Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USHUL FIQH

“ISTISHAB”

MAKALAH INI DIBUAT DAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA


MATA KULIAH USHUL FIQH

DOSEN PENGAMPU:

Drs.,Kaizal Bay,M.Si

DISUSUN OLEH:

Azizah Arroyan 12130421173

Fitri Irnayanti 12130424743

Suci Afriza 12130422364

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

JURUSAN ILMU HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN

RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga penulis
dapat menyusun makalah tentang "Istishab" dengan sebaik-baiknya.Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan kesadaran anak bangsa dalam mempelajari
sejarah Indonesia dan meningkatkan rasa nasionalisme sehingga mereka mampu melanjutkan
cita-cita para pahlawan pendiri bangsa.
Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, memfasilitasi,
memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga selesai tepat pada
waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran yang berlimpah.
Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sekalian.
Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan masyarakat.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
1. Pengertian Istishab..................................................................................................................5
2. Dasar Hukum Istishab.............................................................................................................6
3. Syarat- Syarat Istishab............................................................................................................6
4. Rukun Istishab.........................................................................................................................7
5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Istishab........................................................................8
6. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya.........................................................................................8
8. Istishâb sebagai Dalil Hukum.................................................................................................9
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................11
A. Kesimpulan............................................................................................................................11
B. Saran.......................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati
dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita
sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada
7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok
pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada
sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan itu.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan itishab?
2. Apa dasar hukum dari istishab?
3. Sebutkan syarat-syarat istishab!
4. Sebutkan rukun-rukun istishab!
5. Apa perbedaan pendapat ulama tentang Istishab?
6. Bagaimana pengimplikasian dan kaidah-kaidah istishab?
7. Bagaimana relevansi Istishab dengan UU positif terhadap perkembangan
masyarakat zaman sekarang?
8. Mengapa istishab sebagai dalil hukum?

4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Istishab

Istishab menurut bahasa ialah membawa atau menemani. Al-Asnawy berpendapat bahwa
pengertian istish-hab adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
berikutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan atas hukum tersebut. Atau menetapkan suatu hukum
sebelumnya, sehingga hukumyang baru merubahnya.1

Dari definisi di atas melahirkan suatu kaidah :

‫اَالْص ُل َبَقاُء َم ااَك َن َعىَل َم ا اَك َن‬


Artinya : Pada dasarnya hukum sesuatu adalah tetap berlakunya hukum yang telah ada
sebelumnya.

Secara terminologi(istilah),pengertian istishab menurut ahli ushul fiqh adalah sebagai


berikut:

‫استيفاء احلمك اذلي ثبت بدليل يف املاىض َقاِئًم ا يِف اَحلاِل َح ىَّت ُيوَح َد َد ِليٌل ُيغريه‬
Artinya: Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan
masih diperlukan ketentuannya samapai sekarang,kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya. 2

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishab termasuk dalil atau
acuan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Alquran, Sunah,
ijmak atau qiyas. Al-Syaukani misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan
istishab adalah menetapkan atau memberlakukan hukum yang telah ada, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari
hukumnya dalam Alquran, kemudian al-Sunah, lalu ijmak, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak
berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku.

a. Jenis-jenis Istishab :
Para ulama menyebutkan beberapa jenis istishhab ini dan berikut ini akan disebutkan yang
terpenting di antaranya, yaitu:
1) Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya;
yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat dengan perbedaan
pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya, yaitu apakah hukum asal sesuatu
itu adalah mubah atau haram. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang
tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam Alquran dan Sunah, atau dalil
lainnya seperti ijmak dan qiyas.

1
Moh Bahruddin,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandar Lampung: 2019),hal. 64
2
Arjan Syuhada,Sungarso,Fikih Madrasah Aliyah Kelas XII,Bumi Aksara.(Jakarta:2019),hal. 53

5
2) Istishhab al-bara’ah al-ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.
3) Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijmak pada saat berhadapan dengan masalah yang
masih diperselisihkan.

b. Kehujahan Istishab

Istishab pada dasarnya bukanlah untuk menetapkan suatu hkum yang barumelainkan
untuk melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, istish-
hab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu
ushul fiqh berpendapat bahwa sesungguhnya istishab merupakan jalan terakhir rujukan fatwa.
Ia adalah pemberlakuan hukum atas sesuatu dengan hukum yang telah ada sebelumnya,
sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya. Sebagai contoh adalah status hukum oang yang
mafqud, yakni orang yang bepergian dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada kabar dan
berita, tanpa diketahui rimbanya. Dengan menggunakan dalil istishab, maka si mafqud harus
dianggap masih hidup, memberlakukan hukum yang telah ada, di mana sewaktu pergi si
mafqud masih hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada bukti yang sah dan meyakinkan
tentang meninggalnya si mafqud tersebut. Ketetapan hokum yang demikian semata-mata
untuk menolak status kematiannya dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya,
seperti membagi waris harta benda miliknya, diputus perjanjian sewa menyewanya atau
diputus cerai isterinya.

2. Dasar Hukum Istishab

Dari keterangan dan contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlah cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak
ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk
menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan
yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C,
maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas
antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram. Karena
itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk
mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab
bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia
hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang
mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujah. 3

3. Syarat- Syarat Istishab


1. Pengguna Istishâb telah mengerahkan seluruh kemampunnya untuk mencari bukti yang
merubah hukum yang semula ada.
2. Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, pengguna Istishâb tidak menemukan bukti
yang merubah hukum yang telah ada.
3. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan Istishab benar adanya, baik dari dalil shar’I
ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan hanya sekedar dugaan.

3
Darmawati , Ushul Fiqh,(Makassar: 2018),hal.72

6
4. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan Istishab bersifat mutlaq (umum). Artinya, dalil
lama tresebut tidak menunjukkan keberlakuan dirinya secara terusmenerus, tidak pula
menujukkan ketidakberlakuannya sampai batas waktu tertentu. Karena bila demikian
halnya, maka itu tidak disebut menggunakan Istishâb, melainkan disebut mengunakan dalil
tersebut.
5. Tidak terjadi kontradiktif antara Istishâb dengan nash yang ada. Bila terjadi kontradiktif
antara keduanya, maka yang didahulukan adalah apa yang tertera pada nash, karena nash
memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan Istishâb.

4. Rukun Istishab
Muhammad Ridha Muzhaffar sebagimana dikutip oleh Amir Syarifuddin merinci
hakikat Istishâb ke dalam tujuh poin sebagai kriteria Istishâb (rukun Istishâb), yaitu:
1. Keyakinan.
Maksudnya bahwa keyakinan akan berlakunya suatu keadaan pada waktu yang lalu, baik
keadaan itu dalam bentuk hukum syara’ atau sesuatu objek yang bermuatan hukum
syara’. Dalam contoh waris di atas: keyakinan atas berlangsungnya pemilikan harta bagi
seorang ahli waris adalah disebabkan adanya pewarisan.
2. Keraguan. Maksudnya bahwa keraguan tentang masih berlakunya keadaan yang telah
terjadi sebelumnya adalah karena memang waktunya sudah berubah. Dalam contoh waris
di atas, keraguan tentang masih berlakunya pemilikan di masa lalu untuk masa kini. Hal
ini merupakan salah satu rukun dari Istishâb sebagaimana disebutkan di atas. Kalau pada
masa kini sudah ada sesuatu (bukti) yang meyakinkan tentang masih berlakunya keadaan
di masa lalu itu, maka tidak ada lagi artinya Istishâb tersebut; umpamanya pemilikan
harta itu secara meyakinkan telah dialihkan melalui suatu transaksi, sehingga status
kepemilikannya berubah.
3. Bertemunya hal yang meyakinkan dan meragukan dalam waktu yang sama. Maksudnya,
bahwa keyakinan dan keraguan bertemu pada masa kini; artinya, terjadi keraguan untuk
memberlakukan keadaan baru karena belum ada petunjuk untuk itu, dan dalam waktu
yang bersamaan terjadi keyakinan untuk memberlakukan yang lama karena belum ada hal
yang mengubahnya.
4. Keadaan yang meyakinkan dan meragukan itu waktunya berbeda. Maksudnya, keadaan
yang meyakinkan itu terjadi pada masa lalu, sedangkan yang meragukan terjadi pada
masa kini atau masa mendatang.
5. Tempat berlakunya keyakinan dan keraguan itu menyatu. Maksudnya, bahwa apa yang
diragukan itu berlaku terhadap suatu keadaan yang juga sekaligus diyakini. Dalam contoh
di atas, pemilikan atas harta yang pada masa lalu meyakinkan dan pada masa kini
meragukan.
6. Masa berlakunya hal yang meyakinkan mendahului masa berlakunya hal yang
meragukan. Ini berarti bahwa berlakunya keadaan yang meyakinkan haruslah lebih
dahulu daripada yang meragukan. Kalau terjadi kebalikannya, maka bukan termasuk
Istishâb.4

5. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Istishab


4
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,hal.368

7
Para ulama ushul iqh, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat
bahwa tiga macam istishab yang disebut pertama tersebut sah dijadikan landasan
hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishab alwasf.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1) Kalangan Hanabilah dan Syai’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat
dijadikan landasan secara penuh, baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun
dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang
tidak tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat.
Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang
hidup, seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada
ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar
pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
2) Kalangan Hanaiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya
berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan
hak yang baru. Dalam contoh di atas, orang yang hilang itu, meskipun ia masih
dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan
hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup,
namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus
disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika
terbukti ia telah wafat dan ternyata mendahului waktu wafat ahli warisnya, maka
kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi di antara ahli waris yang ada.
Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil
istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.5

6. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya

‫االصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره‬


”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada
sehingga ada dalil yang merubahnya.”
‫االصل في االشياء اال باحة‬
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
‫االصل في االنسان البراءة‬
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
‫بالشك واليزول االبيقين مثله ما ثبت باليقين اليزول‬
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan.
Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”6

7. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat


Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu
dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan

5
M. Zein Satria Efendi,Ushul Fiqh,Jakarta:2005,hal.148
6
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Amzah, 2005 ), hlm.145.

8
kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya
seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang
tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan
istilah praduga tak bersalah.7

8. Istishâb sebagai Dalil Hukum

Syaikh Abu Zahrah menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan ketiga
jenis Istishâb yang disebutkan pertama, yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb
albara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, sekalipun mereka berbeda dalam
sebagianpenerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan Istishâb keempat yaitu Istishâb al-
wasf, para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahannya. Menurut ulama Syafi’iyyah
dan Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam
menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang
sudah ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah danMalikiyyah menganggap Istishâb al-
wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i) saja, bukan
untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 21 Adapun nilai kehujjahan Istishâb
secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb merupakan hujjah secara penuh,
baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu
yang belum ada (itsbat). Mereka menggunakan Alquran, Hadis, Ijmâ’’, dan Akal, untuk
memperkuat pandangannya.22 Allah SWT berfirman dalam surat Al- An’am ayat 145
yang artinya:

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu
kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.

Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya setan mendatangi salah satu di antara kalian
kemudian berkata: “Kamu berhadas, kamu berhadas”, maka janganlah dia meninggalkan
(shalat) sampai dia mendengarkan suara atau mendapati rasa (buang angin). (HR. Abu
Dawud dari Abu Hurairah). “Jika salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam
salatnya, apakah ia telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, hendaknya ia buang
keraguan itu dan berpegang kepada yang ia yakini. (HR. Muslim dari Abu Said
alKhudri)”.

Rasulullah Saw. meneruskan pemberlakuan hukum wudhu sekalipun ada keragu-


raguan, dan inilah maksud dari Istishâb. Kemudian, Ijmâ’’ ulama telah menyepakati
bahwa jika seseorang ragu-ragu apakah telah melakukan thaharah atau belum maka dia
tidak boleh melaksanakan shalat. Sebaliknya, jika dia ragu-ragu apakah thaharahnya

7
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hlm.221

9
masih ada atau tidak (sudah batal atau belum) maka dia boleh mengerjakan shalat. Kedua
hukum ini diproduksi melalui metode Istishâb, sehingga Istishâb merupakan hujjah
berdasarkan Ijmâ’’ ulama.8

8
Rusdaya Basri,Ushul Fiqh 1,Parepare 2019,hal. 151

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu
dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan
kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian.
Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara umum, para ulama berbeda
pendapat.Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali
menyatakan bahwa Istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada , maupun menetapkan sesuatu yang belum
ada . " "Jika salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam salatnya, apakah ia telah
melaksanakan tiga atau empat rakaat, hendaknya ia buang keraguan itu dan berpegang
kepada yang ia yakini. meneruskan pemberlakuan hukum wudhu sekalipun ada keragu-
raguan, dan inilah maksud dari Istishâb. Kedua hukum ini diproduksi melalui metode
Istishâb, sehingga Istishâb merupakan hujjah berdasarkan Ijmâ’’ ulama.

B. Saran
Demikian makalah ini dapat penulis buat,jika ada kesalah dalam penulisan kami
mohon kritik dan saran dari pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bahruddin,Moh,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandar Lampung: 2019)

Syuhada,Arjan Sungarso,Fikih Madrasah Aliyah Kelas XII,Bumi Aksara.


(Jakarta:2019)

Darmawati , Ushul Fiqh(Makassar: 2018)

Syarifuddin,Amir.Ushul Fiqh

Efendi,M. Zein Satria,Ushul Fiqh(Jakarta:2005)

Jumantoro, Totok,Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta : Amzah,


2005 )

Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,


(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)

Basri,Rusdaya.Ushul Fiqh 1(Parepare : 2019)

12

Anda mungkin juga menyukai