“ISTISHAN”
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Anggota :
1. Safira
2. Amrina Rosada
3. Siti Salsabila
4. Rinda Mustika
5. Raply Aldiansyah
6. Romi Fadila
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami
dalam menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Ushul Fiqh yang
telah memberikan amanah kepada penyusun untuk menyelesaikan dan membahas
makalah yang diberikan.
Penyusun
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang..................................................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................................................
C. Tujuan ...............................................................................................................
A. Pengertian Istihsan............................................................................................
B. Macam Macam Istihsan ....................................................................................
C. Dasar Hukum Istihsan .......................................................................................
D. Kehujjahan Istihsan ..........................................................................................
E. Hukum Diperbolehkannya Akad ......................................................................
F. Relevansi Istihsan Di Masa Kini dan Mendatang .............................................
G. Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya yang Menolak Istihsan Sebagai
dalil ........................................................................................................................
H. Relevansi Istihsan dengan Pembaharuan Hukum Islam ...................................
A. Kesimpulan .......................................................................................................
A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits,
Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun
demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap
kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu
pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang
terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar
demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada
kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga
tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas
dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber
hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap
membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur
Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk
menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan
(sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan
modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang, maka rumusan masalah dari makalah
ini yang dapat dirumuskan ialah:
1. Apa saja definisi-definisi tentang Istihsan?
2 .Bagaimana bentuk atau macam-macam dari Istihsan?
3. Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4. Bagaimana dasar hukum Istihsan?
C. TUJUAN
Makalah Istihsan ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1. Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum
atau penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2. Untuk memperdalam ilmu Ushul fiqh, maka makalah ini diharapkan
dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu bagian dari materi
ushul fiqh
3. Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHAN
Menurut Bahasa Ihtishan artinya menganggap sesuatu itu baik,
memperhitungkan sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau
mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
Sedangkan, menurut Istilah ulama Ushul Fiqh adalah berpalingnya seseorang
mujtahiddari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi
(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy (pengecualian)
ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini.
Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab
hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat.
Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena
adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meng
hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى
اقله رجع لديه هذ العدول
Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan
ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka.
Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash
yang menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya
yang menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan
kepada mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan
meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut
juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan
tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa
menyewa.
Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena
masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari
pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi menyamakan wakaf ini dengan sewa-
menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk
dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam
wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.
b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum
yang bersifat khusus.
Contoh : tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut
pemahaman umum terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila
seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman
potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian
itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat
umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
3) Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istislah.
a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf
(kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu
ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging.
Hal ini terlihat dalam firman Allah: ( ومن كل تأكلون لحما طرياdan dari semua yang
kamu makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf
yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.
.ٌس ِيئ
َ َِّللا َ س ٌن َو َما َرأَ ْوا
س ِيئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه َ فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح
سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه
َ َّللاِ َح
D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah
merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan
sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’
yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan
oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan
istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas.
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan
menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa
nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah
Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama
Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik
isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد
“شرعSiapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”.
Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah
haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan
hadits.
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:
a. Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang
diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’
dengan keinginan hawa nafsu.
b. Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan
menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun
sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan karena
kehendak hawa nafsu.
c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh,
kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh
menetapkan hukum syara’ yang baru untuk dirinya sendiri.
Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri
sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid
dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu
bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini
untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan
dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
A. KESIMPULAN
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang
pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang
sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka
harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat
dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan
adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
a. Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya
istihsan.
b. Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari
qiyas
c. Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istislah
.ٌسيِئ
َ َِّللا َ س ٌن َو َما َرأ َ ْوا
سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه َ فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح
سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه
َ َّللاِ َح
Referensi Buku :
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, : Jakarta: Logos, 2001
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-
Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Mohammad muslih, ushul fiqih 3 :Jakarta, 2015
Akses PDF internet :
http://ilmupengetahuancoy.blogspot.com/2013/05/al-istihsan-sebagai-dalil-
hukum.html
http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-
istishab-dan-maslahah-mursalah/
http://al-badar.net/pengertian-dan-kedudukan-istihsan-sebagai-hukum/