Anda di halaman 1dari 18

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.

com

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk
yaitu ilmu fiqh. 1

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan
fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu


dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk
telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada
jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita
bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada. Penelitian ini
menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta
karya ilmiah pada bidang ushul fiqh.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis;


bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang
tauhid/iktiqad, Ushul Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam
menjalankan istinbat hukum. Metode yang digunakan fuqaha merupakan aplikasi

1
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1,No.
1, maret 2018, hlm. 39

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar deduktif dan
normatif.

Kaidah Ussul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah
yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama
(mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas,
sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf,
syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati
di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid
dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah
tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam
kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.2

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan
Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi
dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian
hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain
yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek
pembahasan ilmu Ushul fiqh.

2
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

BAB II

PEMBAHASAN

A. Istishab

1. Pengertian Istishab

Istishab menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan.


Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas
sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum
yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu,
sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.

Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak
diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang
telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Dan apabila
perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap
tidak ada hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang
menetapkan hukumnya.3

a. Al-Ghazali memberikan definisi istishab dengan istilah itu


berpegang pada dalil akar atau syara’, bukan didasarkan karena tidak
mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan
penelitian dengan cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah
hukum yang telah ada. 4
b. Abdul Wahab Khallaf mengemukakan istishab yaitu dalil syara’
yang berakhir yang digunakan pegangan oleh mujtahid untuk
mengetahui hukuman dari sesuatu yang disodorkan padanya.
c. Menurut al-Shaukani, bahwasanya apa yang telah ada pada masa
yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada dimasa
sekarang dan pada masa yang akan datang.
3
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Pers, 2011), hlm. 260-261.
4
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 59.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

d. Menurut Wahab Al-Zuhaili, Suatu hukum terhadap penetapan suatu


perkara atau meniadakannya pada saat sekarang atau yang akan
datang berlandaskan atas ketetapan atau peniadaan hukum pada
masa yang lalu karena tidak ada dalil yang merubahnya.5

Apabila seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian


atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash dalam al qur’an atau
sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan
hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah: “sesungguhnya asal mula
dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu
yang ada di bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang
menunjukkan perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli.

Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang,


benda padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa
saja, atau suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas
hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena
sesungguhnya kebolehan (ibahah) adalah asalnya, padahal tidak ada dalil
yang menunjukkan terhadap perubahannya.

2. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Islam

Adapun penetapan dalil untuk istishab ini ditetapkan melalui dua dalil, yaitu:

a. Dalil syara’, berdasarkan penelitian terhadap hokum syara’ bahwa


hokum syara’ itu tetap berlaku karena berdasar dalil yang
menetapkan. Contoh: setiap sesuatu yang menimbulkan mabuk
ditetapkan oleh syara’ menjadi haram, kecuali apabila telah berubah
sifatnya dan telah hilang sifat yang memabukkan.
b. Dalil akal, bahwa permulaan asal sesuatu itu adalah menguatkan
hukumnya, contoh tidak adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal

5
Masykur Anhari, Ushul Fiqih, (Surabaya: Diantama, 2008), hlm. 106-107.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

darahnya karena murtad kecuali apabila sudah ada dalil yang


menyatakan kemurtadannya, karena yang asal adalah haram
darahnya. 6
3. Macam-Macam Istishab
a. Isitishab yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan
tidak pula ketetapannya pada syara’. Contoh: wajib sembahyang
yang enam waktu sehari semalam, diterima oleh akal atas tidak
adanya dan tidak ada pula dasar dalam agama yang menetapkan
wajibnya.
b. Istishab yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan
baik secara takhsis ataupun secara nasakh. Contoh: perkawinan tetap
sah selama tidak ada yang mengubahnya, dapat pula batal apabila
ada yang mentakhsiskan atau menasakhkannya seperti thalaq, fasakh
dan khulu’ atau disebabkan meninggalnya seseorang.
c. Istishab dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada
sebab. Contoh: seorang membeli mobil, mobil itu tetap menjadi hak
miliknya selamanya, selama tidak ada pemindahan hak miliknya
kepada orang lain. Jadi dia tetap mempunyai hak milik terhadap
mobil itu, karena ia membelinya.
d. Istishab menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan.
Contoh: seorang yang sembahyang dengan bertayammum, apabila
dia memperoleh air tidak membatalkan sembahyang atau tidak perlu
mengulang sembvahyangnya lagi.7
4. Pendapat Ulama’ Tentang Istishab
a. Menurut kebanyakan mutakallimin, bahwa istishab itu bukan
merupakan dasar hokum Islam, karena ketetapan hukumpada masa
yang pertama membutuhkan dalil, demikian juga pada masa yang
kedua.

6
Masykur Anhari, Ushul Fiqih,..., hlm. 107-108.
7
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih,..., hlm. 59-60.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

b. Pendapat jumhur Hanafiah yang akhir, bahwa istishab itu merupakan


hujjah untuk menolak atau meniadakan bukan untuk menetapkan
atau menguatkan, mereka mengatakan bahwa, istishab itu adalah
suatu ulasan untuk menetapkan sesuatu yang telah ada atas sesuatu
yang ada, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada.
c. Pendapat jumhur Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah dan ahli dhohir,
bahwa istishab adalah dasar hokum islam secara mutlak untuk
menetapkan hokum yang telah tetap sampai datang dalil atas
perubahannya, maka istishab itu patut untuk
menyatakan/menguatkan sesuatu sebagaimana juga patut untuk
menolaknya. 8
5. Kehujjahan Istishab

Sebagai dikemukakan oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa


bahawa ulama dibagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan istishab.
ulama yang menerimanya dan ulama yang menolaknya. ulama yang
menerima istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam muamalah dan
pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara
mereka. ia dapat dijadikan dasar untuk menentukan hokum tersebut selama
tidak ada dalil yang merubahnya. rujukan tekstualnya adalah al-Qur’an (QS.
Al-Baqarah ayat 29). ulama yang menerima istishab dapat dibedakan menjadi
tiga:

a. Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagai ulama


Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan
hujjah Syar’iyyat ketika tidak ada dalil dari al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum
ada dalil yang merubahnya.
b. Sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa istishab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang

8
Masykur Anhari, Ushul Fiqih,..., hlm. 109.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

sekarang; ia sekedar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk


menentukan hukumnya sekarang ini. ia memerlukan dalil.
c. Kebanyakan ulama hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah
untuk menentukan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan
yang lain. ulama ini menolak istishab akal.

Sedangkan ulama yang menolak kehujjahan istishab berargumen


bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil
itu tidak didapat kecuali dari “Syari”. Dalil syar’iy terdapat dalam nash al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Kalau tidak ditemukan sesuatu perbuatan atau perjanjian baik dalam


al-Qur’an maupun dalam Sunnah atau dalil sayara’ yang lainya maka
perjanjian atau perbuatan itu dianggap mubah berdasarkan asal segala sesuatu
itu mubah selama belum ada dalil yang menunjukkan hukumnya berubah.
umpamanya hukum daging binatang, benda, tumbuh-tumbuhan; makanan
atau perbuatan yang tidak diterangkan hukumnya oleh syara’ maka ditetapkan
mubah karena mengingat asal segala sesuatu itu mubah.

Istishab dijadikan salah satu dalil syara’ menurut mazhab Syafi’i. dan
diantara contoh hukum yang bersumber dari istishab umpamanya si A telah
diketahui dengan pasti menikah dengan si B maka kedua orang tadi masih
dianggap sebagai suami istri selama tidak ditemukan bahwa mereka berdua
telah bercerai.

Seorang yang sudah berwudhu kemudian timbul was-was bahwa ia


terasa kentut, maka ditetapkan bahwa ia masih dalam keadaan suci selama
tidak ditemukan bukti bahwa ia batal seperti bunyi kentut atau bau kentutnya.
demikianlah setiap yang sudah diyakini adanya dianggap akan tetap ada
sampai ada bukti yang menunjukkan perubahnya dan sebaliknya yang sudah
diyakini tidak ada, ditetapkan tidak ada sampai ada bukti yang menunjukkan
adanya.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Sedangkan Kalangan hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa


istishab ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas,
orang yang hilang itu meskipun ia masuh dianggap masih hidup, yang dengan
itu istrinya masih dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus
sebagai miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli waris
yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan balum
dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih hidup. Jika terbukti
ia telah wafat daan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan warisnya maka
kadar pembagiannya yang disimpan dibagi antara ahli waris yang ada. Alasan
mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil
istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.

B. Syar’u Man Qablana

1. Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi


sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. 9

Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-
Baqarah ayat 183: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah :183).

2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana

Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah,


sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu
Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu
disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an,
bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak

9
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 162-163.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan
hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah: 10

a. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga
oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu
dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad
SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah: “Dia telah
mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-
Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura: 13)
b. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para
nabi terdahulu, antara lain firman Allah: “Kemudian kami wahyukan
kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS.
An-Nahl: 123).11
3. Pengelompokan Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi


yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan
dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang
demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad. seperti firman allah dalam surat al-an’am (8): 146:
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang
punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada
mereka lemaknya”.

10
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 152.
11
Satria Effendi, Ushul Fiqh,..., hlm. 165-166.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang


Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal
itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-An’am (6): 145.
b. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi
disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku
untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa
sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian menjadi orang yang bertakwa’’. Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas
umat Nabi Muhammad
c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi,
dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun
secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada
penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh. 12
4. Macam-Macam Syar’u Man Qablana

Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap


hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran
dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk
syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi
menjadi tiga, yaitu:

a. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita


menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi
Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong
apa yang kena najis itu.

12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 417-419.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

b. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk


syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan
puasa.
c. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap
sebagai syariat kita.

C. Madzhab13

1. Pengertian Mazhab

Kata mazhab adalah isim makan (kata yang menunjukkan tempat)


yang diambil dari fi‘il mâdhi (kata dasar) dzahaba yang berarti “pergi”. Dapat
juga berarti al-ra’yu, yang artinya “pendapat”.

Pengertian mazhab dalam istilah fiqh atau ilmu fiqh setidaknya


meliputi dua pengertian, yaitu: 1). Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang
digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian. 2).
Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu
kejadian.

Pembahasan tentang mazhab merupakan kelanjutan dari pembahasan


tentang taqlîd. Dalam pembahasan taqlîd disebutkan bahwa peringkat lapisan
umat Islam dalam hubungannya dengan hukum syara’ dan pengamalannya
terbagi kepada dua kelompok, yaitu: 1). Orang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang hukum syara’. Untuk mengetahui dan mengamalkan
hukum syara’, ia disuruh bertanya kepada orang yang mengetahui. Dari segi
ketidaktahuannya itu ia disebut awam dan dari segi bertanya kepada orang
alim, ia disebut mustafti atau muqallid. 2). Orang yang mempunyai
pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kemampuan untuk
menggali dari sumbernya. Karena itu, maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam. Sebagai orang yang tahu, ia disebut mujtahid, dan dalam
kedudukannya sebagai orang yang memberi jawaban atas pertanyaan orang
awam, ia disebut mufti.

13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2,..., hlm. 448-453

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Seperti telah dijelaskan bahwa dalam etika ber-taqlîd menurut


sebagian ulama, orang awam yang muqallid setelah memperoleh jawaban
hukum dari seorang mufti harus beramal dengan pendapat atau fatwa dari
mufti itu. Fatwa atau pendapat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid itulah
yang pada mulanya disebut dengan mazhab yang berasal dari ungkapan yang
pengertiannya berarti: “pendapat yang dipegang oleh imam mujahid”. Kalau
orang awam mengikuti pendapat seorang imam mujahid dalam beramal, ia
disebut “pengikut mazhab imam mujahid”

Menurut sebagian ulama, orang awam yang beramal dengan mazhab


seorang imam mujtahid dalam masalah tertentu, dituntut untuk secara
konsisten mengikuti terus mazhab imam tersebut dalam masalah-masalah
lainnya, sehingga bentuk pengamalan agama orang awam itu sama dengan
imamnya dalam segala urusan agama.

Bila satu kelompok atau jamaah sama-sama mengikuti pendapat atau


fatwa imam mujtahid tertentu, maka akan terdapat satu kelompok yang
anggotanya sama bentuk atau cara pengamalan agamanya dan bersumber dari
pendapat ajaran imam mujahid yang sama. Kelompok atau jamaah yang sama
mengikuti mazhab imam mujtahid tertentu itu, di masa sekarang sering
disebut mazhab. Oleh karena itu, bila disebut mazhab Syafi‘i, akan lebih
mudah dipahami sebagai bentuk suatu kelompok yang mengikuti satu ajaran,
ketimbang ajaran yang diikutinya itu.

Dari ilustrasi tentang mazhab tersebut, timbul beberapa pertanyaan,


yaitu:

a. Orang awam yang telah mendapat jawaban dari seseorang imam


mujtahid atau mufti, apakah ia harus beramal dengan fatwa itu?
Kalau ya (harus) apakah ia juga harus secara konsisten (terus-
menerus) mengamalkannya tanpa kemungkinan menarik diri
berpaling dari fatwa tersebut?
b. Kalau orang awam itu secara terus-menerus beramal dengan fatwa
seorang imam mujtahid dalam satu masalah, apakah ia harus

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

mengikuti pendapat mujtahid itu saja dalam semua masalah agama?


Atau dengan kata lain, apakah ia harus mengikuti satu mazhab
tertentu saja?
c. Kalau orang awam itu sudah mengikuti mazhab tertentu bolehkah ia
meninggalkan mazhab itu untuk pindah ke mazhab lainnya?
d. Apakah orang awam boleh berpegang pada pendapat suatu mazhab
dalam beberapa masalah tertentu, sedangkan dalam masalah lainnya
mengikuti mazhab lain)?
e. Apakah dibenarkan jika dalam satu urusan agama pada suatu waktu
menghimpun pendapat beberapa mazhab (talfiq)?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijelaskan secara sederhana dalam


uraian di bawah ini.

2. Beramal dengan Fatwa Seorang Mufti

Orang awam bertanya kepada seorang mufti dalam urusan agama


dengan maksud mendapatkan pengetahuan sehingga ia dapat menjalankan
nya dengan baik. Dengan sendirinya fatwa mufti itu dijalankan oleh orang
awam itu karena ia mengetahui kemampuan ilmu dan keadilan mufti itu,
sehingga ia mempunyai dugaan kuat tentang kebenaran yang difatwakan nya.
Apakah orang awam itu harus dan terikat untuk mengamalkan fatwa dari
mufti itu? Hal ini dipertbincangkan ulama karena fatwa dari mufti itu
merupakan hasil ijtihadnya secara pribadi yang dengan sendirinya tidak
mengandung kekuatan hujah. Lain halnya jika yang disampaikan si mufti itu
adalah sebuah Hadis Nabi. Namun jika ia menyampaikan hadits, maka
kedudukannya bukan sebagai mufti, tetapi sebagai rawi atau pe nyampai
hadis. Seperti telah dijelaskan bahwa yang mempunyai kekuatan hujah
hanyalah Al-Qur’an, sunah Nabi dan ijmâ’ ulama.

Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa orang awam tidak mutlak
harus mengamalkan fatwa yang diterimanya dari seorang mufti.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

3. Mengikuti (Fatwa) Seorang Mufti

Kalau orang awam telah minta fatwa kepada seorang mufti, apalagi
jika ia telah mengamalkan fatwa tersebut, apakah dimungkinkan ia menarik
diri dari fatwa tersebut? Hal ini diperbincangkan ulama.

Al-Asnawi (dari kalangan ulama Syafi‘iyah) dan Ibnu al-Hummam


(dari kalangan ulama Hanafiyah) mengklaim adanya kesepakatan ulama
tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengikuti mufti
lain dalam masalah yang sama. Al-Amidi menukilkan ijmâ’ ulama dalam hal
ini. Ibnu Subki juga tidak membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan
adanya ijmâ’ ulama, di samping mengecualikan bila fatwa yang diterimanya
itu belum diamalkannya.

Selanjutnya Ibnu Subki mengemukakan beberapa pendapat bandingan


terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian, yaitu:

a. Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia


telah minta fatwa.
b. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia telah mulai
mengamal kannya;
c. Harus tetap mengikuti mufti itu bila ia yakin akan kesahihan
pendapat nya itu;
d. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia tidak menemukan
mufti yang lain;
e. Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu bila ia telah melazimkan
diri untuk itu.

Dari pendapat terakhir ini walaupun hanya dinukilkan dengan “qila”


(dikatakan), namun mengandung isyarat tidak adanya keharusan untuk terus-
menerus mengikuti pendapat mujahid tertentu.

Atas prinsip tidak adanya keharusan mengikuti seorang mufti


sebagaimana disimpulkan dari pendapat terakhir itu, ada satu hal yang patut
diperhatikan oleh yang pindah mufti itu ialah bahwa ia berbuat demikian

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

bukan untuk tujuan negatif, seperti untuk membatalkan apa yang telah
diyakininya dengan cara pindah ke mufti lain tersebut. Umpamanya
seseorang nikah tanpa wali dengan mengikuti pendapat mufti Hanafiyah.
Kemudian ia ingin menceraikan istrinya. Untuk itu ia pindah ke mufti
bermazhab Syafi‘i yang menetapkan batalnya nikah tanpa wali.

Adapun kalau ia ber-taqlîd kepada mufti lainnya dalam masalah yang


lain (bukan masalah yang telah terlebih dahulu diberikan jawabannya oleh
mufti), tampaknya kebanyakan ulama membenarkannya, termasuk Ibnu
Subki yang melarang pindah mufti dalam masalah yang sama. Di antara
alasan pendukung pendapat ini adalah bahwa pada masa sahabat, para
peminta fatwa sering meminta fatwa pada seorang sahabat tentang suatu
masalah dan meminta fatwa pada sahabat yang lain tentang masalah lainnya,
serta tidak terus-menerus mengikuti fatwa seorang shahabat tertentu. Hal ini
berlaku secara meluas dan tidak ada yang menyanggahnya sehingga keadaan
ini berkedudukan sebagai ijmâ’ sukûtî.

Adanya kelonggaran untuk mengikuti mufti lain itu dalam masalah


lain mengisyaratkan tidak harusnya seseorang untuk mengikatkan dirinya
secara penuh kepada pendapat atau mazhab imam tertentu. Namun Ibnu
Subki tetap mengharuskan seseorang untuk mengikuti mazhab tertentu yang
diyakini pendapatnya lebih kuat di antara mazhab yang ada.

Menurut Ibn al-Humam, pendapat yang paling kuat adalah tidak


adanya keharusan untuk tetap berpegang pada satu mazhab. Ia mengatakan,
“Tidak wajib atas seseorang untuk bermazhab dengan mazhab manapun.
Tidak ada yang wajib kecuali apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.”

Ibn Hazm dari ulama Zhahiriyah secara tegas menolak mazhab,


bahkan ia mengatakan tidak sah seorang awam bermazhab. Orang bermazhab
hanyalah orang yang mengetahui secara baik mazhab itu dan membaca kitab-
kitab furu’ (fiqh) mazhab itu. Baik hakim atau mufti harus menetapkan
hukum atau berfatwa dengan hasil ijtihadnya dan tidak boleh ber-taqlîd.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Para pakar ilmu ushul kontemporer seperti Badran mengatakan, tidak


wajib bermazhab (secara tetap), karena tidak ada ketentuan syara’ yang
mewajibkan seseorang untuk mengikuti imam atau mazhab tertentu. Yang
diwajibkan syara’ hanyalah mengikuti ahli ilmu tanpa menentukan person
ulama (mufti) tertentu. Para sahabat dan ulama tabi‘in tidak pernah
menyangkal orang bukan mujahid bertanya kepada siapa saja yang termasuk
ulama tanpa mengikatkan dirinya kepada mazhab tertentu.

Bertolak pada pendapat yang membolehkan bermazhab, bolehkah


orang yang telah bermazhab itu pindah mazhab. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat ulama:

a. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, karena ia telah me-


nyatakan dirinya untuk mengikuti mazhab meskipun asal mulanya
tidak harus.
b. Ulama lainnya mengatakan boleh-boleh saja karena bermazhab itu
sendiri tidak harus. Melazimkan sesuatu yang tidak lazim adalah
tidak lazim.
c. Ada juga ulama yang mengambil jalan tengah dengan me nga-takan
tidak boleh dalam sebagian masalah dan boleh dalam sebagian
lainnya tadi. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak. Hal ini
berarti dalam hal-hal tertentu harus beramal dengan mazhab tertentu,
sedangkan dalam hal-hal lainnya dapat menggunakan beberapa
mazhab dalam waktu yang sama. Sikap yang terakhir ini disebut
talfîq.

Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya.


dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat
mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan
hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

yang sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan diantara
mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.14

14
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih ,(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 141-142.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com
http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

DAFTAR RUJUKAN

Anhari, Masykur. 2008. Ushul Fiqih. Surabaya: Diantama.

Bakry, Nazar. 1994. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana.

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Pers

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai