Anda di halaman 1dari 13

Hukum Mukhtalaf

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan
(istinbat) suatu hukum.
Diantara dalil – dalil hukum tersebut terdapat dalil hukum yang disepakati dan ada yang
diperdebatkan. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas
tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat
hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas. Dan ini telah dijelaskan
oleh makalah- makalah sebelumnya.
Sedangkan dalil hukum yang diperdebatkan oleh sebagian ulama ada yang menjadikan
dalil- dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah
terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang
dijadikan sebagai sumber hukum. Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana
saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk
membekali diri kita dalam mengambil (istinbat) sebuah hukum dan jangan sampai ada keraguan
dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, dan macam- macam Istihsan?
2. Apa pengertian, dasar hukum, dan objek maslahah mursalah?
3. Apa pengertian, macam- macam, kaidah- kaidah urf?
4. Apa pengertian, dasar hukum, dan macam- macam syar’u man Qablana?
5. Apa pengertian, dasar hukum, macam- macam istishab?
6. Apa pengertian, dasar hukum, dan objek Saddudz Dzari’ah?
7. Apa pengertian dan penilaian para ulama tentang madzhab sahabat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengetahuan, dasar hukum, dan macam- macam Istihsan.
2. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, dan objek maslahah mursalah.
3. Untuk mengetahui pengertian, macam- macam, dan kaidah- kaidah urf.
4. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, dan macam- macam syar’u man qoblana.
5. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, dan macam- macam istishab.
6. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, dan objek saddudz Dzari’ah.
7. Untuk menngetahui pengertian dan penilaian para ulama tentang madzhab Sahabat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama
menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Imam asy-Syarkhasi dalam kitabnya “al-
Mabsut”, menyimpulkan bahwa istihsan ialah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.”
Sebab kemudahan merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama.[1]
2. Dasar Hukum Istihsan
Firman Allah :

‫ي ُِر ْيدُ هللاُ ِب ُك ُم اليُس َْر َو ََلي ُِر ْيد ُ ِب ُك ُم العُسْر‬


Yang artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
Juga sabda nabi :

‫َير ِد ْينُ ُك ْم اليُس ُْر‬


ُ ‫خ‬
Yang artinya : “Sebaik-baik agamamu adalah kemudahan.”
3. Macam- macam Istihsan
a. Di lihat dari ma’aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan ini terbagi menjadi tiga macam
:
1) Istihsan Sunnah: Istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang mengharuskan
meninggalkan dalil Qiyas pada kasus yang bersangkutan. Contohnya yaitu : ketetapan ijma’
tentang sahnya akad istihsna’ (perburuhan atau pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu
batal. Sebab sasaran (objek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.
2) Istihsan Ijma’: istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama’
yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas. Contohnya adalah: Kasus kontrak
kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.
3) Istihsan Dlarurat: istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan dlarurat (terpaksa) dalam suatu
masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Contonya yaitu:
mensucikan kolam atau sumur yang tidak munkin dilakukan jika tetap berpegang pada dalil
qiyas. Dalam hubungan ini, pengarang kitab “Kasyful Asrar” menerangkan : “untuk mensucikan
kolam atau sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan cara menuangkan air kedalamya.
Air yang masuk kedalam kolam akan menjadi najis lantaran bersentuhan dengan air yang najis.
Demikianlah seterusnya, saling terkait, hingga semuanya menjadi najis. Oleh karena itu para
ulama’ memilih menggunakan dalil istihsan dengan meninggalkan penerapan dalil qiyas, karena
ada dlarurat yang tidak bisa dihindarkan. Pengaruh dlorurat dengan demikian, mampu
menggugurkan khitab (perintah atau larangan Allah).[2]

B. Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan
mafsadat atau madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu
adanya manfaat (‫ )إجابي‬dan menjauhkan madharat (‫)سلبي‬.[3] Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha
bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakkan maslahat”.
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak ‫ غير مقيد‬yaitu maslahat yang
secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

َ‫س ْلن ََك ِإ اَل َر ْح َمةً ِل ْل َعلَ ِميْن‬


َ ‫َو َما أ َ ْر‬
Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”.(QS. Al Anbiya’:107)

َ‫صد ُْو ِر َو ُهدًى َو َر ْح َمةٌ ِل ْل ُمؤْ ِم ِنيْن‬


ُّ ‫ظةٌ ِم ْن اربِ ُك ْم َو ِشفَا ٌء ِل َما فِى ال‬ ُ ‫يَأَيُّ َها الن‬
َ ‫َاس قَ ْد َجا َءتْ ُك ْم ام ْو ِع‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus: 57)
3. Objek Maslahah Mursalah
Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak pada
wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan Hadis
Nabi.[4]
C. Urf
1. Pengertian Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui. ‘Urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh
manusia dan mereka mempraktekkannya, baik perkataan maupun perbuatan atau meninggalkan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia
dan mereka menjadikan tradisi.
2. Macam- macam Urf
Pembagian ‘urf ada dua diantaranya:
a. ‘Urf shahihah yaitu kebiasaan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1) ‘Urf shahih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun dan
kapanpun mereka berada. Seperti sesuatu yang berikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya
berupa perhiasan dan pakaian adalah hadiah yang tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2) ‘Urf shahih khas
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu provinsi ataupun satu
sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau bercocok tanam dan lain
sebagainya. Dan ‘urf yang seperti ini ketika dijadikan landasan dari sebuah hukum, maka status
keputusannya tidaklah valid dan hanya berlaku ditempat dan pada masa keputusan hukum
tersebut di tetapkan. Karena ‘urf khas ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan
zaman.
b. ‘Urf fasidah yaitu suatu kebiasaan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena
bertentangan dengan nash-nash qot’i.
3. Kaidah- kaidah Urf
Para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf, di
antaranya[5]:

‫العادة المحكمة‬
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum

‫َل ينكر تغير اَلحكم بتغير اَلزمنة واَلمكنة‬


Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat

‫المعرف عرفا كا المشروط شرط‬


Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat

‫الثابت بالعرف كالثابت بالنص‬


Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang ditetapkan dengan nash.

D. Syar’un Man Qoblana


1. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Definisi Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada
umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan
kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
2. Dasar Hukum Syar’u Man Qoblana

َ ‫أ ٌ ْولَئِ َك الذَيْنَ َهدَى هللاُ فَ ِب ُهدَى ُه ُم ا ْقتَدِه قُ ْل اَل أَسْأَلُ ُك ْم‬


َ‫علَ ْي ْه أ َ ْج ًرا ِإ ْن ُه َو ِإ اَل ِذ ْك َرى ِل ْل َعلَ ِميْن‬
90. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk
mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)."
Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
3. Macam- macam Syar’u Man Qoblana[6]
a. Yang masih dipakai: syari’at umat terdahulu yang sampai saat ini masih sering diikuti oleh umat
Nabi Muhammad SAW. Contoh: puasa Daud.
b. Yang ditinggalkan: syari’at umat terdahulu yang sudah dipakai oleh umat Nabi Muhammad
SAW. Contohnya: pada umat Nabi Musa, baju yang terkena darah maka syari’atnya bagian yang
terkena darah harus dipotong, namun apa jadinya jika di masa umat Nabi Muhammad SAW itu
masih terjadi? maka solusinya adalah dengan di cuci bukan membuang bagian tadi sehingga baju
menjadi tidak utuh.

E. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut
pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab berarti:
“Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya (membatalkannya)”.[7]
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah
kedudukannya”. Contoh: Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap dianggap
hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih
terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang membatalkannya.
2. Dasar Hukum Istishab
a. Al-Quran

‫قل َل أجد في ما أوحى إلى محرما على طاعم يطعمه إَل أن يكون ميتة أو دما‬
‫مسفوحا أو لحم خنزير‬
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi...”. (Q.S. Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga
datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad)” ‘Aku tidak menemukan....”. pernyataan ini menunjukkan
bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
b. Hadis
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)lalu
mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! ‘Engkau telah berhadats! Maka( jika demikian),
janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR.
Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan
untuk kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila
syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah
melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah
batal; yzitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
c. Ijma’
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqh yang telah
ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah para ulama telah berijma’
bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat,
karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum suci. Ini
berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal apa belum, maka dalam kasus ini ia harus
berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal[8].
d. Dalil ‘Aqli
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
1) Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang
menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann
al-rajih). Dan dalam syari’at Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka
dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
2) Disamping itu, keika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka
penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al yaqin la
yaqin al-yazulul yuzalu bi al-syakk.
3. Macam- macam Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut
pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab berarti:
“Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya (membatalkannya)”.[9]
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah
kedudukannya”. Contoh: Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap dianggap
hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih
terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang membatalkannya. Istishab terbagi menjadi 4
(empat) macam:
a. Istishab ibahah ashliyah: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah mubah/boleh, selama
tidak ada bukti yang melarangnya”. Istishab model ini banyak berperan dalam bidang muamalah.
Dasarnya adalah Firman Allah di dalam surat al-Baqoroh ayat 29:

‫ت ج َو ُه َو ِب ُك ِل‬
ٍ ‫س َم َوا‬ َ ‫س اوى ُه ان‬
َ ‫س ْب َع‬ َ َ‫اء ف‬ َ ‫ض َج ِم ْيعًا ث ُ ام ا ْستَ َوى ِإلَى ْال‬
ِ ‫س َم‬ ِ ‫ُه َو الاذِى َخلَقَ لَ ُك ْم اما فِى ْاْل َ ْر‬
‫ع ِل ْي ٌم‬
َ ٍ‫ش ْيء‬
َ
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu.

Contoh: Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dll adalah halal selama tidak ada
dalil/bukti yang melarangnya.
Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
“Pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”
b. Istishab Baro’ah Asliyah: ”Pada dasarnya setiap orang terbebas dari tuntutan/kesalahan selama
tidak ada bukti yang mengubah statusnya”. Jika ada orang lain yang menuduhnya maka ia harus
membuktikan tuduhannya, jika tidak terbukti maka ia terbebas. Sebab pihak tertuduh pada
dasarnya bebas dari segala tuntutan. Contoh: pada dasarnya manusia tidak punya hutang. Jika
dituduh mempunyai utang maka pihak penuduh harus memberikan bukti, jika tidak maka pihak
tertuduh bebas dan ia dihukumi tidak punya hutang. Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
“pada prinsipnya semua orang terbebas dari tuntutan”
c. Istishab Hukmi: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu tetap berlaku selama tidak ada bukti yang
mengubahnya”. Contoh: seseorang yang memiliki sebidang tanah, maka tanah tersebut masih
tetap dihukumi miliknya, selama tidak ada bukti bahwa tanah tersebut telah dijual ataupun
dihibahkan. Ataupun seorang wanita yang telah menikah maka ia tetap harus dihukumi punya
suami selama tidak ada bukti bahwa ia telah dicerai. Ataupun seseorang yang telah berwudlu
masih dihukumi punya wudlu selama tidak ada bukti bahwa ia telah batal. Hal ini senada dengan
kaidah fiqih:
“pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya tetap selama tidak ada bukti yang mengubahnya”
* Macam Istishab di atas, no.; 1, 2 dan 3, seluruh ulama sepakat dapat dijadikan sebagai landasan
hukum.
d. Istishab Wasfi: “Pada dasarnya sifat dari segala sesuatu masih berlaku sebelum ada bukti yang
mengubahnya”. Contoh: Air yang diketahui bersih tetap dihukumi bersih selama tidak ada bukti
bahwa iar tersebut najis. Ataupun seseorang yang punya sifat idiot tetap ia masih dihukumi idiot
(ia tidak wajib menjalankan kewajiban karena kurang akal) selama tidak ada bukti bahwa ia telah
sempurna akalnya.
* Khusus Macam Istishab no. 4 ini terjadi perbedaan pendapat antar Ulama:
1) Madzhab Syaf’i dan Hanbali: Dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara mutlak.
2) Madzhab Hanafi dan Maliki: Perlu pemilahan. Sebab kaidah ini hanya berlaku untuk
mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya yang baru.

F. Saddud Dzari’ah
1. Pengertian Saddud Dzari’ah
Saad secara bahasa: “menutup”, sedangkan dzarī’ah: “jalan yang menghubungkan kepada
suatu tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan maupun mengandung suatu
kemaslahatan, berupa perbuatan ataupun perkataan”. Dengan demikian saad dzarī’ah secara
bahasa berarti “menutup jalan ke suatu tujuan“. Menurut istilah, Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap
sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu yang dilarang, yang mengandung kemafsadatan
dan kemadhorotan”.

2. Dasar Hukum Saddud Dzari’ah


a. Al Quran

‫وَل تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبوا هللا عدوا بغير علم كذلك زينا لكل أمة عملهم ثم إلى‬
‫ربهم مرجعهم فينبئهم بما كانوا يعملون‬
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan." (Q.S. Al An’am: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin
mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-
orang musyrik mencaci dan memaki Allah SWT secara melampaui batas.

‫وَل يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن‬


“...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan...”. (Q.S. An Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah
dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat
zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah
perbuatan zina.
b. Hadits
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya.
Barang siapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada
perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu
daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat
ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Obyek Saddud Dzari’ah
a. Suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya; contoh, Menjual anggur kepada pembuat
minuman keras, menggali sumur dibelakang pintu rumah dalam keadaan gelap dengan tujuan
agar orang yang masuk rumah akan terjerumus kedalamnya. Perbuatan ini dilarang.
b. Suatu bagian dimana umat sepakat tidak melarangnya, misalnya, pelarangan terhadap
penanaman anggur yang dikhawatirkan akan digunakan untuk membuat khomr, sesungguhnya
tak seorangpun melarang hal itu, karena didalam penanaman anggur tersebut terdapat manfaat
yang banyak, oleh sebab itu tidak boleh melarang penanaman anggor ini hanya karena
dikhawatirkan akan dibuat khomr.
c. Suatu bagian yang diperselisihkan, Apakah suatu hal dapat merupakan sebuah dzarī’ah yang
dapat mendatangkan sebuah kerusakan atau tidak?. misalnya, jual beli ājal, jual beli ini secara
dhohir sah, namun ketika melihat hakikat dan bathinnya, jual beli macam ini menjembatani
terhadap terjadinya riba. Dengan mempertimbangkan besarnya kuwalitas riba dan kemafsadatan
yang diduga kuat akan timbul, ulama Malikiyah dan Hanabilah meng-haramkan jual beli ini.
Sementara Syafi’iah mengesahkan jual beli ini, dengan manafikan prasangka akan terjadi suatu
kemafsad atan.

G. Madzhab Sahabi
1. Pengertian Madzhab Sahabi
Madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana
hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Sedangkan yang
dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam yang hidup bergaul bersama Nabi dalam
waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasul”.[10] Para sahabat tersebut antara lain:
Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Umar, Aisyah dll.
2. Penilaian Ulama’ tentang Madzhab Sahabi
Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan generasi sesudahnya.
Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai
pegangan generasi sesudahnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istihsan ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju
hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat. Macam-macamnya adalah Istihsan Sunnah,
Istihsan Ijma’, dan Istihsan Dlarurat.
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan
mafsadat atau madharat. Adapun mursalah yaitu secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau
tidak ada perintah maupun larangan.
‘Urf adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan
tradisi. Macam- macam Urf ada dua yaitu ‘Urf shahihah (‘Urf shahih ‘am dan ‘Urf shahih khas)
serta ‘Urf fasidah .
Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat
sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada
seluruh masyarakat pada waktu itu. Macam- macam Syar’u Man Qoblana ada dua yaitu yang
masih dipakai dan yang ditinggalkan.
Istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu
yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Istishab terbagi menjadi 4
(empat) macam: Istishab ibahah ashliyah, Istishab Baro’ah Asliyah, Istishab Hukmi, dan Istishab
Wasfi.
Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu yang
dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan kemadhorotan”. Obyek Saddud Dzari’ah yaitu
suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya, sepakat tidak melarangnya, dan suatu bagian
yang diperselisihkan.
Madzhab shahabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana
hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Penilaian Ulama’ tentang
Madzhab Sahabi yaitu Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat
dijadikan pegangan generasi sesudahnya. Dan Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa
sajabat tidak dapat dijadikan sebagai pegangan generasi sesudahnya.

[1] Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fikih” (jakarta: 2011), hal: 405-406
[2] Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fikih” (jakarta: 2011), hal: 403
[3] Al Ghazaly, Al Mustarfa, Op cit, juz: 1, hal.139.
[4] Al-Ghazāli, Abu Hamid. Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl, Beirut; Dār al-Kutūb al-
Ilmiyyah, 1993.
[5] Rachmat Syafe’I, Prof, Dr. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cetakan IV,
2010
[6] Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
[7] Abū Zahrah, Muhammad. Ushūl al-Fiqh. Beirut; Dār al-Fikr, 1957.
[8] Khallaf,Abdul Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
[9] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Grafindo Persada, Jakarta,1994.
[10] Muhammad Abu Zahrah, Prof. Terjemah Ushul Fiqih, Jakatra, Pustaka Jaya, 2009

Anda mungkin juga menyukai