Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDAPAT MUTAKALIMIN DALAM AYAT-AYAT MUTASYABIHAT


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam Semester 1
Dosen Pengampu: Ali Rohmat, M. Hum.

Disusun Oleh
1. Adzimatur Rofiqoh 22020481
2. Ahmad Soleh 22020179
3. Eka Wahyu Wulandari 22020168
4. Sulma Nabilah 22020483

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYUBBANUL WATHON
MAGELANG
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ayat-ayat mutasyabihat banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan berbagai


macam pula pendapat tentang menafsirinya. Mutasyabih secara bahasa berarti
tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.
Namun yang dimaksud disini mutasyabihah yang berarti ayat-ayat yang
maksudnya hanya diketahui Allah, mengandung banyak wajah, dan
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Mutasyabihat
banyak macamnya, salah satu kajian menarik tentang ayat mutasyabihat ialah
tentang antropomorfisme, yakni tentang sifat-sifat jasmani bagi Allah.

Mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang terkait dengan sifat Allah


(mutasyabih al-sifat) mucul dua madzhab yakni mazhab salaf (aliran yang
muncul terlebih dahulu) yang menyerahkan makna ayat mutasyabihat kepada
Allah dan mazhab khalaf (aliran yang muncul belakangan) wajah Allah yang
memberikan kesan bahwa kesadaran pendengarannya bahwa wajah keagungan-
Nya senantiasa mengawasi segala sesuatu yang pasti musnah, dan karena
hanyalah Allah yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian al-muhkam dan al-Mutasyabihat?
2. Apa saja macam-macam al-Mutasyabihat?
3. Bagaimana al-mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah?
4. Bagaimana pendapat ulama tentang al-Mutasyabihat?
5. Apa saja hikamah mempelajari al-muhkam dan al-Mutasyabihat?

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian al-muhkam dan al-Mutasyabihat
2. Mengetahui macam-macam al-Mutasyabihat
3. Mengetahui al-mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
4. Mengetahui pendapat ulama tentang al-Mutasyabihat
5. Mengetahui hikmah mempelajari al-muhkam dan al-Mutasyabihat
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIHAT
Penulis memandang perlu untuk terlebih dahulu mendefinisikan
mutasyabih dan istilah-istilah terkait sebelum menganalisis bagaimana Imam
asy-Syaukani memaknai ayat-ayat mutasyabih. Para mufassirin sejak dahulu
hingga sekarang memperdebatkan topik ayat-ayat mutasyabih, baik dari segi
makna mutasyabih itu sendiri maupun makna ayat-ayat yang ditetapkan
sebagai ayat-ayat mutasyabih. Setiap generasi melakukan studi yang mengarah
pada pengembangan ilmu-ilmu baru yang sebelumnya belum dijelajahi.
Sebelum membahas pokok bahasan yang dibahas, yaitu muhkam, belumlah
lengkap pembahasannya ketika mencoba memperjelas makna mutasyabih.
Ungkapan muhkam dan mutasyâbih adalah sinonim dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain.

1. Pengertian Muhkam
Muhkam berasal dari kata hakama dan ahkama bisa berarti
“kokoh” dan “mengokohkan”, juga bisa berarti “mencegah dari pengaruh
kerusakan”. Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan
membedakan antara yang hak dan batil.1 Sedangkan menurut istilah
(terminologi) muhkam adalah ayat yang jelas maksud dan maknanya,
rasional, mandiri, menerangkan masalah kewajiban, janji dan ancaman.2

2. Pengertian Mutasyabihat
Secara bahasa (etimologi) kata mutasyâbihât adalah bentuk plural
(jama’ muannas salim) dari mufrad mutasyâbih, yang terambil dari akar
kata shabah yang berarti serupa atau sama antara dua perkara atau lebih.
Biasanya keserupaan itu menimbulkan kesamaran atau ketidakjelasan
bahkan kebingungan menentukan antara yang satu dengan yang lainnya.
Seperti dalam Al-Qur`an3
(QS. Al-Baqarah [2]: 25)
(QS. Al-Baqarah [2]: 70).
Dalam pengucapannya ada yang mengistilahkan mutasyâbih ada
juga yang mengatakan mushtabih. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa mutasyâbih terkadang bermakna mirip, sama, serupa
dan samar. Dari arti bahasa inilah term mutasyâbih digunakan untuk
sesuatu yang serupa yang masih samar dan belum jelas pada sebagian
ayat-ayat AlQur`an. Adapun mutasyâbih menurut istilah (terminologi),
para ulama dalam menyikapi ayat mutasyâbihât sangat beragam di
antaranya:

1. Az-Zarqani (w. 1122 H) dalam kitabnya Manahil al-Irfan


mengemukakan bahwa ayat mutasyâbihât adalah ayat yang
memiliki beberapa penakwilan. Pendapat ini dinisbatkan kepada
Ibnu Abbas dan dipakai oleh mayoritas ulama usul.4
2. Ayat mutasyâbih artinya yang samar yang tidak ditemukan
maknanya secara aqli maupun naqli. Ia hanya diketahui oleh Allah
Swt seperti hari kiamat dan al-huruf al-muqatha‟ah. Pendapat ini
dinisbatkan oleh al-Alusi (w. 1854 M) kepada para pemimpin
mazhab Hanafi.5
3. Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 1209 M) berpendapat lafaz
mutasyâbihât ialah lafaz yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafaz
yang global, yang musykil, yang dita’wili dan sebagainya.6
4. Sementara Al-Ghazali (w. 1111 M) melihat bahwa ayat-ayat
mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang secara literalistik
menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniyah
(antropomorfisme). Ayat-ayat tersebut meliputi, a. Sifat-sifat dzat
seperti bertangan, berwajah, bermata dan mengambil tempat seperti
di atas di sebelah dan lain sebagainya. b. Sifat perbuatan seperti
turun, datang, ketawa, duduk dan bersemayam. c. Emosi seperti
bosan, marah, rela, cinta, dan lain sebagainya.7
B. MACAM-MACAM AL-MUTASYABIHAT
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini dari
pendapat ulama pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan
bahwasanya al-Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih
yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash dalilnya.

1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita


tidak dapat memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat
menelitinya tidak bisa mendapatkan maknanya yang muhkam.
2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya
maknanya bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan
oleh kejahilan atau hawa nafsu sehingga dalam pandangannya menjadi
mutasyabih yang sebenarnya lebih condong kepada muhkam. Jenis kedua
ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-Nisbiy yang relative dan
hanya ulama tertentu saja yang dapat memahami maknanya.
3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan
tetapi pada ‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya
hewan yang disembelih secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat
saat kedua daging tersebut tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau
menjadi haram.

C. AL-MUTASYABIHAT DALAM AYAT TENTANG SIFAT ALLAH


Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk
mutasyabih adalah ayat tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti:

‫ق َأ ْي ِدي ِهم‬ ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬,‫ َويَ ْبقَى َوجْ هُ َربِّك‬,‫ش ا ْستَ َوى‬

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat
tentang sifat-sifat menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh
Imam as-Suyutihiy:
1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan
mengembalikan makna yang dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan
sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.

2. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.


Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan
kemuliaan Allah Ta’ala. Dahulunya Imam al-Haramain termasuk yang
berpendapat seperti ini, namun kemudian beliau rujuk kepada pendapat salaf
seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah: Yang aku rela
dalam beragama kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah mengikuti
salaf al-ummah, sesungguhnya mereka meniti sebuah jalan yang
meninggalkan pertentangan antara makna-makna sifat tersebut.

3. Madzhab Mutawassith.
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang
mana beliau berkata: jika penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa
arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh dari pengertian bahasa arab
maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan yang
diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.

D. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG AL-MUTASYABIHAT


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
makna al-muhkam dan al-mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih
pendapat dalam permasalahan siapakah yang dapat memahami ayat al-
mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau


berhentinya tanda baca pada ayat:

ٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬


‫ات فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ‬ ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬ ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذي َأ ْن‬
َ ‫زَل َعلَ ْي‬
‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا‬ ِ ‫فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوالر‬
ِ ‫بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-
ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
(Q.S Ali Imran [3]:7)

Pendapat pertama:
Firman Allah ‫َّاس“““ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬
ِ ‫ َوالر‬adalah mubtada dan َ‫ يَقُولُ“““ون‬sebagai
khabarnya, sehingga huruf ‫ و‬pada ‫َّاس““ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬
ِ ‫ َوالر‬bermakna isti’naf yang
menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan terhenti pada ‫َو َما يَ ْعلَ ُم‬
ُ ‫ تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا‬yang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna
ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:
Huruf ‫ و‬pada firman Allah ‫َّاس“ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬
ِ ‫ َوالر‬bermakna al-athfu sebagai
huruf atau kata sambung dan َ‫ يَقُولُ““ون‬menjadi keterangan hal, sehingga waqf
bacaan terhenti pada ‫َّاس“““ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬
ِ ‫ َوالر‬sehingga berkonsekwensi maknanya
bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang yang
diberi kekokohan dalam ilmu.

Imam as-Suyuthiy berkata:


“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit
diantaranya Mujahid yang membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang
mana beliau berkata dalam ayat:
‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬

“aku adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat ini berdalil
bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu
yang tidak bisa dimengerti.
Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus
ahlusunnah maka mereka berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya
Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan ini riwayat yang paling shahih
dari Ibnu Abbas”.

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َويَقُوْ ُل الرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم آ َمنَّا بِ ِه‬

“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah
orang yang kokoh keilmuanya; kami beriman dengannya”

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan


perkataan wajibnya waqf pada kalimat ُ ‫ ِإاَّل هَّللا‬sehingga kalimat ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْلم‬
ِ ‫َوالر‬
menjadi kalimat permulaan.

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada
kalimat ُ ‫ِإاَّل هَّللا‬, diantara argumen beliau adalah:

Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah


berfirman:

‫فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه‬

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya.

Kalau seandainya kalimat َ‫ َوالرَّا ِس ُخون‬mengikut atau athfu kepada lafadz Allah
maka kedudukan kalimat ‫ يَقُولُ““ونَ آ َمنَّا بِ “ ِه‬menjadi mubtada’ dan ini jauh dari
kefasihan atau kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.

Dari sinilah lahir kaidah tafsir ‫“ يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِال ُمحْ َك ِم واِإل ْي َمانُ بال ُمت ََش“ابِ ِه‬wajib beramal
dengan yang muhkam dan beriman dengan yang mutasyaabih”.

E. HIKMAH MEMPELAJARI AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIHAT


Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-
muhkam dan al-mutasyaabih, maka sesungguhnya ada beberapa hikmah
didalamnya antara lain:
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui
hal-hal yang mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka
bersemangat dalam hidup ini dan tidak bermasalas malasan sekedar
duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari kiamat, hal ini juga
membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka
mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang
ghaib hanya dengan berita yang dibawa syariat?
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar
kemampuan yang sesuai dengan yang didakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita
bayangkan kalaulah semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada
madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang
disimpulkan oleh Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫ح فَهُ َو َما َأحْ َك َم ْتهُ بِاَأل ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَيَا ِن ْال َحاَل ِل وال َح َر ِام‬
ِ ‫َوَأ َّما فِ ْي ا ِالصْ ِطاَل‬
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau
dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan
haram.”
‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَ َشابِهُ فَأصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir


sementara maknanya berbeda.”

Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-Haqiqiy dan al-


Idhafiy diantara yang termasuk al-Mutasyabihat adalah Ayat-ayat Tentang
Sifat-sifat Allah

Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih cenderung kepada


pendapat jumhur ahlusunnah dari kalangan salaf.

Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan


mutasyabih diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal
yang ghaib, atau juga menjelaskan tentang hakikat lemah dan bodohnya kita
sebagai insan.

B. Saran
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu kami meminta saran dan rekomendasi untuk
membantu kami memperbaiki makalah di masa mendatang dan semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

1
Muhammad Chirzhin, Al-Qur`an dan Ulum Al-Qur`an, (Bandung: Pustaka
2004), halaman. 71
2
Tarmana Abdul Qasim, Samudera Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2003), halaman. 140-141
3
Muhammad Abd al-‘Azim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur`an Jilid
2, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), halaman. 225
4
Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur`an jilid 2, halaman. 230-231
5
As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an Jilid 3, halaman. 6
6
Rosihon Anwar, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), halaman.
128
7
Husein Aziz, Jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabihah Perspektif Bahasa”,
dalam e-jurnal Madaniya, vol. 11, no. 1, 2012 halaman 31-32

Anda mungkin juga menyukai