Anda di halaman 1dari 25

SUMBER HUKUM GHOIRU NASHSHIYYAH

(Istihsan, Maslahat Mursalah, ‘Urf, Istishab, Sar’u man


Qoblana, Sad Adz Dzaroo’i)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih di Madrasah Aliyah


Dosen pengampu : Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I

Disusun Oleh :
Kelompok 4

Samsiyah Febiyana (213111124)


Dona Nur Fitriyanti (213111137)
Muhammad Syafi’i (213111149)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID DURAKARTA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun judul dari makalah ini adalah “Sumber Hukum Islam Ghoiru
Nashshiyyah (Istihsan, Maslahat Mursalah, ‘Urf, Istishab, Sar’u man Qoblana,
Sad Adz Dzaroo’i)”.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
dosen mata kuliah Fiqih Ibadah dan Muamalah yakni Bapak Ainun Yudhistira,
S.H.I., M.H.I. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat
membuat makalah singkat ini menjadi lebih baik serta bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.

Surakarta, 24 Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1
B. Rumusan masalah...................................................................................................2
C. Tujuan Penelitian...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Macam-Macam Sumber Hukum Islam Ghiru Nashshiyyah...................................3
1. Istihsan...............................................................................................................3
2. Maslahah Mursalah............................................................................................6
3. ‘Urf.....................................................................................................................9
4. Istishab.............................................................................................................11
5. Syar’u Man Qoblana........................................................................................13
6. Sad Adz Dzara’i...............................................................................................16
BAB III PENUTUP.........................................................................................................20
A. Kesimpulan..........................................................................................................20
B. Saran....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama kedua terbesar di dunia dengan jumlah
penganut lebih dari 1,8 miliar orang diberbagai penjuru dunia
(Noviastussani, 2023). Dengan total tersebut diperkirakan akan terus
berkembang hingga menyusul agama Kristen (agaman nomor 1 di dunia).
Perkembangan yang begitu pesat juga memberikan dampak bagi umat
muslim salah satunya yaitu penetapan hukum Islam. Islam yang
berkembang pesat ini dari awal turunnya yang dibawa oleh nabi
Muhammad Saw hingga sekarang selalu didasari dengan pijakan atau
alasan yang disebut sumber hukum. Setiap permasalahan umat manusia
selalu diselesaikan dengan berpedoman pada sumber hukum yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
Akan tetapi semakin berkembangnya zaman, permasalahan yang
terjadi disekitar umat juga semakin rumit. Permasalahn tersebut terkadang
tidak ada solusi atau tidak tertuliskan dalam nash al-Qur’an maupun
hadits. Hal tersebut yang menjadi problematika baru bagi kalangan ulama-
ulama fiqih sehingga mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan sumber
hukum sebagai solusi atas permasalahn tersebut. Sehingga akhirnya
lahirlah sumber hukum ghoiru nashshiyyah yang merupakan buah
pemikiran para mujtahid untuk memberikan kemashlahatan umat dengan
metode-metode penggalian hukum yang tetap tidak menyimpang dari
syari’at yang berlaku. Akan tetapi sumber hukum ini masih terdapat pro
dan kontra diantara para ulama akan kehujjahan atau legalitas dalam
menjadikannya sebagai sumber hukum islam meskipun tujuan dari sumber
hukum ghori nashiyyah ini ialah untuk mewujudkan maqashi al-syari’ah.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis menyusun
makalah ini untuk memaparkan apa saja sumber hukum ghori nashshiyyah

1
dan bagaimana kehujjahan dari sumber hukum tersebut serta bagaimana
penerapanya dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja macam-macam Sumber Hukum Ghoiru Nashiyyah
2. Bagaimana Kehujjahan dari setiap Sumber Hukum Ghoiru Nashiyyah?
3. Bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui ap aitu Sumber Hukum Ghoiru Nashshiyyah
2. Mengetahui macam-macam Sumber Hukum Ghoiru Nashiyyah
3. Mengetahui Kehujjahan dari setiap Sumber Hukum Ghoiru Nashiyyah
4. Megetahui contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Macam-Macam Sumber Hukum Islam Ghiru Nashshiyyah


1. Istihsan
a. Pengertian
Istihsan adalah bentuk masdar dari ‫ن‬NN‫ استحس‬- ‫ن‬NN‫ يستحس‬- ‫استحسان‬
yang secara etimologi berarti menganggap atau meyakini kebaikan
sesuatu (menganggap sesuatu itu baik) (Chadziq, 2019). Sedangkan
secara istilah menurut Abdul Wahab Khalaf istihsan yaitu
“berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang
jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan
hukum kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang sifatnya
istisna’i (pengecualian), karena ada kesalahan memahami dalil
yang memungkinkan memenangkan perpindahan itu.” Menurut
ulama ushul fiqih istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid
dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari
hukum kulli (umum) kepada hukum istisna’i (penegcualian) ada
dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini. (Hasnida)
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan
qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar),
atau ketentuan hukum kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang
sifatnya istisna’i (pengecualian), karena ada dalil yang lebih kuat
dari perpindahan dalil tersebut.”

b. Macam-macam Istihsan
Dari definisi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa istihsan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

3
1) Memperkuat qiyas Khafi atas qiyas jali
Contohnya wanita yang sedang haid boleh membaca al-Qur’an
berdasarkan istihsan dan haram menurut qiyas.
Qiyas: wanita haid diqiyaskan kepada junub dengan illat sama-
sama tidak suci. Orang yang junub haram membaca al-Qur’an,
maka wanita haid pun juga haram membaca al-Qur’an
2) Ketentuan hukum kully (umum) kepada ketentuan juz’i
(khusus) (pengecualian).
Contoh: kebolehan seorang dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seorang dilarang
untuk melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu
seorang ahrus membuka bajunya untuk diagnose penyakitnya.
Maka, untuk kemashlahatan orang itu, menurut kaidah istihsan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya. (Masyithoh, 2020)

c. Kehujjahan Istihsan
Ulama berbeda pendapat mengenai penetapan istihsan sebagai
salah satu metode istimbath hukum.
1) Pendapat yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum
Pendapai ini diikuti oleh kalangan ulama Hanafiyah,
Malikiyah dan sebagaian Hanabilah. Mereka berargumentasi
bahwa istihsan dapat dijadikan metode istimbath hukum
dengan alasan:
a) Firman Allah Swt dalam Q.S al-Baqarah: 185 yang
berbunyi :
‫ُيِرْيُد ُهّٰللا ِبُك ُم اْلُيْس َر َو اَل ُيِرْيُد ِبُك ُم اْلُعْس َر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu
b) Hadis Nabi SAW:
‫ما رآه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

4
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia
dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
c) Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai kasus
ternyata penerapan hukum berdasarkan ketentuan qiyas
atau ketentuan umum, kadang-kadang bisa menghilangkan
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena
kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka
sangat tepat jika membuka jalan seseorang mujtahid untuk
memalingkan suatu kasus yang seharusnya berdasarkan
qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang
lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak
mafsadah. (Hasnida)
2) Pendapat Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Pendapat ini dianut oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para
pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan
dalil-dalil berikut:
a) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahNya), jika kamu benar- benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian”
b) Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-
Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya.
Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena
itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan
sebuah hukum.
c) Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash
atau dengan yang diqiyaskan dengan nash, karena hal
terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan
hawa nafsu

5
d) Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah
berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan tetapi dia
menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia
beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan
karena kehendak hawa nafsu.
e) Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar
ada yang bodoh, kalau sekiranya seseorang boleh
beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum
syara’ yang baru untuk dirinya sendiri

d. Penerapan Istihsan
Produk fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 13 tahun
2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa. Menurut
fatwa MUI tersebut melakukan vaksinansi dengan injeksi
intramuscular tidak membatalkan puasa dan vaksinasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mendatangkan bahaya (dharar). Banyak
dalil-dalil yang digunakan oleh MUI, namun dalil-dalil tersebut
yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits masih bersifat umum
yaitu misalnya ayat larangan menjerumuskan diri pada kebinasaan,
hadits perintah berobat bagi yang sakit dengan yang halal serta
hadits celak tidak membatalkan puasa. Selain itu MUI juga
menggunkan kaidah fikih ‫الضرار یدفع‬, (Fatwa MUI nomor 13 tahun
2021‫در االمكان‬NN‫رار یزال بق‬NN‫ الض‬, ‫رار‬NN‫رار الیزال بالض‬NN‫ الض‬tentang Hukum
Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa). Dari kerangka dalil yang
digunakan oleh MUI, yaitu berorientasi pada pencegahan dlarar,
maka hal ini MUI telah menerapkan metode istihsan bi al-dharurah
wa maslahah (Darliana, 2022)

2. Maslahah Mursalah
a. Pengertian

6
Menurut bahasa kata maslahah berasal dari kata salahu,
yasluhu, salahan‫ صالحا‬, ‫ صلح يصلح‬artinya sesuatu yang baik, patut,
dan bermanfaat (Yunus, 1973). Sedangkan kata mursalah memiliki
arti terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan
al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya. (Kholil,
1955)
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah
maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk
mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan
atas pengakuannya atau pembatalannya.
Istishlah atau mashlahah mursalah dapat didefinisikan sebagai
suatu upaya penetapan hukum dimana didasarkan pada
kemashlahatan umum (mashalahat) yang tidak terdapat dalam nash
al-Qur’an, hadis, dan ijma’ serta tidak ada penolakan secara tegas,
dengan syarat kemashlahatan tersebut didukung oleh dasar syaria’t
yang bersifat umum dan pasti, dan sesuai dengan kehendak syara’.
(Hasnida)

b. Ruang Lingkup Maslahah Mursalah


Ruang lingkup maslahah mursalah dapat ditnjau dari segi
kebutuhan manusia, dimana kebutuhan tersebut memiliki
tingkatan-tingkatan yang perlu dipertimbangkan agar tidak
menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia. Menurut asy-
Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu:
dharuriyat (kebutuhan primer), hajjiyat (kebutuhan sekunder), dan
tahsiniyah (kebutuhan tertier).
1) Al-Maslahah al-Daruriyah (kebutuhan Primer)
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
manusia di dunia dan di akhirat seperti memelihara agama,
memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta. Misalnya Demi
memelihara akal, maka syariah mengharamkan meminum-

7
minuman keras atau makan yang memabukkan. Alla ‘azza wa
jall dalam QS. Al-Maidah: 90 melarang mengkonsumsi arak
karena merusak akal (Hendri Hermawan Adinugraha, 2018)
2) Al-Maslahah al-Hajjiyah
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
dasar manusia. Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan
melakukan jual beli pesanan.
3) Al-Maslahah al-Tahsiniyah (kebutuha tersier)
Yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan
yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya
(kepentingan-kepentingan pelengkap). Misalnya di anjurkan
memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-
bagus.

c. Kehujjahan Maslahah Mursalah


Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat
dijadikan sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi
syarat sebagai berikut:
1) Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi
(kemashlahatan yang nyata)” bukan hanya yang berdasarkan
prasangka. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan
kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan
dan menolak kemazdaratan.
2) Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum,
bukan kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau
kelompok tertentu
3) Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan
kemaslahatan yang terdapat dalm al-Qur’an dan al-Hadits
(Jamil, 2008)

8
d. Penerapan Maslahah Mursalah
1) Terbitnya fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti
fatwa tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk
makanan, minuman dan kosmetik. MUI melalui Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetik (LP-POM
MUI) berupaya melakukan penelitian terhadap produk
makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang
diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang
seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya
secara langsung. Demi kemaslahatan masyarakat maka fatwa
tersebut diterbitkan berasaskan pertimbangan maslahah
mursalah. (Hendri Hermawan Adinugraha, 2018)
2) Keharusan adanya pencatatan perkawinan oleh petugas kantor
urusan agama, dimana tujuan penulisan akta pernikahan ini
adalah untuk keperluan sahnya gugatan perkawinan, nafkah,
pembagian warisan, pembagian harta gono-gini di
Indonesiamerupakan bagian dari penerapan Maslahah
mursalah yang dalam nash tidak disebutkan hukumnya. Dalam
hal ini, pendekatan maslahah bisa menjadi acuan untuk
kemudian mengambil konklusi hukum atas permasalahan yang
timbul ditengah kehidupan masyarakat. (Quthni, 2019)

3. ‘Urf
a. Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa artinya adat kebiasaan. Adapun secara
istilah syara’, Wahba Zuhaili menyebutkan ‘urf ialah apa yang
dijadikan sandaran oleh manusia dan mereka berpijak kepada
ketentuan ‘urf tersebut, baik yang berhubungan dengan perbuatan
yang mereka lakukan maupun terkait dengan ucapan yang dipakai
secara khusus.

9
b. Macam-macam ‘urf Dalam praktiknya ulama ushul membagi ‘urf
menjadi dua macam, yaitu ;
1) Dilihat dari segi sifatnya, maka ‘urf itu dibedakan menjadi dua
macam :
a) ‘Urf amaliy, yaitu ‘urf yang didasarkan kepada praktik
atau perbuatan yang berlaku dalam masyarakat secara
terus-menerus. Contohnya, berbagai transaksi yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara tertentu.
b) ‘Urf qauliy atau disebut juga ‘urf lafdzi yaitu kebiasaan
masyarakat dalam menggunakan lafal atau ungkapan dan
ucapan tertentu. Contohnya, kata atau ungkapan “ ُ ‫اللولد‬
”untuk menyatakan anak laki-laki
2) Dilihat dari segi wujudnya, maka ‘urf dapat dibedakan kepada
dua macam, yaitu:
a) ‘Urf shahih (baik), yang telah diterima oleh masyarakat
secara luas, dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat
membawa kebaikan dan kemaslahatan, menolak kerusakan,
dan tidak menyalahi ketentuan nash alQur’an dan as-
Sunnah. Sebagai contoh ada tradisi di masyarakat bahwa
dalam masa pertunangan calon mempelai laki-laki memberi
hadiah kepada pihak perempuan, dan hadiah ini bukan
merupakan bagian dari maskawin.
b) ‘Urf fasid, yaitu adat istiadat yang tidak baik, yang
bertentangan dengan nash al- Qur’an dan as-Sunnah serta
kaidah-kaidah agama, bertentangan dengan akal sehat,
mendatangkan madharat dan menghilangkan kemaslahatan.

c. Kehujjahan ‘urf
1) Ulama ushul sepakat bahwa ‘urf yang shahih dapat dijadikan
hujjah dan sarana dalam menetapkan hukum syara’.

10
2) Urf fasid tidak dapat dijadikan hujjah.

4. Istishab
a. Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa mempunyai arti selalu menemani atau
selalu menyertai. Menurut istilah istishab adalah menjadikan
hukum yang telah tetap pada masa lampau terus berlaku sampai
sekarang karena tidak diketahui adanya dalil yang merubahnya.
Menurut Asy-Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku hukumya
pada masa sekarang (Hasnida, 2019)

b. Macam-macam Istishab Istishab ada empat macam :


1) Istishab al-‘Adam yaitu tidak adanya suatu hukum yang
ditiadakan oleh akal berdasarkan asalnya dan tidak pula
ditetapkan oleh syara’. Contohnya : shalat yang keenam itu
tidak ada, diwajibkan sholat lima waktu alam sehari semalam.
Akal mengetahui bahwa shalat yang keenam itu hukumnya
tidak wajib, meskipun syara’ tidak menegaskannya, karena
tidak ada dalil yang mewajibkannya. Jadi manusia tidak wajib
melakukan sholat keenam dan berlaku sepanjang masa.
2) Istishab umum atau nash sampai datang dalil yang merubahnya
berupa mukhasish atau nasikh. Dalam hal ini yang dimaksud
yaitu suatu hukum tetap berlaku menurut umumnya sampai ada
yang meubahnya. Contohnya : dalam ayat al-Qur’an hukum
mawaris seorang anak mendapat bagian dari orang tuanya,
hukum tersebut berlaku umum untuk semua anak sampai
datang dalil yang menghususkannya, yaitu hadits Nabi Saw.
yang artinya “pembunuh tidak mendapat bagian waris”. Jadi
setiap anak dapat warisan dari orang tuanya, namun apabila

11
seorang anak setatusnya sebagai pembunuh dia tidak berhak
mendapat warisan dari orang tuanya.
3) Istishab hukum yang ditunjukkan oleh syara’ tetapnya dan
kekalnya karena ada sebabnya. Contohnya: seorang wanita
menjadi halal bagi seorang laki-laki sebab adanya akad nikah
yang sah, dan hukum halal terus berlaku selama tidak ada
hukum yang merubahnya, misalnya talak, fasakh dan
sebagainya.
4) Istishab keadaan ijma’ atas sesuatu hukum (untuk terus
berlaku) pada tempat yang diperselisihkan (khilaf). Contohnya:
sebagian ulama mengatakan, bahwa orang shalat dengan
tayammum kemudian saat sedang shalat tiba-tiba dijumpainya
air, maka shalatnya batal. Berdalilkan istishab terhadap sahnya
shalat dengan tayamum sebelum melihat air. Hukum tersebut
terus berlaku sampai ada dalil, bahwa melihat air membatalkan
shalat. Sedangkan masalah ini diperselisihkan diantara ulama.
Menurut sebagian ulama istishab seperti ini tidak dapat
dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.

c. Ulama yang menerima dan menolak Istishab sebagai sumber


hukum
1) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan
Syi’ah bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk
menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang
adil mengubahnya.
2) Ulama Hanafiyah istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang
berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai
hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya

12
3) Ulama Mutakallimin (Ahli Kalam) berpendapat bahwa istishab
tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada
masa lampau menghendaki adanya dalil.

5. Syar’u Man Qoblana


a. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para Rasul
terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad saw. Kemudian
menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat nabi Ibrahim AS,
syariat nabi Musa AS, syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa AS
dan lain sebaginya. Pada syariat yang diperuntukkan oleh Allah
swt. Dimana syariat tersebut berlaku juga untuk umat nabi
Muhammad saw.(Lestari, 2022: 15) Sebagaimana dinyatakan
dalam firman Allah Swt dalam Al-quran surat Alsyura: 42: 13
‫َش َر َع َلُك ْم ِّم َن الِّدْيِن َم ا َو ّٰص ى ِبٖه ُنْو ًح ا َّو اَّلِذ ْٓي َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبٖٓه ِاْبٰر ِهْيَم‬
‫َو ُم ْو ٰس ى َو ِع ْيٰٓس ى َاْن َاِقْيُم وا الِّدْيَن َو اَل َتَتَفَّر ُقْو ا ِفْيِۗه َك ُبَر َع َلى اْلُم ْش ِر ِكْيَن َم ا َتْدُع ْو ُهْم ِاَلْيِۗه‬
13 ‫ُهّٰللَا َيْج َتِبْٓي ِاَلْيِه َم ْن َّيَش ۤا ُء َو َيْهِد ْٓي ِاَلْيِه َم ْن ُّيِنْيُۗب‬
Artinya: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang
telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa telah kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. (QS.Alsyura: 42: 13).
Di antara adanya asas yang sama itu ialah yang berhubungan
dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan
qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai
perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda ,
hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Terdapat 3 (tiga) bentuk dari syar’u man qablana yakni:
1) Syariat yang diperuntukan bagi umat sebelum kita, tetapi
Alquran dan hadis tidak menyinggungnya, baik

13
membatalkannya atau mentaatkan berlaku bagi umat Nabi
Muhammad saw.
Adakalanya dalam al-Qur’an dan hadits itu disebutkan syariat
umat terdahulu. Namun tidak diterangkan, apakah syariat itu
masih berlaku untuk umat Nabi Muhammad ataukah tidak.
Misalnya:
Mahar Nabi Musa alaihis salam ketika menikah dengan putri
Nabi Syu’aib adalah bekerja padanya selama beberapa tahun.
(QS. al-Qashash: 27). Sementara itu tidak ada ayat maupun
hadits yang memberikan penjelasan, apakah mahar seperti ini
masih diperbolehkan atau sudah dihapus.
2) Syariat yang diperuntukan bagi umat-umat sebelum kita,
kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi
Muhammad saw.
Ada syariat yang berlaku untuk umat terdahulu, namun
kemudian dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Saw.
Misalnya:
Allah mengharamkan semua binatang yang berkuku, lemak
sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau
yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang
bagi orang-orang Yahudi. Namun hal itu tidak berlaku bagi
umat Nabi Muhammad Saw
3) syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita,
kemudian diterangkan kepada kita dalam alquran dan hadits
serta dinyatakan masih berlaku
Ada Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam al-Qur’an
atau hadits. Namun syariat itu dinyatakan oleh al-Qur’an atau
hadits masih berlaku.
Misalnya:

14
hukuman qishash dalam pembunuhan.menyembelih binatang
qurban.diharamkannya daging babi.kewajiban melaksanakan
puasa, yaitu: puasa Ramadhan.

b. Kehujjahan Syar’u Man Qoblana


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat
sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat
Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-
Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para
ulama Ushul.(Yazid, 2017: 376)
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian
Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan
Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum
kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku
untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan
pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya
adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum.
Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai
Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh
syariat sebelumnya.
2) Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah,
sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah
satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang
disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak
diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada
penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat
Nabi Muhammad.

c. Contoh Penerapan Syar’u Man Qoblana


Berikut beberapa contoh dari Syar’u Man Qablana:

15
1) Diharamkannya semua binatang berkuku
Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan
daging semua binatang yang berkuku.
2) Disunnahkannya hidup membujang
Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya.
Bahwa membujang itu lebih utama daripada menikah.
3) Diwajibkannya hukuman qishash
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa
hukuman qishash itu wajib diterapkan.
4) Diharamkannya membalas perbuatan buruk
Allah Swt. menetapkan bagi syariat Nabi Adam alaihis salam.
Bahwa umat beliau dilarang keras untuk melakukan
pembalasan atas perbuatan buruk. Itulah mengapa Habil tidak
melakukana pembalasan sama sekali, ketika Qabil hendak
membunuhnya.

6. Sad Adz Dzara’i


a. Pengertian Sad Adz Dzara’i
Secara etimologis, kata sadd memiliki makna menutupi sesuatu
yang cacat atau rusak dan menimbun lubang. Adapun kata dzarâ’i
adalah bentuk jamak dari kata dzarȋ’ah yang memiliki arti jalan
menuju sesuatu. Sementara secara terminologis dzarȋ’ah
dikhususkan dengan sesuatu yang membawa kepada perbuatan
yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, Ibn
Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan pengertian
dzarȋ’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada
juga dzarȋ’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.(Adam &
Putra, 2024: 1142) Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn Qayyim,
pengertian dzarȋ’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum,
sehingga dzarȋ’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang
disebut dengan sad al- dzarȋ’ah dan yang dituntut untuk

16
dilaksanakan disebut dengan istilah fath al- dzarȋ’ah. Ibn Qayyim
memberikan definisi dzarȋ’ah sebagai berikut:
‫ ما كان وسيلة وطريقا إىل الشيء‬:‫والذريعة‬
“Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu” (Al-
Jauziyah, 1991)
Secara sederhana sad al-dzarȋ’ah secara istilah adalah
mencegah perbuatan yang mubâh (diperbolehkan) karena dapat
mengantarkan kepada kerusakan atau sesuatu yang dilarang.
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat
dipahami bahwa sad adz-dzari’ah merupakan suatu cara dalam
upaya penggalian hukum Islam guna untuk mencegah, melarang,
menutup jalan atau wasilah suatu pekerjaan yang awalnya
dibolehkan, dan dapat menimbulkan sesuatu yang menyebabkan
terjadinya kerusakan atau sesuatu yang dilarang. Misalnya,
seseorang yang telah dibebankan kewajiban zakat, akan tetapi
sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada
anaknya, sehingga ia terhindar dari kewajiban zakat tersebut.
Hibah merupakan upaya memberikan sesuatu kepada orang lain,
tanpa adanya ikatan apapun. Dalam syari’at Islam merupakan
perbuatan baik yang mengandung unsur kemashlahatan, Akan
tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan
dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang.(Arafah et al.,
2020:70) Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa zakat itu
hukumnya wajib sedangkan hibah hukumnya sunah
Pada dasarnya tidak ada dalil yang menentukan secara jelas
dan pasti baik menurut nash maupun ijma’ ulama tentang boleh
atau tidaknya menggunakan saddu dzari’ah, akan tetapi ada
beberapa nash yang mengindikasikan secara implisit dasar
hukumnya. Dalil-dalil ini terdiri dari Al-Qur’an, sunah dan juga
kaidah fiqh, di antaranya yaitu:
Surah Al-An’am ayat 108:

17
‫َو اَل َتُسُّبوا اَّلِذ ْيَن َيْدُع ْو َن ِم ْن ُد ْو ِن ِهّٰللا َفَيُسُّبوا َهّٰللا َعْد ًو ۢا ِبَغْيِر ِع ْلٍۗم َك ٰذ ِلَك َز َّيَّنا ِلُك ِّل ُاَّم ٍة‬
‫َع َم َلُهْۖم ُثَّم ِاٰل ى َر ِّبِهْم َّم ْر ِج ُعُهْم َفُيَنِّبُئُهْم ِبَم ا َك اُنْو ا َيْع َم ُلْو َن‬
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (Q.S Al
An’am :108)

b. Kehujjahan Sad Adz Dzara’i


Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh
menyinggung tentang saddu dzari’ah, namun sangat jarang didapati
pembahasan secara khusus mengenai hal tersebut yang dilakukan
para ulama fikih. Ada yang menempatkan bahasannya dalam
deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ibnu
Hazm yang menolak untuk ber-hujjah dengan saddu dzari’ah
menyatakan: “Segolongan orang mengharamkan beberapa perkara
dengan jalan ikhtiyath dan karena khawatir menjadi wasilah
kepada yang benar-benar haram”. Ditempatkannya dzari’ah
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun
diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena
washilah sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi
petunjuk atau dalil bahwa washilah itu sebagaimana hukum yang
ditetapkan syara’ tehadap perbuatan pokoknya.(Arafah et al., 2020:
77)

c. Contoh Sad Adz Dzara’i


Berikut merupakan contoh yang bisa dimunculkan terkait
dengan metode ijtihad adalah sebagai berikut(Arafah et al.,
2020:76):
1) Ketidakbolehan menggali sumur di jalanan umum,
dikarenakan adanya mafsadat yang menyebabkan orang lain
tergelincir dan jatuh ke dalamnya.

18
2) Ketidakbolehan menjual buah anggur kepada pembuat khamar
dikarenakan adanya mafsadat yang akan dibuat minuman yang
memabukkan.
3) Ketidakbolehan bagi kaum perempuan untuk menghentakkan
kakinya ke atas, dikarenakan adanya mafsadat yaitu terlihatnya
aurat yang harus ditutupi.
4) Ketidakbolehan untuk mencela dan atau mencaci Tuhan kaum
kafir, dikarenakan adanya mafsadat yaitu munculnya aksi
pembalasan dalam pencelaan terhadap Tuhan kaum muslim.
5) Ketidakbolehan melakukan praktek nikah tahalli, dikarenakan
adanya mafsadat yaitu pernikahan tersebut hanya untuk
formalitas penghalalan bagi perempuan, dengan tujuan supaya
bisa menikah kembali dengan mantan suami yang sudah
menceraikannya sebanyak 3 kali.
6) Ketidakbolehan untuk memperjualbelikan senjata di suatu
daerah yang kondisinya sedang dalam konflik, dikarenakan
adanya mafsadat yaitu memperluas dan memunculkan suasana
keributan atau perseteruan pertumpahan darah dan
permusuhan.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumber hukum Islam ghairu nashshiyyah terbagi menjadi enam macam
yaitu: istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qoblana,
sad adz dzara’i. keenam macam tersebut memiliki pengertian dan
kehujjahan masing-masing yang kebanyakan memiliki perbedaan pendapat
dikalangan ulama dalam menetapkannya sebagai sumber hukum dalam
islam. Perbedaan pendapat tersebut juga didasari dengan bukti-bukti yang
memperkuat argumentasi masing-masing ulama. Bukti-bukti tersebut tetap
didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Meskipun terdapat perbedaan
ulama dalam melegitimilasi sumber hukum tersebut, dalam penerapannya
sumber hukum ghairu nashshiyyah ternnyata dapat mewujudkan
kemashlahatan umat dimana syariat islam lebih menekankan pada tujuan
syariat yaitu maqashi al-syari’ah

B. Saran
Dari materi yang telah kami bahas, kami berharap materi ini dapat
menambah pengetauan baik bagi penulis maupun pembaca. Kami
mengharapkan masukan dari pembaca bahkan bisa menambah informasi
kepada kami baik secara langsung maupun tidak langsung. Mohon
dimaklumi apabila dalam penjelasan materi ini ada hal yang kurang tepat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Adam, P., & Putra, A. (2024). Konsep Sadd Al- Dzarî ’ ah Menurut Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah Dan Aplikasinya Dalam Hukum Ekonomi Syariah ( Mu ’
âmalah Mâliyyah ). AL AFKAR : Journal for Islamic Studies, 7(1), 1138–
1153. https://doi.org/10.31943/afkarjournal.v7i1.926.The

Arafah, I., Islam, U., Sunan, N., & Yogyakarta, K. (2020). Pendekatan Sadd Adz-
Dzari ’ ah Dalam Studi Islam. Al Muamalat, 5(1), 68–86.
https://doi.org/10.32505/muamalat.v5i1.1443

Chadziq, A. L. (2019). Istihsan dan Implementasinya Dalam Penetapan Hukum


Islam. Miyah: Jurnal Studi Islam. vol 15 (2), 338-346.

Darliana, S. S. (2022). Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia. AL-Ahkam:


Jurnal Hukum Pidana Islam. Vol 4 (1), 10.

Hasnida. (n.d.). Sumber-Sumber Ajaran Islam. Dosen Sekolah tinggi Ilmu


Tarbiyah Insida Jakarta, 7-12.

Hendri Hermawan Adinugraha, M. (2018). Al-Maslahah Al-Mursalah dalam


Penentuan Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. 4 (1), 63-75.

Jamil, M. (2008). Kemashlahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang:


Walisongo Press.

Kholil, M. (1955). Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Semarang: Bulan


Bintang.

Lestari, L. B. (2022). Dalil Hukum Yang Mukhtalaf dan Penerapannya Pada


Fatwa DSN MUI Terkait Keuangan. Al Ittihad, 8(1), 10–25.

Masyithoh, D. (2020). Fikih MA Kelas XII . Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah,


Direktorat jenderal pendidikan Islam, kementrian Agama RI.

Noviastussani, R. (2023, 31 Oktober). 5 Agama Terbesar di Dunia Berdasarkan


Jumlah Penduduknya. Liputan 6.

21
Quthni, A. y. (2019). Impelemnatsi Maslahah Mursalah Sebagai Alternatif
Hukum Islam dan Solusi Problematika Umat. Asy-Syari'ah. Vol 5 (1), 17.

Yazid, I. (2017). Analisis Teori Syar’u Man Qablana. Al Mashlahah, 02(04), 369–
380.

Yunus, M. (1973). Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan


Penerjema dan Penafsir al-Qur'an.

22

Anda mungkin juga menyukai