Anda di halaman 1dari 13

ISTISHAB SEBAGAI SUMBER HUKUM YANG DI IKHTILAFKAN

Dosen Pengampu :
Dr. H. Sutisna, M.A.
Disusun oleh :
Marnianti Nervinarsya : 181105010293
Wahida Putri Khoerunnisa : 181105010199
Nurul Hikmah Saputri : 181105010227

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR


JALAN BARU KEDUNG BADAK TANAH SAREAL KOTA BOGOR
JAWA BARAT
2020 M/1442
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kehidupan kepada makhluk ciptaan-
Nya, yang telah melebihkan manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. Sebagai
sosok yang sangat kita muliakan karena akhlaknya dan kepribadiannya yang dapat kita
pelajari dari berbagai hadis yang telah diriwayatkan oleh banyak sahabat.

Dalam makalah ini menjelaskan tentang “Istishab sebagai sumber hukum”.


Dikarenakan tidak memungkinkannya penjabaran secara menyeluruh, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
membimbing penulisan makalah ini.

Wasalamu’alaikum wr. wb.

Bogor, 6 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................………............................ii

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN

1. Pengertian Istishab …………………………………………….....................................2


2. Syarat-Syarat Istishab.....................................................................................................2
3. Macam-macam Istishab………………………………………………..........................2
4. Contoh Istishab...............................................................................................................4
5. Dasar Hukum..................................................................................................................5
6. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat Zaman
Sekarang…………………………………………………………………………….....8

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan.................................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan
hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati
tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam
yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini
yaitu Istishab.

Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan
yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia
diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik
sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Pengertian Istishab
2. Syarat-syarat Istishab
3. Macam- Macam Istishab
4. Contoh Istishab
5. Dasar Hukum Istishab
6. Kehujjahan Istishab
7. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya
8. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada
Zaman Sekarang
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ISTHISHAB

A. Pengertian Istishab

1
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((‫حب‬D‫استص‬
dalam shigat is-tif’âl (‫تفعال‬DD‫)اس‬, yang berarti: ‫حبة‬DD‫تمرار الص‬DD‫اس‬. Kalau kata ‫حبة‬DD‫ الص‬diartikan
“sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab
itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan


oleh para ulama, di antaranya ialah:

1. Imam Isnawi

Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.

2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah

Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan
apa yang sebelumnya tiada.

3. Abdul-Karim Zaidan

Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama
belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.

Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa
lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada
sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut

B. Syarat-syarat Istishab

1
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. ( Cet 4.
1994)
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa
hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-
haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak
saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak,
tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C. Macam- Macam Istishab

Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian
disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah

1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di
hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak
menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan
bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka
hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti
ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.2

2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus

Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus
sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah
wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih
ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “
Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang
keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat)
sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).

Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim
al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.

2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Amani.
2003).
3
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan
hujjah untuk hukum yang belum ada.

Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh
nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada
dalil yan laing yang membatalkannya.

Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus,
seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus
seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan
wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus
berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum
sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada
dalil nasakh (yang membatalkannya).

Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat
Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus
seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul
fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkan kaidah
bahasa.

3. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i

Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’.
Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat
manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang
menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat
berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka
tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat.

3
Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006).
Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini hanya
bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.

4
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini
juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun
hukum yang akan datang.

. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu
diperselisihkan.

Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para
ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh
bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air,
apakah shalat harus dibatalkan ?

Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum
melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang
menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi
shalatnya.

Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan
tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk berwudhu.
Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sah
nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.

D. Contoh Istishab

Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka


berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah 5

4
M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. (Surabaya : Al-
Hidayah. 2004).

5
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab.

E. Dasar Hukum Istishab

Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya
adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu
dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan
si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan
batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang
haram.Kehujjahan Istishab.

Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi :

a. Ulama Hanafiyah

Menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum
yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum
semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu
adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang
sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.

b. Ulama mutakallimin (ahli kalam)

bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa
sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan
hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum
itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan
dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa
yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan
syara’.

c. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah

6
Bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah
ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’
(pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras
(zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat
kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan
Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian
warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai
keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan
kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan
wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi
kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena
penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini
adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang
hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya
(menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf)

 Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya

‫االصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره‬

‫االصل في االشياء اال باحة‬

‫االصل في االنسان البراءة‬

‫بالشك واليزول االبيقين مثله ما ثبت باليقين اليزول‬

6
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Amzah. 2005).
F. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat
Zaman Sekarang

7
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu
dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan
kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang
itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut
bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah
praduga tak bersalah.

BAB III

7
Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai
umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.

2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.

3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja,
akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri dari
keseluruhan aspeknya.

B. Saran

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca agar
sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan makalah dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4. 1994.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani.
2003.

Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.

M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. Surabaya : Al-
Hidayah. 2004.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Amzah. 2005.

Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000

Anda mungkin juga menyukai