Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan Allah SWT menetapkan hukum syara’ tidak lain adalah
bagi kemaslahatan segenap umat manusia. Setiap peristiwa, ada yang
diterangkan dasarnya dalam nash, ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dasarnya dalam nash atau tidak ada nash
yang dapat dijadikan dasarnya ini harus ditetapkan hukumnya, sekali lagi
tujuannya ialah demi kemaslahatan umat manusia.
Bagi yang memperhatikan akan tampak bahwa nash-nash Al Quran
dan Hadist ada yang bersifat global ataum umum penjelasannya dan ada
yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya
yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar dasar-dasar
umum dari syari’at Islam. Namun dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap
saat permasalahan hidup manusia akan terus bertambah dan kompleks
seiring perkembangan zaman. Banyak masalah yang terjadi sekarang tidak
pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, dan masalah-masalah itu perlu
ditetapkan hukumnya, sedangkan tidak ada nash khusus tentang masalah
itu yang dapat dijadikan dasarnya. Usaha memahami, menemukan, dan
merumuskan hukum syara’ yang masih samar inilah yang disebut meode
Ijtihad.
Telah diterangkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan
hukum fiqh diluar yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan Hadist, para
ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya untuk berijtihad. Dalam
berijtihad, para mujtahid merumuskan cara atau metode yang mereka
gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil
rumusan mujtahid. Diantaranya ada metode ijtihad yang merupakan ciri
khas dari (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Perbedaan metode
ini ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai
oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad Diantaranya ialah, Istihsan,

1
Mashlahat al-Mursalah, Istishab, maupun ‘Urf. Penting untuk kita
mengkaji metode-metode ijtihad tersebut secara mendalam. Oleh karena
itu dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang ha-hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis perlu merumuskan
masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1. Bagaimana Penjelasan dan Konsep Istihsan?
2. Bagaimana Penjelasan dan Konsep Istishab?
3. Bagaimana Penjelasan dan Konsep Maslahah al-Mursalah?
4. Bagaimana Penjelasan Kehujjahan Istih
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Konsep Istihsan.
2. Untuk Mengetahui Konsep Istishab.
3. Untuk Mengetahui Konsep Maslahah al-Mursalah.
4. Untuk Mengetahui Konsep Urf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh
para ulama, meskipun dalam kenyatannya, semua ulama menggunakannya
secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti
bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik. Tetapi dalam pengertian
istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami dan mendefinisikan istihsan itu. (Syarifuddin, 2008: 324).
1. Pengertian Istihsan
Secara bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Menurut istilah ulama’ ushul fiqh, istihsan ialah meninggalkan
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju kepada menetapkan hukum lain
dari peristiwa itu juga karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan
untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir tersebut disebut
sandaran istihsan. (Munir, 1986: 142).
Istihsan dari definisi lain berarti meninggalkan Qiyas yang nyata
adanya untuk menjalankan Qiyas yang tidak nyata (kabur) atau
meninggalkan hukum Kulli (umum) untuk menjalankan hukum Istina’i
(pengecualian) karena ada bukti bahwa menurut logika membenarkan itu.
(Yahya dan Fatchurrahman, 1986: 100).
Istihsan menurut istilah ulama Malikiyah adalah untuk
memberikan penekanan pada pemahaman dalil melalui istina dan
didasarkan pada keringanan agama karena hukum yang bertentangan.
Makna istishan oleh ulama Hanafiyah adalah untuk berpaling
kepada penentuan hukum masalah dan meninggalkan yang lain karena
bukti yang lebih spesifik dari syara. (https://pengajar.co.id/istihsan-
adalah/).

3
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu
hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara'
yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
(https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1169-tentang-istihsan-dan-
pengertiannya.html).

2. Macam-Macam dan Contoh Istihsan


Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam.
Sebagaimana di jelaskan oleh Al-Syatibi (1975: 206-208), yaitu:
a. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Yaitu pengalihan suatu ketentuan hukum berdasarkan
ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan
dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah.
Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum
wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik
kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak
cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di
dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa
ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia
buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah
adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa
pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas),
puasa orang ini batal karena telah memasukan sesuatu kedalam
tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada
waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits
Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum
karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan
rizki yang diturunkan Allah kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
b. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada
ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada
suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada

4
fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan
pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid
bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia,
yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang
telah ditetapkan. (Rabuh, 1980: 72).
Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus
berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang
dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan
menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama
sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa
pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan
lamanya waktu yang dipakai.
c. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas
yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari
ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang
samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk
diamalkan.
Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali,
wakaf ini sama dengan jual beli karena pemilik lahan telah
menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan
lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati
tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui
tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali
jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf
itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari
wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang
diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati
tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan
pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun
tidak dijelaskan dalam akad.

5
d. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang
melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka
menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat
aurat wanita yang berobat kepadanya.
e. Istihsan bi al-Urf (Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan
dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah
dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya, seperti menyewa wanita untuk menyusukan
bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan
pakaiannya.
f. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).
Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan
pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan
dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada
ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau
menolak terjadinya kemudharatan.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Istihsan).
Misalnya, dalam kasus sumur yang kemasukan najis.
Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan
mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur
yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi
ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini
untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan
beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat
menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk
mendapatkan air untuk ibadah.

6
B. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat
istif’al (ِ‫ستِ ْفعَا ِل‬
ْ ِ‫ )ا‬yang bermakna: ِ‫ص َحبَ ْه‬
َّ ‫ار ِال‬ ْ ِ‫ا‬. Kalau kata ‫ص َحبَ ِْه‬
ُ ‫ستِ ْم َر‬ َّ ‫ ال‬diartikan
dengan sahabat atau teman dan ِ‫ستِ ْم َرا ُر‬
ْ ِ‫ ا‬diartikan selalu atau terus menerus,
maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu
menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan
sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau
mencari sesuatu yang ada hubunganny. (Jumantoro dan Amin, 2005: 142).
Istishhab atau Istishab (Arab: ‫ )استصحاب‬dapat pula berarti meminta
kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan
(istimrar ash-shuhbah). (https://id.wikipedia.org/wiki/Istishhab).
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya
hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil,
sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Menurut
istilah, ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikan
tentang istishab, diantaranya adalah:
Imam al- Asnawy:
َ ِ‫انِالثَّا ِنىِبِ َنا ًء‬
ِ‫علَىِثُبُ ْوتِِ ِهِفِى‬ َّ
ِ ‫ىِالز َم‬ِ‫ارةٌِع َِنِاْل ُحك ِْمِيُثْبِت ُْونَ ِاَ ْم ًراِف‬ َ َ‫َابِ ِعب‬
َ ‫صح‬ ْ ِ‫ست‬ْ ‫ا َنَّ ِاْ ِِل‬
‫صلُ ُحِِللتَّغَيُّر‬ْ َ‫ِو ُج ْودِِ َماي‬ُ ‫انِاألَ َّو ِلِ ِلعَد َِم‬ َّ
ِ ‫الز َم‬
“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan
sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.”
Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
ِ‫علَ ْي ِه ِِِل ْند َِامِاْلُمغَيِِّ ِر‬
َِ ِ َ‫علَىِ َماِكَان‬
َ ِ َ‫اِ ْبقَا ُءِ َماِكَان‬
ِ ‫اضىِاَ ِوِا ْلح‬
ِ‫َاض ِر‬ ِ ‫(اِعتِقَادُِك َْو ِنِالش‬
ِ ‫َّئِفِىِاْل َم‬

(‫بِِ َظنَّ ِثُبُ ْوتِ ِهِفِى‬


ُ ‫يُ ْو ِج‬
‫ستِ ْقبَاِل‬
ْ ‫ِاْلحَا ِلِاَ ِواْ ِِل‬

7
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena
tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum
diyakini.”
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap
berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah
ikhtisar bahwa istishab adalah:
a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan
tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang
mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang
mulanya memiliki wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya,
bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan
wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum
semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu,
tidak boleh mengubah hukum yang semula.
b. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan
pada masa yang lalu. Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi
perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah
lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena
dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan
walaupun mereka telah lama berpisah.

8
2. Macam-Macam Istishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima
macam. (Al-Banani, 1983: 284). Yaitu:
a. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya,
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia
adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada
dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing
berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan
buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan
itu telah menjadi milik orang.
b. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum
dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks
hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan
status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh
akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya.
Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada
hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah
(kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar
hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan
sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang
membatalkannya.
c. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat
umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan
istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang
membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala
yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain
yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan
takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah

9
dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada
suatu dalil yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di
Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap
wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah: 183) selama
tidak ada nash lain yang membatalkannya.
d. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu
istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status
hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk
sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua
berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak
ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu
dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh
sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang
sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin
berada di tempat ini? padahal kemarin ia benar-benar melihat
Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini
kemarin.
e. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini
adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah
hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut
pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum
yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab
terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang
dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan
pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam
pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan
shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum
melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan
ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang
menunjukkan batalnya penetapan tersebut.

10
C. Maslahah al-Mursalah
1. Pengertian Maslahah al-Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti, yaitu: maslahah berarti manfa’at
baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna
dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang
bermakna an-naf’u. (Rabuh, 1980: 78-79). Dengan demikian, mashlahah
jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat
kadang-kadang disebut pula dengan (‫ )اِلستصالح‬yang berarti mencari yang
baik (‫)طلب ِاِلصالح‬. Sedangkan al-mursalah bermakna diutus, dikirim atau
dipakai maupun dipergunakan. (Umam, dkk. 2000: 135).
Maslahah al-mursalah menurut Abdul Wahab Khallaf (1997: 142)
ialah yang mutlak. Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu
perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada
hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya,
keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali (Al-Zuhaili, 1986:
862-863) mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah
meraih manfaat dan menolak madarat.
Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah al-mursalah diartikan
kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh Syari’ dalam wujud hukum,
dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak ada dalil yang
membenarkan dan menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu
disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau
salah.

2. Macam-Macam Maslahah al-Mursalah


Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua
macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.
Dari segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu:

11
a. Maslahah dharuriyah (Primer). Maslahah dharuriyah
adalah perkara – perkara yang menjadi tempat tegaknya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah
kehidupan manusia, timbullah fitnah, dan kehancuran yang
hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima
perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara,
yaitu:
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-
muhafadzoh alan-nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-
maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh
alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima
prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga
dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud
maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak
tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu
kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder). Maslahah hajjiyah ialah,
semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah)
yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi
dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan
kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi
hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah
ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan
dan bidang jinayat. Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara

12
mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang
dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti
akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh
lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi
musafir, dan orang Termasuk dalam hal hajjiyah ini,
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan
beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang /
mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga
dalam hajjiyah.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier).
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang
layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang
baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja (ِ ‫زينة‬
‫ )للحياة‬sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan.
Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia
tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan
kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan
dibutuhkan. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan
ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah
misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat,
memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat
mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah,
seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih
makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis.

Dilihat dari segi keberadaan, eksistensi atau wujudnya para ulama


ushul dan menurut syara’, mashlaha terbagi menjadi tiga macam (Haroen,
1997: 117-118), yaitu:

13
a. Maslahat Mu’tabarah. Mashlalah mu’tabarah ialah
kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas
menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain
yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’I dan terdapatnya
dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al –
Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah
semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh
nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan
harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid
asy-syari’ah. Oleh karena itu, Allah Swt telah
menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama,
melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk
demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan
begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama
sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah
mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena
dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok
yang wajib ditegakkan.
b. Maslahat Mulgah. Yang dimaksud dengan maslahat mulghah
ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash.
Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas.
Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini
dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat).
Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang
perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini
memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan
ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan
kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut
dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi
kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada

14
bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat.
Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki
adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr)
tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak
diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat
dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan
syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain
halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh
memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi
kemaslahatan yang lebih tepat.
c. Maslahah Mursalah. Yang dimaksud dengan mashlahah
mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu
dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat
ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’
yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan
kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar
dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang
menola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih
pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum.
Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-
Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih
menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian
ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam
Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan
istidlal saja.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istihsan menurut istilah ulama Malikiyah adalah untuk
memberikan penekanan pada pemahaman dalil melalui istina dan
didasarkan pada keringanan agama karena hukum yang bertentangan.
Makna istishan oleh ulama Hanafiyah adalah untuk berpaling kepada
penentuan hukum masalah dan meninggalkan yang lain karena bukti yang
lebih spesifik dari syara.
Istishhab atau Istishab ialah meminta kebersamaan (thalab al-
mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shuhbah).
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil
lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Maslahah al-mursalah ialah yang mutlak. Imam Ar-Razi
mendefinisikan mashlahah yaitu perbuatan yang bermanfaat yang telah
ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan
menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah al-mursalah diartikan kemaslahatan
yang tidak disyari’atkan oleh Syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, di samping tidak ada dalil yang membenarkan
dan menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak
lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫ )العرف‬merupakan istilah Islam yang
dimaknai sebagai adat kebiasaan. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau
Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi
cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat.

19
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang
akan datang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Banani. 1983. Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-
Jawami. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Syatibi, Abu Ishak. 1975. Al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah.
Beirut: Dar al-Makrifah,
Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islmi.
Beirut: Dar al-Fikr.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh.
Jakarta: Amza.
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh I.
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih,
Amzah, Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh.
Semarang: Toha Putra Group.
Khallaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Hilmy.
Bandung: Gema Risalah Press.
Munir, Umar, dkk. 1986. Ushul FIqh 1.
Jakarta: Depag.
Rabuh, Muhammad al-Said Ali Abdul. 1980. Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf
fiha inda al-Ushuliyin. Mesir: Matba’ al-Sa-adah.
Syarifuddin, Amir. 2008. USHUL FIQH, JILID 2.
Jakarta: Prenada Media Group.
Umam, Chairil dkk. 2000. Ushul Fiqh 1; untuk fakultas syari’ah Komponen
MKDK. Bandung : Pustaka Setia.
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh.
Jogjakarta: IRCiSoD.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Fundamental dari Fiqh hukum Islam
pembinaan. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

21

Anda mungkin juga menyukai