Anda di halaman 1dari 10

Assalamu alaikum wrwb.

Kuliah Aqidah

A. Pengertian aqidah

1. Secara Etimologi

Aqidah berasal dari kata aqd, yang berarti pengikatan, i'taqattu kadza, artinya saya ber-i'tiqat begini.
Artinya saya mengikat hati terhadap hal tsb. Aqidah adalah apa yg diyakini oleh seseorang. Jika
dikatakan, ia mempunyai aqidah yg benar, berarti, aqidahnya bebas dari keraguan.

2. Secara syara'

Aqidah secara syara yaitu iman kpdbAllah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari
akhirat, serta qada' dan qadar. Hal ini disebut sebagai rukun iman.

Syariat Islam terbagi dalam dua bagian

a. I'tiqadiyah

b. Amaliah

I'tiqadiyah adalah hal-hal yg berhubungan dengan kepercayaan terhadap rububiyah Allah dan kewajiban
beribadah kepada-Nya, juga i'tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lainnya.

I'tiqadiyah ini disebut pula ushuliyah atau pokok agama.

Sedangkan amaliag adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tatacara amal, seperti salat, puasa,
zakat, dan seluruh hukum-hukum amaliyah.

Bagian ini disebut furu'iyah atau cabang agama.

Amaliyah ini dibangun di atas i'tiqaduyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar-rusaknya
i'tiqadiyah.

Dengan demikian aqidah yg benar adalah pundamen bagi bangunan agama, serta merupakan syarat
sahnya amal.

Perhatikan firman Allah berikut:

a. Qs. 18 al-Kahfi: 110

b. Qs. 38 az-Zumar: 65
c. Qs. 16 an-Nahl : 36

2. Dasar dan Sumber aqidah.

Aqidah adalah taufiqiyah, ditetapkan atas dasar dalil syariah, tidak ada medan ijetihad dan berpendapat
di dalamnya.

Sumber-sumbernya terbatas kepada sumber pertama dan utama syariat Islam, yakni Alquran dan hadis
shahih, karena tdk ada seorang pun yg mengetahui tentang Allah, tentang apa yg wajib bagi-Nya,
tentang apa yg harus disucikan dari-Nya melainkan Allah sendiri.

Tidak ada seseorang yg lebih mengetahui tentang Allah, selain Rasulullah saw. Oleh karena itu, sumber
ajaran Islam tentang aqidah terbatas pada Alquran dan as-Sunnah.

Allah berfirman: "berpeganglah kamu secara teguh kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai-
berai" (Qs. 3, Ali Imran; 103).

"Maka jika datang kepadamu petunjuk deri Aku, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tdk akan
sesat dan tidak akan celaka" (Qs. 20, Thaha; 123).

Rasulullah saw., bersabda "sepeninggalku, umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan
masuk neraka, kecuali satu golongan; ketika ditanya tentang yg satu golongan itu, beliau menjawab,
"mereka adalah orang yg berada di atas ajaran yg sama dengan ajaranku pada hr ini, dan para
sahabatku" (Hr. Ahmad).

Pernyataan Rasulullah saw., tersebut terbukti ketika sebahagian manusis membangun aqidahnya di atas
landasan selain Alquran dan as-Sunnah, yaitu di atas landasan ilmu kalam, dan kaidah-kaidah manthiq yg
diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi, maka terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalan aqidah
yg menyebabkan terbelahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.

*Memaknai Akidah Tauhid*

Dari segi bahasa, akidah berakar pada kata aqada-ya’qidu ‘aqdan wa aqidah yang mengandung arti:
mengikat (as-syadd), berjanji (al-ahd), membenarkan (al-tashdiq), kemestian (al-luzum), dan kepastian
(al-ta’kid).

Atas dasar makna leksikal inilah, akidah dalam Islam dimaknai sebagai keimanan atau keyakinan yang
pasti (tidak ada keraguan sedikitpun) kepada masalah-masalah gaib dan dasar-dasar ajaran Islam
(ushuluddin) yang diberitakan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Akidah Islam tercermin dalam rukun Iman (iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir, qadha’
dan Qadar).

Esensi akidah Islam adalah tauhid, diformulasikan dalam dua kalimat syahadat: asyhadu an la ila illa
Allah; wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Akidah yang tidak sesuai dengan la ilaha illa Allah
berarti menyimpang dari akidah Islam.

Karena itu, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, antara lain, untuk meluruskan akidah umat
terdahulu yang sudah mengalami penyimpangan, seperti: anggapan kalangan Yahudi, Uzair anak Allah;
dan keyakinan kaum Nashrani, Nabi Isa AS anak Allah, padahal Isa putra Maryam.

Berakidah tauhid pada dasarnya merupakan fitrah manusia karena ketika di alam arham semua manusia
pernah berjanji setia dan berkomitmen kepada Allah untuk bertauhid: mengenal dan mengesakan Allah.

Sejak ruh ditiupkan (istilah komputernya: di-install), manusia telah memiliki sifat lahut (ketuhanan),
sehingga ia selalu berusaha mendekati-Nya. Selain itu, manusia memiliki ketergantungan dan kebutuhan
spiritual kepada-Nya, karena manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan-Nya.

Manusia juga membutuhkan petunjuk dan peta jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan
membahagiakan, karena ia merupakan bagian integral dari makrokosmos ciptaan Allah. Manusia hidup
karena ada yang Mahahidup dan menghidupkan, yaitu Allah.

Manusia harus tunduk dan patuh kepada syariat-Nya, karena jalan terbaik dalam hidup ini adalah
meneladani sifat-sifat dan Asma’ul Husna-Nya.

Dengan meneladani sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya, menusia dapat mengotimalkan potensi dirinya
untuk hamba yang shalih dan mushlih (innovatif, reformis, konstruktif, tidak berbuat kerusakan di muka
bumi).
Akidah tauhid harus dimaknai secara komprehensif dan menjadi komitmen teologis Muslim
sebagaimana tercermin dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka nas’ta’in (Hanya kepada Engkau kami
beribadah, dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan).

Komitmen berimplikasi mendasar bahwa Muslim tidak boleh melakukan perselingkuhan teologis (syirik).
Misalnya saja kita rajin shalat, tetapi dalam waktu bersamaan kita masih percaya kepada selain-Nya
seperti: tempat-tempat yang diyakini kramat, klenik, benda-benda tertentu yang diyakini bias membawa
peruntungan, dan sebagainya.

Akidah tauhid harus ditindaklanjuti dalam bentuk ibadah yang ikhlas hanya kepada Allah dan ibadah ini
dipahami sebagai tujuan utama penciptaan manusia (QS az-Dzariyat/51: 56). Oleh karena itu, Mukmin
harus meyakini diterima dan tidaknya amal, sangat bergantung pada tauhidnya.

Kesempurnaan amal juga bergantung pada kesempurnaan tauhidnya. Allah berfirman: “Dan orang-
orang kafir itu amal mereka bagaikan fatamorgana di tanah datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi jika air itu didatangi, dia tidak mendapatinya sedikitpun…” (QS an-Nur/24: 39). Jadi,
akidah tauhid menjadi fondasi dan sebab berpahala tidaknya amal seseorang di mata Allah SWT.

Akidah tauhid juga dapat menentukan hubungan antara hamba dan Tuhannya, baik dari segi ma’rifah,
tauhid, maupun ibadah. Kebahagiaan hidup di dunia ini dapat terwujud jika dilandasi pengetahuan
tentang Allah, kebutuhan hamba kepada Allah harus melebihi segala kebutuhannya kepada yang lain.

Ma’rifat (mengenal dan memahami) Allah merupakan sumber ketenangan dan kedamaian hati. Akidah
tauhid juga membuat orientasi hidup Muslim jelas, terarah, dan mantap, tidak bimbang, ragu-ragu, dan
setengah-setengah.

Akidah yang benar merupakan kunci kemenangan dan keberuntungan dalam hidup di dunia dan akhirat.
Dengan akidah yang benar dan kuat, Mukmin hanya takut kepada Allah. Selain-Nya, semua itu kecil dan
hina; yang Maha Besar dan Kuasa hanyalah Allah.

Dengan demikian, berakidah tauhid (mengikatkan iman dalam hati, pikiran, lisan, dan perbuatan hanya
kepada Allah), perlu dibuktikan dengan amal shalih dengan dilandasi oleh ilmu yang memadai.
Pengertian Rukun Iman dan Penjelasan 6 Aspeknya dalam Agama Islam

Rukun iman ada 6 yang mesti diyakini umat Islam. Iman dalam Islam merupakan dasar atau pokok
kepercayaan yang harus diyakini setiap muslim. Jika tak memiliki iman, seseorang dianggap tidak sah
menganut Islam.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab RA, ketika malaikat Jibril menyaru menjadi
seorang laki-laki, ia bertanya kepada Nabi Muhammad SAW:

" ... 'Beritahukan kepadaku tentang Iman' Rasulullah SAW menjawab 'Engkau beriman kepada Allah,
kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada
takdir yang baik maupun yang buruk.' Orang tadi [Jibril] berkata, 'Engkau benar'," (H.R. Muslim).

Hadis di atas menjelaskan enam rukun Iman yang mesti diyakini seorang muslim sebagai berikut:

Iman pada adanya Tuhan Allah Yang Maha Esa.

Iman pada adanya malaikat Allah SWT.


Iman pada adanya kitab-kitab Allah SWT.

Iman pada adanya rasul-rasul Allah SWT.

Iman pada adanya hari kiamat.

Iman pada qada dan qadar, adanya takdir baik dan buruk ciptaan Allah SWT.

Dalam buku Rukun Iman (2012), Hudarrohman menjelaskan bahwa iman menjadi sah ketika dilakukan
dalam tiga hal, yaitu iman yang diyakini dalam hati, kemudian diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan anggota badan.

Aspek-aspek rukun iman dalam Islam dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:

1. Iman kepada Allah SWT

Iman kepada Allah SWT dilakukan dengan mempercayai dan meyakini bahwa Allah itu benar-benar ada,
kendati seseorang tidak pernah melihat wujud-Nya atau mendengar suara-Nya.

Untuk beriman kepada-Nya, seorang muslim harus mengetahui sifat-sifat-Nya, baik itu sifat-sifat wajib,
jaiz, atau mumkin, atau dapat juga dilakukan dengan mengenal 99 Asmaul Husna yang tertuang dalam
Alquran atau hadis.

2. Iman kepada Malaikat Allah SWT


Iman kepada malaikat Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa malaikat itu benar-benar ada.
Seorang muslim mesti meyakini adanya malaikat kendati tidak pernah melihat wujudnya, mendengar
suaranya, atau menyentuh zatnya.

Perintah mengimani malaikat ini tertera dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 285:

"Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya," (QS. Al-
Baqarah [2]: 285).

Baca juga: 10 Nama-Nama Malaikat dan Tugasnya Menurut Agama Islam

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah SWT

Iman kepada kitab-kitab Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah menurunkan kitab
kepada utusan-Nya. Kitab ini merupakan pedoman, petunjuk kebenaran dan kebahagiaan, baik itu di
dunia maupun akhirat.

Keberadaan kitab-kitab Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hadid ayat 25:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca [keadilan] supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan,” (QS.Al-Hadid [57]: 25).

Dengan beriman kepada kitab Allah, seorang muslim membenarkan secara mutlak bahwa kitab-kitab itu
merupakan firman Allah SWT. Isinya adalah kebenaran yang wajib diikuti dan dilaksanakan.

Dalam buku Rukun Iman (2007) yang diterbitkan Universitas Islam Madinah, disebutkan bahwa beriman
kepada kitab Allah dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu beriman secara umum dan terperinci.
Pertama, beriman secara umum artinya meyakini bahwa Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada
rasul-Nya. Jumlahnya, tiada yang tahu kecuali Allah SWT sendiri.

Kedua, beriman secara terperinci artinya mengimani kitab-kitab yang disebutkan Allah SWT secara
spesifik dalam Alquran, seperti Taurat, Injil, Zabur, Alquran, serta Suhuf Ibrahim dan Musa.

4. Iman kepada Rasul-rasul Allah SWT

Iman kepada rasul-rasul Allah SWT dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah benar-benar
menurunkan rasul-Nya kepada suatu masyarakat tertentu untuk menyampaikan ajaran-Nya.

Siapa saja yang mengikuti rasul-rasul itu akan memperoleh hidayah dan petunjuk. Sebaliknya, yang
mengingkari Rasul-Nya akan tersesat.

Keberadaan rasul Allah SWT ini tertera dalam Alquran surah Al-Hajj ayat 75:

“Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia, sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS.Al-Haj [22]:75).

Baca juga: Tugas Rasul-Rasul Allah SWT sebagai Penyampai Wahyu kepada Manusia

5. Iman kepada Hari Kiamat


Iman kepada hari kiamat dilakukan dengan mempercayai bahwa suatu hari kehidupan di semesta akan
musnah. Selepas itu, manusia akan dibangkitkan dari kubur, dikumpulkan di padang mahsyar, dan
diputuskan ke surga atau neraka.

Dalam surah Al-Infithar ayat 14 dan 15, Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke
dalamnya pada hari pembalasan [hari kiamat],” (QS. Al-Infithar [82]:14-15).

6. Iman kepada Qada dan Qadar

Iman kepada qada dan qadar dilakukan dengan mempercayai bahwa Allah SWT telah menetapkan takdir
manusia, baik itu yang buruk maupun yang baik.

Pertama, qada merupakan takdir atau ketetapan yang tertulis di lauh al-mahfuz sejak zaman azali.

Takdir dan ketetapan ini sudah diatur oleh Allah SWT bahkan sebelum Dia menciptakan semesta
berdasarkan firman-Nya dalam surah Al-Hadid ayat 22:

“Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat
dalam kitab [lauh al-mahfuz] dahulu sebelum kejadiannya,” (QS. Al-Hadid [57]: 22).

Artinya, qada merupakan ketetapan Allah SWT terhadap segala sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Hal
ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

"Allah SWT telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi," (H.R. Muslim).
Kedua, qadar adalah realisasi dari qada itu sendiri. Artinya, adalah ketetapan atau keputusan Allah SWT
yang memiliki sifat Maha Kuasa (qudrah dan qadirun) atas segala ciptaan-Nya, baik berupa takdir yang
baik, maupun takdir yang buruk.

Jika qada itu ketetapan yang belum terjadi, maka qadar adalah terwujudnya ketetapan yang sudah
ditentukan sebelumnya itu.

Dilansir dari NU Online, karena qada dan qadar adalah perkara gaib, keduanya tidak bisa menjadi alasan
seorang muslim bersikap pasif dan pasrah dengan takdirnya.

Dengan beriman kepada qada dan qadar, seorang muslim tetap harus berikhtiar, berusaha, dan
mengupayakan potensinya agar dapat terwujud, serta produktif di kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai