NIM : 858102311
Kelas :A
Mapel : Pendidikan Agama Islam
SOAL
JAWABAN
1. Wajib
Merupakan suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang
meninggalkannya akan mendapat dosa. Hukum wajib terbagi menjadi empat jenis
berdasarkan bentuk kewajibannya, yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban
bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran atau kadar pelaksanaannya, dan
kandungan kewajiban perintahnya.
Waktu pelaksanaannya
Wajib muthlaq, wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya. Seperti,
meng-qadha puasa Ramadan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
Wajib muaqqad, wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu
dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan.
Orang yang melaksanakannya
Wajib aini, kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau
diwakilkan orang lain. Misalnya, puasa dan salat.
Wajib kafa'i atau kifayah, kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang
pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya
maka gugur kewajibannya. Contohnya, sholat jenazah.
Ukuran atau kadar pelaksanaannya
Wajib muhaddad, kewajiban yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai
ketentuan, contohnya zakat.
Wajib ghairu muhaddad, kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya,
misalnya menafkahi kerabat.
Kewajiban perintahnya
Wajib mu'ayyan, kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan lain.
Contohnya, membayar zakat dan salat lima waktu.
Wajib mukhayyar, kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa
alternatif. Seperti, kafarat pelanggaran sumpah
2. Sunah
Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran (pahala), namun tidak akan
dosa bila ditinggalkan. Pembagian hukum sunnah berdasarkan tuntutan untuk
melakukannya di antaranya,
Sunah muakkad adalah perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi, di samping ada
keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.
Contohnya, sholat witir.
Sunah ghairu mu'akad adalah sunnah yang dilakukan oleh nabi, tetapi tidak tidak
dilazimkan untuk berbuat demikian. Contohnya, sunah 4 rakat sebelum dzuhur dan
sebelum ashar.
3. Makruh
Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama
mendefinisikan makruh sebagai larangan terhadap suatu perbuatan. Namun, larangan
tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan
tersebut. Artinya, orang yang meninggalkan larangan tersebut akan mendapat ganjaran
berupa pahala. Sebaliknya, orang tersebut tidak akan mendapat apa-apa bila tidak
meninggalkannya.
Para ulama membagi makruh ke dalam dua bagian, yakni:
Makruh tahrim adalah sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti. Contohnya
larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
Makruh tanzih adalah sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya,
tetapi larangan tidak bersifat pasti. Contohnya memakan daging kuda saat sangat
butuh waktu perang.
4. Mubah
Hukum mubah memberikan pilihan bagi seseorang untuk mengerjakan atau
meninggalkannya. Bila dikerjakan, orang tersebut tidak dijanjikan ganjaran pahala.
Tetapi, tidak pula dilarang dalam mengerjakannya. Artinya jika sesuatu bersifat
mubah, maka tidak ada pahala atau dosa jika dilakukan.
Ulama ushul fiqih membagi mubah dalam tiga jenis, di antaranya:
- Tidak mengandung mudharat (bahaya) apabila dilakukan atau tidak. Contohnya,
makan, minum, dan berpakaian
- Tidak ada mudharat bila dilakukan, sementara perbuatan itu pada dasarnya
diharamkan. Misalnya, makan daging babi saat keadaan darurat.
- Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudharat, tetapi Allah SWT memaafkan
pelakunya. Contoh, mengerjakan pekerjaan haram sebelum Islam.
5. Haram
Secara terminologi, haram adalah sesuatu yang dilarang Allah SWT dan rasulNya.
Orang yang melanggar mendapat dosa, sementara orang yang meninggalkannya
dijanjikan pahala.
Menurut madzhab hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak
mengandung keraguan sedikitpun. Sehingga kita tidak mempermudah dalam
menetapkan hukum haram. Ada beberapa jenis haram yang dikelompokkan oleh
jumhur ulama, yaitu:
Al Muharram li dzatihi, sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya
mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum
khamr, berzina.
Al Muharram li ghairihi, sesuatu yang dilarang bukan karena kandungannya, tetapi
karena faktor eksternal. Misalnya, jual beli barang secara riba.
3. Tujuh macam prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pokok seseorang dalam berpikir,
bertindak, dan sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Prinsip ini menegaskan bahwa seluruh bangunan hukum Islam adalah bermuara
pada mengesakan Tuhan, yaitu Allah SWT. Dengan prinsip tauhid, pelaksanaan suatu
hukum akan bermakana sebagai ibadah.
Allah SWT berfirman,
َو ِإْذ َأَخ َذ َر ُّبَك ِم ْن َبِني آَد َم ِم ْن ُظُهوِر ِهْم ُذ ِّر َّيَتُهْم َو َأْش َهَد ُهْم َع َلٰى َأْنُفِس ِهْم َأَلْس ُت ِبَر ِّبُك ْم ۖ َقاُلوا َبَلٰى ۛ َش ِهْد َناۛ َأْن َتُقوُلوا َيْو َم
اْلِقَياَم ِة ِإَّنا ُكَّنا َع ْن َٰه َذ ا َغاِفِليَن
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan memiliki makna bahwa hukum Islam yang mengatur persoalan
manusia dari berbagai aspek harus dilandaskan pada keadilan yang meliputi hubungan
antara dirinya sendiri, masyarakat, maupun dengan Allah SWT.
Allah SWT bersabda,
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ُك وُنوا َقَّواِم يَن ِهَّلِل ُش َهَداَء ِباْلِقْس ِط ۖ َو اَل َيْج ِر َم َّنُك ْم َشَنآُن َقْو ٍم َع َلٰى َأاَّل َتْع ِد ُلواۚ اْع ِد ُلوا ُهَو َأْقَر ُب ِللَّتْقَو ٰى
ۖ َو اَّتُقوا َهَّللاۚ ِإَّن َهَّللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Maidah: 8)
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar
Amar makruf nahi munkar memiliki arti hukum Islam yang ditegakkan untuk
menjadikan manusia dapat melaksanakan hal-hal secara baik dan benar sesuai yang
dikehendaki Allah SWT sehingga tidak terjadi keburukan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Prinsip ini mengandung makna bahwa hukum Islam tidak ada paksaan. Artinya,
manusia dapat menolak dan menerima hukum Islam namun tetap harus bertanggung
jawab akan keputusannya.
Allah SWT bersabda,
اَل ِإْك َر اَه ِفي الِّديِن ۖ َقْد َتَبَّيَن الُّر ْش ُد ِم َن اْلَغ ِّي ۚ َفَم ْن َيْكُفْر ِبالَّطاُغ وِت َو ُيْؤ ِم ْن ِباِهَّلل َفَقِد اْسَتْمَس َك ِباْلُعْر َو ِة اْلُو ْثَقٰى اَل اْنِفَص اَم
َلَهاۗ َو ُهَّللا َسِم يٌع َع ِليٌم
Artinya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Hukum dalam agama Islam tidak membedakan derajat, suku, ataupun fisik
dengan manusia lainnya. Semua manusia di hadapan Allah SWT adalah sama. Adapun
yang membedakannya adalah ketakwaan.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah ayat,
َيا َأُّيَها الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َو ُأْنَثٰى َو َجَع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَباِئَل ِلَتَع اَر ُفواۚ ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهَّللا َأْتَقاُك ْم ۚ ِإَّن َهَّللا َع ِليٌم
َخ ِبيٌر
Artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
6. Prinsip Al-Ta’awun (Tolong Menolong) dan Al-Shura (Musyawarah)
Prinsip ini menjelaskan dalam menjalani hidup ini, sesama manusia hendaknya
saling tolong-menolong, saling bahu-membahu baik dalam ranah sosial, hukum, dan
lainnya. Dalam melakukan ijtihad (penggalian hukum Islam), sebaiknya dilakukan
secara jama'i (kolektif) dengan melibatkan setiap pihak yang kompeten dalam
bidangnya, serta bidang-bidang yang ada keterkaitan dengan permasalhan yang akan
dikaji status hukumnya.
Allah SWT bersabda,
َو َتَع اَو ُنوا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقَو ٰى ۖ َو اَل َتَع اَو ُنوا َع َلى اِإْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن ۚ َو اَّتُقوا َهَّللاۖ ِإَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب
Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
َو اَل َتُك وُنوا َك اَّلِذ يَن َتَفَّر ُقوا َو اْخ َتَلُفوا ِم ْن َبْع ِد َم ا َج اَء ُهُم اْلَبِّيَناُت ۚ َو ُأوَٰل ِئَك َلُهْم َع َذ اٌب َع ِظ يٌم