Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KAIDAH ASASIYAH KEDUA

“ ‫” اليقين ال يزال بشك‬


(KEYAKINAN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN)
Dosen pengampu: Ahmad Muzani, Lc., M.A

Oleh kelompok : III


1. Ahmad Yani
2. Fidyatun Nufus
3. Luhi Ijatun Naim
4. Mariana Romdani
5. Muhammad Ittihady
6. Siska Cahyati

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW PANCOR
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang kaidah asasiah kedua “ ‫ ” اليقين ال يزال بشك‬Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran
agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan makalah
sebagai tugas dari dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Lembaga Ekonomi Syariah.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pancor, 06 Desember2020

Kelompok III

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sendiri memiliki perasaan senang-sedih, optimis-pesimis, dan yang
berkaitan dengan masalah ini adalah keyakinan dan keraguan. Karenanya, keraguan yang
menganggu pikiran sebagaimana pesan substansial kaidah ini tidak akan mampu
menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh keyakinan.
Kaidah ini melandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak
dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan
unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin
yang telah ada sebelumnya. Seseorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada
dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesucianya di
sebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena sebelum keraguan itu timbul, dia telah
menyakini keabsahan thaharah yang telah dilakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud denga kaidah “ ‫ ” اليقين ال ي>>>زال بشك‬Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan?
2. Apa dasar hukum tentang kaidah “ ‫ ” اليقين ال يزال بشك‬Keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan?
3. Apa saja kaidah turunan yang timbul dari kaidah “ ‫ ” اليقين ال يزال بشك‬Keyakinan tidak
bisa dihilangkan dengan keraguan?
4. Bagaimana penerapan Kaidah “ ‫ ” اليقين ال يزال بشك‬Keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan dalam muamalah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui maksud dari kaidah “ ‫ ” اليقين ال ي>>زال بشك‬Keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan.
2. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah “ ‫ ” اليقين ال ي>>زال بشك‬Keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan.
3. Untuk mengetahui yang termasuk kaidah turunan dari kaidah “ ‫” اليقين ال ي>>زال بشك‬
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

3
4. Mengetahui penerapan kaidah “ ‫ ” اليقين ال يزال بشك‬Keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan. dalam muamalah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

“ ‫” اليقين ال يزال بشك‬


Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan. ‫اليقني‬

secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-yaqin juga bisa dikatakan
pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-
Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk. Perlu
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan al-yaqin (yakin) dalam kaidah di atas adalah:
Sesuatu yang pasti, berdasarkan pemikiran mendalam atau berdasarkan dalil. Sedangkan
yang dimaksud dengan asy-syakk (ragu): Sesuatu yang keadaannya belum pasti
(mutaraddid), antara kemungkinan adanya dan tidak adanya, sulit dipastikan mana yang
lebih kuat dari salah satu kedua kemungkinan tersebut.
Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-
Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1. Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu
yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai

penjelasan lebih lanjut ‫(األصل براءة الذمة‬hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang

dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang
terbebankan.
B. Dasar hukum
1. Dasar Qaidah Al-Qur’an pada surah Yunus ayat 36:

‫ا ۚ إِ َّن ٱللَّهَ َعلِي ۢ ٌم مِب َا َي ْف َعلُو َن‬$‫َو َما َيتَّبِ ُع أَ ْكَثُر ُه ْم إِاَّل ظَنًّا ۚ إِ َّن ٱلظَّ َّن اَل يُ ْغىِن ِم َن ٱحْلَ ِّق َشْي ًٔٔـ‬

5
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
2.  Dasar Qaidah Hadis Rasulullah SAW

‫َح ُد ُك ْم يِف بَطْنِ ِه َشْيئًا فَأَ ْش َك َل َعلَْي ِه‬ ِ ِ


َ ‫صلَّى اللَّه َعلَْيه َو َسلَّ َم إ َذا َو َج َد أ‬
ِ ُ ‫عن أَيِب هرير َة قَ َال قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َْ َ ُ ْ َ
‫ص ْوتًا أ َْو جَيِ َد ِرحيًا‬ ِِ ِ ِ
َ ‫َخَر َج مْنهُ َش ْيءٌ أ َْم اَل فَاَل خَي ُْر َج َّن م َن الْ َم ْسجد َحىَّت يَ ْس َم َع‬
َ‫أ‬
Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan tentang seorang yang semula dalam keadaan berwudu‟
lalu ia ragu apakah telah mengeluarkan angin atau belum, maka dalam hal ini ia harus
dianggap masih keadaan berwudu‟. Sebab, keadaan berwudu‟ inilah yang sejak
semula sudah menjadi keyakinan (al-yaqin) sedangkan keraguan (asy-syakk) baru
muncul kemudian. Keyakinan yang ada itu tidak dapat dihapus dengan keraguan.
C. Kaidah Turunan
Beberapa kaidah yang terdapat dalam kaidah tersebut adalah:

1. ‫ما ثبت بيقني ال يرتفع اال بيقني‬


“Apa yang ditetapkan dengan yakin tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yakin pula.”

Kaidah ini memiliki makna yang mirip dengan kaidah pokoknya, bahwa sesuatu
yang diyakini (sebagaimana kriteria ”yakin” pada kaidah pokok) tetap berada pada posisi
”yakin”, kecuali ada sesuatu yang juga berada pada posisi ”yakin” yang merubah ”yakin”
yang pertama . Meskipun ada ulama yang memasukan kriteria ”zhan ghalib” sama

dengan ”yakin”. Zhan Ghalib . ‫القلب‬ ‫الذى تسكن اليه النفس ويطمئن به‬
Sebagai didefinisikan Bila ada seseorang yang mengadakan perjalanan
menggunakan kapal laut, lalu kapal itu tenggelam dan telah dipastikan hal itu,

6
penumpang yang ada didalmnya dihukum telah mati berdasarkan dugaan kuat (zhan
ghalib)9 . Oleh karena itu, segala hal yang terkait dengan mayit tersebut dapat
diselesaikan seperti kedudukan isteri/suaminya dan harta waris serta warisannya. Contoh
lain dari kaidah ini adalah seseorang yang mengerjakan sholat, namun ragu terhadap
jumlah rakaat. Yang dipandang yakin adalah jumlah terkecil. Barangsiapa ragu terhadap
jumlah hutang yang telah dibayarnya, maka tetapkan jumlah yang meyakinkannya.

2. ‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬


“Pada dasarnya tetapnya sesuatu sebagaimana adanya”
Kaidah ini mengandung pengertian bahwahukum yang telah ditetapkan pada
waktu yang lalu tentang sesuatu baik halal ataupun haram, boleh atau tidak boleh,
tetap berada dalam ketetapan hukum itu, tidak akan berubah kecuali ada dalil yang
menunjukkan perubahannya. Sebagai contoh seseorang yang makan pada akhir siang
hari (menjelang maghrib) dan dia meragukan apakah sudah terbenam matahari atau
tidak. Puasanya batal karena yang menjadi al Ashlu adalah tetapnya siang. Jika ada
yang makan pada waktu akhir malam sedangkan dia meragukan terbitnya fajar,
puasanya tetap sah. Sebab al-ashlu adalah tetapnya malam.11 Pertentangan pembeli
dengan penjual tentang penyerahan harga barang, akan dimenangkan oleh penjual.
Sebab al-ashlu dari harga barang itu ada pada pembeli. Demikian juga jika
pertentangannya tentang penyerahan barang, yang dimenangkan pembeli, sebab al-
Ashlu barang ada pada penjual.

3. ‫األصل العدم‬
“Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu”.
Misalnya, Seseorang mengaku telah berutang kepada orang lain berdasarkan
atas pengakuannya atau adanya data otentik, tiba-tiba orang yang berutang mengaku
telah membayar utangnya, sehingga ia telah merasa bebas dari tanggungannya.
Sedangkan orang yang memberi utang mengingkarinya atas pengakuan orang yang
berutang.

7
Dalam hal ini sesuai dengan qaidah, maka yang dimenangkan adalah
pernyataan orang yang memberi utang, karena menurut asalnya belum adanya
pembayaran utang, sedangkan pengakuan orang yang berutang atas bayarnya adalah
perkataan yang meragukan.
Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudharabah) mengatakan
kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan, maka perkataannya
itu dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudharabah belum
ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang telah nyata karena
belum bertindak, sedangkan memperleh keuntungan yang diharapkan merupakan hal
yang tidak pasti.

4. ‫االصل ىف األشياء اإلباحة حىت يدل الد ليل على التحرمي‬


Artinya: “Hukum asal sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukan keharamannya”
Kaidah di atas bersumber dari sabda Rasul, riwayat al-Bazzar dan ath-
Thabrani, yang berbunyi:
“Apa yang dihalalkan Allah, maka hukumnya halal, dan apa yang ia haramkan
maka hukumnya haram, dan apa yang didiamkannya maka hukumnya dimaafkan.
Maka terimalah dari Allah pemanfataan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak
melupakan sesuatu apapun”.
Hadits ini mengandung makna bahwa apa saja yang belum ditunjuki oleh
dalil yang jelas tentang halal-haramnya, maka hendaklah dikembalikan pada
hukum asalnya, yaitu mubah. Atas dasar kaidah yang ditopang oleh dalil di atas,
maka dipahami bahwa:
“Umpamanya ada seekor hewan yang sulit ditentukan keharamannya,
karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dikategorikan hewan
haram, maka hukumnya halal dimakan”.
Demikian juga seandainya ada jenis transaksi yang tidak jelas unsur-unsur
yang mengharamkannya, maka boleh dilakukan.
Ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi :

8
‫األصل ىف املعا مال ت اإلباحة حت يدل الدليل على التحرمي‬
Artinya: “Hukum asal semua mu‟amalat adalah boleh, hingga ada dalil
yang menunjukkan kebolehanya.”

D. Penerapan Kaidah Dalam Bidang Muamalah


1. Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya
itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang
mengata kan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya,
karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh
ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh
keraguan.
2. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang
mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi jual
beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya syarat itu,
maka perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai sumpahnya,
karena syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam
akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat tambahan,
itulah yang yakin.
3.  Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang, bahwa
ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang mengingkarinya,
maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang mengingkari
pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang yang berhutang,
terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia sudah bayar
hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang punya piutang
itu diyakini.
4. Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah
mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya. Dalam
kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum pokok
makanan orang lain itu tidak boleh di makan.

9
5. Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada
pemilik modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu
dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan mudharabah memang belum diperoleh
laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang diharap-harapkan
itu hal yang belum terjadi (belum ada).

10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda,
bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan
keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan
yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa
keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum
qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa
keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.
Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan
adanya keraguan ini, oleh karenanya pemakalah mengambil kesimpulan bahwa
apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang
berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau
meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai
dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu
itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan. Kami berharap para pembaca
dapat memberikan kritik dan saran yang membangun.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://dealfinews.blogspot.com/2018/10/makalah-qowaidul-fiqhiyah-al-yaqinu-la.html

12

Anda mungkin juga menyukai