Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, Ijma, dan
Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia
antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.

Metode-metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau


menyimpukan sebuah hukum relatif berjumlah banyak, dan salah satu metode
yang digunakan untuk itu adalah istishab. Oleh karena itu dalam makalah ini
penulis mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan istishab mulai dari
pengertian, syarat-syarat, bentuk-bentuk, kaida-kaidahnya sampai pada relevansi
istishab terhadap hukum positif yang khusunya ada di Indonesia.

Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut


keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan itu.

2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik
sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian istishab?


2. Apa syarat-syarat istishab?
3. Jelaskan macam-macam istishab !
4. Apa saja contoh-contoh istishab?

1
5. Jelaskan dasar hukum istishab!
6. Apa kehujjahan Istishab?
7. Bagaimana relevansi istishab dengan UU positif serta terhadap
perkembangan masyarakat pada zaman sekarang?

3. Tujuan
Dari rumusan masalah dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian istishab.
2. Mengetahui syarat-syarat istishab.
3. Memahami macam-macam istishab.
4. Mengetahui saja contoh-contoh istishab.
5. Memahami dasar hukum istishab.
6. Mengetahui kehujjahan Istishab.
7. Memahami relevansi istishab dengan UU positif serta terhadap
perkembangan masyarakat pada zaman sekarang?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba
( (dalam shigat is-tifl (), yang berarti: . Kalau kata
diartikan sahabat atau teman, dan diartikan selalu atau terus-
menerus, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: selalu menemani
atau selalu menyertai.1
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:

1. Imam Isnawi

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum
tersebut.2

2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah

Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan


meniadakan apa yang sebelumnya tiada.3

3. Abdul-Karim Zaidan

Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula


selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.4 Istishab juga dapat berarti
melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai
yang akan datang selama tidak terdapat yang mengubahnya.5 Sehingga dapat

1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. v, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 364-5
2
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 144
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 365
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. i, Jakarta: Prenada Media, 2005, h. 159
5
Moh. Rifai, Ushul Fiqih, Cet. x, Bandung: PT Almaarif, t.t, h. 140

3
disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang
telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
Jadi apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada sesuatu waktu, maka
ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang mengubahnya,
sebaliknya apabila sesuatu perkara telah ditolak pada sesuatu waktu, maka
penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang
menerima (metsabitkan) perkara itu.6



Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi (Al-Baqarah
:29)

Artinya: Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau
menyertainya.

B. Syarat-syarat Istishab
a. Syafiiyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat
bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak
terhadap hak-haknya terdahulu.7
b. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang
menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah
untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.8

C. Macam- Macam Istishab


Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang
sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu
adalah:

6
Sulaiman Abdullah Sumber hukum islam permasalahan dan fleksibilitasnya.Cet 1.Jakarta: Sinar Mustika,
1995, h. 158
7
Ibid., 159
8 Ibid., 160

4
1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah


boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 9 Misalnya
seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan
masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya,
sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik
sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan
memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini
menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

2. Istishab yang menurut akal dan syara hukumnya tetap dan


berlangsung terus.

Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung


terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa
ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab
wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan.
Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul Jika seseorang merasakan sesuatu dalam
perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali
janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar
suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).10
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih.
Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan
hujjah.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa
dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan
tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah
apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu
masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.

9
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 147
10
Ibid., h. 148-9

5
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam
beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya.
Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila
sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam
keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan
mengulangi shalatnya.11

3. Istishab hukum akal sampai adannya hukum syari

Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syari sebelum datangnya


syara. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap
umat manusia,sampai datangnya dalil syara yang menentukan hukum. Misalnya
seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang,
maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya,
apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak
pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut
ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang
telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syatiiyah, dan Hanabilah, istishab seperti
ini juga dapat menetapkan hukum syari, baik untuk menegaskan hukum yang
telah ada maupun hukum yang akan datang.12

4. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma tetapi keberadaan


ijma itu diperselisihkan.

Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya


para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma bahwa tatkala air tidak ada,
seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan
shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?

11
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalah-
ushul-fiqh-istishab.html, Diposkan Oktober 2012
12
Alindah, Sumber Hukum Islam, https://alindah41.wordpress.com/2016/09/04/sumber-hukum-
islam-istishab/, Diposkan September 2016

6
Menurut ulama Malikiyyah dan Syafiiyyah, orang tersebut tidak boleh
membatalkan shalatnya, karena adanya ijma yang mengatakan bahwa shalatnya
sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma tetap berlaku
sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya
kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya. Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah
mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat
melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak
menerima ijma karena ijma menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya
shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya
air.13

D. Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat
kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan
antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.14
E. Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada
hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang
pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi

13
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 151-2.
14
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalah-ushul-
fiqh-istishab.html, Diposkan Oktober 2012

7
perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara
yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.15
F. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak
ada dalil syara yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang
berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk
menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah
menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan
dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan
perkara yang belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil,
karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan
yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan
hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena
sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil.
Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang
diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya
menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa
yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak
dibolehkan syara.
3. Ulama Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syiah : bahwa
istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang
sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah,
sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang
mengubahnya, baik secara qathi (pasti) maupun zhanni (relatif), maka

15
Alindah, Sumber Hukum Islam, https://alindah41.wordpress.com/2016/09/04/sumber-hukum-
islam-istishab/, Diposkan September 2016.

8
semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras
belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa
dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa
akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyariatkan
Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan
istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan
Syiah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan
dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya
bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan
kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli
waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima
warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup.
Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai
keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab
adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal
ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan
hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau
menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf).16

G. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan


Masyarakat pada Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai landasan,
karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang
menetapakan keharamannya, dan kebanyakan dari hukum Undang-Undang
perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan
tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut
bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan
istilah praguga tak bersalah.17

16
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalah-ushul-
fiqh-istishab.html, Diposkan Oktober 2012
17
Ibid.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan


tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui
setiap hukum-hukum yang ada.
2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status
sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang
mengubahnya.
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat dari satu sudut
pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk
istishab itu sendiri.
4. Dari kaidah-kaidah istishab dan perbedaan fuqaha dalam penerapannya,
jelaslah bahwa istishab itu sendiri bukanlah dalil syara dan bukan sumber
istidlal, tetapi hanyalah pengamalan terhadap dalil yang sudah ada dan
pengakuan terhadap hukum yang sudah tsabit yang tak terdapat sesuatu
yang mengubahnya.

B. Saran

Dasar- dasar fiqih islam seperti istihhab sebaiknya diterapkan dalam


kehidupan untuk menetapkan hukum setelah sumber-sumber hukum yang lain.
Dan diharapkan istihhab ini diterapkan dengan sebaik- bainya dalam
kehidupan, agar memperoleh ridho dari Allah SWT.

10

Anda mungkin juga menyukai