AL-QOWAIDUL KHAMSAH
Secara terminologi kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang
mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitas nya.
Adapun secara umum, fuqahâ terbagi kepada dua kelompok pendapat berdasarkan pada
penggunaan kata kullî di satu sisi dan kata aghlabî atau aktsari di sisi lain. Pertama, fuqahâ
yang berpendapat bahwa kaidah fiqhiyyah adalah bersifat kullî mendasarkan argumennya
pada realitas bahwa kaidah yang terdapat pengecualian cakupannya berjumlah sedikit dan
sesuatu yang sedikit atau langka tidak mem punyai hukum. Kedua, fuqahâ berpendapat
bahwa karakteristik kaidah fiqhiyyah bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena realitasnya
kaidah fiqhiyyah mempunyai keterbatasan cakupannya atau mempunyai pengecualian
cakupannya sehingga penyebutan kulli dari kaidah fiqhiyyah kurang tepat.1
Ilmu yang berhubungan dengan ilmu fikih adalah: ushul fikih, qawaidul fikhiyah, muqaranatu
al-mazahib, falsafah hukum Islam. Kaidah-kaidah fikhiyah sangat dibutuhkan dalam
melakukan istimbath hukum (pengambilan dan penetapan hukum) karena kaidah-kaidah
hukum itu merupakan instrumen dalam menetapkan hukum. Apabila diibaratkan dengan
sebuah mesin maka kedudukan kaidah hukum itu sebagai onderdil-onderdilnya.
Seseorang tidak akan bisa menetapkan hukum terhadap suatu problem dengan baik, apabila
dia tidak mengetahui kaidah-kaidah fikhiyah. Fikih itu terbangun dari lima kaidah, yang akan
diuraikan berikut ini.
Hadits ini diriwayatkan dari orang-orang yang dipercaya seperti Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib ra. Sahnya perbuatan tergantung pada niatnya.
Perbuatan yang dimaksud adalah segala bentuk aktifitas baik berupa ucapan maupun
gerak tubuh kita. Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Dawud dan
lainnya sepakat bahwa hadits tentang niat tersebut merupakan sepertiga ilmu. Imam
1
Abdul Haq, dkk, Formalisasi Nalar Fikih, (Surabaya: Khalista, 2009), h. 8
alBaihaqi mengilustrasikan hadits tersebut bahwa perbuatan manusia tidak lepas dari
tiga hal yaitu: hati, lisan dan anggota badan.
Ulama membahas niat dari tujuh bagian yaitu hakikat, hukum, tempat, waktu,
tata cara, syarat dan tujuan niat. Maksud niat adalah untuk membedakan ibadah dari
adat yang serupa dengannya. Begitu juga fungsi niat untuk membedakan antara satu
bentuk ibadah dengan ibadah lainnya. Secara garis besar maksud dan tujuan niat ada
dua:
1) Untuk membedakan antara ibadah dan adat
2) Untuk membedakan tingkatan ibadah wajib atau sunnah
B. ( اْلَيِقْيُن اَل ُيَزاُل ِبالَّشِكKeyakinan tidak bisa dihilangkan dengan dengan sebab keraguan)
َأْح َد ْثَت َفاَل َيْنَص ِر ْف َح َّتى َيْس َم َع َص ْو ًتا َأْو َيِج َد ِريًحا: َفَيُقوُل َلُه،ِإَّن الَّشْيَطاَن َلَيْأِتي َأَح َد ُك ْم َو ُهَو ِفي َص اَل ِتِه
Sesungguhnya syetan akan mendatangi salah satu diantara kalian dalam keadaan
shalat, kemudian setan itu berkata pada salah seorang diantara kalian, kamu telah
berhadats, maka janganlah meninggalkan shalat sampai mendengar suara atau
menemukan bau.
Keraguan yang baru datang pada suatu keyakinan yang disebabkan oleh suatu hal
yang sifatnya eksternal, tidak dapt menghilangkan keyakinan tersebut. Maksud
keyakinan dalam bab ini adalah ketenangan dalam hati menetapi hakikat dari sesuatu,
sementara keraguan (syak) yaitu kebimbangan antara dua hal atau lebih, baik yang
sejajar atau ada yang lebih unggul.
Islam sebagai agama paripurna yang dibawa Nabi Muhammad Saw., oleh Allah diberi
keistimewaan. Di antaranya adalah tidak ada kesempitan dalam menjalankannya.
Allah Swt. memberi kemudahan kepada umat Nabi Muhammad Saw. dan tidak
memberinya beban yang sulit dalam menjalankan agama, sebagaimana umat-umat
terdahulu.
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada
tujuh macam yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jum’at.
2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu
sambil duduk.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6. Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya
belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk
mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
7. Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang
gila, orang dalam keadaan mabuk.2
2
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h.56-58
Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika
ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu lain yang dapat menempati posisinya.
Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa
atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu ( bahaya ) yang
menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat diselesaikan
dengan hal lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat - syarat untuk
memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini
tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat dapat dihilangkan
dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang
dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat.3
Kaidah ‘adah mu’tabarah, adat bisa dijadikan pijakan hukum bila berlaku secara
merata di suatu daerah. Dengan gambaran adat di suatu daerah berbeda-beda, dari satu
orang dengan orang lain berbeda-beda, maka adat seperti ini tidak bisa dijadikan
pijakan hukum.
Kaidah ‘adah ini,diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup
dan kehidupan ini dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
3
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah, h. 48
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri
secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat
baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilainilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut.
Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar
kesadaran masyarakat tersebut.4
A. Aspek Sosial
Aspek sosial merupakan aspek penting dalam Islam, karena manusia sendiri adalah
makhluk sosial. Artinya manusia tidak akan bisa hidup tanpa orang lain, tanpa
lingkungan dan alam sekitarnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
ٰٓيَاُّي ا الَّنا ِاَّنا َلْق ٰن ُك ِّم َذَك ٍر َّو ُا ٰثى ْلٰن ُك ُش ا َّو ۤإِى ِل ا اۚ ِاَّن َاْك ُك ِعْنَد الّٰلِه
َر َم ْم ْن َو َجَع ْم ُعْو ًب َقَب َل َتَع َر ُفْو َه ُس َخ ْم ْن
ِا ّٰل ِل ِب
َاْتٰق ىُك ْم ۗ َّن ال َه َع ْيٌم َخ ْيٌر
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Teliti” (Q.S. Al-Hujurat/49: 13)
Ada beberapa aspek sosial yang terdapat pada Al qowaidul khamsah ialah salah
satunya terpadapat pada kaidah, Keraguan Tidak Menghilangkan Keyakinan, kaidah
ini menggarisbawahi pentingnya tindakan hati-hati dalam menjalankan kewajiban
keagamaan. Dalam konteks sosial, ini dapat menciptakan kepatuhan yang lebih ketat
terhadap aturan dan etika agama dalam interaksi sosial. Lalu aspek sosial juga
terdapat pada kaidah Kesulitan Membuat Kemudahan: Prinsip ini mengakui bahwa
4
Widy Hastuti dkk, “Al-Qawaid Al-Khomsah dalam Landasan Muamalah”, Al-Istimrar: Jurnal Ekonomi Syariah
Vol. 1, No. 2 Desember 2022
Islam mengizinkan kelonggaran dalam keadaan kesulitan. Ini berarti bahwa dalam
situasi sosial yang sulit atau tidak mungkin untuk menjalankan hukum Islam secara
harfiah, ada kemungkinan adaptasi untuk mempermudah.
B. Aspek Pengetahuan
C. Aspek keterampilan
Aspek keterampilan yang akan kita dapatkan salah satunya terdapat pada kaidah
“Keraguan Tidak Menghilangkan Keyakinan” yang kita dapat dari kaidah ini
ialah keterampilan dalam memahami situasi. kaidah ini mengharuskan individu
untuk menggunakan keterampilan dalam menilai situasi. Ini mencakup
kemampuan untuk mengenali situasi di mana keraguan mungkin muncul dan
mengambil tindakan yang bijak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Contohnya Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak
berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah
berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia
yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin
bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci
ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats. 5
5
Al Asybah wa An-Nazhair, Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut,
Cetakan Pertama, 1403 H, Hlm. 51.
Lalu aspek keterampilan juga terdapat pada kaidah “Kesulitan Membuat
Kemudahan” yang kita dapat dari kaidah ini ialah Keterampilan dalam
Menghadapi Kesulitan. yang mana kaidah ini melibatkan kemampuan untuk
menghadapi dan mengatasi kesulitan dengan bijak. Ini dapat mencakup
keterampilan dalam mencari solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
Islam saat menghadapi situasi sulit.