Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH USHUL FIQH

“ISTISHAN”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Anggota :
1. Safira
2. Amrina Rosada
3. Siti Salsabila
4. Rinda Mustika
5. Raply Aldiansyah
6. Romi Fadila

Kelas : S1 Perbankan Syariah (SPS 2)


Dosen Pembimbing : Mahmud Alfan Jamil, MIRKH

JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami
dalam menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang diberikan, untuk
mengupas pembahasan materi USHUL FIQH mengenai ISTISHAN.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Ushul Fiqh yang
telah memberikan amanah kepada penyusun untuk menyelesaikan dan membahas
makalah yang diberikan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palembang, 15 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................

A. Latar Belakang..................................................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................................................
C. Tujuan ...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

A. Pengertian Istihsan............................................................................................
B. Macam Macam Istihsan ....................................................................................
C. Dasar Hukum Istihsan .......................................................................................
D. Kehujjahan Istihsan ..........................................................................................
E. Hukum Diperbolehkannya Akad ......................................................................
F. Relevansi Istihsan Di Masa Kini dan Mendatang .............................................
G. Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya yang Menolak Istihsan Sebagai
dalil ........................................................................................................................
H. Relevansi Istihsan dengan Pembaharuan Hukum Islam ...................................

BAB III PENUTUP .................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits,
Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun
demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap
kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu
pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang
terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar
demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada
kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga
tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas
dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber
hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap
membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur
Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk
menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan
(sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan
modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang, maka rumusan masalah dari makalah
ini yang dapat dirumuskan ialah:
1. Apa saja definisi-definisi tentang Istihsan?
2 .Bagaimana bentuk atau macam-macam dari Istihsan?
3. Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4. Bagaimana dasar hukum Istihsan?

C. TUJUAN
Makalah Istihsan ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1. Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum
atau penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2. Untuk memperdalam ilmu Ushul fiqh, maka makalah ini diharapkan
dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu bagian dari materi
ushul fiqh
3. Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTISHAN
Menurut Bahasa Ihtishan artinya menganggap sesuatu itu baik,
memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau
mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
Sedangkan, menurut Istilah ulama Ushul Fiqh adalah berpalingnya seseorang
mujtahiddari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi
(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian)
ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini.
 Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab
hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat.
 Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena
adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meng
hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya


sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam
mempergunakan lafal istihsan. Adapun pengertian istihsan menurut istilah,
sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf

‫هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى‬
‫اقله رجع لديه هذ العدول‬

“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali


(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan
yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
(alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut :
 Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut
ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an
berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
 Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang Junub haram membaca Al-
Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
 Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh
karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an,
sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh
pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

 Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan
ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka.

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya


istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah
jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi
ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus
dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid
lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang
lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum
kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya
tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan
tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

B. MACAM MACAM ISTIHSAN


Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat
dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan
adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1) Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan
gantinya istihsan terbagi kepada tiga:
a) Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyaskhafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi)
atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh : Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila
mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak
pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus
menyebutkannya, berdasarkan istihsan.

Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash
yang menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya
yang menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan
kepada mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan
meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut
juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan
tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa
menyewa.

Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena
masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari
pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi menyamakan wakaf ini dengan sewa-
menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk
dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam
wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.

b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum
yang bersifat khusus.
Contoh : tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut
pemahaman umum terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila
seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman
potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian
itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat
umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.

c) Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum)


dengan
adanya suatu dalil.
Contoh : Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan
perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli
dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang
disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada
pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian,
sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara
pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan
lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu
merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan
hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan
dalam masyarakat.
2) Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam
peralihan dari qiyas, maka istihsan ada enam macam:
a) Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum
dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash
yang mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan tetap sah puasa
orang yang makan atau minum karena terlupa.
b) Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan
menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi
karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok
atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak
menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang ditetapkan.
c) Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan
hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang
sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat.
d) Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena
adanya darurat (terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong
mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas.
e) Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya
terhadap kemaslahatan lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh: sisa minum
burung elang, gagak, dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan melalui ihtihsan.
f) Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter
melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum
seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter
dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

3) Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istislah.
a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf
(kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu
ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging.
Hal ini terlihat dalam firman Allah: ‫( ومن كل تأكلون لحما طريا‬dan dari semua yang
kamu makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf
yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.

b) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara


lain karena pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggung jawab
mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang yang
diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu
mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun
berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang lain.

c) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan


kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit
kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak. Tindakan ini
dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus
tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.

C. DASAR HUKUM ISTIHSAN


Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-
Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif
(lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-
Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-
Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi
hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu
tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk
mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan
di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka
ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:

.ٌ‫س ِيئ‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأَ ْوا‬
‫س ِيئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬
‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬
َ ‫َّللاِ َح‬

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,


maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.

D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah
merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan
sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’
yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan
oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan
istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas.
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan
menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa
nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah
Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama
Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik
isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: ‫من استحسن فقد‬
‫“شرع‬Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”.
Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah
haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan
hadits.
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:
a. Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang
diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’
dengan keinginan hawa nafsu.
b. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan
menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun
sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan karena
kehendak hawa nafsu.
c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh,
kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh
menetapkan hukum syara’ yang baru untuk dirinya sendiri.

Ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum


syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang
kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang
ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh
Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil
syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat,
karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia
keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum
lagi.”

Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri
sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid
dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu
bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini
untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan
dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.

E. HUKUM DI PERBOLEHKANNYA AKAD


Pengecualian sebagai hokum kulli dengan dalil. Misalnya jual beli saham
( pesanan) berdasarkan istihsan di perbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan
ialah manusia berhajad kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka. Jadi intinya, akad di perbolehkan dalam istigsan dengan syarat barang
yang di perjualbelikan ada.

F. RELEVANSI ISTIGHSAN DI MASA KINI DAN MENDATANG


Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh
sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara
konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut
cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang
dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari
penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil
atau pendekatan yang konvesional tersebut.
Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang
mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-
hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang
diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh
bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak
mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang
permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin
komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya
jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata
mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang
digunakan oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan
mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat).
Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil
alternatif di luar pendekatan lama.
Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin
kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang
berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan
semakin kompleks. Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi
masalah perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam
masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank,
bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama.
dengan riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja.
Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila
golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua
golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan
memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta
fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam.
Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas
dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan dalam menetapkan
status hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah
saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang
riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito? Kesulitan seperti itu telah
dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya
hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum
pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang
tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Permasalahan lain yang yang
membutuhkan istihsan pada saat ini seperti Arisan, Koperasi, Transaksi lewat
ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.

G. ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN SEPAHAMNYA YANG


MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan.
Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng
berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah
menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah
Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup
keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:
Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum
dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda",
yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
a. Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang
memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan
kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
b. Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan
dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
c. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu
sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam
istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.
d. Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al
Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.

H. RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM


ISLAM
Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan
perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-
betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada prinsip-
prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits. Jadi
pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang mampu
menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa
pedoman dan batasan.
Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia
menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-
dalil syara‟ dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan
kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan
kesulitan dan kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan
menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.
Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan
dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan
berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah
istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan
pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari
kekakuan hukum yang dihasilkan Qiyas. Salah satu contoh kasus kontemporer
yaitu masalah transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan.
Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang,
termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya
lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih
tepat untuk dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang
pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang
sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka
harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat
dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan
adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
a. Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya
istihsan.
b. Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari
qiyas
c. Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istislah

Hadits Nabi saw:

.ٌ‫سيِئ‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأ َ ْوا‬
‫سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬
‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬
َ ‫َّللاِ َح‬

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik,


maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku :
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, : Jakarta: Logos, 2001
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-
Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Mohammad muslih, ushul fiqih 3 :Jakarta, 2015
Akses PDF internet :
http://ilmupengetahuancoy.blogspot.com/2013/05/al-istihsan-sebagai-dalil-
hukum.html
http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-
istishab-dan-maslahah-mursalah/
http://al-badar.net/pengertian-dan-kedudukan-istihsan-sebagai-hukum/

Anda mungkin juga menyukai