Anda di halaman 1dari 11

Pembahasan ke empat

Al-Adillah almukhtalaf fīhā

Al-Istihsān

1. Pengertian secara bahasa


Istihsān secara bahasa adalah menganggap dan menyakini baiknya sesuatu baik secara
indrawi, seperti pakaian ataupun maknawi, seperti pemikiran. Penggunaan lafad al- Istihsān
disepakati oleh ulama berdasarkan firman Allah, sabda Nabi, dan ungkapan Ulama.
)18 : ‫الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر‬
(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. (Az-zumar : 18)

)145 : ‫فخذها بقوة وأمر قومك يأخذوا بأحسنها (األعراف‬

maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang


kepadanya dengan sebaik-baiknya”. (Al-A’raf : 145)

‫مارآه املسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

“apa yang dipandang oleh musim baik, maka disisi Allah pun dipandang baik”.

)‫أستحسن ترك شيئ من نجوم الكتابة للمكاتب (الشافعي‬

Aku beristihsan meningggalkan nujum al-kitabah lilmakatib

‫غي تقدير ن يف الماء وعوضه‬ ‫رن‬


‫السقائي من ر‬ ‫أستحسن رشب الماء من أيدي‬

Aku beristihsan pada masalah meminum air dati tempai irigasi tanpa menghitung dan
mengganti air yang telah digunakan.

2. Pengertian secara istilah


Para ulama ushul berbeda pendapat mengenai pengertian Istihsān secara istilah, kita
harus memahami pengertian, penjelasan, dan persetujuan ulama terkaiit hak mereka.
a. Pengertian pertama, Istihsān adalah pengalihan pandangan hukum suatu masalah
pada dalil lain yang lebih khusus dan kuat dibanding sebelumnya. Pengertian
seperti ini adalah pengertian menurut mayoritas ulama’ dan yang benar.
Penjelasan lebih lanjut terkait pengertian ini :
Qiyas menetapkan hukum secara umum pada seluruh permasalahan. Akan tetapi,
permasalahan yang ada semakin khusus. Inilah yang kemudian menuntut untuk
memalingkan pendapat pertama dengan hukum baru yang lebih khusus dengan
dalil yang mengkhususkan pula. Dalil inilah yang dipandang oleh mujtahid dalil
yang lebih kuat disbanding dalil secara umum.
Qiyas disini terkadang berupa qiyas ushul, bermakna kaidah, ushul ‘am atau
bermakna dalil ‘am.

Pembagian Istihsān berdasarkan pengertian ini


Berdasarkan pengertian ini, Istihsān dibagi menjadi lima :
1. Istihsān dengan nash
Yakni mengalihkan hukum qiyas dalam suatu masalah pada hukum yang
berbeda yang ditetapkan oleh al-kitāb atau as-sunnah.Contohnya :
- Akad salam.
Akad salam secara qiyas tidak boleh dikarenakan barbarangnya tidak ada
saat akad. Akan tetapi, hukum inii dialihkan ke hukum lain, yakni boleh
berdasarkan as-sunnah, yaitu .‫ ورخص بالسلم‬Dengan demikian, qiyas yang
dialihkan ke sunnah ini dikarenakan Istihsān.
- Apabila seorang suami memukul perut istri, lalu janin didalam perut istri
mati. Secara qiyas bagi si suami tidak ada kewajiban apapun karena tidak
ada keyakinan adanya kehidupan sebelumnya. Akan tetapi, kami
memalingkan ke hukum lain, yakni bagi suami wajib ghurrah (seperlima
diyat. Hal ini berdasarkan dalil, yaitu hadis nabi ‫في الجنين غرة عبد أو أمة قيمته‬
.‫ خكسمائة‬Dengan demikian qiyas dalam masalah ini dialihkan berdasarkan
hadis ini.

2. Istihsān dengan ijmā’


Yakni mengalihkan hukum qiyas dalam suatu masalah pada hukum yang
berbeda berdasarkan ijmā’.
Contohnya, dalam akad istishnā’ yaitu akad yang dilakukan oleh dua orang
(antara seseorang dengan shāni’ (pembuatnya)) untuk membuat barang tertentu
dengan syarat khusus. Secara qiyas akad seperti ini tidak boleh karena tidak
adanya barang saat akad terjadi. Akan tetapi, hukum ini dialihhkan ke hukum
lain boleh berdasarkan kebiasaan masyarakat dan tidak adanya pengingkaran,
menjadi ijma’

3. Istihsān dengan urf dan adat ( adat dan kebiasaan)


Yakni mengalihkan hukum qiyas dalam suatu masalah pada hukum yang
berbeda berdasarkan adat dan kebiasaan manusia.
Contohnya seseorang bersumpah “demi Allah aku tidak akan masuk rumah”.
Apabila ia memasuki masjid, secara qiyas ia melanggar sumpahnya karena
masjid secara bahasa disebut rumah. Akan tetapi hukum ini dialihkan ke hukum
lain, yaitu perbuatan ia tidak termasuk melanggar sumpah karena sudah
masyhur di masyarakat bahwa tidak ada kemutlaqan lafadz rumah dalam
masjid.

4. Istihsān karena dharurat.


Yakni mengalihkan hukum qiyas dalam suatu masalah pada hukum yang
berbeda karena kedharuratan.
Contohnya, diperbolehkan persaksian dalam pernikahan dan jimak. Qiyas
menetapkan hal ini tidak boleh, karena sebuah persaksian hanya bisa
didapatkan dengan menyaksikan secara langsung. Dalam artian hal itu tidak
bisa dilakukan tanpa menghadiri langsung. Akan tetapi hukum ini dialihkan
menjadi boleh karena darurat. Jika persaksian dalam keadaan darurat ini tidak
bisa diterima dalam hukum, maka akan timbul berbagai masalah dan kekacauan
hukum.

5. Istihsān dengan qiyas khafi


Yakni mengalihkan hukum qiyas dhohir dalam suatu masalah pada hukum
yang berbeda berdasarkan qiyas yang lebih ringan dan lebih kuat secara
kehujjahan.
Contohnya, tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri harta dari orang yang
berhutang padanya. Maksudanya, suatu hari ada seseorang yang dihutangi (A)
beberapa dirham secara kontan, kemudian ia (A) mencuri sebesar hutangnya
sebelum jatuh tempo, maka tidak ada hukum potong tangan. Akna tetapi, jika
hutang ini diberikan secara kredit. Maka secara qiyas menuntut adanya hukum
potong tangan saat pencurian itu dilakukan sebelum jatuh tempo. Karena bagi
orang yang dihutangi tidak diperbolehkan mengambil harta si penghutang
sebelu jatuh tempo. Akan tetapi, hukum ini dialihkan ke hukum lain, yaitu tidak
ada hukum potong tangan dengan alsan karena itu merupakan haknya sebagai
orang yang dihutangi. Terlebih ketika sudah jatuh tempo, maka hutang tersebut
menjadi suatu yang syubhat jika pemberian ini dilakukan secara kontan. Maka
secara Istihsān tidak ada hukum potong tangan dalam kasus ini.

Kehujjahan istihsan sesuai dengan pengertian ini

Berdasarkan pengertian ini, Istihsān bisa dijadikan hujjah sesuai dengan


kesepakatan ulama. Artinya tidak ada seorang pun yang menentangnya.
Sebenarnya , perbedaan pendpat dalam masalah Istihsān terletak pada masalah
pengertiannya, karena sebagian ulama ada yang menganggap istihsan seperti ini,
sedangkan ulama lain pun berpendapat dengan pengertian yang berbeda. Hal ini
kembali pada pengamalan dalil yang lebih kuat yang diunggulkan dari hukum yang
lebih lemah, kalua ini jelas tidak ada pertentangan sama sekali.

b. Pengertian kedua
Istihsān adalah sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan
akalnya. Ini adaalah pendapat imam Abū Hanīfah. Maksudnya adalah apa yang
dianggap berdasarkan pemahaman akalnya tanpa menyandarkan pada dalil-dalil
syar’I yang disandarkan pada al-kitāb, as-sunnah, ijmā’, qiyās atau dalil lain yang
mu’tamad.

Kehujjahan Istihsān berdasarkan pengertian kedua


Apakah Istihsān berdasarkan pengertian kedua bisa dijadikan hujjah?
1. Istihsān dengan pengertian seperti ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini
merupakan pendpat yang benar menurutku, dikuatkan dengan tiga argumentasi
- Berdasarkan hadis Muadz, saat beliau diutus ke Yaman oleh Rasulullah dan
ditanya “apabila terjadi suatu perselisihan, bagaimana cara kamu
menyelesaikan ?” kemudian dijabwab “dengan kitabullah” “apabila disana
tidak ada?” “dengan sunnah rasulullah” “apabila tidak ada juga ?” “maka
aku akan berijtihad sendiri” kemudian dibenarkan oleh Nabi.
Wajhu dialahnya adalah Muadz hanya menyebutkan al-kitāb, assunnah, dan
ijtihad. Beliau tidak menyebutkan istihsān. Ha itupun disetujui oleh Nabi.
Dengan demikian, Istihān bukan dalil, dan tidak bisa dii’tibarkan.
Kalau sanggah dengan “ Ijtihād itu bersifat umum, didalamnya mencakup
qiyas, al-mashlahah, dan istihsān. Berarti Istihsān termasuk dalil.”
Untuk menjawab pernyataan itu, kami berargumen “sebenarnya yang
dimaksud dengan ijtihad disitu adalah ijtihad dengan dalil-dalil syar’i.
Sedangkan Istihsān menurut pengertian ini-sesuatu yang dianggap baik
oleh mujtahid sesuai akalnya- tidak termasuk dalam ijtihad yang dimaksud
karena tidak adanya penyandaran kepada dalil-dalil syar’i.

- Istihsān dengan pengertian kedua tidak memiliki standarisasi, dalam artian


tidak ada standar untuk membedakan mana istihsan yang benar dan yang
salah. Jika semua orang diperbolehkan beristihsan sesuai dengan akalnya,
maka akan ditemukan berbagai macam pendapat dalam satu masalah
dikarenakan tidak ada standarisasi dan kriteria tertentu yang menjelaskan
bahwa istihsan ini yang benar.

- Apabila Istihsān dalam pengertian kedua ini dijadikan sebagai cara yang
pas untuk menetapkan suatu hukum maka tidak diperlukan dalil-dalil syari,
menjaga, memperhatikan, mempelajari dengan rinci. Dan penadapat
mujtahid yang mengerti dalil dengan orang awam pintar yang tidak
mengetahui dalil dihukumi sama, juga menyebabkan tidak dibutuhkan
syarat ahliyah an-nadhar.

2. Istihsān dengan pengertian kedua bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini menurut
Imam Abu Hanifah dan mayoritas pengikutnya. Dengan argumentasi
- Firman Allah
)18 : ‫الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر‬

(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang


paling baik di antaranya. (Az-zumar : 18)
Wajh dilalahnya adalah ayat ini turun ditengah pujian untuk mengikuti
ujapan terbaik. Alqur’an seluruhnya itu baik, juga menyuruh untuk
mengikuti kebaikan. Apabila Istihsān tidak bisa dijadikan hujjah, maka
tidak mungkin ayat ini turun.
Begitu juga firman Allah
)55 : ‫واتبعوا أحسن ما أنزل اليكم من ربكم (الزمر‬
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Az-

zumar : 55)

Wajh dilalahnya adalah Allah memerintahkan untuk mengikuti sebaik-baik


yang dituruknan. Ini juga menunjukkan untuk meninggalkan sebagian
lainnnya. Mengikuti sebagian yang didalamnya terdapat kebaikan, adalah
Istihsān. Inilah yang menjadi dalil bahwa Istihsān bisa dijadikan sebagai
hujjah.
Pendapat ini disanggah dengan :
• Lafad tersebut sangat umum. Hal itu menunjukkan Istihsān orang
awam, anak kecil juga harus diikuti. Ini adalah pendapat yang salah.
Tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian. Hal itu
menunjukkan bahwa dua ayat ini tidak bisa dijadikan argumentasi
penguat tentang kehujjahan Istihsān.
• Bahwa maksud mengikuti sebaik-baik yang diturunkan kepada kita
adalah mengikuti dalil, hal ini jelas wajib. Terlebih mereka
menjelaskan bahwa yang diturunkan kepada kita adalah yang paling
baik.
• Kami beristihsan kebatilan Istihsān. Karena kami hanya memiliki
syara’ yang dibenarkan dengan kemukjizatan, ini yang dijadikan
hujjah bagi mereka.

- Hadis nabi
‫ما رآه املسلمون ححسنا فهو عند هللا حسن‬

“apa yang dipandang oleh musim baik, maka disisi Allah pun dipandang
baik”.
Wajhu dilalahnya adalah bahwa hadits ini menunjukkan apapun yang
dianggap oleh manusia secara adat dan akal mereka itu baik, maka itu benar.
Karena jika hal itu tidak benar maka tidak akan baik disisi allah. Apapun
yang benar dan baik menurut allah itu bisa dijadikan hujjah. Jika tidak bisa
dijadikan hujjah, pasti tidak akan dianggap baik oleh Allah.

Pendapat inipun disanggah kembali.


• Kita tidak pernah mendengar bahwa khabar ini adalah khabar marfu,
setau kami khabar ini mauquf pada Ibn Masud, seperti pendpat Imam
Azzaila’I, ditengah Riwayat.
• Khabar ahad tidak bisa dijadikan sebagai tumpuan untuk menjadi dalil
kehujjahan, seperti Istihsān.
• yang dimaksud disitu adalah apapun yang dianggap oleh seluruh
muslim. Hal itu idak menafikan, yang dimaksud disitu seluruh muslim
atau hanya salah seorang saja. Jika yang dimaksud adalah seluruh
muslim itu benar. Karena umat tidak akan bersepakat tu baik jika tidak
ada indicator yang mengatakan bahwa itu baik. Dan ini merupakan
sebuah ijma’ atau kesepakatan. Ijma’ merupakan hujjah, tidak ada
serangun yang menentangnya.
Jika yang dimaksud adalah salah seorang saja, maka berarti wajib
mengikuti Istihsān orang awam dan anak kecil. Dan ini adalah sebuah
kemustahilan.
Kalau disanggah kembali dengan “maksud kami adalah istihsan orang yang
merupakan ahli nadhzar dalam dalil syar’i. jika yang beristihsan bukan
mereka, seperti orang awam dan anak kecil maka tidak diterima.”
Maka kan kami jawab lagi : Ketika mujtahid beristihsan dan menghukumi
suatu hal dengan kalanya tanpa mempertimbangkan dalil syar’I maka tidak
ada gunanya syarat ahliyah annadzar. Karena yang dimaksud dengan
ahliyyah annadzar adalah dalam dalil. Sedangkan dalam istihsan ini tidak
memandang suiapapun baik itu orang awam atau anak kecil yang tidak
memiliki ahliyyah dalam mempertimbangkan suatu hal, maka itu sama saja.
Karena yang menjadi makna Istihsān disini adalah Istihsān dengan akal
tanpa mempertimbangkan dalil-dalil syari.
- Sekelomppok masyarakat beristihsan terkait permasalahan masuk kamar
mandi tanpa menghitung upah, air yang mengalir, lamanya berdiam
didalam kamar mandi, juga meminum air dari irigasi tanpa menghitung
gantinya. Sebab tidak ada perhitungan ini tiada lain adalah karena ini
merupakan hal yang sulit secara adat, masyarakat beristihsan untuk
meninggalkannya. Ada dalil yang memperbolehkan juga.

Ketidak adanya perhitungan upah masuk kamar mandi, air, berdiam, juga
mengganti rang yang minum dari irigasi terdapat kemungkinan
1. Ada kemungkinan ini disandarkan pada sunnah nabi at-taqririy bahwa
Nab saat itu melihat sahabat melakukan hal itu dan tidak
mengingkarinya, ini termasuk rukhsah dalam islam. Sebab rukhsah ini
adalah karena adaya kesulitan untuk menakar air, menggantinya.
Maksudnya adalah masing-masing orang akan berbeda dalam menakae
jumlah air yang digunakan, waktu yang digunakan untuk berdiam di
kamar mandi, juga jumlah air yang diminum.
2. Kemungkinan dengan qiyas. Apabila masuk kamar mandinya itu
diperbolehkan. Maka Ketika terjadi suatu keruaskan air kamar mandi
ini, maka wajib membayar sebesar yang ia ruskkan. Hal itu karena ada
indikasi yang menunjukkan adanya permintaan untuk mengganti dari
yang telah dirusakkan secara umum. Hal ini dinilai cukup apabila
mendapat ridha pemiliknya, jika mereka tidak ridha maka wajib
menambahkan berapapun, ini bukan suatu hal baru, tapi pengqiyasan.
Dan qiyas merupakan hujjah.

Begitu juga bagi yang meminum air irigasi. Ketika terjadi seperti itu,
maka wajib mengganti sejumlah yang sama jika mendapat ridha
pemiliknya. Jika tidak, maka ditambah dengan semampunya.
Bahwa ketiadaan menakar air dan upah ini ditetapkan dengan sunnah
atau qiyas. Maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa hal ini
ditetapkan secara Istihsān tidak ada dalil secara sharih yang
memperkuatnya.
c. Pegertian ketiga
Istihsan adalah dalil yang dipertimbangkan oleh mujtahid yang sulit untuk
diitibarkan. Ini merupakan pendapat sebagian ulama hanafiyyah al-mutaqaddimin.
Maksudnya adalah Istihsān merupakan dalil yang digunakan oleh mujtahid, yaitu
dalil yang dipertimbangkan oleh pemikiran mujtahid yang tidak bisa dijelskan
dengan ungkapan atau kata.

Pengertian seperti ini adalah fasad. Karena dalil yang tidak bisa dijelaskan dan
diungkapkan dengan lafad oleh mujtahid tdak bisa diketahui apakah ini merupakan
prasangka lemah mujtahid yang dijadikan dalil atau bukan. Maka seorang mujtahid
harus menjelaskan dan mengungkapkan dengan lafad yang memahamkan sehingga
kami bisa mengukur dan mempertimbangkan melalui dalil syari lain. Jika ini
dianggap shahih maka bisa dijadikan sebagai I’tibar, akan tetapi jika tidak maka
tidak bisa dijadikan sebagai dalil mu’tabar. Hukum yang tidak bisa dpahami akan
memunculkan sebuah pertanyaan, dari mana bisa diketahui kebolehannya, apakah
sebab kedaruratan akal, pertimbanganya, ada hais mutawatir atau ahad. Walaa
wajha ilkh

3. Penjelasan perselisihan Ulama’


Sebenarnya perselisihan dalam Istihsān ini adalah perselisihan masalah lafad, dengan
penjelasan :
Ulama’ Hanafiyyah kontemporer tidak menyetujui pengertin kedua dan ketiga yang diambil
dari ulama’ hanfiyah mutaqaddimin. Mereka berusaha untuk menshahihkan dua pengertian
ini karena istiqra dan ittiba’ dari fatwa yang disandarkan pada imam-imam Hanafiyyah
Mutaqaddimin. Kemudian mereka mengartikan istihsan yang disandarkan pada ulama
muaqaddimin.
Abū Hasan al-Karakhiy bahwa kata istihsan menurut mereka didasarkan pada meninggalkan
suatu hukum ke hukum lain yang lebih baik. Kalua tidak begitu, maka hukum pertama pasti
tetap
Sebagian ulama Hanafiyyah juga berpendaoat mirip, bahwa Istihsān adalah meninggalkan
cara pengambilan hukum ke lain yang lebih baik. Kalau tidak seperti ini, maka wajib untuk
tetap pada hukum yang pertama.
Menurut pengertian Imam Jashash bahwa yang dinamakan istihsan adalah meninggalkan
qiyas kepada cara yang lebih baik dsbanding yang pertama. Begitupun yang dilakukan oleh
ad-Dabusiy, as-Sarkhasiy dan ulama Hanafiyyah lain.

Kelompok ulama’ hanafiyyah lain setelah generasi ini, seperti Kamal bin al-Hamām dan Ibn
Abdusyakur meneliti lebih lanjut pengertian dari ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin.
Sebagian dari mereka seperti al kharakhi bersepakat dengan membagi istihsan menjadi dua
: ‘am (umum) dan khas (khusus).
- Istihsān ‘am adalah seluruh dalil dalam qiyas dhahir, kemudian dialihkan dari qiyas ken
as, ijma, dharurat atau lainnya.
- Istihsān khas adalah qiyas khafi dalam qiyas jail

Apabila kita fokus pada pengertian Jumhur tentang istihsan, yakni pengertian pertama
sekaligus pembagiannya atau kita fokus pada pendapat ulama Hanafiyyah Mutaqaddimin,
pengertian, penjelasan dan penafsiran Mutaakhirin. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa
penegrtian pertama : pengahlihan hukum suatu masalah kepada dalil khas yang lebih kuat
dibanding yang pertama. Dengan pengertian ini, seluruh ulama : Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafiiyah, dan Hanabillah sepakat menjadikannya hujjah. Kecuali ada ulama hanafiyyah
yang mengungkapkan dengan lafadz yang berbeda secara mayoritas.

Siapapun yang mengikuti dan beristiqra’ terhadap pendapat, pentafsiran dan tingkatan yang
disampaikan oleh ulama hanaiyyah, maka tetap mereka tidak akan mengatakan bahwa
istihasan adalah apa yang dianggap baik oleh mujtahid berdasarkan akalnya. Juga tidak akan
sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa istihsan dalil yang diguakan oleh
Mujtahid yang sulit diungkapkan. Akan tetapi, metreka kan sepakat dengan pengertian
bahwa istihsan adalah pengalihan hukum dari suatu dail ke dalil yang lain yang lebih kuat.
Inilah pengertian yang tidak diingkari oleh mayoriytas, maka sebnarnya perselisihan dalam
istihsan adalah perselisihan secara lafad saja.

Inilah yang dijelaskan oleh Ibn Assam’ani bahwa Istihsān seperti yang telah disebutkan.
Bahwa perselisihan ini hanyaterjadi dalam masalah lafdzi. Keabsahan penjelasan Istihsān
yang sandarkan pada Ulama Hanafiyyah, ditolak. Pengertian yang diterima adalah
pengalihan suatu dalil hukum ke hukum lain yang lebih kuat. Dengan pengertian ini, maka
tidak ada pengingkaran sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai