; Kedua, berjihad melalui amal yang tentunya setelah mendapatkan
ilmu (mekanismenya), sebab ilmu hanya sekedar teori jika tidak dipraktekkan, bahkan tidak akan mendatangkan
faidah pada pemiliknya; Ketiga, melalui berdakwah mengajak amar ma’ruf nahi munkar ; Keempat,bersabar
dalam menghadapi cobaan saat berdakwah di jalan Allah. Ibid., 73.
16
Ibid., 75.
10

dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan faedah apa pun. Apabila demikian, lantas
nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang mempunyai segudang teori dan
pengetahuan namun tidak mempraktikkannya dalam dunia nyata?!.
Afiliasi ilmu dengan amal tidak hanya dituntut dari para pencari ilmu-ilmu
agama dan para ahli yang mendalami suatu ilmu, akan tetapi pula dituntut dari setiap
insan, walaupun tidak sebanyak ilmu para ilmuwan. Namun, pada hakikatnya insan-
insan cendekia atau kaum intelektual memiliki responsibility yang lebih besar dalam
hal ini, sebab mereka dititipkan “amanah” yang lebih dari pada lainnya. Allah SWT
berfirman:

‫ٰٰۤياَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُ ۡوا ِل َم تَقُ ۡولُ ۡونَ َما َۡل ت َۡفعَلُ ۡونَ َكب َُر َم ۡقتاا ِع ۡندَ ه‬
َ‫ّٰللاِ ا َ ۡن تَقُ ۡولُ ۡوا َما َۡل ت َۡفعَلُ ۡون‬
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: al-S{af: 2-3). Sehingga
dikatakan, bahwa pada hari kiamat nanti ada dua orang yang paling bersedih, yaitu:
seseorang yang melihat hartanya di timbangan tetapi tidak merasa bahagia, maka
rugilah orang tersebut. Begitu pula dengan orang yang melihat ilmunya di timbangan
dan dia tidak gembira dengannya.17
3. Iman dan Korelasinya dengan Amal
Iman merupakan suatu kecenderungan hati yang sangat kuat untuk
mempercayai sesuatu. Hal ini menuntut suatu komitmen atas konsekuensi-
konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan
imannya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun tidak
bermaksud untuk mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, berarti pada
dasarnya dia belum beriman dengan sesuatu itu, begitu juga orang yang ragu untuk
mengamalkan konsekuensi-konsekuensi tersebut.
Adakalanya usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya
tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh
positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan
menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Dengan demikian, usaha-usaha baik
seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan
bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan
membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya.
Allah SWT berfirman:

َّ ‫ب َو ۡالعَ َم ُل ال‬
ؕ ٗ‫صا ِل ُح يَ ۡرفَعُه‬ َّ ‫َم ۡن َكانَ ي ُِر ۡيدُ ۡال ِع َّزة َ فَ ِلله ِه ۡال ِع َّزة ُ َج ِم ۡيعااؕ اِلَ ۡي ِه يَصۡ عَدُ ۡالـ َك ِل ُم ا‬
ُ ِ‫لطي‬
‫ولٰٓ ِٕٮكَ ُه َو َيب ُۡو ُر‬
ٰ ُ ‫شدِيدٌ َو َم ۡك ُر ا‬ َ ٌ‫عذَاب‬ َ ‫ت لَ ُه ۡم‬ ِ ‫س ِي ٰا‬َّ ‫َو الَّذ ِۡينَ َيمۡ ُك ُر ۡونَ ال‬
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan
itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang
keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS: Fa>t}ir: 10). Sebagian ahli tafsir
mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah Kalimat Tauhid yaitu "Laa ilaaha

17
Muhammad ibn Sa’id ibn Rusla>n, al-‘Ilm wa al-‘Amal, (Mesir: Da>r al-Furqa>n, 2008), 100.
11

illallaah", dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang
mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.18
Oleh karena itu sebagai hamba Allah, dalam berbuat kebaikan harus disertai
dengan niat yang ikhlas karena Allah semata, tentunya harus sesuai al-Qur’an, hadith,
dan contoh dari Nabi SAW. Lebih tepatnya, mengetahui tata cara atau ilmunya, yang
akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya.19
Jadi, dengan memperhatikan adanya hubungan timbal balik antara iman dan
amal, serta pengaruhnya dalam meraih tujuan hidup seseorang dapat dikatakan bahwa
iman merupakan faktor utama yang menentukan benar-tidaknya jalan hidup yang
ditempuh oleh seseorang. Hanya saja, sempurnanya pengaruh positif faktor ini amat
bergantung kepada amal-amal shaleh dan menjaganya dari gangguan-gangguan dosa
dengan menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan apa yang diperintahkan dan
melakukan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya akan melemahkan serta
mengurangi kadar keimanan seseorang bahkan mampu memupuskannya. Bahkan,
percaya akan akidah-akidah sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat
mengubah esensi keimanan seorang mukmin. Ringkasnya, seorang yang mengaku
beriman harus menjalankan amalan keimanan, begitu pula orang yang mengaku islam
harus menyatakan keislamannya.

C. Memelihara Ekuilibrium antara Iman, Ilmu dan Amal


Sejatinya menurut prespektif Islam, antara iman, ilmu dan amal terdapat
keterkaitan yang harmonis serta dinamis, kemudian terintegrasi ke dalam satu sistem yang
disebut agama Islam. Dimana terkandung di dalamnya tiga unsur pokok, yakni akidah,
shari’ah serta akhlak, dengan kata lain dapat juga di artikan iman, ilmu juga amal s}aleh.
Islam adalah agama yang sempurna, karena transendenya dapat digambarkan dalam
keutuhan ajarannya. Di dalam al-Qur’an dinyatakan:
‫س َما ٰٓ ۙ ِء ت ُ ۡؤتِ ٰۡۤى ا ُ ُكلَ َها ُك َّل ِح ۡي ۢن‬
َّ ‫ع َها فِى ال‬ ُ ‫طيِبَة اَصۡ لُ َها ثَابِتٌ َّوفَ ۡر‬ َ ‫ش َج َرة‬ َ ‫طيِبَةا َك‬
َ ‫ّٰللاُ َمث َ اًل َك ِل َمةا‬
‫ب ه‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫اَلَ ۡم ت ََر َك ۡي‬
َ ‫ف‬
ِ َّ‫ّٰللاُ ۡاۡلَمۡ ثَا َل ِللن‬
َ‫اس لَ َعلَّ ُه ۡم يَتَذَ َّك ُر ۡون‬ ‫ب ه‬ ُ ‫ض ِر‬ۡ ‫ِبا ِۡذ ِن َر ِب َهاؕ َو َي‬
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, Termasuk dalam "kalimat yang baik" ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang
menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik.
Kalimat tauhid seperti "laa ilaa ha illallaah". pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk

18
Zamakhshary dalam tafsirnya al-Kashsha>f menafsirkan kata “al-Kalimu al-T{ayyib” dengan kalimat ‫الإله إال‬
‫ هللا‬maka dengan demikian ini adalah kalimat tauhid atau keimanan. Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-
Kashsha>f an-Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-‘Aqa<wil fi Wujud al-Ta’wi>l, Juz III, (Kairo: Maktabah al-
Taufiqiyah, t. th),676-677. Lain halnya dengan Ibn Kathir, ayat tersebut diinterpretasikan sebagai zikir, meliputi
Takbir, Tasbih, Tahlil, membaca al-Qur’an, do’a, istighfar, dan yang lainnya. Lihat: Ibn Kathir,Tafsir Ibn
Kathir, Jilid 7, Terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2008), 401-
404.
19
Muhammad ibn Mahmud Khud}air, al-Ima>n ‘Inda al-Salaf wa ‘Ala>qatuh bi al-‘Amal wa Kashfu
Shubha>t al-Mu’a>s}irin, Juz 2, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 1428 H), 239.
12

manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS: Ibrahim: 24-25).20Dari ayat di atas terdapat
keutuhan yang terkandung pada tiga ruang lingkup, yaitu akidah, shari’ah dan akhlak.
Adapun iman, ilmu serta amal berada di dalam ruang lingkup tersebut. Iman berorientasi
terhadap rukun iman yang enam, sedangkan ilmu dan amal berorientasi pada rukun islam
yaitu tentang mekanisme pelaksanaan ibadah dan aplikasinya.

Islam mengajarkan dan menjamin keselamatan hidup manusia, jika mereka


berpegang teguh pada perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana firman-Nya:

‫علَ ۡي ِه ُم‬
َ ‫ض ِر َب ۡت‬ُ ‫ضب من للاِ َو‬ َ َ‫اس َو َبا ٰٓ ُء ۡو ِبغ‬
ِ َّ‫ّٰللاِ َو َح ۡبل ِمنَ الن‬ ‫ع َل ۡي ِه ُم الذِلَّةُ ا َ ۡينَ َما ث ُ ِقفُ ٰۡۤوا ا َِّۡل بِ َح ۡبل ِمنَ ه‬
َ ‫ض ِر َب ۡت‬ ُ
َ‫ص ۡوا َّو َكانُ ۡوا يَعۡ تَد ُۡون‬
َ ‫ع‬ ٰ ۢ ۡ ُ ۡ
َ ‫ّٰللاِ َويَقتُل ۡونَ اۡلَ ۡنبِيَا ٰٓ َء ِبغ َۡي ِر َحقؕ ذ لِكَ ِب َما‬
‫ت ه‬ ٰ ۡ
ِ ‫ال َم ۡس َكنَة ذلك بأنَّ ُه ۡم َكانُ ۡوا يَكفُ ُر ۡونَ ِبا ٰي‬ُ ۡ

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan
yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS:
Ali Imran: 112). Berkomitmen secara istiqamah pada ajaran Allah merupakan aqidah.
Berpegang teguh pada perjanjian dengan sesama manusia adalah perwujudan akhlak.
Aktivitas memegang teguh ajaran Allah dan perjanjian dengan manusia merupakan
penerapan shari’ah.

Dengan kata lain, syariah yang didasari oleh kelurusan aqidah akan
menghasilkan akhlak (kemanfaatannya dirasakan oleh manusia lain). Contohnya adalah
s}alat, perbuatan s}alat (shariah) akan bermakna apabila didasari motivasi semata-mata
karena Allah (aqidah) dan berdampak positif bagi perilaku orang yang melaksanakan
s}alat untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dengan orang lain (akhlak).
Aqidah, Shariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai
sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan
sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara shariah sebagai system nilai berisi
peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika
menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama. Namun, sekali lagi perlu
diingat sebagaimana firman-Nya:
َ ‫س ُك ۡم َوا َ ۡنت ُ ۡم ت َ ۡتلُ ۡونَ ۡال ِك ٰت‬
َ‫بؕ اَفَ ًَل ت َعۡ ِقلُ ۡون‬ َ ‫اس ِب ۡال ِب ِر َوت َۡن‬
َ ُ‫س ۡونَ ا َ ۡنف‬ َ َّ‫اَت َۡا ُم ُر ۡونَ الن‬
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?”. (QS: al-Baqarah: 44).21 Berdasarkan ayat tersebut, fenomena
yang kerap kali melanda seorang muslim adalah seperti digambarkan ayat di atas, yaitu

20
Lihat: Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kashsha>f an-Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-‘Aqa<wil fi
Wujud al-Ta’wi>l, Juz II, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, t. th),604-605; Ibn Kathir, Jilid 5, Terj. M. Abdul
Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2008), 66-68.
21
Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kashsha>f an-Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-‘Aqa<wil fi Wujud
al-Ta’wi>l, Juz I, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, t. th),164-165. Bandingkang dengan Ibn Kathir, Jilid 1, Terj.
M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2008), 121-123.
13

mengajak dan mengingatkan orang lain, tetapi dirinya sendiri terperosok pada lubang yang
sama. Hal yang demikian ini tidak akan terjadi jika iman atau aqidah orang tersebut
kokoh, lalu bersinergi pada shariah dan amalnya, sehingga menjadi satu-kesatuan yang
komprehensif.
Meskipun hal yang paling menentukan adalah aqidah atau iman, namun tanpa
integritas ilmu dan amal dalam tindak-tanduk kehidupan manusia muslim, maka keislaman
seorang muslim tersebut menjadi kurang utuh. Bahkan akan mengakibatkan degradasi
keimanan pada diri muslim, sebab eksistensi perbuatan lahiriyah seoarang muslim ialah
perlambang batinnya.

BAB III

PENUTUP

Iman adalah sebuah keyakinan, ilmu ialah mengetahui dan memahami mengenai
hakikat sesuatu, dan amal yaitu perbuatan yang memberi manfaat bagi pelakunya maupun
orang lain. Iman, ilmu dan amal dapat dianalogikan sebuah pohon. Iman sebagai akarnya,
ilmu adalah pohon yang mengeluarkan dahan serta cabang-cabang ilmu pengetahuan, adapun
amal s}aleh adalah buah yang dihasilkan dari pohon tersebut, yang melahirkan bermacam-
macam hal, seperti teknologi, seni, budaya dan lainnya. Tanggung jawab seorang yang
berilmu kemudian harus memupuknya dengan amal s}aleh berdasarkan keimanan yang
14

benar. Sebab, diantara ketiganya terdapat korelasi atau keterkaitan yang terintegrasi ke dalam
agama Islam. Ketiganya dapat dibedakan, namun tak bisa dipisahkan, karena jika gugur salah
satunya akan tejadi ketimpangan.

Dari uraian di atas setidaknya dapat memberikan pencerahan kepada kita bahwa
keseimbangan iman (percaya adanya Allah) harus di topang dengan ilmu pengetahuan yang
cukup, agar kita tidak terjebak pada fanatisme dan terhindar dari tindakan saling
mengkafirkan orang lain yang selama ini terjadi. Bila iman itu telah tertanam di hati setiap
insan muslim dengan baik, dan di bungkus dengan ilmu pengetahuan yang cukup, maka harus
di aktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Diantaranya membantu kaum yang lemah
serta memberi pemahaman tentang Tuhan dengan baik dan benar. Wallahu A’la>m bi al-
S{awa>b.

DAFTAR PUSTAKA

al-As}faha>ny, Husein ibn Muhammad al-Ra>ghib. al-Mufrada>t fi Gharib al-Qur’an, (t.t:


Maktabah Naza>r Must}afa> al-Ba>z, t.th).

___________________. Mufrada>t Alfa>dz al-Qur’an, (Damaskus: Da>r al-Qalam, t.th).

Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat & Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979)

Gie,The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000)


15

Guessoum. Nidhal, Islam dan Sainns Modern; Bagaimana Mempertemukan Islam dengan
Sains Modern, Terj. Maufur, (Bandung: Mizan, 2014).

Ibn Kathir,Tafsir Ibn Kathir, Jilid 7, Terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari,
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2008)

Ibn Mandzur, Lisa>n al-‘Arab, Juz 9, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, t.th).

Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2011)

Khud}air, Muhammad ibn Mahmud. al-Ima>n ‘Inda al-Salaf wa ‘Ala>qatuh bi al-‘Amal wa


Kashfu Shubha>t al-Mu’a>s}irin, Juz 2, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 1428 H)

Ma’arif. Ahmad Syafi’i, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008)

Munawwir. Ahmad warson, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP Munawwir,1984)

Qard}a>wy. Yusuf, al-Hayah al-Rabba>niyah wa al-‘Ilm; Taysi>r Fiqh al-Suluk fi D{au’i


al-Qur’an wa al-Sunnah, (t.t: Maktabah Wahbah, t.th)

Rusla>n. Muhammad ibn Sa’id, al-‘Ilm wa al-‘Amal, (Mesir: Da>r al-Furqa>n, 2008)

Shihab. Muhamad Quraish, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagi Persoalan
Umat. (Bandung: Mizan, 1996).

______________________, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994).

Sumarna. Cecep, Filsafat Ilmu dan Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2006)

al-Zamakhsyari. Mahmud ibn ‘Umar, al-Kashsha>f an-Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-


‘Aqa<wil fi Wujud al-Ta’wi>l, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, t. th).

Anda mungkin juga menyukai