Anda di halaman 1dari 11

DASAR-DASAR AKIDAH

Dr. Syamsul Yakin, M.A.

Pemakalah :

Lody Achmad Fardaviansha 11230511000028

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023

i
DASAR-DASAR AKIDAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Aqidah secara umum adalah kepercayaan, keimanan, keyakinan secara mendalam dan
benar lalu merealisasikannya dalam perbuatannya. Sedangkan aqidah dalam agama Islam
berarti percaya sepenuhnya kepada ke-Esa-an Allah, dimana Allah-lah pemegang kekuasaan
tertinggi dan pengatur atas segala apa yang ada di jagad raya.
Aqidah diibaratkan sebagai pondasi bangunan. Sehingga aqidah harus dirancang dan
dibangun terlebih dahulu dibanding bagin-bagian lain. Aqidah pun harus dibangun dengan
kuat dan kokoh agar tidak mudah goyah yang akan menyebabkan bangunan menjadi runtuh.
Bangunan yang dimaksud disini adalah Islam yang benar, menyeluruh, dan sempurna.
Aqidah merupakan misi yang ditugaskan Allah untuk semua Rasul-Nya, dari pertama sampai
dengan yang terakhir. Aqidah tidak dapat berubah karena pergantian nama, tempat, atau
karena perbedaan pendapat suatu golongan.
Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang berakibat
timbulnya berbagai perbuatan secara spontan tanpa disertai pertimbangan. Akhlak dapat juga
diartikan sebagai perangai yang menetap pada diri seseorang dan merupakan sumber
munculnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara spontan tanpa adanya
pemaksaan. Dari berbagai pengertian tentang akhlak, maka dapat ditarik sebuah benang
merah bahwa akhlak adalah sifat dasar manusia yang dibawa sejak lahir dan tertanam dalam
dirinya.

2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari Akidah?
b. Apa spektrum makna iman dalam Al-Qur`an?
c. Bagaimana malaikat dalam perspektif ulama?

1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akidah
Akidah secara etimologi berarti “ikatan”, “mengokohkan”, dan “berjanji”. Sedangkan
secara terminologi adalah keyakinan yang kokoh yang menyatakan dengan hati dan lisan
bahwa Allah SWT Maha Esa. Keyakinan terhadap Allah SWT Yang Maha Esa disebut tauhid
(mengesakan Allah SWT). Ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu tauhid, ilmu kalam, atau
ilmu ushuluddin.1

Akidah adalah suatu paham tentang sesuatu yang diyakini atau diimani oleh hati
manusia yang benar sebagai pandangan yang benar. Akidah adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan
yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.

Akidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti. Segala sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran itu harus ditolak. Al-Qur'an menjelaskan bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia
ini sudah mengikrarkan pengakuan keimanannya akan keesaan Allah Swt. semenjak berada di
alam azali (alam yang hanya Allah Swt. saja yang mengetahuinya).2

Akidah Islam adalah meyakini seluruh rukun iman yang enam. Pertama, meyakini dengan kokoh,
baik dalam hati maupun lisan bahwa Allah SWT Maha Esa. Kedua, meyakini dengan kokoh, baik
dalam hati maupun lisan tentang keberadaan para malaikat-Nya. Ketiga, meyakini dengan kokoh,
baik dalam hati maupun lisan tentang kebenaran semua kitab-Nya. Keempat, meyakini dengan
kokoh, baik dalam hati maupun lisan tentang keberadaan para rasul-Nya. Kelima, meyakini
dengan kokoh, baik dalam hati maupun lisan tentang akan datangnya hari kiamat. Keenam,
meyakini dengan kokoh, baik dalam hati maupun lisan tentang takdir yang baik maupun buruk
berasal dari Allah SWT.3
2. Mentalitas Hipokrit
Di dalam surat al-Baqarah/2 ayat 204 Allah SWT berfirman, “Dan di antara manusia
ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu”. Menurut pengarang
Tafsir Jalalain orang itu adalah Akhnas bin Syuraiq. Dalam Tafsir Munir, Syaikh Nawawi
Banten menyebutnya dengan seorang munafik yang tampak baik padahal jahat. Perilaku
munafiknya itu tergambar dalam sambungan ayat ini, “Dan dipersaksikannya kepada Allah
(atas kebenaran) isi hatinya”. Caranya, menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir
al-Maraghi, dengan membujuk dan menipu manusia. Cirinya, baik dalam berbicara,
bersumpah atas nama Allah SWT, dan piawai dalam berdebat.

Sebagian manusia Indonesia lebih suka disebut demokratis, reformis dan agamis.
Fakta sering terlihat penampakan tidak konsisten, tidak amanah dan tidak sesuai dengan
norma. Enggan bertanggung jawab atas perbuatan, percaya tahayul, berjiwa feodal, artistik
dan berkarakter lemah

Manusia munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan, berwatak lemah dan

1
Dr. Syamsul Yakin,M.A “Studi Islam masa kini” (2022) hal 3
2
Syuhada Harjan, Fida’ Abdillah. (2021). Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas VII. PT Bumi Aksara. Hlm. 5
3
Dr.K.H.Tarmizi Taher “Menyegarkan Akidah Tauhid Insani” (2002)
2
berjiwa feodal tidak ikhlas bela negara, yang artistik ikhlas bela negara, dan yang percaya
tahayul separuh ikhlas bela negara. Manusia munafik dan enggan bertanggung jawab atas
perbuatan, suka konflik social, yang percaya tahayul, artistik dan berwatak lemah tidak
setuju konflik sosial, yang berjiwa feodal separuh setuju konflik sosial. Manusia munafik,
enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan percaya takhayul tidak suka pembangunan
masyarakat. Sebaliknya manusia artistik, berwatak lemah, berjiwa feodal setuju
pembangunan masyarakat membuat menjadi cerdas, berpenghasilan layak dan bahagia. 4

3. Substansi Keimanan dalam al-Qur’an


Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits, yang dimaksud
dengan hakikat keimanan adalah bahwa seseorang hendaknya membenarkan dan menyatakan
beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun
yang buruk dari Allah SWT. Sebab keimanan secara etimologi itu berarti pembenaran.
Menurutnya juga dalam Bahzatul Wasail, keimanan secara terminologi adalah membenarkan
semua yang dibawa oleh Nabi SAW berasal dari Allah SWT seperti beriman kepada Allah
SWT, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah
SWT. Mengingkari salah satunya dihukumi kufur. Spektrum makna iman terungkap dalam
sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Iman adalah kekuatan ketika merasa lemah dan penglipur
lara di saat bersedih. Hal ini seperti diungkapkan di dalam al-Qur’an, “Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran/3: 139).

Dalam suatu sunnah yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim. Rasulullah
menyebutkan tiga serangkai konsep keagamaan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketika
Rasulullah ditanyai tentang tiga hal tersebut memberikan penjelasan bahwa iman adalah
percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari
kebangkitan dan pada Rasul-Rasul-Nya. Sedangkan Islam adalah bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, puasa dan
menunaikan haji bagi yang mampu. Adapun Ihsan adalah menyembah kepada Allah seolah-
olah melihatnya, dan jika seolah-olah tidak dapat melihatnya. Maka yakin bahwa ia melihat
engkau.

Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa antara Iman dan Islam terdapat perbedaan
wilayah. Jika wilayah Iman adalah tatanan keyakinan yang bersifat batin, maka Islam
wilayah aksi yang bersifat lahiriyah. Tashihiko Izushu menjelaskan makna iman dikaitkan
dengan Islam bahwa iman berarti Islam, tetapi Islam belum tentu berarti iman, dengan kata
lain iman lebih luas dari pada Islam. Jika dicermati ayat-ayat Al-Qur’an dalam konteks Iman
kita akan temukan dua pola. Pertama terkadang Iman dibedakan dengan Islam atau
perbedaan lahiriyah dengan menyebut secara beriringan, misalnya : QS. alBaqarah (2): 82,
QS.al-Maidah (5): 69, QS. Maryam (19):60, QS.Al-Kahfi (18):88

Menurut Ibnu Zayriyah seperti yang dikutip Tashihiko Izushu bahwa ketika Iman
diakui dengan Islam atau perbuatan lahiriyah. Maka dalam konteks Iman berarti hanya
adalah aspek keyakinan atau bathin, dan ketika disebut tanpa dirangkai dengan Islam
(perbuatan lahiriyah), makanya mencakup Islam dan Islam adalah QS. Al-Hujurat (49):14

4
Ridhuan, Syamsu. (2018). ENAM WATAK MANUSIA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF BELA NEGARA, KONFLIK
SOSIAL DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT. Universitas Stikubank.
3
“Orang-orang beriman itu berkata, kami telah beriman,

katakanlah kepada mereka kamu belum beriman, tetapi katanlah kami telah tunduk
karena Iman itu belum masuk dalam hatimu.

Dengan demikian kata iman di dalam Al-Qur’an memiliki dua makna yaitu dalam hati
keyakinan dan makna telah baik keyakinan maupun perbuatan, iman inilah yang kemudian
didefenisikan sebagai pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan dan realisasi dengan
amal perbuatan. Penjelasan makna Iman tersebut dapat kita jumpai di dalam QS. An-Nisa’
(4) : 136.

Di dalam Al-Qur’an kita tidak menemukan ayat yang menyebut lengkap enam hal
tersebut. Dari beberapa ayat yang berbicara tentang sesuatu yang diimani bahkan sangat
fariatif. Ada yang hanya menyebut Allah dari akhir QS.al-Baqarah (2) :62 terkadang hanya
disebut kitab yang diturunkan QS. Al-Syuuraa (42):15. Ayat yang menyebut sekaligus lima
hal kecuali taqdir QS. al-Nisa’ (4):136. Terkadang hanya menyebut Allah, Malaikatnya,
Kitab-kitabnya, dan Rasul-rasulnya., QS.al-Baqarah (2): 285. Realitas tersebut dijadikan
alasan Harun Nasution tidak memasukan iman kepada takdir baik dan buruk sebagai rukun
iman. Iman kapada takdir baik dan buruk menurutnya dikemukakan dalam sunnah
Rasulullah Saw yang maskipun shahih tatapi tidak mutawatir, sedangkan dalil yang dapat
dijadikan dasar aqidah adalah dalil yang qathi al Wurud.

Jika dicermati ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan keimanan, baik yang
memaparkan ciri-cirinya maupun konsekwensi bagi orang beriman. Maka prototipe orang
beriman pada dasarnya dapat disejajarkan dengan konsep Insan al-Kamil dalam konteks
keagamaan atau manusia utuh akan paripurna dalam term yang lebih trend, yakni suatu
konsep dari berbagai aspeknya adalah positif.20 Dari sudut ini pula tepat sekali apa yang
ditulis oleh Tashihiko Izushu bahwa Iman adalah inti dari lingkup sikap moral yang positif,
merupakan sumber keritikan Islam. Di dalam pemikiran tidak ada keritikan tanpa didasarkan
pada keyakinan pada Allah dan wahyuNya.5

5
Thalib, Muh. Dahlan. (2022). KONSEP IMAN, AKAL DAN WAHYU DALAM AL-QUR’AN. Institut Agama Islam Negeri
Parepare. Hlm. 12-18
4
4. Cara mengenal Allah
Mengenal Allah melalui nama-Nya, cara pertama mengenal Allah yaitu dengan
mengenal nama-namaNya. Kedua, mengenal sifat-sfatNya. Ketiga, mengenal perbuatanNya.
Dengan ketiga cara itu nanti kita akan memperoleh gambaran tentang siapa Allah itu. Kita
bisa mulai dengan cara yang pertama, yakni dengan mengenal nama- namaNya. Tahapan
mengenal Allah secara historis, pertama langsung memperkenalkan Allah Yang Maha Esa,
sambil meluruskan kekeliruan dan kesesatan masyarakat saat itu; kedua, melalui berbagai
macam ayat Al Quran yang diturunkan utuk mengarahkan dan menunjukkan pada manusia
bagaimana cara mengenal Allah; ketiga, penjelasan sifat-sifat Allah melalui berbagai redaksi
dalam Al Quran. Tiga tingkatan dalam mengenal Allah meliputi: pertama, pengetahuan
tentang makna nama-nama Allah dalam bentuk mukasyafah (dibukakan tabir penutup
kegaiban) dan musyahadah (menyaksikan dengan mata hati); kedua, merasakan dan
membuktikan keagungan Allah sehingga termotivasi untuk berbudi pekerti sebagaimana
sifat-sifat Allah sesuai dengan kapasitas makhluk; ketiga, berupaya sungguh-sungguh untuk
meraih ridha-Nya dengan menghiasi diri dan berakhlak melalui Asmaul husna6

Kita harus ingat bahwa Hadits-Hadits Rasulullah mulai dipermasalahkan setelah 100
tahun Rasulullah wafat. Konon waktu itu mulai tampak adanya gejala- gejala pemalsuan
hadits yang muncul di wilayah sebelah timur, pada saat pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang ke-lima. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Ibnu
Shihab az-Zuhri untuk menghimpun sunah-sunah Rasulullah dan membukukannya menjadi
beberapa eksemplar. Selanjutnya khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan satu buku
kepada setiap pejabat di wilayah- wilayah kekuasaan Islam.

Buku hadits pertama kali muncul setelah 200 tahun Rasulullah wafat, melalui
perdebatan panjang antar kelompok kepentingan. Jadi wajar bila ada Hadits-Hadits Qudsi
ataupun Hadits-Hadits Rasulullah yang dibuang atau mungkin ada juga yang diberi bumbu,
kita tidak Tahu.

Kenyataannya memang benar, mencari dan mengenal Allah bukan perjalanan ke


mekah, tapi perjalanan melalui penelusuran tanda-tanda-Nya untuk menuju kepada-Nya.
mulai dari alam lahiriyah ke alam bathiniah.. Karena Allah adalah AL BATHIN...
Rumahnya di dalam bathin. Kitabnya juga berada di dalam bathin.. KITAB SEJATI dan
GURU SEJATI ada di dalam diri7

5. Malaikat dalam perspektif ulama


Bagi Syaikh al-Fasani, pengertian beriman kepada malaikat adalah meyakini esistensi
mereka dan dapat mengidentifikasi mereka. Minimal mengenal nama dan tugas inti mereka.
Sementara itu jumlah malaikat, tulis Syaikh al-Fasani, tidak ada yang dapat menghitung
jumlah bilangan mereka kecuali Allah SWT. Namun Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah
Qathrul Ghaits mengatakan bahwa malaikat dapat diketahui dari tiga hal. Pertama, keadaan
mereka. Kedua, perbuatan mereka. Ketiga, bentuk-bentuk mereka. Secara fisikal, ciri
malaikat, seperti diungkap Syaikh Nawawi Banten dalam Qaimuth Thughyan adalah jisim-
jisim yang lembut yang mempunyai ruh. Allah SWT memberikan kemampuan kepada
mereka untuk merubah bentuk dan rupa yang beraneka dengan tetap indah dan memesona

6
S. Herianto “Berkenalan Dengan Allah” (Malang: CV. Kanaka Media, 2021), hlm. 10-11.
7
Sw, Maman. (2022). MENCARI DAN MENGENAL ALLAH : KE MEKKAH ATAU KE CHINA. Guepedia. Hlm. 195-196.
5
ketika dipandang oleh makhluk lainnya.8

Mantan Mufti Mesir, dan Pemimpin Tertinggi al- Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi,
menulis dalam bukunya, al-Qishshah fi al-Qur'ân (Kisah-kisah dalam al- Qur'an), bahwa:
Malaikat adalah tentara Allah. Tuhan menganugerahkan kepada mereka akal dan
pemahaman, menciptakan bagi merek naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan
untuk berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang berat.

Bahwa mereka taat dan tidak membangkang dapat dimengerti karena memang banyak
ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian, seperti firman-Nya: "Dan kepada Allah sajalah
bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan
(juga) para malaikat, sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri" (QS. an-
Nahl [16]: 49). Atau firman-Nya: "Hai orang- orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (QS.at-
Tahrim [66]: 6).

Syaikh Muhammad 'Abduh yang dikenal beraliran rasional dan berupaya untuk mengurai
sedapat mungkin wilayah suprarasional dari ajaran Islam, mengkritik bahkan
mencemoohkan definisi yang sebelum ini telah penulis kemukakan: Bagaimana mungkin
malaikat yang dinyatakan tercipta dari cahaya dapat berbentuk dengan aneka bentuk.

Definisi itu tidak dapat dipahami oleh mereka yang mengemukakannya, apalagi oleh
orang lain. Demikian kritik Syaikh Muhammad 'Abduh. Komentar 'Abduh ini serupa dengan
komentar mereka yang tidak dapat memahami makna asal kejadian jin dari api, kemudian
kelak yang durhaka dari mereka disiksa dengan api neraka. Padahal penciptaan jin dari api,
bukan berarti keadaan makhluk itu sekarang adalah api, sebagaimana terciptanya manusia
dari tanah bukan berarti manusia kini sepenuhnya sama dengan tanah.

Demikian juga pengertian terciptanya malaikat dari cahaya. Atas dasar pengertian ini,
kritik Syaikh Muham- mad 'Abduh di atas dapat ditampik.

Muhammad 'Abduh, ketika menafsirkan QS. al- Infithâr [82]: 10-11, menegaskan:
bahwa Malaikat adalah makhluk-makhluk gaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi
harus dipercaya wujudnya. Demikian pendapatnya dalam Tafsir Juz 'Amma yang ditulisnya
untuk pegangan para guru mengaji bagi pemula: "Kita tidak perlu memasuki perincian
persoalan gaib yang tidak dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya." Demikian salah satu prinsip
tafsir dalam pandangannya.

Pendapat dan pandangan di atas dapat dipastikan tidak keliru, bahkan itulah yang
ditempuh oleh ulama- ulama abad pertama hingga abad ketiga hijriah. Namun, pendapat
demikian pasti pula tidak memuaskan semua nalar, termasuk nalar Muhammad 'Abduh yang
selalu berupaya untuk menjelaskan secara rasional perincian ajaran Islam agar dapat diterima
dan dipahami oleh nalar. Karena itu, dalam Tafsir al-Manâr yang ditulis oleh muridnya,
Rasyid Ridhâ, berdasar pada kuliah/ceramah yang disampaikan 'Abduh dan yang dikoreksi
oleh sang guru sebelum disebarkan, Muhammad 'Abduh me- ngemukakan pandangan yang
8
Nisa Rachmah Nur Anganthi, “Psikologi Kepribadian dalam Perspektif Spiritual Ilahiah” (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2020), hlm. 195.
6
berbeda. Hukum-hukum alam-menurutnya dapat dinamai oleh agama sebagai malaikat.
Tidak ada salahnya penamaan ini karena memang al-Qur'an melukiskan fungsi malaikat
sebagai:

‫" َو اْلُم َد َبَر اِت َأْم ًرا‬Yang mengatur persoalan-persoalan."

Dalam karya penulis, Studi Kritis tentang Tafsir al- Manar, penulis kemukakan bahwa
pandangan 'Abduh tentang malaikat, sebagaimana dipaparkan di atas, bukan berarti ia
memahami semua malaikat adalah hukum-hukum alam atau bisikan nurani. Sebab, jika
demikian, apakah ulama ini menilai malaikat Jibril dan wahyu al-Qur'an yang
disampaikannya juga merupakan bisikan nurani dan hukum-hukum alam? Kita berlindung
kepada Allah menuduh tokoh ulama itu berpendapat demikian.

Kini, jika Anda bertanya apa hakikat malaikat, penulis cenderung untuk tidak membahas
atau mendefinisikannya karena dari al-Qur'an tidak ditemukan isyarat dekat atau jauh
tentang ini. Bahkan, penulis enggan menguraikan hal-hal yang berada di luar informasi al-
Qur'an dan as-Sunnah yang metafisika. Metafisika berada di luar jangkauan akal. Apa yang
diungkap oleh nalar secara mandiri, kalau lagi-kalau pun benar, ia tidak dapat dijadikan
sebagai pun-sekali akidah. Hadits-hadits Nabi saw. yang nilainya shahih pun tidak
dimasukkan oleh banyak ulama dalam kategori yang harus dipercaya sebagai akidah karena
apa yang disentuh oleh nalar dalam bidang metafisika, sering kali dipengaruhi oleh
imajinasi, khayal, dan dugaan belaka, bukan dari hasil eksperimen atau pengamatan.9

9
Shibab, M. Quraish. (2010). Malaikat dalam al-Qur'an Yang Halus dan Tak Terlihat. Lentera Hati. Hlm. 21-26
7
C. KESIMPULAN
1. Aqidah secara umum adalah kepercayaan, keimanan, keyakinan secara mendalam
dan benar lalu merealisasikannya dalam perbuatannya. Sedangkan aqidah dalam
agama Islam berarti percaya sepenuhnya kepada ke-Esa-an Allah, dimana Allah-lah
pemegang kekuasaan tertinggi dan pengatur atas segala apa yang ada di jagad raya.

2. Di dalam surat al-Baqarah/2 ayat 204 Allah SWT berfirman, “Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu”.
Menurut pengarang Tafsir Jalalain orang itu adalah Akhnas bin Syuraiq. Dalam
Tafsir Munir, Syaikh Nawawi Banten menyebutnya dengan seorang munafik yang
tampak baik padahal jahat. Perilaku munafiknya itu tergambar dalam sambungan
ayat ini, “Dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya”.
Caranya, menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, dengan
membujuk dan menipu manusia. Cirinya, baik dalam berbicara, bersumpah atas
nama Allah SWT, dan piawai dalam berdebat.

3. Yang dimaksud dengan hakikat keimanan adalah bahwa seseorang hendaknya


membenarkan dan menyatakan beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitab,
rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah SWT. Iman
adalah kekuatan ketika merasa lemah dan penglipur lara di saat bersedih.

4. Allah SWT itu tunggal dengan sifat-sifatnya dan tidak ada yang menyekutui-Nya.
Dalam kitabnya Nurudz Dzalam, Syaikh Nawawi Banten menyebut bahwa sifat yang
wajib bagi Allah SWT ada dua puluh. Begitu juga bagi Syaikh Muhammad al-Fudhali
dalam Kifayatul ‘Awam. Menurut Syaikh al-Fasani dalam al-Majalisus Saniyah,
beriman dengan ke-Maha-Esa-an Allah SWT harus dipahami bahwa Allah SWT
bersendirian di dalam kerajaan-Nya, termasuk pengaturan kerajaan tersebut. Allah
SWT itu Maha Esa dalam Zat-Nya dan Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya. Maha Esa
dalam perbuatan-Nya, dan Maha Esa dalam segala perkataan-Nya.

5. Syekh Syihabuddin al-Qastalani (w. 923 H), ulama kebangsaan Mesir bermadzhab
Syafi'i, dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 3, hal. 130-131) menjelaskan
bahwa para ulama berbeda pendapat, antara siapa yang lebih mulia. Apakah
malaikat atau manusia. Sebagian ulama berpendapat bahwa malaikatlah yang lebih
mulia, sebagian yang lain berpendapat sebaliknya. Menurut al-Qastalani, kelompok
yang berpendapat bahwa malaikat lebih mulia daripada manusia adalah dari
kalangan Mu'tazilah, para Pakar Filsafat, dan sebagian ulama kalangan Asya'irah.
Pendapat ini dipilih oleh AL-Qadli Abi Bakar al-Babqillani (w. 1013 M) dan Abu
Abdillah al- Halimi (w. 403 H).

6. Cara untuk mengingat Allah sangatlah mudah, dengan mengetahui rukun iman, rukun
islam, dan menjalankan ibadah sesuai syariat.

7. Satu abad setelah Rasulullah SAW wafat, hadis-hadis mulai dipermasalahkan sehingga
ulama-ulama membentuk lembaga-lembaga untuk meneliti, memecahkan masalah, dan
menindak lanjut beberapa kalam dan isi hadis.
8
8. Dengan demikian kata iman di dalam Al-Qur’an memiliki dua makna yaitu dalam hati
keyakinan dan makna telah baik keyakinan maupun perbuatan, iman inilah yang kemudian
didefenisikan sebagai pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan dan realisasi
dengan amal perbuatan. Penjelasan makna Iman tersebut dapat kita jumpai di dalam QS.
An-Nisa’ (4) : 136.

9. Mantan Mufti Mesir, dan Pemimpin Tertinggi al- Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi,
menulis dalam bukunya, al-Qishshah fi al-Qur'ân (Kisah-kisah dalam al- Qur'an), bahwa:
Malaikat adalah tentara Allah. Tuhan menganugerahkan kepada mereka akal dan
pemahaman, menciptakan bagi merek naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan
untuk berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang berat.

10. Syaikh Muhammad 'Abduh yang dikenal beraliran rasional dan berupaya untuk mengurai
sedapat mungkin wilayah suprarasional dari ajaran Islam, mengkritik bahkan
mencemoohkan definisi yang sebelum ini telah penulis kemukakan: Bagaimana mungkin
malaikat yang dinyatakan tercipta dari cahaya dapat berbentuk dengan aneka bentuk.

11. Muhammad 'Abduh, ketika menafsirkan QS. al- Infithâr [82]: 10-11, menegaskan: bahwa
Malaikat adalah makhluk-makhluk gaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi
harus dipercaya wujudnya. Demikian pendapatnya dalam Tafsir Juz 'Amma yang
ditulisnya untuk pegangan para guru mengaji bagi pemula: "Kita tidak perlu memasuki
perincian persoalan gaib yang tidak dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya." Demikian salah
satu prinsip tafsir dalam pandangannya.

12. Pendapat dan pandangan di atas dapat dipastikan tidak keliru, bahkan itulah yang ditempuh
oleh ulama- ulama abad pertama hingga abad ketiga hijriah. Namun, pendapat demikian
pasti pula tidak memuaskan semua nalar, termasuk nalar Muhammad 'Abduh yang selalu
berupaya untuk menjelaskan secara rasional perincian ajaran Islam agar dapat diterima dan
dipahami oleh nalar.

13. Dalam karya penulis, Studi Kritis tentang Tafsir al- Manar, penulis kemukakan bahwa
pandangan 'Abduh tentang malaikat, sebagaimana dipaparkan di atas, bukan berarti ia
memahami semua malaikat adalah hukum-hukum alam atau bisikan nurani.

9
DAFTAR PUSTAKA
Dr.K.H.Tarmizi Taher. (2002) Menyegarkan Akidah Tauhid Insani. Jakarta: Gema Insani
Press. hlm. 8-9.
Dr. Syamsul Yakin, M.A (2022) Studi Islam Masa Kini. Surabaya: Pustaka Aksara. hlm. 2-7.
S. Herianto. (2021) Berkenalan Dengan Allah. Malang: Kanaka Media. hlm. 10-11.
Nisa Rachmah Nur Anganthi. (2020) Psikologi Kepribadian Dalam Perspektif
Spiritual Ilahiah. Surakarta: Muhammadiyah University Press. hlm. 195.
Syuhada Harjan, Fida’ Abdillah. (2021). Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas
VII. PT Bumi Aksara. Hlm. 5
Ridhuan, Syamsu. (2018). ENAM WATAK MANUSIA INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF BELA NEGARA, KONFLIK SOSIAL DAN PEMBANGUNAN
MASYARAKAT. Universitas Stikubank.
Thalib, Muh. Dahlan. (2022). KONSEP IMAN, AKAL DAN WAHYU DALAM AL-
QUR’AN. Institut Agama Islam Negeri Parepare. Hlm. 12-18
Sw, Maman. (2022). MENCARI DAN MENGENAL ALLAH : KE MEKKAH ATAU KE
CHINA. Guepedia. Hlm. 195-196.
Shibab, M. Quraish. (2010). Malaikat dalam al-Qur'an Yang Halus dan Tak Terlihat.
Lentera Hati. Hlm. 21-26

1
0

Anda mungkin juga menyukai