Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad
dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada
koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat
dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin
kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal
Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya,
internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan
(ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,
atau “dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang
tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada
sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas.
Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan,
Istishab, Maslahah mursalah, Urf, dan Sadd adz-dzari’ah.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istishab, Istihsan, Urf,
Maslahah mursalah dan Sadd adz-dzari’ah yang mencakup pengertian, menurut
para ahli, dasar hukum, dan macam-macamnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan istishab! Bagaimana menurut para ahli mengenai
istishab! Bagaimana kedudukan istishab sebagai dasar hukum Islam? dan apa
saja macam-macam istishab?
2. Apa yang dimaksud dengan istishan! Bagaimana menurut para ahli mengenai
istishan! Bagaimana kedudukan istishan sebagai dasar hukum Islam? dan apa
saja macam-macam istishan?
3. Apa yang dimaksud dengan maslahah mursalah! Apa saja syarat-syarat
maslahah mursalah? dan apa saja macam-macam maslahah mursalah?
4. Apa yang dimaksud dengan ‘urf! dan apa saja macam-macam ‘urf? dan apa
kedudukan hukum ’urf?
5. Apa yang dimaksud dengan sadd adz-dzari’ah! Bagaimana dasar hukum sadd
adz-dzari’ah? dan apa saja macam-macam sadd adz-dzari’ah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian istishab, untuk mengetahui istishab menurut
para ahli, untuk mengetahui kedudukan istishab sebagai dasar hukum Islam
dan untuk mengetahui macam-macam istishab.
2. Untuk mengetahui pengertian istishan, untuk mengetahui istishan menurut
para ahli, untuk mengetahui kedudukan istishan sebagai dasar hukum Islam
dan untuk mengetahui macam-macam istishan.
3. Untuk mengetahui pengertian maslahah mursalah, untuk mengetahui syarat-
syarat maslahah mursalah dan untuk mengetahui macam-macam maslahah
mursalah.
4. Untuk mengetahui pengertian ‘urf, untuk mengetahui macam-macam ‘urf dan
untuk mengetahui kedudukan hukum ‘urf.
5. Untuk mengetahui pengertian sadd adz-dzari’ah, untuk mengethui dasar
hukum sadd adz-dzari’ah dan untuk mengetahui macam-macam sadd adz-
dzari’ah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa berarti “mencari sesuatu yang ada hubungannya”.
Menurut istilah adalah tetap berpegang teguh pada hukum yang telah ada dari
suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Contohnya, komputer dan internet telah mempengaruhi proses pembelajaran
sampai saat ini. Aturan-aturan dari pendidik dan pembelajar telah berubah karena
dipengaruhi media dan teknologi yang digunakan di dalam kelas. Perubahan ini
sangat esensial, karena sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, pendidik
(guru) berhak menguji media dan teknologi dalam konteks belajar dan itu
berdampak pada hasil belajar siswa.
2. Istishab Menurut Para Ahli
a. Ibn Qayyim istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah
ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu
peristiwa yang belum penah ditetapkan hukumnya.
b. Al-Ghazali istishab adalah berpegang pada dalil akal atau Syara’, bukan
didasarkan karena tidak mengetahui dalil, tetapi setelah melalui pembahasan
dan penelitian cermat.
c. Hasby Ash-Shiddiqy istishab adalah Mengekalkan apa yang telah ada atas
keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena
sesuatu hal yang belum diyakini.
d. Asy Syatibi istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa
yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
e. Imam al-Asnawy istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah
ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.

3
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat di simpulkan bahwa istishab
adalah segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang. Contohnya adalah seseorang yang mulanya ada
wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah
mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi seperti ini,
hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang
datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula. istishab juga
merupakam segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan
pada masa yang lalu.
3. Kedudukan Isitishab sebagai Sumber Hukum Islam
a. Dalil syara’: berdasarkan penelitian terhadap hukum syara’ bahwa hukum
syara’ itu tetap berlaku karena berdasar pada dalil yang menetapkan. Contoh:
setiap sesuatu yang menimbulkan mabuk ditetapkan oleh syara’ menjadi
haram, kecuali apabila telah berubah sifatnya dan telah hilang sifat yang
memabukkan.
b. Dalil akal, bahwa permulaan asal sesuatu itu adalah menguatkan hukumnya,
contoh tidak adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal darahnya karena
murtad kecuali apabila sudah ada dalil yang menyatakan kemurtadannya,
karena yang asal adalah haram darahnya.
4. Macam-macam Istishab
a. Isitishab yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula
ketetapannya pada syara’. Contoh: wajib sembahyang yang enam waktu
sehari semalam, diterima oleh akal atas tidak adanya dan tidak ada pula dasar
dalam agama yang menetapkan wajibnya.
b.  Istishab yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara
takhsis ataupun secara nasakh. Contoh: perkawinan tetap sah selama tidak ada
yang mengubahnya, dapat pula batal apabila ada yang mentakhsiskan atau
menasakhkannya seperti thalaq, fasakh dan khulu’ atau disebabkan
meninggalnya seseorang.
c. Istishab dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
Contoh: seorang membeli mobil, mobil itu tetap menjadi hak miliknya

4
selamanya, selama tidak ada pemindahan hak miliknya kepada orang lain.
Jadi dia tetap mempunyai hak milik terhadap mobil itu, karena ia
membelinya.
d. Istishab menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan. Contoh:
seorang yang sembahyang dengan bertayammum, apabila dia memperoleh air
tidak membatalkan sembahyang atau tidak perlu mengulang sembahyangnya
lagi.
B. Istishan
1. Pengertian Istishan
Istishan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama fiqh ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju hukum lain
dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
2. Istishan Menurut Para Ahli
a. Imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid
terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih
kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
b. Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan
hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.
c. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah istihsan merupakan sumber hukum yang
banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab.
d. Ibnu Anbary istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang
berlawanan dengan qiyas kully.
Dari berbagai definisi diatas, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya istihsan
itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar
dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan
hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

5
3. Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah madzhab Hanafi, menurut mereka
istisan sebenarnya semacam qiyas, yaitu mengubah hukum yang telah ditetapkan
dari suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum
kepada ketentuan khusus. Selain itu, golongan lain yang menggunakan ihtishan
ialah sebagian madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanafi.
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an
dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal
yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
       
       
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak
ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
4. Macam-macam Istihsan

Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan


oleh al-Syatibi, yaitu:

a. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits), yaitu


penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash
al-kitab dan sunnah. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah  adalah dalam
kasus orang yang makan dan minum  karena lupa pada waktu ia sedang
berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah
memasukan  sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya
sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan  oleh hadits
Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia

6
tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
a. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma), yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena
ada ijma.  Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum,
jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang
harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu
dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para
ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum
sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
b. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi),
yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas
kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih
tepat untuk diamalkan. Misalnya dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas
jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena  pemilik lahan telah
menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut.
Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau
mengalirkan air  ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke
dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas
al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari
wakaf itu adalah memanfaatkan  lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan
sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan
air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun
tidak dijelaskan dalam akad.
c. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya
kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut
kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah
istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.

7
d. Istihsan bi al-Urf   (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum),
yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena
adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan
masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi
dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
e. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah), yaitu seorang
mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah
karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada
ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya
kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut
kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh
air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit
dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan
seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan
beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat menghendaki
agar orang tidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.

C. Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan
َ menjadi ‫ص ُْلحًا‬
mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab ‫صلَ َح – يَصْ لُ ُح‬
atau ً‫َمصْ لَ َحة‬ yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata
mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul,
yaitu: ‫ ُمرْ َس ٌل‬-ً‫ اَرْ َس َل – يُرْ ِس ُل – اِرْ َساال‬menjadi ‫ ُمرْ َسل‬yang berarti diutus, dikirim atau
dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik
(manfaat).

Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah


ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak

8
ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan
syariat dan dibatalkan syariat.

Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan


kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa,
maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni
(menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang
untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar
syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan
memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.

Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,


bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu
masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh
nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum
dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat
umum pula.

2. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

a. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka
yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan
hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik
manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
b. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang
tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
c. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum   yang dituju oleh
syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan
oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang  mengakuinya, maka
maslahah tersebut  tidak  sejalan  dengan  apa yang telah dituju oleh Islam.

9
3. Macam-macam Maslahah Mursalah
Maslahah dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu
dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. 
a. Dilihat dari Segi Tingkatan
1) Maslahah dharuriyah (Primer), ialah perkara-perkara yang menjadi tempat
tegaknya kehidupan manusia, yang apabila ditinggalkan maka rusaklah
kehidupan manusia, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat.
2) Maslahah Hajjiyah (Sekunder), ialah semua bentuk perbuatan dan tindakan
yang tidak terkait  dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah
dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi
dapat  menghindarkan  kesulitan  dan  menghilangkan kesempitan.
3) Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier), ialah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat
kebiasaan yang  baik   dan   dicakup   oleh    bagian mahasinul   akhlak.
b. Dilihat dari Segi Eksistensinya
1) Maslahat mu’tabarah, ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang
secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain
yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas,
sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al–Said Ali Abd. Rabuh. Yang
masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan
disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta
benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah.
2) Maslahat mulgah, ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash.
Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat
disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak
keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat).
3) Maslahah mursalah, ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil
pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan
maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar

10
pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta
terhindar dari kemudhorotan.
D. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang di pandang baik dan diterima
oleh akal sehat, sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh
Abdul -karim  Zaidah, istilah ‘Urf berarti sesuastu yang tidak asing lagi bagi
suatu  masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

2. Macam-macam ‘Urf
a. Dari segi objeknya, yaitu:
1) Al-‘Urf al-Lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
2) Al-‘urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan
biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.
b. Dari segi cakupannya, yaitu:
1) Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan  diseluruh daerah.
2) Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat
tertentu.
c. Dari segi keabsahannya, yaitu:
1) Al-‘urf al-Shahih Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak
menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat
kepada mereka.
2) Al-‘urf al-fasid Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.

11
3. Kedudukan Hukum ’uruf

‘Uruf bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah
tidak memerlukan hukum dalam al-quran. Dengan berlandaskan sebuah hadist
yang artinya: “Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam, juga
dinilai baik disisi Allah”.

Bahkan imam jalaluddin as-sayuti dalam kitab asybah wa an-nadloir


mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘uruf termasuk dalam kategori
ketetapan berdasaekan dalil syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada satu kaidah
yang masyhur dikalangan ulama’ yang artinya: “Apa yang terkenal sebagai ‘uruf
sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap karena ‘uruf
sama dengan yang tetap karena nash”.

E. Sadd Adz-Dzari’ah
1. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

Secara etimologi, dzari’ah berarti jalan menuju kepada sesuatu atau identik
dengan wasilah (prantara). Sadd dzari’ah menurut para ahli ushul fiqh, adalah
mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak
kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan/sarana yang dapat
menyampaikan seseorang kepada kerusakan.

2. Dasar Hukum Sadd Adz-Dzari’ah

Dasar hukum dari Sadd Adz-Dzari’ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:

a. "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan". (QS. Al-An'âm: 108).
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang
kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat
menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki
Allah secara melampaui batas.
b. Firman Allah SWT:

12
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan…" (QS. An-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang
kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-
Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula
sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan)
keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu,
ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat
mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan
terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah
melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Macam-macam Adz-Dzari’ah

Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu:

a. Dari segi kualitas kemafsadatannya, Saddudz Dzarî'ah dibagi menjadi empat:


1) Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya
menggali sumur di jalan umum yang gelap.
2) Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam
pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras,
tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu
dilarang.
3) Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat,
misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras.
Dzari’ah ini harus dilarang.
4) Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun
kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan
hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang

13
memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan
ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus
dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.
b. Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan. Menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman
keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan.
2) Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun
digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja
ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak
sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang
mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.
c. Dzari’ah dilhat dari bentuknya dibagi menjadi empat,yaitu:
1) Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya
meminum minuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’.
2) Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu
kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.
3) Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu
kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya
mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’.
4) Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa
mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu
Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai
kebutuhan.

BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

14
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat
bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber
hukum islam yaitu: ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsan, maslahat mursalah,
qiyas, ray’yu, dan ‘urf.

Berpindah dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu
dalil syara’ terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum yang lain
terhadapnya karena perpindahan tersebut disebut istihsan.

Suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil tetapi juga tidak ada
pembatalanya disebut dengan maslahah mursalah dan apabila suatu perkara sudah
ditetapkan pada suatu waktu, maka ketentuan tetap seperti itu sebelum ada dalil
baru yang mengubahnyaitulah yang dimaksud istishab.

Sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam


sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran
agama islam merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat
melaksanakan semua perintah Allah dan semua larangan-Nya. Agama islam pun
tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk agama islam. Karena
terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani.

DAFTAR PUSTAKA

Khosim, Ali Al-Mansyur, Pengantar Fiqh;Kajian Fiqh 4 Madzhab,Bandung:


Mitra Cendikia, 2011

15
http://hendra-stai.blogspot.com/2011/12/istishsan-maslahah-mursalah-dan.html
(18/05/2013)

http://duniawallpaper.mywapblog.com/istihsan-istishab-istislah-urf.xhtml
(20/05/2013)

http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-istishab-
dan-maslahah-mursalah/ (20/05/2013)

16

Anda mungkin juga menyukai