Oleh:
Rizke Agustina 05010422016
Shandy Aura 05010422017
Dosen Pengampu :
Dr. Achmad Yasin, M.Ag.
Semoga makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan wawasan
baru kepada pembaca. Kami menyadari, bahwa penulisan makalah ini sangat jauh
dari kata sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Sehingga, kami harapkan
kritik dan saran agar kami dapat menyempurnakan makalah ini kedepannya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kesimpulan ...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tinjauan Ushul Fiqh, terdapat dua sumber hukum Islam yakni
sumber hukum yang telah disetujui atau muttafaq ‘alayh dan sumber hukum
yang tidak disetujui atau mukhtalaf fih. Sumber hukum yang telah disetujui
yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.1 Sumber hukum yang tidak
disetujui yakni istihsan, istishab, ‘urf, dan lain sebagainya.2 Segala sumber
hukum diterapkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Menurut pakar ushul, al-istishab yakni penetapan sebuah
hukum sesuai kondisi atau keadaan yang sebelumnya telah terjadi hingga
terdapat dalil yang dapat merubahnya. Dalam hal ini, al-istishab digunakan
untuk menegaskan bahwa keadaaan yang sudah ada sebelumnya harus
dipertahankan, kecuali jika terdapat bukti yang jelas untuk mengubahnya.
Al-Istishab memiliki kehujjahan yang kuat dalam hukum Islam, karena
prinsip ini menghormati kestabilan hukum dan mencegah kebingungan
dalam menetapkan hukum serta dapat meminimalkan ketidakpastian dan
keraguan dalam menetapkan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Al-Istishab?
2. Bagaimana macam-macam Al-Istishab?
3. Bagaimana kedudukan dan kehujjahan Al-Istishab?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana definisi Al-Istishab.
2. Untuk mengetahui macam-macam Al-Istishab.
3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan kehujjahan Al-Istishab.
1
Solehuddin Harahap, ‘PENGARUH TAQ’ID DENGAN ISTIDLAL PADA PERBEDAAN
PENDAPAT ULAMA FIQIH (AL-ISTISHAB, AL-ISTISLAHI, DAN QIYAS AL-ISTIDLAL)’,
Jurnal Hukum Islam, 2.1 (2019), 81–93.
2
Maskur Rosyid, ‘Istishab Sebagai Solusi Pemecah Masalah Kekinian’, Hukum Dan Pemikiran,
18.1 (2018).
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Istishab
Secara etimologis atau bahasa, istishab berasal dari kata ish-tash-
ha-ba ( )استصحبpada sighat isthif’al yang memiliki makna “teman” dan
“secara terus-menerus”. Jadi, secara lughawi dapat dipahami bahwa istishab
memiliki arti terus menyertai dan menemani. Setelah memperhatikan
makna istishab secara etimologis, sekilas dapat diartikan bahwa istishab
adalah suatu upaya untuk mendekatkan suatu peristiwa hukum dengan
peristiwa lainnya sehingga kedua peristiwa tersebut dapat dianggap sah atau
memiliki hukum yang sama.3
Sedangkan definisi istishab secara terminologis atau istilah,
pendapat setiap ulama ushul fiqh berbeda-beda namun tetap memiliki
makna yang sama. Istishab menurut pendapat Imam Ibnu al-Shubki
merupakan suatu penetapan masalah dalam hukum kedua berdasar hukum
pertama sebab tak ditemukan suatu dalil yang merubahnya.4 Imam az-
Zarkasyi juga mendefinisikan istishab yakni suatu yang hukumnya telah
ditetapkan pada masa lalu, sehingga hukum tersebut masih berlaku pada
masa depan.5 Menurut Ibnu Qayim al-Jauziya, istishab adalah menyatakan
ditetapkan berlakunya suatu hukum yang terdapat dari sebuah peristiwa,
atau menyatakan belum ditetapkan suatu hukum pada sebuah peristiwa yang
sebelumnya belum memiliki penetapan hukum didalamnya.6
Jadi, definisi Al-Istishab merupakan sebuah prinsip atau metode
penalaran yang digunakan untuk menentukan keberlangsungan suatu
keadaan hukum atau fakta berdasarkan asumsi bahwa keadaan tersebut
masih ada hingga terdapat bukti yang menunjukkan sebaliknya. Kemudian
3
Husnul Haq, ‘Penggunaan Istishâb Dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama’, ALHURRIYAH:
Jurnal Hukum Islam, 02.01 (2017), 18.
4
Ibid., hlm. 19.
5
Ismail M Bonde, ‘DISKURSUS AL-ISTISHAB DALAM ISTINBAT HUKUM (Studi Aplikatif
Dalam Wacana Fikih Islam Kontemporer)’, 21.1 (2020), 21.
6
Ibid., hlm. 22.
2
dapat juga didefinisikan sebagai salah satu metode dalam ijtihad yang
dilakukan dengan cara menetapkan suatu hukum pada asal hukum tersebut
selama belum terdapat dalil lain yang tak sesuai dengan hukum tersebut.
Sehingga, istishab tidak menghasilkan suatu hukum yang baru, namun tetap
mempertahankan hukum yang telah ada sebelumnya.
B. Macam-macam Al-Istishab
1) Istishab al-Baraah al-Asliyah
Istishab al-Baraah al-Asliyah adalah istishsab yang hukum awalnya
seseorang bebas tidak memiliki tanggungan, hingga terdapat dalil atau
sebuah bukti yang mengharuskannya untuk mempertanggungjawabkan
sesuatu.7 Seperti contoh apabila ada seseorang yang menuduh orang lain
memiliki hutan pada dirinya, namun ia tak memiliki bukti atas
tuduhannya itu, maka orang yang telah dituduh berada dalam posisi
bebas dari hutang tersebut atau ia tidak wajib untuk
mempertanggungjawabkan hutang yang dituduhkan padanya.
2) Istishab al-Ibahah al-Asliyah
Istishab al-Ibahah al-Asliyah merupakan istishab berdasarkan hukum
awal dari sesuatu yang statusnya mubah atau diperbolehkan. Istishab ini
memiliki peran yang penting dalam kehidupan khususnya bidang
muamalah.8 Prinsip istishab ini menyatakan bahwa selama tidak
terdapat dalil yang melarang mengenai makanan, minuman, hewan, dan
lain sebagainya, maka dalam kehidupan sehari-hari kita diperbolehkan
melakukan sesuatu yang bermanfaat.
3) Istishab al-Hukm
Istishab al-Hukm yakni istishab yang telah ditetapkan status hukum
selama tidak memiliki dalil atau bukti yang dapat mengubahnya.9
Seperti contoh seseorang mempunyai satu hektar sawah atau harta
lainnya seperti mobil, motor, dan sebagainya, maka harta itu tetap
7
Opik Taupik and Ali Khosim, ‘Fiqih 4 Madzab “Kajian Fiqih – Ushul Fiqh”’, 2014, 283.
8
Ibid., hlm. 284.
9
Agus Miswanto, Ushul Fiqh ‘Metode Ijtihad Hukum Islam’ JILID 2, 2019.
3
dianggap milik orang tersebut, selama tidak mempunyai bukti dan
terdapat peristiwa yang merubah status hukum kepemilikan, seperti
dijual atau diberikan pada orang lain.
4) Istishab al-Washf
Istishab al-Washf yaitu istishab telah diyakini akan keberadaannya
hingga terdapat dalil atau bukti yang dapat merubahnya. Seperti contoh,
seseorang yang bepergian namun tak diketahui kabar tentang dirinya,
masih hidup atau telah wafat, dan dimana ia tinggal. Secara hukum ia
masih dianggap hidup sesuai keadaan awal yang telah diketahui, yakni
dalam keadaan hidup selama bepergian hingga ada dalil atau bukti yang
menunjukkan tentang kematiannya. Istishab al-Washf yang akan
menetapkan bahwa orang tersebut masih hidup atau telah wafat.10
C. Kedudukan dan Kehujjahan Istishab
Para Ulama’ Ushul Fiqih mempunyai perbedaan pendapat mengenai
kehujjahan istishab jika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan sebuah
kasus yang di hadapi
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin atau ahli kalam, istishab
tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Karena hukum yang sudah di tetapkan
pada masa lalu yang menghendaki dalil. Begitu pula untuk menetapkan
hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab
bukan dalil, karena ia menetapkan suatu hukum yang terjadi pada masa
lampau yang akan berlanjut pada masa yang akan datang.
Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiyah, khususnya
mutaakhirin, istishab bisa dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan
hukum yang sudah ada sebelumnya dan mengangap hukum itu akan tetap
berlaku pada masa yang akan datang, tapi tdak bisa menetapkan suatu
hukum yang akan ada. Istishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk
mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
10
Ibid., hlm. 217.
4
membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang
baru muncul.11
Ketiga, Ulama Malikiyyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan
syi’ah mengatakan bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutla untuk
menetapkan hukum yang telah ada, dan apabila belum ada maka ada yang
adil mengubahnya. Alasannya adalah sesuatu yang telah ditetapkan di
masalalu, selama tidak ada yang mengubahnya, dan semestinya hukum yang
telah ditetapkan itu akan berlaku terus karena belum ada perubahannya.12
Abd Al-Wahhab Khalaf mengutarakan bahwa para ulama yang
menolak istihsab al-wasf disebabkan karena istishab tersebut bedasarkan
asumsi spekulatif, atau bukan bedasarkan fakta. Sedangkan para Usuliyyun
yang sudah menerima istishab sebagai dalil hukum menempatkannya pada
posisi terakhir apabila tidak ditemukannya dalil lain yang bisa menjelaskan.
Ini dikarenakan oleh istishab didasarkan pada status hukum yang sudah ada
yang bergerak secara dinamis mengikuti perubahan situasi dan kondisi, dan
al-amidi lebih memilih untuk menggunakan istishab sebagai dalil hukum.
11
Latar Belakang, ‘Makalah Istihsan Dan Istishab’.
12
Yanta Sudiben and Eka Putra, ‘Teori-Teori Hukum Islam Istihsan , Maslahah Mursalah Dan
Istishab’, Istishab: Journal of Islamic Law, 02.01 (2020), 142.
5
BAB III
STUDI ANALISIS
13
Muh. Zuhri Abu Nawas, ‘Teknik Interpretasi Tekstual Dan Kontekstual’, Al-Asas: Jurnal Ilmiah
Ilmu Dasar Keislaman, 2.1 (2019), 73–91.
6
dengan Islam. Namun, jika kebiasaan atau amalan tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, maka dapat diikuti.
14
Asriaty, ‘TEKSTUALISME PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (Sebuah Kritik)’, 1988, 1–13.
7
masa lalu, maka Al-Istishab tidak dapat digunakan dan harus mencari dalil
yang baru untuk menentukan hukumnya.
15
M.Ag Drs. ACHMAD YASIN, ‘( Dasar – Dasar Istinbat Hukum Islam )’, Prodi Siyasah Jinayah
Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Penulis:, 123
<digilib.uinsby.ac.id>.
8
masih berlaku, para ulama dapat menghindari perubahan hukum yang
tidak perlu dan mempertahankan kestabilan hukum yang telah ada.
Namun, dalam menerapkan prinsip Al-Istishab, para ulama harus
memperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda di masa kini yang mungkin
memerlukan hukum yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama harus
mempertimbangkan dengan cermat dan teliti apakah prinsip Al-Istishab
masih relevan dalam kondisi dan situasi saat ini, atau perlu dipertimbangkan
ulang untuk menentukan hukum yang berlaku. Penggunaan Al-Istishab juga
harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan pada keadaan yang
konkrit dan dapat dibuktikan.
9
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
11