MUAMALA NET
MENU
Makalah Kaidah Kesulitan Mendatangkan Kemudahan – Kaidah al-masyaqqah tajlibu at-taysir, terdiri
dari tiga suku kata, al;masyaqqah,tajib dan taysir. Secara bahasa kata al-masyaqqah merupakan bentuk
masdar dari ‘syaqq’()شقyang memiliki kandungan makna sama dengan‘ash-shu’ubah’ yakni; kesulitan,
kesukaran, kepayahan dan kelelahan. Secara istilah, al-masyaqqah ialah suatu kesukaran yang
didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya
pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan atau pelengkap.
Kata tajlib adalah bentuk fi’il mudhori’ dari ‘jalbun’ yang bermakna حضره وبه جاءأyaitu mendatangkan dan
menghadirkan. Sedangkan yang dimaksud dengan kata ‘tasyir’ ialah kelonggaran atau keringanan hukum
yang disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian (direksi) dari pada kaidah atau
ketentuan umum. Dengan demikian, arti keseluruhan dari kaidah diatas adalah ; bahwa kesukaran,
kepayahan dan kelelahan merupakan penyebab adanya kemudahan. Dengan demikian, maka semua
bentuk keringanan dalam syariah islam selalu bersumber dari kaidah umum (komprehensif) ini.
I. Al-Qur’an
”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (An-Nisa’ [4]:
25)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Al-Baqarah [2]:
185).
II. Hadits
B. Klasifikasi kesulitan
Kesulitan yang bersifat sebagai kebutuhan (hajiyyat-sunnah). Kesulitan jenis ini, seseorang boleh
mengambil dan boleh tidak, sesuai dengan kondisi. Misalnya; melakukan qashar atau jama’ shalat, tidak
berpuasa (ifthar) ketika sakit atau dalam perjalanan seseorang mampu untuk melanjutkan puasa, maka
ia boleh berpuasa. Contoh lain adalah; diperbolehkan bagi seseorang untuk melakukan jual beli secara
salam atau istisna’ (jual beli pesanan atau down payment-nya di depan sebelum barangnya ada). Sesuai
dengan kondisi yang ada.
Kesulitan yang bersifat biasa (normal). Keringanan jenis ini merupakan kesulitan biasa dalam melakukan
sesuatu, misalnya: merasa lapar ketika puasa, lelah ketika belajar, dan ngantuk ketika masuk kelas, dan
kepanasan ketika memakai karudung. Kesulitan seperti ini tidak dijadikan dalih untuk mendapatkan
karinganan. Sebab hal ini lumrah terjadi.
Adanya sebab-sebab terjadinya suatu keringanan (dispensasi), baik dalam kaitannya dengan masalah
perbedaan maupun lainnya adalah sebagai berikut:
Mengenai kriteria intimidasi, imam al-Syuhuti berpendapat bahwa seseorang dapat menerima
karinganan karena terintimidasi dalam menjalankan kewajiban agama apabila memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut:
Orang yang memaksa (mukrih), baik melalui sarana kekerasan maupun gencarnya intimidasi atau teror.
Mukrah dalam keadaan lemah, tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri
maupun diminta pertolongan.
Mukrah mempunyai dugaan kuat bahwa jika ia menolak, maka mukrih akan menjatuhkan atau
mera=ealisasikan ancamannya.
Adanya objek ancaman yang jelas, kongkrit dan dapat di lakukan secara langsung, misalnya sesuatu yang
haram dikerjakan seperti; membunuh, merampok, dan sebagainya.
Untuk mengetahui klasifikasi ikrah (intimidasi), fuqaha’ berbeda-beda dalam memberikan ketentuannya,
perbedaan tersebut sebagaimana berikut:
Kalangan (madzhab) hanafiyyah mengklasifikannya menjadi dua, yaitu suatu paksaan dengan berupa
ancaman pembunuhan atau memotong salah satu organ tubuh. Kedua, ikrah ghairu mulja yaitu suatu
paksaan yang hanya berupa pemukulan, penjara, perampasan harta benda dan sebagainya.
Kalangan syafi’iyyah, mengklasifikasikan intimidasi menjadi dua bagian: pertama, ikrah bil haq; yaitu
paksaan yang dibenarkan, misalnya memaksa orang yang memiliki hutang yang telah jatuh tempo untuk
menjual barang miliknya guna membayar hutang-hutangnya. Hal ini wajib dipenuhi oleh yang dipaksa.
Kedua, ikrah bi ghoiri haq(paksaan yang tidak benar). ikrah jenis ini terbagi menjadi dua bagian,
sebagaimana berikut; pertama, ikrah haram; yaitu seperti paksaan untuk membunuh. Dalam paksaan
jenis ini, seseorang yang dipaksa tidak boleh melaksanakannya, sebab jika dilakukan, maka ia
mendapatkan hukuman qishash (nyawa diganti dengan nyawa). Kedua, ikrah mubah; misalnya berupa
paksaan itu dilaksanakan, maka dia (orang yang dipaksa) terbebas dari jeratan hukum, sebab
menanggung konsekuensi hukumannya (had atau hudud) adalah orang yang memaksa (mukrih).
Dengan demikian, dalam kodisi tertentu, seseorang yang mengambil paksaan, diperbolehkan memakan
makanan-makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata kufur atau berbuat yang dapat
mengkafirkan dengan keterpaksaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt sebagai berikut, yang
artinya: “Siapa saja yang kafir terhadap Allah setelah dia beriman (maka dia mendapatkan kamurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keadaan beriman”.
Definisi dari istilah ‘an-nisyan’ disini adalah hilangnya daya ingatan terhadap hal-hal yang sudah
diketahui (ma’lun, yaitu hilangnya memori atau ingatan) dan untuk mengingat kembali yang dibutuhkan
usaha dari awal. Sedang yang dimaksud dengan istilah ‘as-sahwu’ ialah hilangnya daya ingatan terhadap
hal-hal yang sudah diketahui, tetapi keadaannya hanyalah bersifat temporal (sementara). Dengan
demikian, dengan cara kembali mengingat sekdarnya saja secara langsung otak mampu merekam
kembali memori yang sempat hilang.
Adapun klasifikasi lupa (an-nisyan) dalam kaitannya dengan masalah keringanan (ar-rukhsah) dan
konsekuensi hukumnya, lupa dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
Jika bentuk lupa itu berupa meninggalkan sebuah kewajiban, maka hakikat dari kewajiban tersebut
belum dianggap gugur. Maknanya, jika ingatan sudah normal kembali. Misalnya adalah: meng-qadha’
shalat ketika lupa, membayar hutang ketika lupa, mengembalikan barang ketika lupa, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, keadaan orang yang melakukan dosa atau kesalahan karena lupa, maka baginya
bebas dari sangsi. Misalnya lupa makan saat bulan Ramadhan, lalu lupa ketika berbicara saat sholat,
kemudian diakhir sholat dia ingat kalau belum selesai sholatnya.
Ketidaktahuan merupakan perkara yang sangat di benci oleh islam, dan itu terjadi kapan saja, sekalipun
demikian islam tetap memberikan posisi ketidaktahuan dalam menjalankan suatu kewajiban. Beberapa
kategori ketidaktahuan menurut islam, yaitu:
Ketidaktahuan hukum islam karena lantaran dia baru masuk islam (mu’allaf).dalam kondisi seperti ini
islam memberikan keringanan; semisal mu’allaf tersebut berbicara ketika sholat, akan tetapi mu’allaf
tersebut tidak tahu bahwa tidak boleh bicara saat melaksanakan sholat. Maka sholat tersebut tidak batal
karena ketidaktahuannya.
Kebodohan disebabkan kondisi dan situasi. Misalnya; orang muslim yang hidup didaerah terpencil, yang
tidak mempunyai informasi tentang waktu sholat. Maka baginya diwajibkan untuk menjalankan sholat
sesuai dengan waktu yang diyakini.
5. Kesulitan dan wabah penyakit yang tidak bisa dihindari (al-usyr) dan (‘umum balwa)
Merupakan sunnatullah jika dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya keadaan yang
mengharuskan untuk memilih banyak pilihan. Dengan demikian sikap islam tidak pernah bersikap kaku,
sebaliknya justru memilih respon dinamis dipandang dari prespektif yang komprehensif sehingga hukum
yang sudah ditetapkan selalu bersifat objektif, dan adil. Semisal dalam kasus sholat, dimana seluruh
anggota tubuh dan lainnya diharuskan untuk suci. Akan tetapi, dengan kesukaran berupa wabah
penyakit atau bencana tanah longsor, dengan demikian sholat dengan menggunakan baju yang tidak
suci diperbolehkan, sebab sulit untuk mencari baju yang suci.
Dalam bidang muamalah misalnya; seseorang yang memerlukan motor unttuk bekerja, akan tetapi dia
hanya mampu untuk mencicil tiap bulan gaji yang didapat, padahal dia membutuhkan motor
secepatnya. Akan tetapi, merupakan suatu yang lumrah jika membeli motor dengan cicilan adanya
tambahan biaya (bunga). Hal seperti ini dianggap sebagai kesukaran sekaligus wabah penyakit yang sulit
dihindari (wabah penyakit berupa jual beli menggunakan sistem bunga). Maka kesulitan mendatangkan
kemudahan bagi seseorang tersebut untuk membeli motor dengan sistem mencicil.
6. Bepergian (as-safar)
Pada saat tertentu setiap orang pasti akan memiliki keperluan untuk melakukan perjalanan yang
panjang, seperti; belajar, belanja, bekerja dan mudik, dan lain sebagainya. Dizaman yang moderen ini
bepergian merupakan salah satu kebutuhan manusia yang termasuk semi-primeruntuk semua manusia.
Dari realitas seperti inilah , muncul persoalan, apakah setiap perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
dapat diberikan keringanan (rukhsah)?.
Jawabannya adalah tidak semua perjalanan mendapat keringanan ( rukhsah) dalam melaksanakan
kewajiban. Menurut Imam an-Nawawi, terdapat tiga klasifikasi terkait keringanan dalam perjalanan,
sebagai berikut:
Karinganan bagi yang melakukan perjalanan jauh, meliputi; meringkas (qashar) atau menggabungkan
(jama’) shalat, tidak berpuasa di bulan Ramadhan (ifthar).
Karinganan dalam kondisi tertentu, misalnya: meninggalkan sholat jum’at dan menggantinya dengan
sholat dhuhur (bagi mereka yang melakukan perjalanan di hari Jum’at), dan memakan bangkai bagi
mereka yang kehabisan bekal.
Tipe ini hanya dilakukan oleh orang yang dalam kondisi tertentu, sekalipun masih diperselisihkan dalam
hal apakan perjalanannya itu harus
Tipe ini hanya dilakukan oleh orang yang dalam kondisi tertentu, sekalipun masih diperselisihkan dalam
hal perjalanannya itu harus mencapai dua marhalah atau tidak, yaitu; sholat sunnah diatas kendaraan
tanpa harus menghadap kiblat. Kedua, hilangnya kewajiban sholat yang telah dilkukan, sekalipun bersuci
dengan cara bertayamum.
7. Sakit (al-marad)
Menjalankan perintah Allah adalah wajib, tapi bagaimana kalau sedang dalam keadaan tertentu seperti
sakit? Maka islam mempunyai berbagai cara untuk meringankan umat manusia untuk beribadah
kepadaNya. Dalam hal ini semisal sholat. Sholat merupakan kewajiban, jika tidak bisa sholat dengan
berdiri (karena sakit), maka diperbolehkan duduk (sebagai bentuk keringanan), jika tidak bisa sholat
dengan duduk, maka diperbolehkan sholat dengan tidur, dan seterusnya hingga sholat dengan kedipan
mata.
Begitupun dalam bidang muamalah, misalnya zakat atau sedekah. Sedekah yang idealnya dengan harta
yang terbaik, misalnya; hasil kebun yang besar dan gemuk. Akan tetapi jika itu tidak ada (dalam kondisi
yang tidak ideal), sedekah dengan sebiji kurma pun diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw
yang artinya; “hindarilah api neraka walaupun dengan sebiji kurma”.
8. Kurang akal
Kurang akal adalah adanya kekurangan yang sifatnya insticpsikologis (watak kejiwaan). Misalnya: kaum
perempuan keluar darah haid setiap bulannya selama 7 hari atau sampai 15 hari. Keadaan ini bisa
mempengaruhi kadar emosional tinggi, sehingga terkesan ia kurang sabar atau berbicara kurang kontrol.
Datangnya, syariat islam, pada hakekatnya adalah untuk menciptakan kebahagiaan bagi kehidupan
manusia semenjak di dunia hingga akhirat. Dalam konteks kebahagiaan, apabila seseorang atau
masyarakat dalam mengerjakan sesuatu perbuatan tidak mendapat keterbatasan atau tidak menjumpai
suatu kondisi yang keluar dari yang seharusnya (kharijun min al-adah), sehingga apabila dilaksanakan
hukum yang ideal mengakibatkan kesukaran dan kesempitan.
Dengan demikian, setiap kesempitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar,
sehingga benar-benar terasa adanya kebahagian dengan datangnya syariat islam.
“Segala sesuatu yang melebihi batas (normal), (hukumnya) berbalik kepada sebaliknya”
Misal dari kaidah ini adalah, bahwa seseorang memiliki kewajiban untuk menunaikan puasa di bulang
Ramadhan, tetapi karena sakit atau perjalanan maka ia tidak di wajibkan untuk melakukan puasa.
Contoh lain, dalam batas tertentu seseorang yang memiliki harta diwajibkan untuk menunaikan zakat.
Akan tetapi, karena pada waktu tertentu dia memiliki kebutuhan yang mendesak (diluar batas normal)
maka dia tidak di wajibkan untuk membayar zakat. Cukup dengan infaq atau sedekah saja.
Maksud dari kaidah diatas adalah bahwa keringanan dapat diberikan ketika peruntukan dari perbuatan
adalah untuk ibadah atau kebaikan. Bukan perbuatan buruk atau maksiat. Misalnya, keringanan untuk
qashar atau jama’ tidak dapat diberikan bagi mereka yang dalam perjalanan untuk mencuri. Keringanan
untuk makan bangkai ketika kelaparan dihutan, tidak dapat diberikan bagi mereka yang melakukan
pembalakan pohon secara ilegal. Begitu pula keringanan untuk menebus dosa seperti; suap dengan
membayarkan uang hasil suap untuk zakat, sebab keringanan seperti pengampunan tidak diperuntukan
untuk hal maksiat yang dilakukan secara sengaja.
Serta landasan hukum kaidah diatas adalah dari al-Quran dan Hadits, seperti firman Allah Swt, “Allah
menghendaki kemudahan bagimu” (QS. Al-Baqarah: [2] 185). Sedangkan sabda Rosulullah adalah,
“udahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti” (HR. Bukhari).
Beberapa sebab adanya keringanan adalah sebagai berikut; (1) intimidasi (al-ikrah), (2) lupa (an-nisyau),
(3) ketidaktahuan atau kebodohan (al-jahl), (4) kesulitan dan wabah penyakit (al-usyr dan umum balwa),
(5) bepergian (as-safar), (6) sakit (al-marad), (7) kurang akal (an-naqs).
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Lanjutan:
qawaid fiqhiyah
Tinggalkan komentar
Komentar
Nama
Nama *
Surel
Surel *
Situs web
Situs web
Cari untuk:
Cari …
Akuntansi
Asuransi
Berkah Langit
Dunia Akademis
Ekonomi Islam
Ekonomi Makro
Ekonomi Mikro
Fintech
Fiqih Muamalah
Fiqih Umum
Halal Lifestyle
Ilmu Ekonomi
Ilmu Sosial
Inet
Inspirasi
Karir
Keuangan
Konsumsi
Leisure
Lifehack
Literasi Halal
Makalah
Make Money
Manajemen
Manajemen Bisnis
Manajemen Kredit
Manajemen SDM
Muamala
Muamalah
Opini
Peluang Bisnis
Perbankan
Personal Development
Personal Finance
Popular
Restoran Halal
Review
SHOP
Sosial Umum
Store
Syariah
Tips Bisnis
Top
Uncategorized
Wirausaha
Wisata Halal
Zakat
POS-POS TERBARU
DISCLAIMER
Semua informasi yang ada di web ini hanya bersifat informatif komplementer. Implementasi informasi
yang ada di web ini mungkin berbeda bagi tiap orang. Semua yang ada dalam muamala.net bukan untuk
menggantikan pandangan ekonom, ekonom syariah, akuntan, ahli keuangan, atau ahli fiqih.
PUSAT INFORMASI
Our Contact
Disclaimer
Privacy Policy
Tentang Kami
Pilih Kategori
© 2020 Disusun Oleh Tim Muamala Media. Dilindungi Undang-undang & Syaria.
Home
Ilmu Ekonomi
Manajemen
Syariah
Personal Finance