Anda di halaman 1dari 15

III.

PEMBELAJARAN

A. Kegiatan Pembelajaran ke-1

1. Tujuan Pembelajaran

a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian akidah


b. Mahasiswa mampu menerangkan ruang lingkup pembahasan yang
terdapat dalam akidah
c. Mahasiswa mampu mendeskripsikan dalil-dalil naqli yang digunakan
dalam memahami akidah.

2. Materi Pembelajaran

a. Pengertian dan Dalil-Dalil Akidah

Menurut bahasa, kata akidah berasal dari bahasa Arab, yang berakar
dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqīdatan. ‘Aqdan berarti simpulan,
ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqīdah, berarti
keyakinan.1 Menurut Haroen, aqīdah yang berasal dari ‘aqada berarti
mengikat, membuhul, menyimpulkan, mengokohkan atau menjanjikan. 2
Menurut Yunahar Ilyas, “Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqīdah
adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat
mengikat dan mengandung perjanjian”.3 Sementara itu, menurut
Junaidi, ‘aqīdah adalah jama’ dari ‘aqā’id yang artinya keyakinan
keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala
bentuk aktivitas, sikap, dan pandangan hidupnya’. 4 Dalam Kamus Al-
Qur’an ‘‘aqīdah diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang
mengikat (mempertalikan) antara jiwa makhluk yang diciptakan dengan
Al-Kha̅liq (Yang Menciptakan)’.5
Dari beberapa pendapat di atas, akidah adalah keyakinan yang dianut
oleh setiap manusia terhadap sesuatu hal, yang menjadi dasar aktivitas

1
Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab al-Munawwir, (1984), h.1023
2
Hasrun Haroen, dkk.., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I (tk: ABDK-FIK, 2000), h. 78
3
Yunahar Ilyas, Kuliah ‘Aqidah Islam Aqidah Islam (LPPI, Yogyakarta, 2004), h. 1
4
Junaidi, Aqidah Islam (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 1
5
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2008), h. 26
6
dan pandangan hidupnya. Setiap manusia memiliki akidah, baik dalam
bentuk monotheisme, politheisme, maupun faham lainnya, yang
bermuara pada keyakinan yang kokoh dan tidak tergoyahkan.
Term / kata akidah dalam meng-Esakan Tuhan menjadi inti dari nilai-
nilai yang ada, ternyata tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, tetapi
pemaknaan yang serupa dengan menggunakan kata Aḥad dan
sebagainya merupakan dari penjelmaan konsep akidah tersebut.
Definisi akidah dapat diperhatikan dari sejumlah pakarnya, diantaranya;
1) Menurut Hasan al-Banna,
‫ُﻚ‬
َ ‫ُﻚ َوﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱡﻦ إِﻟَْﻴـﻬَﺎ ﻧـَ ْﻔﺴ‬
َ ‫ِق َِﺎ ﻗَـ ْﻠﺒ‬
َ ‫ﺼﺪ‬ َ ُ‫َِﺐ اَ ْن ﻳ‬ ُ ‫اَﻟْ َﻌﻘَﺎﺋِ ُﺪ ِﻫ َﻲ اْﻷُﻣ ُْﻮُر اﻟ ِﱠﱵ ﳜ‬
‫َﻚ‬
‫ْﺐ وَﻵ ﳜَُﺎﻟِﻄُﻪُ ﺷ ﱞ‬ ُ ‫َك ﻻَ ﳝَُﺎ ِز ُﺧﻪُ َرﻳ‬
َ ‫َوﺗَﻜ ُْﻮ ُن ﻳَِﻘْﻴـﻨًﺎ ِﻋﻨْﺪ‬
‘‘Aqā’id bentuk jama’ dari (‘aqīdah adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan
ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan”.6
2) Menurut Abū Bakar Jābir al-Jazāirīy,

‫ َواْﻟ ﱠﺴ ْﻤ ِﻊ‬،‫ْﻞ‬ ِ ‫اَﻟْ َﻌ ِﻘْﻴ َﺪةُ ِﻫ َﻲ ﳎَْﻤ ُْﻮ َﻋﺔٌ ِﻣ ْﻦ ﻗَﻀَﺎﻳَﺎ اْﳊَ ﱢﻖ اْﻟﺒَ ِﺪ ِﻫﻴﱠ ِﺔ اْﳌُ َﺴﻠﱠ َﻤ ِﺔ ﺑِﺎْﻟ َﻌﻘ‬
.‫ﺼﺤﱠـﺘِﻬَﺎ‬ ِ ِ‫ﺻ ْﺪ ُرﻩُ ﺧَﺎ ِزﻣًﺎ ﺑ‬ َ ‫ َوﻳـُﺜ ِْﲎ ﻋَﻠَْﻴـﻬَﺎ‬،ُ‫ ﻳـَ ْﻌ ِﻘ ُﺪ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ اْ ِﻹﻧْﺴَﺎ ُن ﻗَـ ْﻠﺒَﻪ‬، ِ‫َواْﻟ ِﻔﻄَْﺮة‬
‫ﺼ ﱡﺢ أ َْو ﻳَﻜ ُْﻮ ُن أَﺑَﺪًا‬ِ َ‫ﻗَﺎ ِﻃﻌًﺎ ﺑُِﻮﺟ ُْﻮِدﻫَﺎ َوﺛـُﺒـُﻮَِْﺎ ﻻَ ﻳـَﺮَى ِﺧﻼَﻓَـﻬَﺎ اَﻧﱠﻪُ ﻳ‬
‘‘Aki̠ dah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara
umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran
itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta pasti dan ditolak
segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu’7.
3) Menurut Nāshir al-‘Aql, Akidah Islam adalah kepercayaan yang
mantap kepada Allāh SWT, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, Hari Akhir, qadar (takdir) yang baik dan yang buruk, serta
seluruh muatan Al-Qur’an al-Karīm dan al-Sunnah al-Shaḥīḥah

6
Junaidi, h, 1.
7
Sudarsono Shobron, et al., Studi Islam 1, Peny. Mahasri Shobahiya dan Imron Rosyadi (Surakarta:
LPID, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), h. 2
7
berupa pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-
beritanya….”8
Dari ketiga definisi di atas dapat diambil intisari ciri dari akidah, yaitu;
1) Keyakinan yang tidak bercampur dengan suatu apapun.
2) Kebenaran yang dapat diterima secara umum berdasarkan akal,
wahyu dan fitrah.
3) Kebenaran yang dipatrikan dalam hati manusia dan menolak segala
sesuatu dengan kebenaran tersebut.
4) Keyakinan atau kepercayaan yang menghubungkan antara jiwa
manusia dengan Al-Khāliq yang dapat menimbulkan ketenangan dan
ketenteraman.
5) Akidah Islam adalah keyakinan yang kokoh terhadap Allāh SWT,
para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir,
qadar (takdir) yang baik dan yang buruk.
Setiap manusia telah memiliki akidah sebelum lahir ke dunia ini karena
telah melakukan syahadah (kesaksian/perjanjian) pada usia 120 hari
dalam kandungan ibunya bahwa Allāh SWT adalah Rabb (Tuhan)
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Sūrat al-A’rāf ayat 172 yang
berbunyi;

           

              

  


‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allāh mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:

8
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari dan Syaik Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, Penerj.
Izuddin Karimi dan Najib Junaidi, Ringkasan Keyakinan Islam (Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah) (Surabaya:
Pustaka Laraiba Bima Amanta, 2006), h. 282.
8
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)."

Setelah lahir ke dunia, manusia mengalami banyak benturan dan


gangguan yang terkait dengan kesaksian tersebut. Mereka
terkontaminasi oleh kondisi orangtua, lingkungan, dan kepribadiannya
sehingga merusak perjanjian tersebut.
Sebagian kondisi ini dapat diamati langsung dari hadis Nabi
Muhammad SAW:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻛ ﱡﻞ ﻣ َْﻮﻟُﻮٍد‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﺎل اﻟﻨِ ﱡ‬َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬
‫ﺼﺮَاﻧِِﻪ أ َْو ﳝَُ ﱢﺠﺴَﺎﻧِِﻪ َﻛ َﻤﺜ َِﻞ اﻟْﺒَﻬِﻴ َﻤ ِﺔ ﺗـُْﻨﺘَ ُﺞ‬
‫ﻳُﻮﻟَ ُﺪ َﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻔﻄَْﺮةِ ﻓَﺄَﺑـَﻮَاﻩُ ﻳـُ َﻬ ﱢﻮدَاﻧِِﻪ أ َْو ﻳـُﻨَ ﱢ‬
َ‫اﻟْﺒَﻬِﻴ َﻤﺔَ َﻫ ْﻞ ﺗَـﺮَى ﻓِﻴﻬَﺎ َﺟ ْﺪﻋَﺎء‬
“Dari Abū Hurayrah RadhiyAllāh ‘anh berkata, bersabda Rasūlullāh
SAW,’Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), akan tetapi
kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (mendidiknya) menjadi
Yahudi, Nashrani atau Majusi seperti seekor hewan melahirkan dan
memelihara hewan lain (anaknya). Adakah kalian lihat hal itu seperti
Jad’ā’a [nama unta milik Rasūlullāh SAW]?’ (Hadits Riwayat Bukhari no
1296)” 9
Setiap manusia yang lahir telah memiliki fitrah. Fitrah adalah
pengakuan tawḥīd atau mengesakan Tuhan.10 Konsekwensinya,
manusia yang terlahir dari keluarga muslim ataupun non-muslim, telah
memiliki bawaan alamiah, yaitu agama Tawḥīd (meng-Esa-kan Allāh
SWT).
Akidah memiliki kreteria tersendiri yang berbeda dengan kreteria yang
lain, yaitu;
1) Memiliki logika kebenaran yang dapat diterima secara umum.

9
Kutubu al-Tis’ah, CD/Program Digital Hadis.
10
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-quran, Cet. 2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 148
9
Ilmu adalah kebenaran sebab dengan memiliki ilmu manusia dapat
melihat kebenaran faktual dan nyata, paling nisbi/relatif berbentuk
logika. Untuk itu, ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu dharūrī dan ilmu
nazhārī. Ilmu dhārurī adalah ilmu yang dihasilkan oleh penginderaan,
tidak memerlukan dalil dan pembuktian. Umpamanya, ketika
seseorang melihat bola, maka sudah pasti seseorang tidak lagi
memerlukan pembuktian untuk menyatakan bahwa bola itu ada atau
tidak. Sementara itu, ilmu Nazhārī adalah ilmu yang diperoleh
dengan memerlukan dalil dan pembuktian. Umpamanya, bola adalah
benda bulat yang memiliki ukuran lingkaran tertentu. Untuk
membuktikan besarnya lingkaran bola, maka perlu dibuktikan
dengan terlebih dahulu mengukurnya. Setelah itu, dapat diketahui
berapa besar lingkaran bola tersebut.
Di antara ilmu nazhārī yang tidak perlu dibuktikan adalah hal-hal
yang sudah sangat umum dan dikenal, maka tidak diperlukan dalil
lagi. Misalnya, sebagian adalah lebih sedikit dari keseluruhan. Jika
satu roti dipotong sepertiganya, maka yang dua pertiga tentu lebih
banyak dari yang sepertiga. Hal itu pasti diketahui oleh siapa pun.
Hal ini disebut dengan badihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu
yang kebenarannya perlu dibuktikan, tetapi karena sudah sangat
umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu
pembuktian. Dalam persoalan akidah Islam misalnya, wujud Allāh.
Wujud Allāh hakikatnya adalah kebenaran yang perlu dibuktikan,
tetapi karena sudah umum dan mendarah daging, maka
kebenarannya tidak lagi memerlukan pembuktian.11
2) Sesuai dengan Fitrah Manusia
Untuk sampai pada suatu kebenaran, manusia harus melakukan
berbagai cara, di antaranya dengan menggunakan inderawi, akal,

11
Disarikan dari Sudarno Sobron dkk., h. 3
10
intuisi,12 dan dengan mengandalkan pendalaman terhadap wahyu.
Inderawi untuk mencari kebenaran empiris (yang dapat diindera
dengan mata). Jika sesuatu yang dilihat dengan mata sesuai dengan
kenyataan, maka kebenaran yang diinginkan tercapai. Akal
digunakan untuk menguji kebenaran dengan menggunakan logika
yang rasional. Manakala suatu kebenaran yang dicapai sesuai
dengan logika dan rasio, maka kebenaran yang dicari tercapai.
Dengan demikian, dengan inderawi dan akal manusia dapat
membuktikan adanya Tuhan. Penggunaan intuisi untuk mencari
kebenaran, pada hakekatnya adalah memfungsikan wahyu sebagai
petunjuk bagi manusia tentang siapa Tuhan sesungguhnya.
Eksistensi Tuhan yang dipahami manusia, pada hakekatnya karena
adanya fitrah manusia terhadap peng-Esa-an Tuhan yang dibawanya
sejak lahir. Fitrah tersebutlah yang menuntun manusia sejak awal
untuk mengetahui tentang kebenaran Allāh SWT sebagai Tuhan
Yang Esa.
3) Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.
Untuk sampai ketingkat ‘ilmu al-yaqīn, manusia umumnya melewati
tiga tahapan sebelumnya, yaitu:
a) Syakk (ragu), yaitu keberadaan posisi hati dan jiwa antara
membenarkan sesuatu atau menolaknya.
b) Zhann, yaitu salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena
ada dalil yang menguatkannya.
c) Ghalabah al-zhann, yaitu cenderung lebih menguatkan salah satu
karena sudah meyakini kebenarannya.

12
Inderawi mengandalkan pencerapan indra-indra lahir (sense perception), terutama indra penglihatan,
yakni dengan melakukan observasi terhadap objek-objek empiris atau fisik. Akal atau rasio digunakan untuk
mengetahui objek-objek non fisik. Sementara itu, intuisi hanya dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran
sesuatu yang bersifat non empiris atau non fisik. Intuisi ini dapat difungsikan manakala seseorang yang secara
intuitif memanfaatkan keberadaan wahyu untuk mengetahui objek-objek non fisik secara lebih langsung. (lihat
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistimologi Islam, seri Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2003), h. 51-53).
11
d) Ilmu al-yaqīn, yakni keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun
dengan keraguan. Keyakinan yang sudah sampai pada tingkat
ilmu inilah yang disebut dengan akidah.
4) Akidah harus mendatangkan ketentraman jiwa.
Jika seseorang harus meyakini sesuatu yang bertentangan dengan
jiwanya, maka keyakinannya itu tidak akan mendatangkan
ketenangan. Akan tetapi, keyakinan terhadap akidah Islam yang
sesungguhnya, akan melahirkan ketenangan jiwa. Artinya, manusia
tidak bisa meyakini sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.
Jika hal itu akan terjadi, maka tidak bisa mendatangkan ketentraman
jiwa.
5) Akidah yang benar menolak segala hal yang bertentangan dengan
keyakinan.
Seseorang secara logika tidak dapat meyakini dua hal yang
bertentangan sekaligus. Karena itu, keyakinan yang kokoh tidak
mungkin secara bersamaan meyakini kebenaran lain yang sama
kokohnya.
6) Memiliki tingkat keyakinan yang kokoh.
a) Keyakinan akan bertambah kokoh manakala seseorang
memperoleh informasi tentang keyakinan tersebut dari seseorang
yang dikenal tidak pernah berbohong.
b) Keyakinan yang kokoh akan bertambah kuat manakala
memperoleh informasi yang sama dari berbagai sumber yang
benar.
c) Keyakinan akan semakin kuat manakala seseorang telah
merasakan akan kebenaran dan kebaikan keyakinannya.
Selain menggunakan istilah akidah, perlu juga dikemukakan berbagai
istilah lain yang sering digunakan dalam referensi Islam, yakni; īmān,
tawḥīd, dan ushūl al-dīn.
1) Īmān

12
Kata īmān merupakan bentuk kata yang tidak harus ditafsirkan lagi,
kecuali menurut penafsiran yang dikehendaki Allāh SWT dan Rasūl-
Nya.13 Secara umum, īmān diartikan dengan percaya akan sesuatu.
Secara bahasa, īmān berarti pembenaran hati, sedangkan secara
istilah, membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan anggota badan. 14
Al-Ghazāli membagi īmān menjadi tiga aspek. Pertama, ucapan
lidah atau mulut, karena lidah adalah penerjemah dari hati, akan
tetapi bayi yang baru lahir telah mengakui adanya Allāh SWT dengan
pengakuan jiwa, bukan pengakuan dengan lidah. Kedua,
pembenaran hati dengan cara i’tiqād dan taqlīd bagi orang awam
atau manusia pada umumnya. Sedangkan, secara kasyaf membuka
ḥijāb bagi orang khawāsh. Ketiga, amal perbuatan yang dihitung dari
sebagian iman, karena melengkapi dan menyempurnakan iman
sehingga bertambah dan berkurangnya īmān seseorang adalah dari
amal perbuatannya. 15
Pendapat-pendapat di atas mengindikasikan bahwa īmān memiliki 3
(tiga) dimensi; yakni dimensi hati, dimensi lidah, dan dimensi amal
perbuatan. Hal ini dapat dilihat dalam Firman Allāh dalam Al-Qur’an
Sūrah al-Mu’minūn (23) ayat 1-11 yang berbunyi:

            

          

           

           

13
Abdul Rahman Abdul Khalid, Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman, terj. Wardana, cet. 3 (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 1
14
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2, terj. Agus Hasan Bashori (Jakarta: Darul Haq, 2011), h. 2.
Pendapat ini adalah definisi yang dikemukakan oleh Jumhur ulama, (termasuk Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i).
15
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 97.
13
          

        


“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-
orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di
balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. 8.
dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya. 9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
10. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,11. (yakni) yang
akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”
Dimensi hati, terlihat dalam ayat pertama, dimensi lisan dan dimensi
amal perbuatan tercakup dalam bentuk ibadah al-maḥdhah dan ghair
al-maḥdhah yang dilakukan mengandung dimensi lisan dan
perbuatan,
Jika īmān hanya ditegaskan dengan dimensi hati, berarti īmān
bersinonim dengan akidah, karena īmān menyangkut keyakinan.
Berbeda halnya jika īmān dikaitkan dengan amal shalih sebagaimana
firman Allāh dalam Al-Qur’an Sūrat al-‘Ashr (103): 3 yang berbunyi;

         
‘Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasihati supaya menetapi kesabaran’.

Dimensi īmān sangat terkait dengan amal shalih yang


mengindikasikan īmān itu bermakna i’tiqād atau akidah.
Dengan demikian, īmān tidak akan ada ruhnya jika sekedar terdapat
dalam hati dan diucapkan dengan lisan, sebelum adanya amal
perbuatan yang nyata sebagai buah dari īmān yang diikrarkan dan
diucapkan oleh seseorang. Ketentuan ini menepis anggapan
14
sebagian orang bahwa beribadah seperti shalat cukup dengan eling
(ingat semata) tanpa ada gerakan apapun adalah benar. Padahal
keliru dan salah dengan sebuah kata kunci īmān tanpa amal adalah
hampa, sedangkan amal tanpa īmān tiada bermakna.
Adapun amalan-amalan yang dapat dikategorikan sebagai aplikasi
dari īmān, tidak terbatas. Yang penting melakukan amal perbuatan
(shāliḥ) dengan didasari pada niat yang ikhlas, untuk beribadah
kepada Allāh SWT semata, tetapi berlandaskan kepada logika
berfikir dan memiliki ruh atau jiwa ajaran Islam.
Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan hadis tentang syu’abu iman
(cabang-cabang iman) berikut yang artinya: “Rasūlullāh SAW
bersabda, “Yang paling tinggi adalah ucapan ‘Lā ilāha Illallāh’ dan
yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di tengah jalan.”16
Rasulūllāh SAW dalam hadis menyebut hal-hal lain sebagai iman,
seperti akhlak yang baik, bermurah hati, sabar, cinta Rasūlullāh
SAW, cinta shahabat, rasa malu, dan sebagainya. Kesemunya
adalah īmān yang merupakan pembenaran batin. Tidak ada yang
mengkhususkan īmān untuk hal-hal yang bersifat batin belaka. Justru
yang ada adalah dalil yang menunjukkan amal-amal lahiriah juga
disebut īmān.17
2) Tawḥīd
Tawḥīd berarti meng-Esa-kan Allāh. Ajaran tawḥīd merupakan tema
sentral akidah dan īmān dalam Islam, maka akidah atau īmān
diidentikkan juga dengan tawḥīd (untuk istilah Tawḥīd ini, akan di
bahas khusus pada bab tersendiri).
3) Ushūl al-ddīn
Ushūl al-ddīn diartikan sebagai dasar-dasar agama ‘Aqīdah, īmān
dan tawḥīd merupakan dasar-dasar ajaran Islam, maka disebut juga
dengan ushūl al-ddīn.

16
Tim Ahli Ilmu Tauhid, h. 13.
17
Ibid.
15
b. Ruang Lingkup Akidah
Ketika membahas ruang lingkup Akidah, maka terdapat sejumlah
pendapat pakar berbeda antara satu dengan lainnya meskipun
mempunyai kesamaan di sisi yang lain, di antaranya;
1) Menurut Hasan al-Banna, ruang lingkup pembahasan aqidah Islam
meliputi:18
a) Ilāhiyāt yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Ilāh (Tuhan, Allāh), seperti wujud Allāh,
nama dan sifat-sifat Allāh, perbuatan Allāh, dan sebagainya.
b) Nubuwwāt yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasūl, termasuk pembahasan
tentang kitab-kitab Allāh yang dibawa para Rasūl, mu’jizat Rasūl,
dan sebagainya.
c) Rūḥaniyyāt yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin,
syaithān, ruh, dan sebagainya.
d) Sam'iyyāt yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya
bisa diketahui lewat sam'iy (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan al-
Sunnah), seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda
kiamat, surga, neraka, dan sebagainya.
2) Golongan kebanyakan Muslimīn mendasarkan pendapatnya tentang
ruang lingkup īmān, kepada Firman Allāh, yang antara lain terdapat
dalam Al-Qur’an sūrat al-Baqarah ayat 177 dan 185 berikut ini:

            

         

        

        

18
Yunahar Ilyas, h. 5-6
16
          

   


‘Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allāh, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

          

            

             

       

 
‘ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allāh menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allāh atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Kedua ayat di atas mencerminkan ruang lingkup akidah, yang


terdiri dari enam pokok keyakinan, yaitu; beriman kepada Allāh,
17
beriman kepada para malaikat, beriman kepada Kitab-kitab suci,
beriman kepada para Rasūl, beriman kepada Hari Kiamat, dan
beriman kepada Qadha dan Qadar Allāh SWT.
Jika ruang lingkup tersebut disusun secara sismatiska, maka akan
membentuk arkan al-īmān (rukun īmān yang enam), yaitu:
1) Īmān kepada Allāh SWT.
2) Īmān kepada para Malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk
ruhani lainnya, seperti jin, iblīs, dan syaithān).
3) Īmān kepada Kitab-Kitab Allāh
4) Īmān kepada Nabi dan Rasūl.
5) Īmān kepada Hari Akhir.
6) Īmān kepada Qadha dan Qadar.
c. Sumber Akidah Islam
Sebagai seorang muslim meyakini sumber akidah Islam adalah Al-
Qur’an dan al-Sunnah. Apa saja yang telah diwahyukan Allāh dalam
Al-Qur’an dan sesuatu yang diriwayatkan sampai kepada Rasūlullāh
dalam al-Sunnah-nya (sunnah al-maqbūlah) wajib diimani/diyakini dan
diamalkan.
Firman Allāh SWT dalam Al-Qur’an surāt Al-Naḥl (16) ayat 89 yang
berbunyi

             

          

 
‘(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan
kami turunkan kepadamu Al-Kitāb (Al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.

18
Al-Qur’an adalah wahyu Allāh, yang wajib diyakini oleh seluruh umat
Islam akan kebenarannya sehingga sebagai salah satu sumber akidah,
Al-Qur’an merupakan inspirasi bagi umat Islam dalam mengeksplorasi
pengukuhan akidah sebagai hamba dan khalīfah Allāh di muka bumi,
tanpa reserve atau keraguan. Sebagaimana firman Allāh dalam Al-
Qur’an surāt Al-Baqarah (2) ayat 2 yang berbunyi;

         


“Kita (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa”
Al-Sunnah adalah sumber kedua akidah Islam, yang berbentuk
perkataan (al-qawl), perbuatan (al-fi’l), dan persetujuan (al-taqrīr) Nabi
Muhammad SAW yang berfungsi sebagai penjelas, pengukuh dan
penjabar keterangan-keterangan Al-Qur’an, khususnya tentang akidah.
Akal digunakan sebagai alat berfikir di samping hati. Akal sebagai
salah satu unsur potensi yang sangat berpengaruh terhadap cara
berfikir dan pola hidup manusia. Akan tetapi, untuk persoalan iman,
akal tidaklah merupakan sumber akidah. Akal cendrung hanya
menggunakan rasio, bukan wahyu.
Oleh sebab itu, akal hanya berfungsi memahami nash yang terdapat
dalam kedua sumber di atas dan mencoba membuktikan secara ilmiah
kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebagai contoh:
Informasi mengenai penciptaan alam dan seisinya adalah dalil Allāh
yang hanya bisa diketahui melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Akal
manusia hanya dapat memikirkan keteraturan dan keseimbangannya.
Manusia dengan akalnya saja, tidak akan dapat mengetahui siapa yang
menciptakan alam ini.19
Akal tidak mampu menjawab pertanyaan kekal itu sampai kapan, atau
akal tidak akan mampu menunjukkan tempat yang tidak ada di darat, di

19
Sudarno, dkk., h. 9
19
udara, di lautan dan tidak ada di mana-mana sebab kedua-duanya tidak
terikat dengan ruang dan waktu. Sifat akal tidak dapat menjangkau
masalah-masalah ghaib dan yang tidak terikat dengan ruang dan
waktu. Akal juga tidak dapat dipaksa untuk memahami hal-hal ghaib.20
Oleh karena itu, akal tidak dapat digunakan sebagai salah satu sumber
akidah.

Anda mungkin juga menyukai