Anda di halaman 1dari 41

Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan

Oleh: Kelompok 9 Kelas PAI 7.1

Abdurrozaq (122010101086) Elisa Ratnasari (122010101087) Diastri Nur Suprobo Dewi (122010101088) Maulidiah Ayuningtyas (122010101089) Ahmad Hashemi (122010101090) Universitas Jember

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan, Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, 27 September 2012

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... Daftar Isi................................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2.1. Ihtihsan ................................................................................................. 2.1.1. Pengertian Ihtihsan........................................................................ 2.1.2. Dasar Dasar Ihtihsan ..................................................................... 2.1.3. Macam Macam Ihtihsan ................................................................ 2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan ...................................................................... 2.2. Istishab .................................................................................................. 2.2.1. Pengertian Istishab ........................................................................ 2.2.2. Macam Macam Istishab ................................................................ 2.2.3. Kehujjhan Istishab ........................................................................ 2.3. Maslahah Mursalah ............................................................................... 2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah ..................................................... 2.3.2. Syarat Syarat Maslahah Mursalah ................................................ 2.3.3. Macam Macam Maslahah Mursalah ............................................. 2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah ................................................... 2.3.5. Alasan Ulama menjadikannya sebagai Hujjah ............................. 2.4. Saddu Dzariah ..................................................................................... 2.4.1. Pengertian Saddu Dzariah ........................................................... 2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzariah ...................................................... 2.4.3. Obyek Saddu dzariah ................................................................... 2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzariah .......................... 2.5. Uruf ....................................................................................................... i ii 1 1 2 3 3 3 3 5 8 10 10 11 12 14 14 14 15 18 19 20 20 21 23 23 25

2.5.1. Pengertian Uruf ............................................................................. 2.5.2. Macam Macam Uruf ..................................................................... 2.5.3. Kehujjahan Uruf............................................................................ BAB III PENUTUP .............................................................................................. 3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 3.2 Saran ...................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

25 25 29 31 31 31 32

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Kata-kata Sumber Hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masdir

al-Ahkm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashdir al-Ahkm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syariyyah1. Yang dimaksud Masdir al-Ahkm adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas). Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsn, istishab, maslahah mursalah, saddu dzariah, dan uruf. Oleh karena itu, penyusun membuat makalah tentang Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan ini dengan di dalamnya terdapat lima hal yaitu istihsan, istishab, maslahah mursalah, saddu dzariah dan uruf dengan tujuan menjelaskan terhadap pembaca dan menggali khazanah yang lebih dalam lagi.

1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu istihsan? 2. Apa itu istishab? 3. Apa itu maslahah mursalah? 4. Apa itu saddu dzariah? 5. Apa itu uruf?

BAB II PEMBAHASAN 2.1. IHTIHSAN


2.1.1. Pengertian Ihtihsan Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut pengertian ulama ushul, istihsan adalah adalah sebagai berikut ini: 1. Menurut Al-khozali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, istihsan adalah semuua hal yang di anggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. 2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata: istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Quran dan sunnah. 3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat JuzI dalam menanggapi dalil yang bersifat global. 4. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. 5. Menurut Muhammad Abu zahrah, definisi yang lebih baik adalah menurut AlHasan Al-kurkhi di atas. 6. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lainlain.[1]

2.1.2. Dasar-Dasar Istihsan Dasar-dasar terdapat dalam Al-Quran dan hadits rasulullah Saw, antara lain:
[1] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung : Pustaka Setia,1998 ), Hal. 111.

1. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Al-quran:


Artinya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah SWT petunjuk dan mereka itulah yang mempunyai akal.(Qs.Az-Zumar:18). 2. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Hadits

: : )( .
Artinya: Anas ra, berkata, rasulullah Saw, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.(HR.Ibnu Abdul Barr). Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jalli atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Mazhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali. Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Mazhab Syafi'i. Istihsan menurutnya adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang

yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu." Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Mazhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Mazhab Syafi'i. Menurut Mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwfaqt menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum". 2.1.3. Macam-Macam Istihsan Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu: 1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan. 2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat. A. Contoh istihsan macam pertama: 1. Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali

hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. 2. Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan

binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. B. Contoh istihsan macam kedua 1. Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas

perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat. 2. Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i). Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli.

Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada: 1. Istihsan dengan sandaran qiyas khafi; 2. Istihsan dengan sandaran nash; 3. Istihsan dengan sandaran 'urf; dan

4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.[2] 2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan Pandangan para ulama tentang istihsan:

1. Ulama hanafiah Abu Zahrah berpendapat bahwa bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanifah mengikuti adanya istihsan. 2. Ulama malikiyah Asy-syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah. 3. Ulama hanabilah Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabilah mengikuti adanya istihsan, sebagai mana dikatakan oleh imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-jalal al-mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam Al-Kawami mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkari termasuk didalamnya golongan hanabilah. 4. Ulama syafiiyah Golongan Al-SyafiI secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka benar-benar menjahui untuk menggunakannya dalam istimbat hukum dan tidak menggunakan sebagai dalil. Bahkan, imam syafiI berkata: barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syariat. Beliau juga berkata : sesungguhnya urusan itu telah diatur oleh Allah SWT,

[2].http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah-ushulfiqh.html.

setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.[3] Menurut ulama hanafiyyah, malikiyyah dan sebagaian ulama hanabilah, ihtihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara. Alasan yang mereka ungkapkan adalah: Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqorah Ayat 185:


Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran kepadamu. (Qs.Al-Bakarah. 185) Dalam surat Az-zumar ayat 55 Allah berfirman:


Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,(Qs. Az-zumar 55) Rasulullah dalam riwayat Abdullah Ibn Masud mengatakan:


Artinya: sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga baik dihadapan Allah SWT. (HR. Ahmad Ibnu Hanbal dan Abdullah bin masud). Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terdapat berbagai permasalahan yang terperinci menunjukan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan
[3] Rachmat Syafei,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), Hal.112.

kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syariat islam ditunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[4]

2.2. ISTISHAB
2. 2.1. Pengertian Istishab Menurut Hasby Ash-Shidiqy

(
Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini. Definisi lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Secara bahasa istishab adalah tuntutan pemeliharaan dan melanjutkanya. Adapun arti istishab secara istilah dijelaskan oleh ulama dengan redaksi yang berbeda-beda. Imam Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qurafi, dalam karyanya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istishab adalah: keyakinan (mujtahid) tentang sesuatu pada masa lalu atau sekarang ini; ia mewajibkan untuk menetapkan

[4] Chaerul Umam, Ushul Fiqh, ( Bandung : Cv.Pustaka Satia,1989), Hal. 129.

(hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan masa yang akan datang. Imam alSyaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul, menjelaskan bahwa yang dimaksud istishab adalah: tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain yang mengubahnya. Selain itu istishab secara bahasa berarti menemani atau membarengi. Orang mengatakan Istashhabtufi Safariyl Kitaba Awir Rafiqa, berarti: saya menjadikan kitab sebagai teman dalam berpergianku. Istashhabtu makana fil madhi, berarti: saya menjadikan sesuatu yang lalu sebagai teman hingga sekarang. Maka apabila hukum suatu perkara telah ditetapkan pada suatu masa yang telah lalu, maka hukum tersebut tetap berlaku pada masa sesudahnya, kecuali jika terdapat dalil yang merubahnya. Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap tidak ada hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang menetapkan hukumnya.

2.2.2. Macam Macam Istishab Menurut Muhammad Abu Zahrah, Istishab dibagi menjadi 4,yaitu: a) Istishab Al-Ibarah Al Ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah(boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar suatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat Islam selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dll. Selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.

Dialah (Allah), yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Baqarah: 29)

b) Istishab Al-baraah al-ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah status itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, maka ia harus mampu membuktikannya. Karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi seseorang dalam prinsip Istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah status itu. c) Istishab Al-hukm, yaitu: Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Contoh: seseorang yang jelas berhutang pada fulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri, atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu. d) Istishab Al-wasf, yaitu: Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Contoh: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya.

2.2.3. Kehujjahan Istishab Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak ada dalil Syara yang menjelaskannya,antara lain : 1. Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya

dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang, harus berdasarkan dalil. 2. Menurut mayoritas Ulama Hanafiyah, khususnya Mutaakhirin, Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. 3. Ulama Malikiyyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syiah berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qathI maupun Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahanya.

2.3 MASLAHAH MURSALAH


2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah Maslahah mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat). Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya: : 1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut: ``Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri` (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya).`` 2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut: ``Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat`` 3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah : ``Memelihara tujuan syara` dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.`` 2.3.2. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam

pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut : 1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukumitu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk

manusia

dan

dapat

menolak

bahaya

dari

mereka.

Maka maslahah-maslahahyang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih malsalah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai. 2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka. 3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah. 4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

2.3.3. Macam-Macam Maslahah Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu: 1. Maslahah dharuriyah Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.

Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam. Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk

mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana. Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya. Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan. 2. Maslahah Hajjiah ``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan``

Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlakudalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat. Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir. Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yag bak-baikbdan yang indah-indah. Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/jinayat, menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara. Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan kemerdekaan beragama. beragama, Sebab dengan adanya kemerdekaan langkah hidup pribadi dan

luaslah

gerak

manusia.

Melarang/mengharamkan rampasandan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah. 3. Maslahah tahsiniyah ``Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak``. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, enutup aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain. Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makananmakanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum memakai pakaianpakaian yang seronok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik menjadi kebanggaan. 2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya : a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir . b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah

mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan

hukum yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat. 2.3.5. Alasan Ulama Menjadikannya Sebagai Hujjah Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karma kejadian tersebut tidak hukumnya dalam nash, hadist, ijma dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal ini antara lain : 1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya. 2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabiin, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syari. Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-quran, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada

dalil

syara

yang

menolaknya.

2.4. SADDU DZARIAH


2.4.1. Pengertian Saddu Dzari'ah Saddu Adz-Dzari'ah secara etimologi bermakna menutupi kekurangan, menyumbat lobang, dan menahan sesuatu. Kata artinya Menutup celah atau mencegah sesuatu, sedangkan berarti wasilah (sarana). Pengertian Saddu Dzariah menurut para ulama: Mencegah sarana-sarana yang dapat menjadi sarana kepada keharaman, atau menyumbat menolaknya. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan hukum Saddu dan Dzariah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, Syariat menetapkan perintahperintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah: jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan dan


Artinya: "Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula. Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu,

tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri. Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat. 2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzari'ah Dasar hukum Saddu dan Dzariah ialah dari Al-Quan dan Hadits, yaitu: a. Firma n Allah SWT yang artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Al-Anam: 108).

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas. b. Dan firman Allah SWT:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31) Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda: Termasuk dosa besar adalah seseorang memaki kedua orangtuanya mereka bertanya, wahai Rasulullahg apakah ada seseorang memaki kedua

orangtuanya?Beliau menjawab, Ya, seseorang memaki bapak orang lain lalu orang tersebut memaki bapaknya dan memaki ibu orang lain lalu orang lain memaki ibunya (HR. Tirmidzi) Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling

selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu

2.4.3. Obyek Saddu Dzari'ah Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya: Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek Saddu dan Dzariah karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa. Di samping itu Imam As-Syatibi menyatakn bahwa, dilihat dari segi kualitas ke-mafsadat-annya, Dzari,ah dapat dibagi kepada empat macam : a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti (qathi). b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadat-an. c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada ke-mafsadat-an. d. Pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi ada kemungkinan perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.

2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzariah Untuk mengamalkan Saddu Az-Dzariah, ada beberapa point yang harus diperhatikan: 1. Perbuatan yang dibolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusaka secara dominan. apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan hanya kadang-kadang atau tidak dominan, maka tidak dilarang dan tetap pada hukum asalnya, tidak butuh mencari dalil kebolehannya.

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya. 3. Tidak disyaratkan dalam mengamalkan kaidah ini adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup banyak tujuan itu secara adat, sebab niat atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman. 4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-Dzarai dibolehkan apabila dibutuhkan (hajat membutuhkannya). contohnya melihat wanita bukan mahromnya bagi orang yang akan melamar. 5. Kehujjahan kaidah Saddu Adz-Dzariah Dzariah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat para ulama : 1. Ijma menyatakan kewajiban mencegahnya dan itu pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan itu memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. contoh:larangan minum minuman memabukkan, karena sarana yang mengantar kepada mabuk yang merusak akal. 2. Ijma menyatakan itu sebagai dzariah, namun tidak wajib dicegah. seperti menanam anggur walaupun mungin ada yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan Khomr.

3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.

Dalam masalah ini pendapat mereka dikategorikan dalam dua pendapat: a. Harus dicegah. inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah. b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat madzhab Syafiiyah dan Hanafiyah.

Yang Rajih adalah pendapat pertama, karena sebagaiman disebutkan dalam kitab Ushul Fiqh Karya Muhammad Abu Zahrah, bahawa penetapan Saddu AdzDzariah sebagai salah satu Sumber Hukum (Mashadir Al-Ahkam), adalah Madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Meskipun Syafiiyah, Hanafiyah dan ulama-ulama lainnya tidak memandangnya sebagai Mashadir Al-Ahkam, akan tetapi hasil formulasi dari Saddu Adz-Dzariah ada ditemukan dalam hasil ijtihad mereka. Pendapat pertama inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, Dzariat-dzariat ini apabila mengantar pada kerusakan (mafsadat)secara pasti (yakin) atau dominan maka syariat mengharamkannya secar mutlak.

2.5

URUF
Uruf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima

2.5.1. Pengertian Uruf

akal sehat. Menurut kebanyakan ulama, uruf dinamakan juga adat sebab perkara yang sudah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas daripada uruf sebab, adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa dinamakan uruf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat. Maka inilah yang disebut uruf, baik uruf itu bersifat khusus atau umum. Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan uruf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan sebagai:


Artinya:

Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Adapun uruf menurut ulama ushul fiqih adalah:


Artinya: Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.

2.5.2. Macam Macam Uruf Para ulama ushul fiqih membagi uruf dalam tiga macam yaitu: 1. Dari segi objeknya, uruf dibagi dalam: a. Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, lalu pembeli mengatakan Saya beli daging satu kilogram pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, Karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b. Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu memakan makanan khusus atau meminum tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjual, apabila barang dibeli itu berat dan besar, seperti ,lemari

es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakt dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku di pasar-pasar swalayan. Jual-beli seperti ini dalam fiqih islam disebut dengan bayu al-muatab.

2. Dari segi cakupannya, uruf terbagi dua yaitu: a. Al-urf al-am adalah kebiasaan terntentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual-beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri, dan biaya tambahan. b. Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. 3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara, uruf terbagi dua yaitu: a. Al-urf al-sahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. b. Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjam uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungannya yang diraih

peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek inia bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasiah (riba yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama ushul fiqih, termasuk dalam kategori al-urf al-fasid. Uruf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara diisyaratkan sebagai berikut: 1. Uruf tidak bertentangan dengan qathi. oleh karena itu, tidak dibenarkan sesuatu yang sudah dikenal orang yang bertentangan dengan nash qathI, seperti makan riba. Seperti disebutkan dalam firman Allah:


Artinya: Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.

2. Uruf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku. Oleh karena itu, tidak dibenarkan uruf yang menyamai uruf lainnya karena adanya pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan. Sebagian ulama menyebutkan contohnya, seperti apabila seorang bapak membiayai biaya kematian anaknya dari hartanya sendiri. Kemudian anaknya membawa perkakas tersebut kepada suaminya. Lalu terjadilah persengketaan antara anak dan bapak tentang perkakas tadi. Bapaknya mengakui bahwa perkakas tersebut hanya pinjaman darinya, sedangkan anaknya mengakui bahwa perkakas itu adalah pemberian kepadanya, bukan pinjaman, tetapi keduanya tidak mempunyai bukti atas pengakuannya itu. Dalam keadaan demikian yang diterima

(dimenangkan) adalah pengakuan pihak yang selaras dengan huruf umumnya, dan dikuatkan dengan sumpahnya. Jika uruf yang berlaku memberi petunjuk bahwa perkakas tersebut berarti pinjaman saja, maka yang dimenangkan adalah pengakuan bapak. Jika menurut uruf berarti sebaliknya, maka yang dimenangkan adalah pengakuan anaknya.

3.

Uruf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan uruf yang datang kemudian. Oleh karena itu, syarat orang yang berwakaf harus dibawakan kepada uruf pada waktu mewakafkan meskipun bertentangan dengan uruf yang akan datang kemudian. Maka para Fuqaha berkata, Tidak dibenarkan uruf yang datang kemudian.

2.5.3. KEHUJJAHAN URUF Mengenai kehujjahan uruf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka:

1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa uruf adalah hujjah untuk
menetapkan huku. Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan maruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf: 199) Ayat ini, bersigat am artinya, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan yang baik, karena merupakan perintah, maka uruf dianggap oleh syara sebagai dalil hukum. Juga mereka beralasan dengan hadis nabi:


Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut Allah. 2. Golongan Syafiiyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap uruf itu sebagai hujjah atau dalil hukum syari.

Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al-Quran diturunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengahtengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual-beli yang sudah ada sebelum islam. Hadis-hadis Rasulullah SAW juga banyak sekali yang mengakui eksistensi uruf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadis yang dikaitkan dengan jual-beli pesanan (salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Beliau melihat penduduk setempat melakukan jual-beli salam tersebut. Lalu Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Siapa yang melakukan jual-beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. Al-Bukhari) Dari berbagai kasus uruf yang dijumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan uruf, di antaranya adalah yang paling mendasar:

1.
Artinya: Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

2.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

3.
Artinya: Yang baik itu menjadi uruf, sebagaimana yang diisyaratkan itu menjadi syarat.

4.
Artinya:

Yang ditetapkan melalui uruf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadis).

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN


1. Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. 2. Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. 3. Maslahah mursalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. 4. Saddu dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat. 5. Uruf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

3.2 SARAN
Untuk pembaca makalah ini diharapkan bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang islam yang terdapat dalam diri masing-masing. Diharapkan para pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Marifah, 1997). Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998). ______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003). Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996). Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Marifah, tt). Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt). Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min Ilm alUshul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994). Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt). Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jafi, al-Jami ash-Shahih alMukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987). Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1986). MyStory.2010.MaslahahMursalah http://tepolngo2.blogspot.com/2010/06/makalah-maslahah-mursalah.html [27 September 2012] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997). Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

ZakariaHasibuan.2010.SadduAdz-Zariah http://zakariahasibuan.blogspot.com/2010/12/1.html [27 September 2012]

Anda mungkin juga menyukai