Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH

Dosen Pengampu : Siswanto M.Hum

Disusun oleh :

1. Abdul Hadi Muntama


2. Ahmad Adi Kurniawan
3. M. Khoirul Anam

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI


AGAMA ISLAM SYUBBANUL WATHON MAGELANG
2023

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam menjawab perubahan sosial. Hal ini secara nyata menghendaki
ijtihad yang proporsional dan profesional. Sehingga hukum Islam tetap
dinamis, responsif, tidak ketinggalan jaman, dan adaptif. Sekali lagi, bahwa
aktivitas ijtihad harus senantiasa digalakkan. Jargon Islam ṣaliḥ li kulli zaman
wa makan bisa nyata terwujud dan tidak hanya menjadi pepatah kosong tanpa
makna. Ijtihad dilakukan dengan tetap mengacu kepada sumber-sumbernya.
Adapun sumber hukum Islam dalam kajian usul fikih terbagi menjadi dua
gradasi, muttafaq ‘alayh dan mukhtalaf fīh. Sumber yang muttafaq ‘alayh terdiri
dari AlQur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sedangkan yang dipersilihkan
penggunaannya yaitu istiḥsan, istiṣlaḥ, istiṣḥab, ‘urf, sadd aldhari’ah, shar’
man qablana, mazhab ṣaḥabi, dan sebagainya. Penelitian ini berusaha untuk
memberikan gambaran teori dari beberapa kata yang disebut diatas, sehingga
bisa memberikan gambaran yang jelas mengenai maksud dari kata-kata yang
menjadi bagian dari Teori-teori hukum Islam ini.1

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dari Istihsan?


2. Bagaimana pengertian dari Mashlahah Mursalah?

1
Sudiben and Putra, “Teori-Teori Hukum Islam Istihsan , Maslahah Mursalah Dan Istishab.”

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan yaitu menilai sesuatu sebagai baik. Secara terminologi,
istihsan memiliki makna yang beragam, di antaranya:
(1) Berpindah dari hukum sebuah masalah pada yang semisalnya karena adanya dalil
yang lebih kuat, (2) Sesuatu yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut penalarannya,
(3) Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat
diungkapkannya dengan kata-kata, (4) Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial
dan meninggalkan dalil yang bersifat umum (kulli).
Sedangkan istihsan menurut istilah ulama ushul fikih yaitu meninggalkan hukum
yang sudah ditetapkan pada suatu peristiwa ataupun kejadian yang ditetapkan oleh
dalil syara', menuju hukum yang lain dari peristiwa ataupun kejadian tersebut, karena
ada suatu dalil syara' yang mengharuskan agar meninggalkannya (sandaran istihsan).
Selanjutnya di bawah ini terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara
lain:
a. Menurut Nasrun Rusli, istihsan yaitu meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang
lebih kuat dari pada itu, hal ini terjadi karena adanya dalil yang menghendakinya, dan
lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.
b. Menurut Abdul Wahab Khalaf, istihsan yaitu dimaknai berpindahnya seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi ataupun dari dalil kully menuju
kepada hukum takhshish karena adanya dalil yang menyebabkan menyalahkan
pikirannya, serta mementingkan perpindahan.
Hakekatnya qiyas berbeda dengan istihsan. Dalam qiyas terdapat dua peristiwa
yaitu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan peristiwa yang
belum diketahui hukumnya. Apabila kedua peristiwa tersebut memiliki illat yang
sama, maka berlakulah hukum pada peristiwa yang belum diketahui hukumnya.
Sedangkan dalam istihsan, hanya terdapat satu peristiwa ataupun kejadian. Pada
awalnya peristiwa tersebut telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, akan tetapi
ada nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan, sekalipun dalil pertama di anggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki
perpindahan hukum tersebut.2
1. Macam Macam Istihsan
2
Mustaman, “Istihsan Sebagai Suatu Metode Istinbath Hukum.”

3
Ditinjau berdasarkan pengertian istihsan yang telah dikemukakan, pada pokoknya
istihsan dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali (jelas), karena adanya dalil
yang mengharuskan pemindahan itu, Istihsan dalam bentuk ini, disebut dengan
istihsan qiyasi. Contoh: Sisa makanan pada binatang yang haram di makan
berdasarkan qiyas adalah najis, karena dengan jalan qiyas dijelaskan bahwa sisa yang
masih ada pada binatang tersebut hukumnya adalah haram, karena hukumnya
mengikuti daging binatang buas tersebut, seperti harimau, sibak maupun serigala.
Menurut istihsan, sisa makanan binatang buas yang dagingnya haram di makan seperti
burung garuda, gagak, elang dan rajawali adalah suci, karena tidak terjadi
percampuran dengan sisa yang masih ada pada bintang tersebut, sebab ia minum
menggunakan paruh yang suci. Sedangkan binatang buas seperti harimau, sibak
maupun serigala lidahnya bercampur dengan air liur, dan ia minum menggunakan
lidahnya, maka sisanya adalah najis.
b. Mengecualikan juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully (umum) yang
didasarkan atas dalil khusus yang menghendaki demikian. Istihsan bentuk kedua ini di
sebut dengan istihsan istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di bagi menjadi beberapa
macam, yaitu :
1) Istihsan bi an-Nashash
Yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan yang lain
dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya nash yang
mengecualikannya, baik dari Al- Qur'an maupun Sunnah. Contoh: Menurut ketentuan
umum, ketika seseorang meninggal maka ia tidak berhak lagi terhadap hartanya,
karena beralih kepada ahli warisnya. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan oleh Al-
Qur'an yang menetapkan berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang meninggal.
Yang artinya “Setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar)
utangnya.” (QS. an-Nisa:12) Sedangkan contoh istihsan istitsna'i yang bersandar pada
Sunnah ialah tidak batalnya puasa seseorang yang makan dan minum karena lupa,
padahal sesuai ketentuan umum makan dan minum membatalkan puasa. Ketentuan
umum tersebut dikecualikan oleh hadis. Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, katanya,
Rasulallah saw bersabda:"Barangsiapa yang lupa padahal ia berpuasa, kemudian ia
makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya".

4
2) Istihsan bi al-Ijma'
Yaitu suatu pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain
dalam bentuk pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya ketentuan ijma yang
mengecualikannya. Rasullah saw bersabda: Artinya: "Jangan jual belikan sesuatu
yang belum ada padamu". Berdasarkan Hadis di atas, maka melakukan transaksi
terhadap barang yang belum ada adalah batal. Namun, hal tersebut boleh dilakukan,
karena sejak dulu praktek tersebut masih berlangsung, tanpa ada larangan dari ulama.
Sikap ulama tersebut di pandang sebagai ijma.
3) Istihsan bi al-Urf
Yaitu suatu pengecualian hukum dari prinsip syari'ah yang bersifat umum kepada
ketentuan yang lainnya, berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku. Berdasarkan
ketentuan umum, dalam menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu
secara pukul rata, tanpa membedakan dekat maupun jauhnya jarak yang di tempuh
adalah terlarang. Namun, kebiasaan tersebut diperbolehkan berdasarkan kebiasaan
yang berlaku, demi menghindarkan kesulitan dan terpeliharanya kebutuhan
masyarakat terhadap transaksi tersebut.
4 Istihsan bi ad-Dharurah
Yaitu terdapatnya keadaan darurat untuk mengecualikan ketentuan yang umum
kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan dalam mengatasi keadaan darurat.
Menurut ketentuan umum, hukum air sumur yang kejatuhan najis adalah tetap najis,
walaupun dengan cara menguras airnya. Sebab, ketika air sumur di kuras, maka mata
air akan tetap mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang
terkana najis. Namun, untuk mengahapi keadaan darurat, maka air sumur dihukumi
suci setelah di kuras.
5) Istihsan bi al-Maslahah al-Mursalah
Yaitu mengecualikan ketentuan yang belaku umum kepada ketentuan lain yang
memenuhi prinsip kemaslahatan. Berdasarkan ketentuan umum, tindakan hukum
berupa wasiat dari orang yang berada dibawah pengampuan merupakan perbuatan
hukum yang tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingan terhadap hartanya.
Akan tetapi demi kemaslahatan, maka wasiat tersebut di pandang sah, mengingat
hukum berlakunya wasiat ketika ia wafat.3

3
Salma, “Istihsan Dan Pembaruan Hukum Islam.”

5
B. Pengertian Mashlahah Mursalah
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan
menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa
perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan


ulama usul fikih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang
sama. Imam al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah
mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-
tujuan shara’. Imam al Ghazali mengemukakan:

“ Maslahah al-Mursalah adalah apa yang tidak ada dalil baginya dari shara’ dalam
bentuk nas tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan
dengan tujuan shara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia,
karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak
shara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di
zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang
menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat
istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak shara’;
karenanya tidak dinamakan maslahah.Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali,
yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan
tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.4

1. Macam Macam Mashlahah Mursalah

4
Hidayatullah, “Maslahah Mursalah Menurut Al-Ghazali.”

6
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahah jika
dilihat dari beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan
kemaslahatan itu, para ahli usul fikih membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a. Al-Maslahah adh-Dharuriyyah
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia
di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: 1).
Memelihara agama, 2) Memelihara jiwa, 3) Memelihara akal, 4) Memelihara
keturunan, dan 5) Memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan
al-mashalih al-khamsah, atau adh-dharuriyyat al-khamsah.
Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa
diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut, Allah
mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik yang berkaitan
dengan ‘aqidah, ibadah, maupun mu’amalah.
Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitan
ini, untuk kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia, Allah
menshari’atkan berbagai hukum yang terkait dengan itu, seperti shari’at qisas,
kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk dikonsumsi manusia,
hukum perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, dan berbagai hukum
lainnya.
b. Al-Maslahah al-Hajiyah
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan
untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qasr) shalat dan berbuka
puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu
binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli
pesanan (bay’ al salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan
perkebunan (musaqah). Semuanya ini dishari’atkan Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar al-masalih al-khamsah di atas.
c. Al-Maslahah at-Tahsîniyyah
Yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang
dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-
ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan berbagaijenis cara menghilangkan
7
najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga
seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu
kemaslahatan. Kemaslahatan daruriyyahharus lebih didahulukan daripada
kemaslahatan hajiyyah,dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari
kemaslahatan tahsiniyyah.5
.

PENUTUP

A. Kesimpulan
5
Syakroni, “Metode Mashlahah Mursalah Dan Istishlah (Studi Tentang Penetapan Hukum Ekonomi Islam).”

8
Bahwa keduanya merupakan prinsip-prinsip hukum Islam yang sangat penting dalam
menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat.

Ishtihsan memberikan ruang untuk menemukan solusi hukum dalam situasi-situasi


yang tidak tercakup dalam ketentuan hukum Islam yang eksplisit, dengan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang ada. Hal ini memberikan fleksibilitas
dalam menjawab permasalahan hukum yang bersifat kontemporer dan kompleks.

Sementara itu, mashlahah mursalah adalah prinsip hukum Islam yang menempatkan
kepentingan umum sebagai tujuan utama dalam menetapkan hukum. Dengan prinsip
ini, kepentingan umum dapat menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan
hukum dan memberikan jalan keluar dalam situasi-situasi yang sulit.

Kedua prinsip ini, ishtihsan dan mashlahah mursalah, menunjukkan bahwa hukum
Islam memiliki kemampuan untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman dan masyarakat. Namun, penggunaan kedua prinsip ini juga
harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak bertentangan dengan nash atau ketentuan
hukum yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, Syarif. “Maslahah Mursalah Menurut Al-Ghazali.” Al-Mizan 4, no. 1 (2018):

9
115–36.
Mustaman. “Istihsan Sebagai Suatu Metode Istinbath Hukum.” Jurnal Ilmiah 2, no. 2 (2015):
138–48.
Salma, Salma. “Istihsan Dan Pembaruan Hukum Islam.” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 13, no. 1
(2016): 1–25. https://doi.org/10.30984/as.v13i1.7.
Sudiben, Yanta, and Eka Putra. “Teori-Teori Hukum Islam Istihsan , Maslahah Mursalah Dan
Istishab.” Istishab: Journal of Islamic Law 02, no. 01 (2020): 142.
http://jurnalppsiainkerinci.org/index.php/istishab/article/view/24.
Syakroni, M. “Metode Mashlahah Mursalah Dan Istishlah (Studi Tentang Penetapan Hukum
Ekonomi Islam).” Al-Intaj 3, no. 1 (2017): 187–201.

10

Anda mungkin juga menyukai