Anda di halaman 1dari 10

Makalah Istihsan Dalam Ushul Fiqh

by Zavir's Briliant on Selasa, Desember 12, 2017 in USHUL FIQH

Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun
yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya
dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai
salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada
koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu
hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (
ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada
Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir
Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur
fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri
yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang pengertian Istihsan, kehujjahan istihsan dalam lintas
mazhab, Imam Syafi’i dan Istihsan, jenis-jenis Istihsan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian istihsan?
2. Bagaimana kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab?
3. Bagaimanakah hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan?
4. Bagaimanakah jenis-jenis istihsan?

Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian istihsan.
2. Menjelaskan kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab.
3. Menjelaskan hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan.
4. Menjelaskan jenis-jenis istihsan.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berasal dari kata َ‫ َح َسن‬yang berarti baik atau indah, yang maksudnya
adalah sesuatu yang di anggap baik atau indah. [1]

Adapun istihsan menurut istilah, Abu Hasan Al-Karkhi (mazhab Hanafi) mendefinisikan bahwa:
‫اال ْستِحْ َسانُ هُ َو اَنَّهُ ال ُع ُدوْ ُل بِ ْال َم ْساَلَ ِة ع َْن ُح ْك ِم اَ َخ َر لِ َوجْ ِه اَ ْقوى منه‬
ِ
Istihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada sebandingnya ke
hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau lebih baik. [2]

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby (mazhab Maliki) ialah memilih meninggalkan dalil,
mengambil rukhshah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang
lain pada sebagian kasus tertentu. Ia membagi Istihsan kepada empat macam, yaitu :
1. Meninnggalkan dalil karena urf.
2. Meninggalkan dalil karena ijma’.
3. Meninggalkan dalil karena maslahat.
4. Meninggalakan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqat. [3]

Dengan demikian, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata)
kepada qiyaskhafi (samar), atau dari dalil kulliy kepada hukum takhshish lantaran adanya dalil
yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan
hukum. [4]

Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status hukumnya tidak ada,
maka penyelesaiannya harus menggunakan dua sisi yang kondratif, yaitu
1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.
2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak (khafi) menghendaki adanya ketetapan hukum lain.
[5]

Berdasarkan pernyataan tersebut, pada diri mujtahid ada dalil yang di anggap lebih
mendahulukan sisi ketidaktampakan (khafi), sehingga ia berpindah ke sisi yang nyata
(jali/lahiriyyah). Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia
menghendaki adanya dalil juz’iy dari hukum kulliy tersebut dan memberikan ketetapan hukum
kepada juz’iynya. Maka hal ini dalam syara’ dikenal dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan
adalah penerapan perpindahan suatu bentuk hukum qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat. [6]

B. Kehujjahan Istihsan dalam Lintas Mazhab


Para ahli hukum berbeda pandangan dalam menanggapi masalah sejauh manavaliditas
kehujjahan istihsan dalam ber istimbathil hukm, sesuai dengan latar belakang keilmuan masing-
masing.

1. Golongan Yang Menerima penggunakan Istihsan Sebagai Hujjah


Menurut Syarkishi, ulama yang menggunakan istihsan adalah dari kalangan Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah, meskipun mereka berbeda dalam memberikan istilah dan rincian
macamnya. [7] Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa istihsan dapat digunakan sebagai bagian
dari ijtihad dan hujjah.

Al-Taftazani menyatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang disepakati oleh
para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nash, atau kepada ijma’, atau kepada darurat, atau
kepada qiyas khafi. [8]

a. Kehujjahan Istihsan Malikiyah


Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah,
bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan menggunakan istihsan. [9]

Fiqh Maliki merupakan fiqh yang sangat memperhatikan kaidab-kaidah umum(al-qawaid al-
ammat) dan dasar-dasar yang universal(al-ushul al-kulliyat) karena kaidah-kaidah itu
bersifatqath’i (tegas, pasti). Dan karena dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleb akal
manusia) yang memberi faedah qath’i menjadi tidak qath’i dengan sendirinya, maka cara sampai
kepada qath’i adalah melalui induksi.

Dengan demikian maka kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fiqh merupakan suatu
kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dan sejumlah dalil nash yang saling dukung
mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu kaidah
istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik
dali lafazh itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan ditetapkan
hukumnya dengan memasukkannya ke dalani kategori obyek yang umuni itu, jika peristiwa itu
merupakan masalah khusus. [10]
b. Kehujjahan Istihsan Hanafiah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula
dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah
mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat
permasalahan menyangkut dengan istihsan. [11] Jadi, dari ketiga kalangan yang telah
disebutkan, yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama
Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik daripada qiyas. [12]

Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bias menjadi dalil syarak. Istihsan dapat menetapkan
hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas atau umum nash. Tegasnya
menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjah). [13]

c. Kehujjahan istihsan Hanabilah


Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,
sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, al-Jalal al-Mahalli
dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan diakui oleh Abu Hanifah,
namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah. [14]

d. Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum istihsan


Adapun dalil-dalil yang menjadikan pegangan ke tiga golongan pendapat ini adalah sebagai
berikut:

1. Berdasarkan Firman Allah:

“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang
azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya .” (Q.S. Az-Zumar: 55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan
perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.

“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal.” (Q.S Az-Zumar: 17-18)

Menurut mereka, ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti
perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan
oleh Allah.

2. Berdasarkan hadits Nabi saw:


‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّ ٌئ‬
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, mak a ia di sisi Allah adalah
baik”. (H.R. Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat
mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

3. Berdasarkan ijma’:
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi
oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam. tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang
digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal
barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad. [15]

2. Golongan Yang Menolak Penggunaan Istihsan Sebagai Hujjah


Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jail kepada qiyas kafi atau beralih pada kepada adat
kebiasaan, merupakan masalah yang controversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang
kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’I termasuk ulama paling keras menolak
isithsan dalam bentuk ini.

Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama
Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah. Karena mereka tidak menerima qiyas, maka
dengan sendirinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya
sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas.

Di antara argument para ulama yang menolak istihsan (selain argumen penolakan Syafi’i) adalah
sebagai berikut.
a. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau
yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan dngan hukum Allah dan hukum Rasul itu.
Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mujtahid adalah
hukum buatan manusia bukan hukum syar’i. hukum semacam ini didasarkan atas kehendak dan
selera nafsu. Umat Islam tidak disuruh mengikuti hukum dari nafsu tersebut.

b. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari hukum itu
ditetapkan dengan nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan Nabi. Ada pula isyarat dari
nash untuk mengikuti hukum yang ditetapkan ulil amri itu adalah ijma’, yaitu ketetapan tentang
hal yang disepakati. Sedangkan dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk
menghubungkannya kepada nash yang ada yaitu melalui qiyas. Tidak boleh beralih dari hukum
yang dituntut oleh nash atau qiyas kepada pendapat berdasarkan istihsan, karena yang demikian
berarti mendahulukan hukum yang ditetapkan akal ketimbang hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara’. [16]

C. Imam Al-Syafi’i dan Istihsan


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam al-Syafi’i merupakan salah seorang
ulama yang menetang dengan keras istihsan sebagai metode dalam beristinbath hukum.
Penolakannya itu tercermin dari perkataanya yang masyhur yaitu:
‫َم ْن اِ ْستَحْ َسنَ فَقَ ْد َش َّر َع‬
“Siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti ia membuat hukum
syaria’ah yang baru.”

Imam Syafi’i juga menyatakan dengan tegas bahwa, tidak seorang pun berhak selain Rasulullah
menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan ber-
dasarkan apa yang dianggap baik ( istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan
adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan yang telah digariskan
sebelumnya. [17]

Dari perkataan al-Syafi’i di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istihsan
adalah pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan (al-khabar) dari salah satu empat
dalil syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Apabila seorang mujtahid memfatwakan
suatu hukum dan hukum itu tidak diambil dari al-khabar itu secara lafal dan juga tidak diambil
dari logikanya secara qiyas, serta tidak ada ijma’ pada hukum tersebut, maka fatwa itu
dinamakan istihsan, karena tidak bersandarkan kepada al-khabar baik secara (langsung kepada)
nash maupun secara istinbath. Fatwa itu hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya
dan dengan kecenderungan perasaannya, tanpa berdalil kepada suatu aI-khabar dan tanpa
mempertanggungkan kepada al-khabar itu.

Menurut Imam Syafi’i, haram bagi seseorang yang berpendapat dengan istihsan, apabila istihsan
itu bertentangan dengan al-khabar. Sedang, al-khabar yang terdiri atas Kitab dan sunnah adalah
sesuatu yang berharga yang diteliti maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya
yang benar. Mujtahid itu bisa memahami al-khabar dengan qiyas dan seorang pun tidak boleh
mengemukakan pendapat kecuali dari segi ijtihad. Dan ijtihad adalah upaya mencari kebenaran.
Maka dengan demikian tidak boleh seseorang mengatakan, aku menganggap baik, tanpa
melakukan qiyas. [18]

Seandainya, qiyas boleh diingkari, maka boleh juga bagi orang yang bukan ahli ilmu
berpendapat dengan sesuatu yang tidak ada nash dengan istihsan yang mereka gunakan. Padahal
sebenarnya pendapat yang tidak berdasarkan kepada al-khabar dan qiyas tidak sah karena tidak
bersumber kepada al-Quran, sunnah, dan qiyas. Banyak nash, baik a1-Quran maupun hadits yang
melarang berpendapat yang tidak disandarkan kepada al-khabar. Karena sesungguhnya apabila
Nabi SAW menyuruh melakukan ijtihad, maka ijtihad selalu berdasarkan suatu tuntutan. Dan
menuntut sesuatu harus berdasarkan dalil-dalil, sedangkan dalil-dalil itu adalah qiyas. Sedangkan
dalam istihsan tidak terdapat qiyas.

Selanjutnya Imam Syafi’i memberikan contoh dengan mengatakan, bahwa seseorang yang tidak
mengerti masalah harga seorang budak, maka tidak boleh dimintakan menetapkan harga seorang
budak laki-laki atau harga seorang budak perempuan. Demikian juga kepada orang yang tidak
mengerti masalah upah pekerja tidak boleh dimintakan menetapkan upah pekerja. Sebab, apabila
ia menetapkan harga budak tidak sesuai dengan dalalat (petunjuk) harganya atau menetapkan
upah pekerja tidak sesuai dengan dalalat upahnya, berarti ia bentindak sembarangan.

Oleh karena itu, menurutnya lebih lanjut, menyimpulkan hal-hal yang kecil seperti itu saja tidak
boleh dilakukan dengan sembarangan, apalagi masalah halal dan haram yang merupakan
ketentuan Allah maka tidak boleh ditetapkan secara sembarangan dan secara istihsan. Yang
demikian, tidak lain daripada mencari enaknya saja (talazzuz).

Dengan demikian, maka selain Rasulullah tidak ada seorang pun yang berhak mengemukakan
pendapat kecuali berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Orang tidak boleh
berpendapat dengan “apa yang dianggapnya baik”, karena pendapat dengan apa yang
dianggapnya baik” adalah sesuatu yang dibuat-buatnya bukan berdasarkan tradisi atau contoh
yang telah ada. [19]

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwasa Imam Syafi’i menghubungkan istihsan dengan semua
fatwa yang tidak disandarkan kepada al-khabar, baik secara langsung kepada nash maupun
dengan cara menghubungkan kepada nash dengan cara qiyas. Atau dengan kata lain bahwa
istihsan merupakan metode istinbath hukum yang tidak berdasarkan kepada al-Quran atau
sunnah atau ijma’ atau atau qiyas. Dengan demikian, maka tidak mengherankan kalau Imam
Syafi’i menolakistihsan sebagai dalil syarak dan beliau mengkritik keras istihsan tersebut.

Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa argumen,
diantaranya adalah:

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)
?”(Q.S. Al-Qiyamah: 35)

Dalam menanggapi ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah tidak membiarkan begitu
saja kepada manusia dengan sia-sia, tetapi Allah memerintahkan sesuatu kepadanya dan
melarang sesuatu bahkan menjelaskan kedudukan perintah dan larangan tersebut melalui ayat-
ayat al-Qur’an lain yang telah diturunkan kepada nabi-Nya secara qath’iy.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S.
An-Nisa: 59)

Dalam menanggapi maksud yang terdapat di dalam ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa
ayat ini berisi:
- Anjuran untuk selalu mengembalikan segala penyelesaiannya kepada al-Qur’an dan hadits,
sedang istihsan bukan al-Qur’an dan bukan pula hadits.
- Tidak ada anjuran untuk mengembalikan persoalan kepada istihsan, sehingga istihsan tidak
dapat dianggap sebagai hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum syara’. [20]
D. Jenis-jenis Istihsan
Dengan adanya definisi dan pandangan para ahli tentang istihsan, maka dapat dipahami bahwa
istihsan dapat dilihat dari dua sisi, yang masing-masing sisi dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bentuk:

1. Dilihat Dari Sisi Hubungan Antara Qiyas Dan Istihsan


Dari sisi ini, istihsan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Qiyas Jali. Qiyas ini terbagi lagi menjadi 6, yaitu:


- Qiyas bi al-Ta’tsir, yaitu qiyas dengan efek penetapan hukum yang lemah jika dibandingkan
dengan istihsan sebagai pembandingannya.

- Qiyas yang secara lahiriyyah lemah dan batal, tetapi jika dilakukan penelitian secara cermat,
ditemukan adanya keabsahan atau ditemukan ada efek penetapan hukum, lantaran adanya hal-hal
yang tersembunyi yang menjadikannya sebagai landasan dari penetapan hukum tersebut.

b. Istihsan, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:


- Istihsan bi al-Ta’tsir, yaitu istihsan dengan efek penetapan hukum yang lebih kuat, sekalipun
tersembunyi.

- Istihsan yang secara lahiriyah terlihat efek penetapan hukumnya, sekalipun jika dicermati
ditemukan sisi ketidak-absahan yang tersembunyi. [21]

Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus persoalannya hanya
terdapat pada efek penetapan hukumnya (ta’tsir ), bukan pada aspek lahir dan tersembunyinya,
artinya jika efek penetapan hukum qiyasnya itu sangat kuat, maka yang harus diperioritaskan
adalah istihsan.
Adapun contoh kasusnya adalah kasus air sisa minuman burung buas dan kasus sujud Tilawah di
tengah-tengah bacaan al-Qur’an dalam shalat.

2. Dilihat Dari Sisi Pengambilan Dalilnya


Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya, hal ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafiy, yaitu penentuan hukum melalui penelitian, karena dala kasus
ini ditemukan dua dalil (baik al-Qur’an maupun hadits) yang masing-masing dalil mempunyai
konsekuwensi hukum tersendiri, lalu penentuan hukumnya harus dilakukan pentarjihan pada
dalil yang dianggap lebih sesuai dengan persoalan tersebut, lantaran memiliki dampak penetapan
hukum (ta’tsir) yang lebih kuat. Jika demikian, maka istihsan mengambil jalan
memperioritaskan qiyas khafi berdasarkan nash. [22]
Adapun contoh kasusnya dalam sisi ini adalah wakaf tanah pertanian dan kasus perbedaan besar
kecilnya harga barang yang belum diserah terimakan.

b. Istihsan bi al-Nash, yaitu penetapan hukum berdasarkan pada prinsip dasar universal yang
sudah ditangkap oleh dalil yang cakupannya kulliy, lantaran secara spesifik (juz’iyyah) terdapat
nash, baik al-Qur’an maupun hadits yang menyalahi kaidah umum tersebut. Jika demikian, maka
istihsan mengambil jalan memperioritaskan ketetapan hukum spesifik daripada hukum kulliy
berdasarkan dalil. [23]

Adapun contohnya istihsan dengan al-Qur’an adalah kasus wasiat kepada ahli waris dan kasus
nazar mensedekahkan harta. Adapun contoh istihsan hadits yaitu kasus kelupaan orang berpuasa
makan dan minum, dan kasus transakasi pemesanan barang.

c. Istihsan bi al-Ijma’, yaitu aqwal atau fatwa sahabat tentang suatu hukum dalam kasus-kasus
kontemporer yang secara lahiriyyah bertentangan dengan hasil penetapan qiyas atau kaidah
kulliy, atau memang mereka bersikap tidak mengingkarinya jika hal tersebut dilakukan oleh
publik.
Contohnya adalah kasus kontrak kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.

d. Istihsan bi al-Dharuriy, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan dipastikan
berdampak munculnya kesulitan, dan untuk menghilangkannya, diberlakukanlah pengecualian
berdasarkan dharurat.
Contohnya adalah kasus pencucian sumur atau kamar mandi yang terkena najis dengan menguras
sebagian atau keseluruhan air.

e. Istihsan bi al-Mashlahah, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan berakibat
munculnya kerugian (mafsadah) atau tidak tercapainya kemashlahatan yang sudah menjadi
tujuannya. Untuk menghilangkannya, dipakailah istihsan dengan melakukan hukum yang
dimungkinkan dapat mewujudkan kemashlahatan.
Adapun contohnya adalah kasus pemberian zakat pada bani Hasyim, garis keturunan Rasulullah.

f. Istihsan bi al-‘Urf, yaitu penerapan qiyas atau kaidah kulliy berdasarkan tradisi yang sudah
berlaku secara umum, seperti kasus penyediaan toilet, tanpa ada kepastian berapa lama dan
berapa banyak air yang dipergunakan dengan imbalan pembayaran tarif yang telah ditentukan,
dan ketentuan ini sudah berlangsung lama dari masa ke masa dan tidak ada seorangpun dari ahli
hukum islam yang mengingkarinya. [24]

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru yang dihasilkan
melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan sebelumnya karena adanya unsur-
unsur dhorurah yang menyangkut kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal
baik yang ada di dalamnya.

2. Kalangan yang menerima istihsan sebagai hujjah terdiri dari Malikiyah, Hanafiyah, dan
Hanabilah. Adapun kalangan yang menolak istihsan sebagai hujjah adalah terutama Imam
Syafi’i, mazhab Zhahiriyah, ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah.
3. Imam Syafi’i adalah seorang penentang keras istihsan. Beliau menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan istihsan adalah pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan (al-
khabar) dari salah satu empat dalil syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Oleh sebab
itu, Imam Syafi’i tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah, melainkan menentang keras
penggunaan istihsan sebagai hujjah.

4. Istihsan jika dilihat dari sisinya terbagi 2, yaitu:


a. Dilihat dari sisi hubungan antara qiyas dan istihsan.
b. Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya yang terdiri dariistihsan bi al-qiyas al-khafiy, istihsan bi
al-nash,istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-dharuriy, istihsan bi al-mashlahah, dan istihsan bi
al-‘urf.

[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah Dar Al-Fikr, 1986), h.
136.
[2] Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), h. 106.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 402.
[4] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo: Maktabah Dar al-Qalam, 1978), h. 79.
[5] Ma’shum zein, Ilmu Ushul…, h. 107.
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz II, Cet Ke-III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).
h. 737.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet ke 4, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 315.
[8] al-Taftazani, Syarh al-Talwih ala Taudhih, Juz. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, t.t.), h.
82.
[9] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 112.
[10] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).
h. 31-33.
[11] Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
[12] Amir Syarifuddin, Ushul…, h. 315.
[13] Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiy (Beirut: Dar al-
Nahdhat al-‘Arabiyah, t.t.), h. 594.
[14] Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
[15] Saifuddin al-Hasan ‘Alim al-Amidi, al-Ahkam Fi Ushulil Ahkam, Juz: II, (Kairo: Muassisah
al-Halabiy, 1937), h. 892.
[16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 315.
[17] Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1940), h. 25.
[18] Ibid., h. 503-505.
[19] Ibid., h. 21.
[20] Wahbah, Ushul…, h. 749.
[21] Al-Badawiy, Abu Husain Ali bin Muhammad bin Husain, Ushul al-Bazdawiy, Juz: IV,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, t.t.), h. 2-4.
[22] Khallaf, Ilmu Ushul…, h. 81.
[23] Wahbah, Ushul…, h.743.
[24] Muhammad Mushthafa Syalbiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Maktabah Dar al-Nadhlah
al-Arabiyyah, 1986), h. 274-278.

Anda mungkin juga menyukai